Akibatnya bukan main. Tidak saja sabetan
samurai si kurus itu luput dari batang lehernya, bahkan si kurus itu sendiri
tertikam oleh samurainya hingga separoh lebih!
Si Kurus itu tertahan seperti disentakkan
tenaga raksasa. Tangannya masih memegang samurai. Dan tiba-tiba sambil bergerak
bangkit, si Bungsu menarik samurainya. Dan saat itulah si kurus ini mengeluh.
Lalu terputar setengah lingkaran. Jatuh tertelungkup.
Diam. Mati!
Dan kesembilan temannya, termasuk Zendo
dari kuil Kofukuji di kota Nara itu, pada tertegak diam. Zato Ichi tak
mendengar dengus nafas mereka sebab tak seorangpun diantara mereka yang tak
menahan nafas melihat adegan yang alangkah fantastisnya itu.
Dan kini anak muda itu tegak dengan
tenang. Dengan tenang dia menghapus darah yang membasahi samurainya dengan
telapak tangan. Kemudian dengan tenang pula dia menyarungkan samurai itu
kembali.
Lalu menatap pada Zendo.
“Sungguh suatu demonstrasi yang
mengagumkan….” Suara Zendo bergema perlahan. Dan dari nada suaranya, dia taka
hanya sekedar memuji. Tapi ucapannya memang jujur. Tapi dalam nada ucapannya
itu juga dapat segera diketahui, bahwa dia tak merasa gentar sedikitpun akan
kecepatan dan kehebatan anak muda itu!
Zendo justru memberi isyarat pada dua
orang anggotanya. Kedua anggota yang diberi isyarat itu bergerak!
Mereka bergerak amat cepat. Menyerang ke
arah Zato Ichi! Namun si Bungsu sudah menanti disana! Dua buah serangan
beruntun berhasil dia gagalkan dengan samurainya.
“Tahan!!” hampir berbarengan terdengar
suara Zato Ichi dan Zendo. Kedua anak buah Zendo segera bergerak mundur. Zendo
maju dua langkah. Di saat yang bersamaan, Zato Ichi tegak dari duduknya.
“Anak muda” Zendo berkata, “ sudah saya
katakan bahwa saya tak pernah ikut campur urusanmu. Kini engkau nyata-nyata
mencampuri urusan saya. Maka apa boleh buat, saya akan menghadapimu…”
Sebelum si Bungsu dapat menjawab
tantangan itu, suara Zato Ichi terdengar pula :
“Kenapa harus melibatkan orang lain dalam
urusan kita? Engkau berurusan denganku Zendo-san. Dan aku akan menghadapimu”
Bukan main terkejutnya si Bungsu
mendengar ucapan Zato Ichi ini. Dia tahu benar, bahwa tubuh pahlawan samurai
ini masih sangat lemah. Tak mungkin dia mampu berhadapan dengan Zendo dan anak
buahnya. Dia berniat memprotes putusan itu. Tapi Zato Ichi nampak mengangkat
tangan. Memberi isyarat padanya untu menepi.
“Ini urusanku anak muda. Menyingkirlah….”
Suara tuanya terdengar perlahan. Dan si Bungsu tahu, bahwa ini soal harga diri
bagi Zato Ichi. Makanya dia tak berani menyanggah.
Namun meski tak bisa ikut campur dalam
urusan Zendo dan Zato Ichi, anak muda ini masih punya cara lain untuk menolong
Zato Ichi.
Dia tak ingin perkelahian berlaku curang.
Menghadapi Zendo saja Zato Ichi pasti kewalahan. Bukan karena kepandaiannya,
tapi karena tubuhnya yang lemah. Karena itu anak muda dari gunung Sago ini lalu
bicara:
“Baik, saya takkan ikut campur urusan
kalian. Tapi tak seorangpun selain tuan Zendo yang boleh ikut campur. Jika ada,
maka saya akan ikut serta pula…”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia
sangat terharu atas sikap anak muda ini. Dia tahu anak muda itu berusaha
menolong nyawanya. Dia memang harus mengakui, bahwa pertarungannya kali ini
merupakan perjudian melwanan elmaut.
