Disamping Polisi ini, adalah seorang
lelaki yang dikenal si Bungsu sebagai seorang staf konsulat! Ya, dia adalh
orang Indonesia yang menduduki tempat penting pada staf konsulat itu.
Lelaki itu tersenyum. Kedua tangannya
berada dalam kantong. Senyumnya lebih mirip seringai.
“Tetap sajalah duduk di sana
tenang-tenang nyonya…” lelaki itu bicara sopan dan masih tersenyum pada Salma
yang akan bangkit. Suaranya terdengar perlahan ketelinga si Bungsu.
Salma bukan main kagetnya melihat
kejadian ini. Sebab dia tahu benar lelaki ini Staf Konsulat, teman sejawat
suaminya.
Akan halnya Nurdin yang terbaring sakit
itu tetap saja bersikap tenang. Dia mengunyah makanan dalam mulutnya perlahan.
“Selamat malam Overste…” lelaki itu
berkata dengan senyum tetap menghias bibirnya.
“Selamat malam…” jawab Nurdin.
“Hmm, nampaknya anda tak terkejut dengan
kehadiran saya….” Staf konsulat itu berkata. Nurdin tak segera menjawab. Dia
meminta air pada isterinya. Minum beberapa teguk. Lalu kembali menatap pada
rekannya itu.
“Kenapa saya harus terkejut. Saya sudah
menduga anda terlibat dalam sindikat ini. Lagipula dalam sebuah negeri
penghianat-penghianat merupakan kejadian yang lumrah…”
Muka lelaki itu jadi merah. Senyumnya
lenyap. Namun dia masih tetap tegak di tempatnya. “Saya datang untuk menawarkan
kerjasama Overste…”
“Hmm, menarik juga. Kerjasama bagaimana…?”
“Anda ikut dalam sindikat kami. Dan anda
akan mendapat perlindungan berikut seluruh keluarga anda. Itu dari segi
keamanan . dari segi materi anda dapat memiliki apa saja. Dari segi jabatan,
anda bisa kami angkat menjadi Panglima Tentara di Indonesia..”
“Tawaran yang menarik. Tapi anda
mempergunakan kalimat “kami”. Siapa yang lainnya?”
“Itu akan overste ketahui kelak”
“Bagaimana kalau saya tak mau..”
“Tak soal. Anda bisa memilih. Dan kami
tinggal melaksanakan pilihan anda itu. Kalau anda menerima, maka serahkan
dokumen yang anda susun itu pada kami, dan anda akan menerima imbalan sesuai
dengan yang saya ucapkan tadi. Kalau anda tak mau menerima, maka anda tak perlu
susah-susah lagi bekerja. Kami datang untuk menyudahi hidup anda..”
Salma jadi pucat. Dia memeluk anaknya.
Pembicaraan kedua lelaki itu nampaknya biasa-biasa saja. Namun siapapun bisa
mengetahui, bahwa pembicaraan mereka adalah mengenai soal hidup atau mati. Soal
sebuah sindikat dan sebuah negara.
Si Bungsu masih tetap diam bergelantungan
di luar jendela. Dia ingin tahu apa kelanjutannya. Kini jelas olehnya “orang
dalam” yang terlibat dalam sindikat perdagangan wanita ini. Hanya dia ingin
melihat bagaimana Nurdin keluar dari saat yang genting ini. Sementara Polisi
Singapura itu tetap saja menodongkan pistolnya ke arah Nurdin.
Sementara itu Nurdin bicara lagi.
“Kalaupun saya anda bunuh, namun anda
takkan pernah mendapatkan dokumen itu. Dan anda takkan pernah selamat. Saya
sudah mengirimkan nama anda ke Jakarta….”
Lelaki itu tertawa perlahan.
“Apa artinya bagi saya pengiriman nama
itu ke Jakarta. Di Jakarta laporan anda itu akan diterima oleh teman saya. Dan
kalaupun jatuh ketangan orang lain, saya juga tak usah khawatir. Saya tak perlu
kembali ke Indonesia. Seluruh keluarga saya…”
“Sudah di Tiongkok…” overste Nurdin
memutus ucapannya.
“Hmm, anda mempunyai pengamatan yang
tajam juga…”
“Ah. Siapapun akan bisa menebak, bahwa
anda adalah orang Komunis. Setelah gagal dengan pemberontakan Madiun kalian
menyelusup ke seluruh departemen…”
Lelaki itu tertawa lagi.
“Bukankah itu suatu bukti, bahwa
pemerintah berada di pihak kami? Buktinya, meski kami telah memberontak, kami
diterima lagi Departemen-departemen. Bahkan menduduki posisi kunci. Nah, kita
tak usah berpanjang lebar lagi Overste… kini serahkan dokumen itu dan bekerja
sama dengan kami, atau kalian bertiga kami sudahi di sini..”
