“Dan dia pergi dari suatu kota ke kota
lain untuk membunuh rasa sepinya…”
“Ya…..” suara Michiko makin perlahan.
Setelah ucapan Michiko yang terakhir itu,
suasana lalu jadi sepi. Michiko menunduk. Salma masih menatapnya. Begitu pula
Overste Nurdin. Mereka sama-sama diam. Lalu :
“Apakah dia mengatakan kemana dia akan
pergi setelah mengantarkan jenazah temannya itu?”
Michiko masih berusaha untuk mengetahui
rencana perjalanan si Bungsu.
Kali ini tidak Nurdin yang bicara. Dia
memberi isyarat pada isterinya untuk menjelaskan.
“Ada. Dia memang mengatakan kemana dia
akan pergi. Yaitu kalau dia bisa cepat meninggalkan Australia. Katanya dia
ingin pulang ke kampungnya…’
“Ke kampungnya?”
“Ya. Ke Situjuh Ladang Laweh. Ke kaki
Gunung Sago di Payakumbuh seperti yang nona katakan tadi…” Salma berkata dan
tersenyum lembut. Wajah Michiko jadi berseri. Dan itu semua tak luput dari
amatan Salma.
Tapi tiba-tiba wajah Michiko jadi murung
lagi.
“Apakah…apakah disana ada….” Dia
terhenti. Nurdin dan Salma saling pandang dan menanti apa yang ingin ditanyakan
gadis itu. Tapi Michiko tak kunjung mengucapkan apa yang tersirat dihatinya.
Salma segera saja bisa menebak.
“Nona maksudkan, apakah dikampungnya dia
punya seorang kekasih atau tunangan…?’
Wajah Michiko terangkat cepat. Separoh
kaget. Namun begitu matanya bertemu dengan tatapan Salma, cepat-cepat dia
menundukkan kepala. Wajahnya segera menjadi murung.
“Ya. Bukankah dia mempunyai seorang
kekasih disana?” gadis itu akhirnya berkata setelah lama berdiam diri.
“Tidak. Dia tak punyai siapa-siapa
dikampungnya itu….” Salma menjelaskan.
“Ah, kalau begitu nyonya belum mengenal
si Bungsu seperti saya mengenalnya….” Suara Michiko terdengar perlahan. Muka
Salma jadi berona merah. Entah kenapa, hatinya jadi tak sedap dikatakan gadis
Jepang ini “belum mengenal si Bungsu sebagaimana Michiko mengenalnya..!.” ini
keterlaluan. Sampai dimana benar gadis Jepang ini mengenalnya, pikir Salma.
Namun dia ingin tahu juga, makanya dia
memancing.
“Barangkali kami memang tak begitu
mengenalnya. Apakah nona mengetahui ada seorang gadis yang menantinya di
kampung?” Michiko mengangguk. Salma dan Nurdin berpandangan.
“Ini baru berita. Ini berita baru…”
Nurdin berkata dengan jujur dan takjub. Sebab dia memang tak pernah mengetahui
akan hal itu.
Michiko memandang padanya separoh heran.
“Benar, ini berita baru bagi kami nona.
Siapa gadis yang menantinya itu?” Nurdin bertanya antusias. Sebab dia tahu
dengan pasti, atau katakanlah, bahwa dia hanya tahu si Bungsu hanya mencintai
Salma, yang secara tak diduga menjadi isterinya. Bila kini ada orang lain yang
mengatakan bahwa ada kekasih si Bungsu dikampungnya, bukankah itu berita
menarik baginya?
Sedang bagi Salma sendiri berita itu tak kurang mengejutkannya.
Sebab dia sendiri selama ini tahu dan
menduga bahwa anak muda yang pernah dia cintai itu, hanya punya seorang
kekasih. Dan gadis itu, yang jadi kekasih si Bungsu itu, juga membalas cinta si
Bungsu dengan sepenuh hati. Gadis itu adalah dirinya sendiri. Tapi itu dulu.
Lalu kini ada saja gadis lain, yang dia
duga punya hubungan dengan si Bungsu, yang mengatakan bahwa ada lagi gadis lain
dihati si Bungsu. nah, diam-diam perasaan cemburunya muncul.
Perasaan bahwa selama ini dia dibohongi
si Bungsu.
“Ya…” kata Michiko menyambung
penjelasannya..” saya tahu hal itu dengan pasti. Karenanya dia menceritakannya
pada saya…”
“Apakah dia sebutkan nama gadis itu pada
nona?” Overste Nurdin bertanya ingin tahu.
“Ya. Dia sebutkan….namanya, kalau saya
tak salah adalah Salma….” Jantung Salma seperti akan meledak. Dia menunduk.
Malu, bangga dan khawatir berbaur menjadi satu.
Dia kawatir akan perasaan suaminya yang
akan jadi tersinggung. Namun Overst eitu tersenyum. Bahkan dari mulutnya
kemudian terdengar tertawa renyai.
“Kenapa tuan jadi tertawa?” Michiko
heran. Salma makin menunduk.
“Apakah benar itu gadis yang jadi kekasih
si Bungsu, yang menantinya dikampungnya?”
