Lalu mereka menoleh pada si Bungsu.
“Ada dua samurai. Anda hanya memiliki
sebuah tadinya…” kata salah seorang diantara mereka dengan heran.
Si Bungsu tak menjawab. Dia membuka
lengan baju kirinya dan disana kelihatan kulit pengikat samurai seperti yang
berada di tangan kanannya.
Kedua bekas tentara sekutu itu
benar-benar takjub. Dengan demikian berarti anak muda ini tadi melempar dua
bilah ssamurai dengan tangan kiri dan kanannya.
Dan kedua lemparan itu sama cepatnya,
sama tepatnya.
“Anda memang seorang Master anak muda.
Anda tak berbohong ketika mengatakan bahwa anda dengan mudah bisa membunuh kami
bila saja anda kehendaki.
Ternyata anda tak melakukan hal itu meski
telah kami tantang dan telah kami pukul. Terima kasih atas kebaikan anda. Kami
takkan melupakan pertemuan ini…”
Berkata begitu kedua bekas serdadu itu
mengulurkan tangan pada si Bungsu. si Bungsu turun dari tempat tidur dimana dia
tegak sejak tadi. Kemudian menerima jabatan tangan dari kedua orang Australia
itu.
Kedua orang itu menyalaminya dengan sikap
penuh persahabatan yang akrab dan penuh kekaguman. Kemudian mereka mengambil
pisau komandonya yang tertancap di dinding. Lalu mengambil samurai si Bungsu
yang memakukan kaleng bekas itu di bawah pisau komando mereka.
Mereka mengamati model samurai kecil itu.
“Benar-benar senjata yang ampuh. Tapi
jika dibanding dengan pisau komando kami, rasanya pisau kami lebih baik buatan
dan mutunya. Hanya saja senjata ini berada ditangan seorang ahli…” mereka lalu
mengembalikan samurai itu pada si Bungsu.
“Diluar sana ada sebuah restoran. Kami
ingin mengundang anda untuk minum dan merayakan perkenalan ini…” yang berbaju
kaos oblong merah berkata.
“Mari kita minum, anda tidak keberatan
bukan?” yang bercelanan jean menguatkan ajakan temannya.
“Terimakasih atas undangan anda. Saya tak
suka minuman keras…”
“Restoran itu tak hanya menjual minuman
keras. Disana juga dijual the atau susu es. Ayolah..”
Akhirnya si Bungsu tak dapat mengelak
ajakan kedua bekas serdadu itu. Dia ikuti kedua orang itu. Pelayan yang tadi
kena tendang pantatnya dan diancam untuk tak menelpon polisi menjadi ketakutan
melihat kedua orang Australia itu muncul.
Dan rasa takutnya segera berobah jadi
rasa heran takkala melihat diantara kedua orang itu ada si Bungsu. dan ketiga
orang itu berjalan dengan wajah berseri. Pelayan itu menganga mulutnya.
Ketiga orang tersebut melangkah keluar.
Menyebrangi jalan raya. Dua buah taksi lewat. Mereka berhenti membiarkan taksi
itu lalu dengan kencang.
Restoran itu terletak di dermaga, yaitu
ditempat dimana si Bungsu dan Nurdin minum-minum dahulu.
Jalan itu kosong kini. Ada sebuah taksi,
tapi masih agak jauh dan jalannya perlahan. Mereka lalu menyebrang. Mereka tetap
beriringan, yang pakai kaos oblong merah di kanan, yang pakai jeans, yaitu yang
agak muda dikiri dan si Bungsu di tengah.
Ketika mereka berada persis di tengah
jalan, sedan merah yang tadi berjalan perlahan tiba-tiba menekan gas. Sedan itu
seperti disentakkan meluncur maju. Ketiga orang itu kaget. Mereka tengah berada
ditengah jalan. Dengan cepat mereka berlari keseberang sana. Namun sedan itu
seperti sengaja dihadapkan pada mereka. Jaraknya sudah demikian dekat, dan saat
itulah bekas tentara yang memakai jeans menolakkan tubuh si Bungsu.
Dalam keadaan berlari demikian, tentu
saja si Bungsu kehilangan keseimbangan. Tanpa dapat ditahan, dia jatuh
bergulingan ke pinggir parit. Dan begitu dia jatuh, serentetan tembakan
terdengar. Dan sedan itu meninggalkan asap putih di tentang mereka.
Si Bungsu kaget ketika dia dengar
keluhan. Demikian juga orang Australia yang memakai kaos oblong itu. Mereka
menoleh, dan dengan terkejut mereka melihat betapa si celana jeans itu
tertelungkup mandi darah.
Yang memakai kaos oblong, yang nampaknya
berusia sedikit lebih tua segera memburu. Dia memangku tubuh temannya itu dan
membawanya ke pinggir jalan.