Tapi kini dia agak lega, sebab dia tak
usah khawatir menghadapi keroyokan. Lawannya hanya satu orang. Dan si Bungsu
mengawasi hal itu!
Si Bungsu melangkah menghindar dari
hadapan kedua orang itu. Matanya menyapu pada delapan orang anak buah Zendo
yang masih tetap tegak mengurung Zato Ichi.
Si Bungsu hanya menghindar dua langkah.
Yaitu sekdar tak menghalangi kedua musuh bebuyutan itu berhadapan muka. Namun
jarak yang dia buat, memustahilkan kedua orang itu untuk bertarung.
“Menyingkirlah dari sana….” Zendo
berkata. Si Bungsu menatapnya. Tersenyum tipis.
“Sudah saya katakan, perkelahian ini
hanya untuk tuan berdua. Yang lain tak boleh ikut campur…..” suara si Bungsu
mengingatkan.
“Ya. Tak ada orang lain yang ikut campur”
suara Zendo terdengar gusar. Dia gusar karena telah dijebak anak muda ini.
Dijebak dengan kata-kata bahwa pertarungan ini hanya untuk mereka berdua.
Berarti tak satu pun diantara anak buahnya yang bisa ikut campur.
Padahal dia membawa anak buahnya kemari
mencari Zato Ichi dalam rangka memudahkan penuntutan dendam kematian abangnya.
Tapi apa boleh buat. Meskipun dia tak
gentar pada anak muda ini, namun dia harus jaga gengsi.
“Saya akan menyingkir dari sini kalau
anak buah tuan juga menyingkir. Kami akan membuat lingkaran sepuluh depa….” Si
Bungsu kembali berkata.
Dan kali ini tak ada jalan lain bagi Zendo
selain harus menuruti kehendak anak muda itu. Dia memberi isyarat pada anak
buahnya. Dan dengan perasaan yang benar- benar kurang senang, kedelapan orang
itu lantas mundur.
Mereka berkuat, dan tegak sedemikian rupa
hingga membentuk suatu lingkaran berjari-jari sepuluh depa seperti diminta oleh
si Bungsu. si Bungsu tegak di salah satu sisinya.
Kini kedua lelaki itu berhadapan. Zato
Ichi yang lemah, tegak menunduk. Dia seperti tak ingin memperlihatkan bahwa
dirinya sedang sakit. Hanya si Bungsu merasa sangat khawatir. Dia tahu benar
tenaga dan kesehatan Zato Ichi sangat tak mengizinkan untuk berkelahi. Usahkan
untuk berkelahi, untuk tegak agak lama saja dalam cuaca dingin begini sudah
sangat sulit.
Namun bagaimana dia harus memabntunya.
Bukankah ini sudah permintaan Zato Ichi sendiri?
Dan untungnya, Zendo tak mengetahui bahwa
Zato Ichi demikian parah keadaannya. Ada beberapa saat kedua musuh ini
berhadapan. Tegak dengan diam.
Zendo lah yang pertama kali menghunus
samurainya. Suara samurainya ketika keluar dari sarungnya, terdengar berdesir
perlahan. Zato Ichi masih diam. Kepalanya masih menunduk. Samurainya masih
ditangan kanan di dalam sarungnya. Samurai itu masih dia pegang seperti
memegang tongkat. Ujungnya mencecah lantai batu.
Tak sedikitpun kelihatan bahwa dia siap
untuk berkelahi. Zendo melemparkan sarung samurainya ke samping. Dan disambut
oleh salah seorang anak bauhnya. Kemudian perlahan dia melangkah maju. Bergeser
di lantai batu. Satu setengah depa dihadapan Zato Ichi dia berhenti.
Zato Ichi masih menunduk diam. Samurainya
masih dia pegang seperti tadi. Perlahan Zendo mengangkat samurainya.