Lelaki itu mengeluarkan tangannya yang
sejak tadi tersimpan dalam kantong celananya. Dan kalau tadi dia selalu
tersenyum ramah, kini wajah aslinya kelihatan. Mukanya berkerut masam.
“Tak satupun yang akan anda peroleh…”
jawab overste itu tenang. Sementara tangan kananya tetap membelai kepala
anaknya yang berada dipangkuan isterinya.
“Kami tidak main-main Overste…” berkata
begini, tangannya segera merenggutkan tangan Salma. Perempuan itu tertegak oleh
renggutan kasar itu.
“Hajar dia..!” kata lelaki itu pada
Polisi Singapura yang nampaknya merupakan bahagian dari sindikat itu.
Polisi itu maju setapak dan bersiap
menarik picu pistolnya. Si Bungsu sudah menggebrak kaca jendela, ketika
tiba-tiba terdengar letusan. Terlambat, pikirnya. Dan seiring dengan letusan
itu tubuhnya menghantam kaca jendela. Hanya beberapa detik, dia sudah tegak
dalam kamar itu. Dan tangannya yang telah menggenggam dua samurai kecil
terayun.
Namun gerakannya terhenti. Dia melihat
Polisi Singapura itu rubuh dengan dada berlumur darah. Sementara staf konsulat
yang tadi menyentakkan tangan Salma tegak kaget memandang ke jendela dan juga
pada Overste Nurdin.
Lalu tiba-tiba tangannya bergerak ke
balik jasnya. Sepucuk pistol kecil muncul dan sebuah letusan lagi bergema. Gema
letusan itu berasal dari bawah selimut overste Nurdin. Staf konsulat itu
terputar. Bahunya dihantam peluru. Dan ketika Nurdin mengeluarkan tangan
kirinya, dia menggenggam sebuah revolver enam silinder.
Si Bungsu masih tetap tegak diam. Nurdin
teranyata berhasil keuar dari saat kritis itu dengan baik.
Nurdin dan si Bungsu bertatapan. Kemudian
overste itu tersenyum.
“Terimakasih. Anda telah menjaga diriku
dari balik jendela kaca itu…” kata Nurdin sambil tersenyum.
Si Bungsu tak sempat menjawab, sebab
Salma dan gadis kecilnya telah memeluk Nurdin. Lalu saat itu pintu terbuka. Dan
dipintu tegak Konsul Indonesia bersama tiga orang petugas keamanan.
“Saya dilaporkan ada tembakan disini…”
kata konsul itu.
“Ya. Dan yang kena tembak adalah dia.
Yang menembak saya…” Nurdin berkata sambil menunjuk pada staf konsulat yang
saat itu tengah duduk dilantai. Bersandar kedinding sambil memegang bahunya
mengalirkan darah.
Konsul itu menatap pada stafnya itu. Lalu
menatap pula pada Nurdin.
“Ya. Dialah orangnya…” kata Nurdin.
Konsul itu melihat pada staf seniornya
itu dengan berang.
“Komunis jahanam! Kau akan mendapat
ganjaran, laknat!” kemudian memerintahkan untuk mengangkat mayat polisi
singapura itu. Menyerahkannya pada pihak penguasa disertai laporan lengkap
tentang sindikat perdagangan wanita tersebut. Sementara staf senior konsulat
Indonesia itu dijebloskan ke dalam tahanan.
Nampaknya Nurdin telah meporkan soal
sindikat itu pada Konsul. Namun satu hal yang pasti. Nurdin tetap tak pernah
mengatakan soal dokumen yang ada pada si Bungsu.
“Engkau harus ke Jakarta Bungsu. saya
punya firasat bahwa apa yang dikatakan staf senior konsulat itu memang benar.
Bahwa setiap laporan tentang sindikat yang saya kirim ke Jakarta, jatuh
ketangan komplotan itu sendiri. Artinya, di departemen yang menangani kasu ini
juga terdapat orang-orang Komunis yang menjadi dalang sindikat ini di
Indonesia.
Karena itu engkau berangkat ke sana.
Meski pun saya sembuh, namun saya tak bisa bertindak drastis. Ada peraturan
yang harus saya taati sebagai seorang militer. Tapi sebaliknya saya tak ingin
mengampuni sindikat perdagangan wanita ini. Dan saya tak mau toleransi pada
Komunis. Keduanya, sindikat dan Komunis itu sama jahanamnya. Mereka telah gagal
dalam pemberontakan di Madiun. Namun saya yakin, suatu saat nanti, cepat atau
lambat, mereka akan memberontak lagi. Mungkin korban yang jatuh akan lebih
banyak. Bagi mereka menjual wanita, membunuh orang tak ada artinya sama sekali.
Mereka tak mengenal Tuhan.
Saya ingin mereka dibunuh saja semua.