Orang-orang segera berkerumun.
“Robert…! Robert…!” yang pakai oblong itu
mengguncang tubuh temannya itu. Lelaki bercelana jeans itu perlahan membuka
matanya. Perlahan darah mengalir dari sela bibirnya. Si kaos oblong menoleh
pada orang yang berkerumun.
“Saya bekas Kapten tentara Inggris.
Tolong telponkan Rumah sakit Militer untuk mengirimkan mobil dan dokter
kemari…” seorang yang tegak menonton segera berlari ke toko di pinggir dermaga.
“Kapten…” yang tertembak itu berkata
perlahan.
“Robert…”
“Ingat….ketika kita memasuki Bombay…?
Ketika kita menghadapi tentara Ghurka yang memberontak…ingat..?” si celana
jeans bertanya. Bibirnya tersenyum tipis. Nampaknya ada kisah nostalgia dalam
pertanyaan itu.
“Saya ingat Robert. Saya ingat….engkau
terjebak di jalan raya. Dikepung oleh enam Ghurka. Tapi engkau berhasil
membunuh mereka semua. Tiga orang engkau sudahi dengan pisau komandomu. Tiga orang
lagi dengan pistol Lucer. Engkau harusnya sudah berpangkat Kapten sepertiku.
Tidak letnan seperti sekarang…”
Yang muda yang bercelana jeans itu
tersenyum.
“Mana anak muda tangguh itu…?” tanyanya.
Si Bungsu tahu, dialah yang ditanyakan
bekas tentara itu.
“Saya disini, terimakasih tuan
menyelamatkan nyawa saya…”
“Nampaknya ada orang yang menginginkan
nyawamu di kota ini…samurai…”
Si Bungsu tak menjawab. Dia ingat betapa
tadi dia ditolakkan dengan kuat oleh bekas tentara ini. Ketika dia menduga
orang ini akan mencelakakannya.
“Ketika deru mobil itu melaju, saya
sempat memandang sekilas. Saya lihat ada moncong bedil…sebagai bekas tentara
yang telah kenyang dalam pertempuran, saya tahu, bedil itu diarahkan padamu,
makanya engkau saya dorong hingga jatuh…”
“Terimakasih. Saya berhutang nyawa pada
tuan, saya takkan melupakan budi tuan…”
Bekas tentara itu tersenyum. Kemudian
menatap temannya. Letnan itu muntah darah. Dari kejauhan terdengar sirene.
Polisi Militer yang ditelepon segera datang bersama ambulance.
“Dokter datang….Robert…” si kaos oblong
yang berpangkat Kapten itu berkata. Namun si celana jeans telah terkulai.
Tubuhnya dingin. Matanya layu. Meninggal.
Ketika orang berkuat, ketika Polisi
Militer turun, ketika tandu diletakkan, ketika petugas rumah sakit militer itu
akan mengambil mayat si Letnan, bekas Kapten yang masih memangkunya itu masih
terduduk menatap bekas Letnan itu dengan diam. Tak percaya dia akan yang telah
terjadi.
Seorang Polisi Militer berpangkat letnan
mendekat dan memberi hormat pada bekas Kapten itu ketika mayat telah diambil
dan dimasukkan ke Ambulance.
“Apakah kami dapat tahu apa penyebab
pembunuhan ini?” Tanya letnan polisi militer itu.
“Perang…” desis bekas Kapten berkaos
oblong itu.
“Perang…” Polisi Militer itu mengerutkan
kening. Tak faham dia apa yang dimaksud.
“Ya. Perang! Akan ada perang di kota ini
antara bekas Baret Hijau dengan bajingan yang telah membunuh Robert…” suara
Kapten itu mendesis perlahan. Kemudian dia bangkit. Menoleh pada si Bungsu yang
tegak disisinya dengan diam.
“Maafkan, saya terpaksa tak jadi
mengundang anda untuk minum..”
Si Bungsu yang perasaannya tak menentu,
tegak mematung. Menatap pada mayat Robert yang telah menyelamatkan nyawanya.
Orang-orang Australia bekas serdadu perang dunia ke II itu, benar-benar membuktikan
ucapannya tentang nilai sportifitas.
“Jangan khawatir anak muda. Kami takkan
berlaku curang. Yang suka berbuat curang biasanya adalah kalian. Orang-orang
Melayu. Kami menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas” ucapan Robert ketika
menantang dia di kamar tadi masih terngiang ditelinganya.
Sementara itu di Ambulance, pihak perawat
dan dokter mencatat segala sesuatu.
“Kapten…ini barang-barang miliknya…”
dokter tentara itu menyerahkan rantai dan plat nama yang terbuat dari perak,
yang senantiasa tergantung dilehernya. Rantai dan plat nama begitu dimiliki
oleh setiap prajurit yang terjun ke kencah peperangan.