Mengarahkan ujungnya ke atas sebelah kanan dirinya.
Dan dengan perlahan pula tangan kirinya
memegang hulu samurai di bawah pegangan tangan kanannya. Dan dia menahan nafs.
Kini dia benar-benar siap tempur! Namun Zto Ichi masih tetap diam seperti
patung.
Zendomenghela nafas. Dan saat itulah
terdengar suara Zato Ichi:
“Saya dengan abangmu Akira memang
berkelahi malam itu di kuil Kofukuji…” suaranya perlahan. Namun Zendo tak ambil
peduli. Dia konsentrasi penuh. Zato Ichi menyambung ucapannya. Seperti tak perduli
dengan maut yang mengintai lewat samurai Zendo:
“Kami memang bertengkar karena uang yang
disumbangkan oleh keluarga Kendo….!”
Lalu saat itulah Zendo memekik dan
samurainya memancung. Tapi lelaki buta itu sungguh perkasa. Dia tak mencabut
samurainya. Melainkan membungkuk dan melangkah dua langkah ke belakang! Serangan
maut itu menerpa tempat kosong. Dan begitu dia berhenti melangkah suaranya
terdengar lagi:
“Kami bertengkar soal penggunaan uang itu…”
suaranya terputus oleh serangan beruntun dari Zendo. Kali ini dia mencabut
samurainya dan menangkis. Lalu melangkah menghindar dan suaranya terdengar
lagi:
“Keluarga Kendo mewariskan uangnya dalam
bentuk uang emas. Hal ini dia lakukan karena seluruh keluarganya punah. Dia tak
punya turunan lagi. Kendo Sansui adalah keturunan terakhir. Dan sebelum mati
dia menyerahkannya ke kuil Kofukuji dengan maksud digunakan untuk mengembangkan
agama serta untuk amal sosial lainnya”
Kali ini Zendo tak menyerang. Meski dengan
samurai tetap teracung tinggi di atas kepala, dia menjawab omongan Zato Ichi:
“Ya itu jelas. Tapi kenapa engkau datang
mencampuri urusan kuil?”
“Karena saya adalah salah seorang dari
pendiri kuil itu…”
Zendo tertegun. Si Bungsu juga.
Zendo berputar ke belakang Zato Ichi
dengan samurai tetap siap menyerang. Namun dia belum menyerang. Suaranya terdengar
lagi:
“Meski engkau pendiri, tapi yang memimpin
kuil saat itu adalah abangku. Dan engkau datang minta bahagian dari harta wakaf itu bukan?”
“Barangkali begitulah yang disiarkan
orang. Namun saya tidak sejahat dan sehina itu. Buat apa uang bagi saya? Tak ada
perempuan yang mau jadi isteri saya untuk saya berikan uang. Bahkan pelacur-pelacur
pun menghindar dari saya. Untuk menghidupi tubuh buruk dengan mata buta ini,
saya masih punya tangan untuk bisa mencari nafkah. Tak usah mengambil harta dan
hak kuil…”
Kali ini samurai Zendo perlahan turun ke
bawah. Dia menatap dengan tatapan yang sulit diartikan pada Zato Ichi.
Lama. Kemudian suaranya bertanya:
“Lalu kenapa terjadi pertumpahan darah
malam itu?” Zato Ichi tak segera menjawab. Dia menarik nafas. Panjang dan
berat. Akhirnya dengan kepala menunduk dalam dia bicara perlahan:
“Abangmu menginginkan uang itu untuk
keperluan lain….”
Zendo mengerutkan kening.
“Saya tak mengerti….” Katanya.
“Maafkan saya. Bukankah ayahmu berasal
dari daerah Tionggoan di daratan Tiongkok?”
“Ya…”
“Nah, itulah soalnya…”
“Saya tak mengerti…” desak Zendo.