Bayangkan betapa menderitanya sanak famili dari perempuan-perempuan yang dijual
oleh sindikat itu. Saya tak tahu dengan pasti berapa orang sudah perempuan dari
Indonesia yang berhasil metreka bujuk dan mereka jual sampai ke Eropah sana
untuk dijadikan penghuni rumah lacur. Namun menurut catatan selama saya
bertugas disini, tak kurang dari seratus wanita telah dibawa dari Indonesia.
Sindikat ini harus digulung. Anggotanya
harus dibunuh. Ya, itu nhukuman yang patut buat mereka. Namun saya tak bisa
melaksanakan itu. Makanya engkau yang saya minta Bungsu…”
Si Bungsu duduk dengan diam disisi
pembaringan Nurdin. Mendengarkan ucapan Overste itu dengan tenang. Pembicaraan
itu sepekan setelah penembakan terhadap staf senior konsulat itu.
Si Bungsu tak segera bisa memberikan
jawab atas permintaan Nurdin. Sebab dihatinya semula telah ada rencana untuk
pulang ke kampungnya. Dia terlalu rindu pada harumnya bau padi dan bunga
jagung. Dia rindu pada kesejukan angin yang bertiup dari kaki Gunung Sago.
Ah, siapa yang takkan rindu pada kampung
halamannya? Siapa yang takkan rindu pada kampung dimana mereka berlarian
mengejar layang-layang sewaktu kecil. Mengendap-endap mengintai burung balam.
Bermain dan berlari di jalan yang membelah kampung. Meskipun jalan kampung tak
pernah diaspal, namun kerinduan padanya tak pernah padam.
Kini akan kemanakah dia? Pulang ke
kampung dahulu baru kemudian ke Jakarta. Atau ke Jakarta dahulu baru ke kampung
setelah tugasnya selesai?
Keduanya mempunyai resiko.
Kalau dia ke Jakarta dahulu, lalau baru
pulang ke kampung, apakah dia akan selamat dalam tugasnya itu. Kalau tidak,
maka kampungnya takkan pernah dia pijak lagi. Dia tahu, sindikat ini adalah
sindikat yang berbahaya. Memiliki tukang bunuh bayaran. Memiliki
manusia-manusia yang siap mengerjakan apa saja demi uang.
Tapi kalau dia pulang dulu ke kampung,
itu berarti memberi kesempatan bagi sindikat itu untuk beroperasi terus. Selama
ia berada di kampung, berapa orang gadis dan perempuan akan jadi korban pula.
Lama si Bungsu memikirkan kedua
kemungkinan ini di hotelnya. Dia tak menyangka bahwa dirinya akan terlibat
dalam urusan serius seperti ini.
Dia tengah tegak menatap ke pelabuhan
lewat jendela kaca di hotelnya itu ketika dia lihat di depan hotel sebuah sedan
berhenti.
Dari dalamnya turun dua orang Barat.
Kedua orang itu langsung masuk ke hotel. Si Bungsu tak begitu memperhatikan
kedua orang itu. Pikirannya tengah melayang. Memikirkan kemungkinan untuk
pulang ke kampung atau langsung ke Jakarta.
Kalau saja pikirannya tak tengah
menerawang, dia pasti segera mengenali kedua orang Barat itu. Mereka tak lain
dari bekas tentara Australia yang terlibat baku hantam dengannya di hotel Sam
Kok sebulan yang lalu.
Mereka baku hantam karena soal Mei-Mei.
Anak gadis pemilik hotel itu. Bekas tentara sekutu berkebangsaan Australia itu
semula berjumlah tiga orang. Dan mereka berniat memperkosa Mei-Mei. Si Bungsu
yang datang sesaat sebelum gadis itu dinistai, berhasil membunuh salah seorang
diantaranya.
Si Bungsu masih tegak di depan jendela
ketika kedua orang Australia itu sampai di depan pintu kamarnya. Dia baru sadar
ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia mengalihkan pandangannya dari
kapal-kapal di tengah laut ke pintu kamar.
“Siapa…?”
“Saya, pelayan…”
Tanpa curiga dia berjalan ke pintu.
Membukanya. Pintu itu baru saja terbuka sedikit, ketika tiba-tiba ditendang
dengan keras dari luar.
Pelayan yang diminta mengetukkan pintu
itu kaget. Dia tak menyangka bahwa tamu ini akan main tendang. Padahal mereka
tadi minta tolong tunjukkan kamar orang Indonesia ini dengan sikap yang sopan.
Kok sekarang pakai tendang segala.
Dia sebenarnya ingin marah. Sebab pintu
hotelnya ditendang. Induk semangnya bisa berang. Namun bekas tentara Australia
itu telah mengirimkan sebuah bogem mentah ke kepala si Bungsu. anak muda itu
terpental ketempat tidur.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (91)
Komentar
Posting Komentar