Si Bungsu tak berkata. Tak ada kata yang
mampu dia ucapkan. Dia ingin memeluk perempuan itu selamanya. Ingin untuk tak
melepaskannya. Tapi pada saat yang sama dia mengutuk dirinya. Mengutuk ketidakjujuran
pada temannya. Alangkah akan aibnya kalau Nurdin tahu peristiwa ini.
Namun itulah hal hal yang tak
terhindarkan. Barangkali memang bukan dosa mereka. Mereka memang tak hendak
menyengaja kejadian ini. Nasib jua yang membuat dan memaksa mereka demikian.
“Udaaa….kenapa kita harus bertemu dalam
keadaan begini…”
“Tenanglah Salma…tenanglah….”
“Oh Tuhan. Engkau masih memakai cincin
yang kuberikan dahulu. Aku juga masih memakai cincin yang engkau berikan sesaat
sebelum engkau pergi meninggalkan rumahku di Panorama Bukittinggi dahulu….”
Si Bungsu tak menjawab. Perlahan dia
renggangkan pelukannya dari tubuh Salma. Menatap wajah perempuan itu. Salma memejamkan
matanya. Tak berani dia menatap wajah si Bungsu. Perlahan, si Bungsu mengusap
matanya yang basah. Pipinya yang basah. Namun itu justru menambah luluh hati
Salma.
“Ayahmu adakah sehat-sehat Salma?”
Salma mengangguk.
“Demikian juga kakak-kakakmu?”
Salma mengangguk.
Dan akhirnya mereka melangkah ke kamar
tengah. Di meja, pembantu telah menyiapkan sarapan pagi. Mereka duduk
berhadapan...bertatapan. Dan si Bungsu merasa betapa makin tak mungkin dia
tinggal di rumah ini lebih lama.
Salma juga merasakan hal yang sama. Dia telah
coba melenyapkan kenangannya terhadap si Bungsu selama ini. Sebagai seorang
iteri dia adalah isteri yang baik. Tak sekali juga dia bertengkar dengan
suaminya. Mereka sama-sama pandai menenggang perasaan.
Dan kemaren serta hari ini, sejak bertemu
kembali dengan si Bungsu, hati Salma sebenarnya tak tergoyahkan. Dia tetap
seorang isteri yang setia dan mencintai suami dan anaknya. Tapi salahkah dia,
kalau dia tak dapat melenyapkan sama sekali kenangan masa lalunya dengan pemuda
yang pertama dia cintai?
Mereka sarapan dengan diam. Sesekali mereka
bertatapan. Salma melihat, betapa pemuda dihadapannya itu kini telah berobah
banyak sekali.
Pemuda itu bukan lagi seorang “Pemuda”. Dia
telah berobah jadi seorang lelaki. Wajahnya tetap murung dan matanya tetap
bersinar lembut seperti dahulu. Namun gurat pada wajahnya yang murung itu,
terlihat keteguhan dan keperkasaan seorang lelaki perkasa. Lelaki dihadapannya
ini, seperti gunung Merapi di kampungnya. Yang tegak diam tapi keras.
Dan pikiran Salma melayang pada masa
lalu. Pada saat dia merawat si Bungsu yang luka setelah disiksa Jepang dalam
terowongan bawah tanah yang tersohor itu.
Berhari-hari, baik ketika ayahnya Kari
Basa ada dirumah atau tidak, dia merawat si Bungsu dengan telaten. Menyendokkan
bubur ke bibirnya yang pecah-pecah dihantam pukulan Kempetai. Mengganti balut
dan obat dari luka-luka disekujur tubuh si Bungsu yang disayat Kempetai dengan
Samurai.
Merawat jari-jarinya yang patah. Dipatahkan
dengan kakak tua oleh Jepang dalam rangka memaksa anak muda itu agar mau
membuka rahasia dimana markas pejuang-pejuang Indonesia yang melawan Jepang. Jika
menggantikan bajunya, untuk bisa duduk, anak muda itu berpegang ke bahunya. Dia
juga memegang bahu si Bungsu dan mendudukkannya perlahan.
Dan setelah anak muda itu sembuh, dia
menolongnya kembali berlatih mempergunakan samurai dengan melempar-lemparkan
putik jambu perawas yang tumbuh dibelakang rumahnya di bilangan Panorama. Dan ketika
si Bungsu latihan itulah, ada sesuatu yang amat berkesan dan membahagiakan
dirinya terjadi.
Waktu itu si Bungsu meminta Salma tegak dalam
jarak lima depa. Di dekat gadis itu ada panci yang penuh oleh putik jambu
perawas yang baru dipetik si Bungsu. si Bungsu memintanya untuk melempar putik
perawas itu.