“Ya. Itulah nama yang dia sebutkan…”
“Nona, kalau begitu nona tak usah
khawatir. Kekasihnya itu sudah menikah…” kata Nurdin sambil tersenyum. Michiko
heran dan menatapnya dengan perasaan ingin tahu.
“Ya. Gadis yang nona sebutkan itu telah
menikah. Apakah tadi nona tak mendengarkan ketika saya memperkenalkan nama
isteri saya ini…?”
Michiko menatap makin heran.
“Saya mendengarnya. Nama nyonya
ini…Salma..”
“Ya. Namanya Salma…”
“Apa hubungannya dengan Salma yang saya
sebutkan tadi?”
Michiko balas bertanya heran.
Nurdin dan Salma saling pandang. Tapi
Nurdin masih coba tersenyum.
“Nona, jangan khawatir. Tak ada seorang
gadispun yang menanti si Bungsu dikampungnya. Salma yang dia sebut pada anda
itu adalah isteri saya ini…”
Michiko terngangak. Menatap pada Nurdin
dan Salma bergantian. Bermain-mainkah orang ini, pikirnya. Namun kedua orang
itu memang tak sedikitpun bermain-main. Mereka memang bersungguh-sungguh. Dan
Michiko dapat membaca kesungguhan mereka itu.
Dan kalau tadi Michiko menatap Salma, dia
hanya merasa betapa cantiknya isteri Overtse itu. Dan dia membandingkan, adakah
Salma kekasih si Bungsu itu secantik Salma ini pula? Samasekali tak terlintas
dalam kepalanya bahwa inilah Salma yang kekasih si Bungsu itu.
Dia tak menduga karena masih berfikir
pola Jepang. Di Jepang memang tak sedikit orang yang senama. Yang senama
dengannya, yaitu nama Michiko, di Universitas Tokyo dimana dia kuliah dulu, ada
sekitar seratus orang. Tapi nama depan tak jadi soal disana. Seorang lebih
dikenal dengan nama keluarganya. Seperti dirinya adalah anak Saburo Matsuyama.
Maka dia lebih dikenal dengan sebutan nona Matsuyama. Persamaan nama dinegerinya
tak ada persoalan. Dan bukan hal yang aneh.
Nah, tadipun ketika Nurdin mengenalkan
Salma padanya, dia hanya menyangka bahwa Salma yang senama dengan Salma yang
kekasih si Bungsu. siapa nyana, bahwa Salma yang kekasih si Bungsu dengan Salma
yang ini orangnya adalah satu.
“Oh, maaf. Saya tak tahu. Maaf…” katanya
gugup.
“Tak ada yang harus dimaafkan nona. Saya
sendiri ketika menikah dahulu, tak tahu samasekali bahwa calon isteri saya ini
adalah kekasih teman saya. Dan isteri saya juga tak pernah menduga bahwa calon
suaminya adalah sahabat kekasihnya. Semua baru jadi jelas tatkala si Bungsu
muncul di kota ini lima bulan yang lalu.
Dan tak seorang pun diantara kami yang
harus dipersalahkan. Nasib yang diatur oleh Yang Maha Kuasa telah menyebabkan
hal ini. Begitu bukan?”
Michiko mengangguk perlahan. Dan Salma
dapat membaca pada air muka gadis itu bahwa gadis Jepang ini jadi lega hatinya.
Ketika tak ada lagi yang akan
dibicarakan, dan Minchiko sudah merasa cukup mendapat informasi, dia lalu
pamitan.
Dia diantar ke ruang bawah oleh Salma.
Dan di ruang bawah, kesempatan bagi Salma
untuk bicara dengan Michiko. Mereka berhenti, dan saling pandang. Seperti ada
persepakatan antara kedua perempuan cantik itu untuk saling bertanya. Salma lah
yang terlebih dahulu membuka suara:
“Apakah si Bungsu bercerita tentang
hubungan kami…?”
Michiko menatap Salma. Kemudian mengangguk.
“Dia memang tak bercerita banyak tentang
nyonya…’
“Panggil saja nama saya, Salma. Tak usah
pakai sebutan nyonya…”
“Ya, dia hanya bercerita tentang seorang
gadis yang dia cintai. Tapi dia mengatakan bahwa gadis itu, maksud saya anda,
mencintai dirinya. Saya melihat cincin dijarinya. Dan ketika saya tanyakan dia
akui cincin itu pemberian anda…”
Salma menarik nafas. Ada kebahagian
menyelundup dihatinya. Si Bungsu bercerita pada gadis secantik ini, bahwa dia
mencintai dirinya. Oh….alangkah!
“Apakah anda mencintainya?” tiba-tiba
Michiko dikagetkan oleh pertanyaan Salma. Dia tatap nyonya atase militer itu.
Dia ingin menyelidik, apakah dalam pertanyaan itu ada nada cemburu. Namun mata
perempuan itu alangkah beningnya. Dan yang terlihat didalam pancaran matanya
hanyalah keikhlasan.
“Saya tak tahu….”