“Maafkan saya kalau harus menceritakan
hal ini dihadapan orang banyak. Saat itu perang berkecamuk antara Jepang dengan
Tiongkok. Tiongkok ingin memerdekakan negerinya dari jajahan Jepang. Abangmu ingin
mengirimkan uang itu ke Tiongkok untuk membantu pemberontakan melawan Jepang…”
“Bohong!!” bentakan Zendo memecah dan dia
mebuka serangan. Kali ini serangannya bertubi-tubi. Tadi Zato Ichi memang
sengaja tak melawannya. Sebab dia menghemat tenaga. Tapi kini dia harus
mengerahkan tenaganya itu.
Dua kali serangan berhasil dia elakkan. Namun
pancungan keempat terlambat dia tangkis. Tak ampun lagi, pahanya seperti akan
belah dimakan samurai Zendo.
Tapi setelah itu Zendo menghentikan
serangannya. Si Bungsu menatap dengancemas darah yang mengalir dari paha Zato
Ichi.
“Kalau kau tak hentikan omong kosongmu
tentang abangku, kucencang tubuhmu saat ini…” suara Zendo terdengar
terengah-engah. Dia nampaknya benar-benar tak ingin keluarganya dicap
menghianati Jepang.
Sambil menahan sakit dan sambil tetap
bertahan tegak, Zato Ichi yang luka parah itu berkata:
“Itulah kisah sebenarnya Zendo-san. Malam
itu, hadir utusan yang akan dia kirim ke Tionggoan. Yaitu pendeta yang
sama-sama mati dengannya. Ketika saya menghalangi niatnya, dia jadi berang. Takut
rahasianya akan terbongkar, dia lalu menyerang saya bersama pendeta itu. Namun saya
mengalahkan mereka. Semata-mata untuk membela negeri ini dari penghianatan. Meski
untuk itu saya terpaksa membunuh seorang sahabat…”
Zendo kembali menyerang. Kali ini nyawa
Zato Ichi memang diujung tanduk. Dia tak menangkis. Melainkan mengelak dengan
mundur. Suatu saat tubuhnya membentur tubuh anak buah Zendo yang tegak
melingkar.
Dan anak buah Zendo ini menolakkan tubuh
Zato Ichi yang lemah itu ke depan. Ke arah Zendo! Namun si Bungsu tak
membiarkan kesempatan itu.
Dia segera menghunus samurai dan meloncat
ke tengah gelanggang. Zendo yang akan segera memancungkan samurainya dia
hantam. Dan samurai mereka beradu. Zendo kaget dan mundur. Kedelapan anak
buahnya kaget dan merapatkan kepungan. Si Bungsu segera tegak dihadapan Zato
Ichi yang telah jatuh berlutut.
“Anak muda, jangan ikut campur urusan
kami…” Zendo berkata dengan marah. Dia sudah bermaksud akan menghabisi nyawa
Zato Ichi. Menyudahi dendam selama 40 tahun ini. Kini saatnya hanya tinggal
melaksanakan.
Zato Ichi yang kesohor itu sudah berhasil
dia lukai. Bukankah itu suatu prestasi yang bukan main yang akan memasyhurkan
namanya ke segenap penjuru Jepang?
Halangannya kini hanya tinggal sediki. Yaitu
anak muda dari Indonesia ini. Wajar saja kalau dia merasa berang takkala
babatan samurainya dihalangi oleh samurai si Bungsu.
Namun si Bungsu tetap tegak di depannya. Menghalangi
jarak antara dia dengan Zato Ichi.
“Saya sudah katakan, bahwa saya akan ikut
campur bila anak buahmu ikut campur dalam perkelahian ini….” Suara si Bungsu
terdengar dingin.
“Ya. Kau boleh ikut campur kalau anak
buahku ikut. Tapi kau lihat sendiri, tak seorangpun diantara mereka yang ikut
membantuku…”
Si Bungsu tertawa berguman.
“Tak seorangpun! Tapi bukankah sebentar
ini yang berjambang seperti monyet itu menolakkan tubuh Ichi-san ke arahmu?”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (76)
Komentar
Posting Komentar