Salma bersiap. Si Bungsu tegak pula
bersiap. Tangannya terkepal. Yang kiri memegang samurai. Dia nampaknya coba
melemaskan otot tangannya yang sudah lama sekali tak mempergunakan samurai. Dan
saat itulah Salma berteriak.. Awas!
Seiring dengan teriakan peringatannya
ini, tangan Salma terayun. Dua buah putik perawas terbang bergantian ke arah si
Bungsu. si Bungsu agak terkejut. Tangan kanannya cepat menyambar samurai
disebelah kiri. Namun sebelum samurai itu sempat dia tarik, kedua putik perawas
itu telah menghantam tubuhnya.
Salma jadi kaget. Anak muda itu terlalu
lamban.
“Udaa! Kenapa….?” Tanyanya sambil
mendekat pada si Bungsu. si Bungsu hanya menggelang. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tangan uda sakit lagi?” tanyanya
sambil memegang tangan kanan anak muda itu dengan lembut. Si Bungsu tambah
menunduk. Menarik nafas panjang. Kemudian menatap pada Salma yang tegak hanya
sehasta di sisinya.
“Ya, terasa sakit. Tapi tidak hanya
tangan. Tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa….?” Tanyanya perlahan sambil
menatap si Bungsu dengan cemas.
“Karena matamu….” Jawab si Bungsu. Salma terbelalak.
“Ya. Saya jadi lumpuh karena engkau tatap
begitu Salma…” jawab si Bungsu perlahan. Tiba-tiba Salma tertunduk. Hatinya berdebar
kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dadanya gemuruh. Mukanya merona merah. Namun
perlahan matanya jadi basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu kini yang jadi
kaget.
“Salma? Saya menyakiti hatimu…?” tanyanya
gugup.
Salma tetap menunduk. Kakinya tetap
menggaris-garis tanah. Lalau dia menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya sambil
coba mencuri pandang pada si Bungsu. Gadis itu sebenarnya amat bahagia atas
kata-kata si Bungsu tadi. Bukankah pernyataan si Bungsu bahwa dirinya jadi
lumpuh karena tatapan matanya sebagai suatu pernyataan rasa hatinya yang terpikat
pada Salma? Ah, meski anak muda itu tak menyatakannya terus terang, namun dia
dapat merasakan. Bukankah cinta itu tak perlu diucapkan dengan kata-kata?
Bukankah yang lebih indah itu adalah
pernyataan yang disampaikan secara isyarat dan sindiran? Ah, siapa yang tak
tahu di Minang ini tentang Kias. Dan sungguh mati, Salma sangat bahagia saat
itu. Namun pada saat yang sama dia juga merasa sedih. Sebab bukankah ketika dia
merawat si Bungsu, ketika anak muda itu mengigau dalam tidurnya, berkali-kali
dia menyebut nama Mei-Mei? Siapa gadis itu, pikirnya. Itulah yang selalu
menghantui hati Salma. Di hati si Bungsu ada gadis lain yang sampai dibawanya
ke dalam mimpi. Dan gadis itu, jika menilik namanya, pastilah gadis Cina.
Dan kali ini si Bungsulah yang kaget
karena dituduh Salma mempermainkannya.
“Mempermainkan….?” Tanyanya sambil mengerutkan kening. “Sungguh
mati, saya berkata sebenarnya Salma. Saya jadi lumpuh dan gugup melihat sinar
matamu Salma….tapi, maafkanlah saya kalau ucapan saya tadi menyinggung
perasaanmu….”
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum.
Mereka bertatapan. Perlahan si Bungsu menghapus airmata di pipi gadis itu. Salma
amat bahagia.
“Tidak marah?” bisik si Bungsu. Salma
menggeleng. Kemudian senyumnya mekar lagi. Si Bungsu menarik nafas. Lalu balas
tersenyum. Kemudian Salma berjalan kembali ketempatnya tadi tegak. Tegak dalam
jarak lima depa dari si Bungsu. dia mengambil putik perawas dari dalam baskom
disisinya.
Mereka bertatapan. Lama. Kemudian sama-sama
tersenyum.
“Siaaap….?” Suara Salma bergema.
Dia telah bersiap dengan dua buah putik
perawas di tangannya.
“Ya, tapi jangan sihir dengan matamu. Tangan
saya bisa tak bergerak….” Si Bungsu bergurau. Salma tersenyum lagi. Lalu tanpa
peringatan dia melemparkan kedua putik perawas di tangannya. Dan anak muda itu
kaget lagi. Tangannya bergerak ke samurai. Yang satu berhasil dia babat. Belah dua.
Tapi yang satu lagi mengenai pipinya.
“Hei, engkau mencido…!” teriak si Bungsu.