“Tak tahu? Alangkah ganjilnya. Engkau
telah menurutnya sekian jauh. Mencarinya kemana-mana, tanpa engkau ketahui
apakah engkau mencintainya atau tidak. Jika bukan karena cinta untuk apa engkau
mencarinya sejauh ini, Michiko?”
“Dia berhutang padaku….” Suara Michiko
perlahan. Kepalanya menunduk. Salma mengerutkan kening.
“Hutang?”
“Ya. Dia berhutang padaku…!”
“Alangkah ganjilnya terasa. Engkau
mencarinya hanya untuk meminta piutang saja. Berapa kah piutang yang dia buat
sehingga engkau menghabiskan waktu dan biaya sebsar ini..”
“Terlalu besar untuk disebutkan…”
“Maaf. Saya masih tak bisa mengerti,
hutang yang telah dia perbuat padamu…”
“Hutang nyawa…” suara Michiko masih
perlahan dan kepalanya masih menunduk.
Salma yang jadi kaget. Terkejut bukan
main. Demikian kagetnya dia, hingga buat sesaat dia tak bisa buka suara.
“Ya, untuk itulah dia saya cari, Salma.
Dia telah membunuh saya saya. Meski secara tak langsung. Tapi dialah
penyebabnya. Dan saya akan menuntut kematian itu padanya…”
Buat sesaat Salma masih belum bisa
bicara. Lama kemudian, ketika Michiko masih menunduk, Salma kembali bertanya.
“Hutang nyawa secara tak langsung. Apa
yang anda maksud Michiko?”
Michiko menatap pada Salma. Sudut matanya
basah.
“Apakah dahulu Bungsu-san tak pernah
bercerita pada anda untuk apa dia datang
ke Jepang?”
Salma mengalihkan pandangan ke luar. Ke
pohon-pohon Akasia yang berjajar disepanjang tepi jalan. Dan ingatannya surut
kembali kemasa lalunya. Kewaktu dia masih merawat si Bungsu di Panorama
Bukittinggi. Dan suatu hari, ketika lukanya telah sembuh, si Bungsu pernah
mengatakan padanya,m bahwa dia akan ke Jepang.
“Saya akan mencari opsir yang telah
membunuh ayah dan ibu saya. Yang telah menodai dan sekaligus juga membunuh
kakak saya. Perjalanan saya mungkin akan jauh dan lama sekali, Salma..”
Bayangan itu melintas. Kemudian dia
menatap pada Michiko.
“Ya. Saya ingat, Michiko. Dia kenegrimu
untuk mencari seorang opsir yang membunuh keluarganya…”
Michiko menarik nafas panjang. Kemudian
menunduk lagi. Lalu suaranya trdengar perlahan.
“Ya, itulah persoalannya Salma. Ah, saya
sudah terlalu lama mengganggu anda. Saya harus pergi…’
Salma tertegun, dia ingin mendengar
banyak tentang si Bungsu dari gadis cantik ini.
“Kenapa buru-buru…?”
“Saya, saya harus kembali ke penginapan…”
“Anda sendirian…”
Michiko mengangguk.
“Si Bungsu berjanji pada kami, bahwa dia
akan menyurati kami bila dia telah kembali dari Australia. Barangkali engkau
bisa menanti. Bila suratnya datang nanti, engkau akan mengetahui dengan jelas
dimana dia berada. Apakah dia telah kembali ke kampungnya atau belum…”
Michiko menatap Salma. Ada benarnya juga
pendapat nyonya ini, pikirnya.
“Ya, saya rasa juga demikian yang baik.
Tak mungkin saya menurutnya ke Australia. Terlalu jauh…”
“Kalau anda tak keberatan, saya ingin
menemani anda selama di kota ini…” Salma menawarkan jasa baiknya. Wajah Michiko
berseri.
“Benar?”
“Ya. Kenapa tidak…’
“Ah, saya amat berterimakasih sekali jika
anda mau menemani saya…’
“Saya juga akan merasa gembira dapat
menemani anda Michiko…”
“Terimakasih, saya memang merasa asing
dan sepi di kota ini..’
**ooo**
Dan esok sorenya, Salma memang datang ke
hotel dimana Michiko menginap. Tak lama kemudian, kedua wanita itu sudah berada
dalam taksi.
“Anda pernah makan sate?” Salma bertanya
ketika mereka telah duduk dalam taksi.
“Sate?”
“Ya, makanan spesifik Indonesia. Tapi di
kampung kami makanan itu lebih terkenal lagi karena pedas dan enak. Anda suka
makanan pedas?”
Michiko mengangguk dan tersenyum.
“Negeri kami setiap tahun ada musim
dingin dan setiap musim dingin, jika lelaki suka minuman keras, maka kami kaum
perempuan membuat makanan yang pedas-pedas…”
“Kalau begitu anda pasti suka makan sate.
Disini ada orang jual Sate Pariaman….”
“Sate Pariaman?”
“Ya. Pariaman nama sebuah negeri dan
sekaligus nama sebuah kota kecil dinegeri kami. Orang-orang dinegeri itu
pembuat sate yang gurih rasanya…”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (102)
Komentar
Posting Komentar