Salma tersenyum. Dan tanpa dia sadari, kinipun ketika berhadapan di meja makan
di Singapura ini, Salma juga tersenyum mengingat masa lalu yang alangkah
indahnya itu. Bibirnya tersenyum, namun matanya basah.
Si Bungsu yang duduk di depannya, jadi
heran atas senyum Salma.
“Ada sesuatu yang lucu…?” tanyanya
perlahan. Salma menggeleng.
“Saya teringat masa lalu….” Keluhnya. Si Bungsu
tak berani menanyakan masa lalu yang mana yang teringat nyonya rumah ini.
“Ingat ketika di Bukittinggi?” si Bungsu
mendesak sambil menghirup kopi di cangkirnya. Salma mengangguk.
“Ketika Uda meminta saya melempar Uda
dengan putik perawas….” Salma mengingatkan lagi. Si Bungsu jadi tak sedap hati.
Kalau dia perturutkan cerita ini, maka bisa bisa luka hatinya akan bertambah meroyak.
Tapi bagaimana dia harus menyuruh nyonya ini berhenti ngomong? Sebagai seorang
tamu, tak sedap juga bila tak melayani bicara tuan rumah bukan?
Dan karena alasan itulah, si Bungsu
kembali mengangguk. Tapi Salma tak melanjutkan ceritanya. Mereka lebih banyak
berdiam diri. Situasi yang alangkah jauhnya berbeda dibanding mereka berpisah
dahulu membuat pembicaraan mereka jadi
kaku. Tak tahu apa yang harus dimulai.
Satu hal yang pasti adalah: kerinduan. Siapa
pun diantara mereka tak dapat mengelak kenyataan bahwa mereka saling
merindukan. Salma meskipun dia seorang wanita yang telah bersuami dan mempunyai
puteri, namun sebagaimana hanya setiap wanita, dia tetap saja tak mampu menolak
kodrat bahwa dia tak mampu melupakan lelaki pertama yang menyentuh hatinya. Yang
menyentuh tubuhnya.
Betapapun setia dan berbaktinya seorang
wanita pada suaminya, namun jika suaminya itu bukan cintanya yang pertama, maka
jejak cinta itu berbekas jauh di dasar hatinya.
Hanya saja barangkali karena kodratnya
pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga halnya dengan Salma.
Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia
telah mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi,
kini….ah!
Si Bungsu merasa tak betah berada di
rumah besar itu tanpa Nurdin. Dia menjadi serba salah. Akhirnya dia memutuskan
untuk pergi jalan-jalan. Dan itulah yang dia lakukan. Salma menatap
kepergiannya dari balik tirai jendela.
Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh
sopir mengantarkannya dengan mobil.
“Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat
penat tidur seharian ini….” Katanya menolak tawaran Salma. Dan kini anak muda
itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap
punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.
Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan
rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru keadaannya tak seperti sekarang.
Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah
pakaiannya.
Anak muda dari gunung Sago ini dahulu
memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop jepit dari kulit. Sehelai
kain sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan
berpakaian necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan
panjang.
Dia telah berobah, dari seorang pendekar
klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar.
Masih cintakah Salma dengannya?
Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma
sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata putus. Namun ada perasaan
lain yang barangkali bisa jadi jawaban.
Salma kini membandingkan diri anak muda
itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah tentu sangat jauh
bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan
anaknya. Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan si
Bungsu. alangkah jauhnya berbeda sisi tempat mereka berpijak kini. Seperti langit
dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada si Bungsu. kasihan pada lelaki yang pernah
dia cintai itu.
Nah, jawabannya apakah dia masih
mencintai si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan! Salahkah dia?
Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan
hidupnya sendiri? Dan siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti
yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah, perempuan.
***000***
Dan barangkali firasat halus jua yang
membisikkan pada si Bungsu, agar dia segera meninggalkan rumah sahabatnya itu. Hanya
tiga hari dia tinggal di sana. Dan hari ketiga itu, sore harinya, ketika dia
dibawa oleh Nurdin melihat pelabuhan, dia lalu menceritakan, bahwa dia
sebenarnya telah mengenal Salma sebelum ini.
Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru
dialah yang kaget.
Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun
air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di sebuah restoran di daerah
pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari
Indonesia.
“Saya mengenalnya ketika saya di
Bukittinggi….” Kata si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap diam.
Nurdin masih tetap tenang.
“Dan saya tidak hanya sekedar mengenalnya
Nurdin…” si Bungsu jadi merasa tak sedap karena Nurdin diam saja.
“Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling
mencintai bukan?”
Kalau saja ada petir, si Bungsu
barangkali takkan sekaget ini.
Dia menatap tak percaya pada Nurdin.
“Saya mengetahuinya Bungsu…”
“Dari Salma…?”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (81)
Komentar
Posting Komentar