Bekas Kapten itu menerima barang-barang
tersebut. Dompet, uang dan sapu tangan.
Polisi Militer sibuk pula mencatat
keterangan-keterangan para saksi. Kemudian mereka menuju rumah sakit. Ketika
segala urusan di rumah sakit selesai, mereka menuju ke markas tentara.
Di kota itu masih ada suatu badan
perwakilan tentara sekutu. Yaitu badan yang mengurusi segala sesuatu
kepentingan bekas tentara sekutu di Asia Tenggara ini.
Dan Kapten itu nampaknya selain cukup
dikenal, juga disegani di sana. Hal itu jelas terlihat oleh si Bungsu pada
sikap para tentara yang menerima mereka.
Kapten itu memang sorang komandan Kompi
dari pasukan Baret Hijau Inggris yang terkenal itu.
“Jenazah Robert bisa dikuburkan setiap
saat tuan kehendaki…” seorang Mayor yang mengurus kejadian itu berkata.
“Dia takkan dikubur disini Mayor. Saya
minta kalian menerbangkan mayatnya ke Australia. Disana ada anak dan isterinya.
Disana jenazahnya harus dimakamkan…”
“Kami akan melaksanakan permintaan tuan.
Ini ada telegram dari induk pasukan tuan di Inggris. Menyampaikan duka cita
yang dalam atas meninggalnya Letnan Robert..”
Mayor itu memberikan telegram tersebut.
Kapten tersebut menerimanya. Tapi tak membacanya. Telegram itu dia simpan dalam
kantongnya.
“Kapan tuan kehendaki kami menerbangkan
jenazah Robert ke Australia..?”
“Saya akan beritahu dalam waktu dekat…”
sambil berkata begitu Kapten tersebut berdiri. Dia memberi isyarat pada si
Bungsu untuk ikut.
Mereka menuju sebuah restoran di jantung
kota Singapura.
“Saya sangat menyesal atas kematian
Robert, Kapten…kalau saya tidak ikut dengan anda, saya rasa dia masih hidup…”
si Bungsu berkata ketika mereka duduk dan memesan minuman.
“Jangan menyesali diri Bungsu. kita
percaya pada takdir Tuhan bukan? Nah, memang takdirnya sudah harus mati di kota
ini. Hanya saja, saya akan membuat perhitungan dengan orang yang membunuhnya.
Saya akan mencari jejaknya, dan saya akan menemukan mereka. Dan saya akan membunuh
mereka. Saya yakin, mereka berada dalam satu komplot. Dan jika perlu, saya akan
berperang dengan mereka. Saya masih punya pasukan di kota ini. Bekas pasukan
Baret Hijau yang telah mengundurkan diri seusai perang dunia yang laknat itu…”
“Ini bukan peperangan anda Kapten…ini
peperangan saya. Mereka sebenarnya menghendaki nyawa saya. Mereka adalah
anggota sebuah sindikat perdagangan wanita…”
Dan si Bungsu menceritakan segala
kejadian yang dia alami sehubungan dengan sindikat itu. Mulai dari dia bertemu
dengan Nurdin sampai pada detik terakhir mereka ditembak dijalan yang
menyebabkan kematian Robert.
“Dan Overste Nurdin ditembak persis
ditempat Robert kena tembak. Dia ditembak juga dari sebuah taksi yang dilarikan
dengan kencang….” Si Bungsu mengakhiri ceritanya.
Bekas Kapten berbaju kaos oblong itu
meneguk wiskinya. Kemudian menatap pada si Bungsu.
“Kini persoalan ini bukan hanya persoalan
dirimu Bungsu. juga jadi persoalan saya. Selain disebabkan orang itu telah
membunuh Robert, kita telah mengikat persahabatan. Kami memang orang kasar.
Umumnya bekas tentara yang keluar dari kencah perang dunia seperti kami memang
berperangai kasar. Tapi kami adalah orang-orang yang memuliakan persahabatan.
Ah, kalau saja Robert masih hidup, kita bertiga akan bersama-sama menyikat
sindikat itu. Jangan khawatir Bungsu, saya masih punya pasukan. Saya akan sebar
mereka untuk mencari dimana markas sindikat itu. Selain membalas perlakuan
mereka pada dirimu dan pada temanmu yang bernama Nurdin itu, sindikat
perdagangan wanita itu memang harus dibinasakan…kita akan bahu membahu…nah
habiskan minumanmu. Kita akan segera mulai…”
Si Bungsu tercengan dan merasa haru yang
amat dalam mendengar ucapan Kapten itu. Banyak hal-hal yang tak dia duga yang
pernah dia temui dalam hidupnya. Antara lain, dia tak pernah menduga bahwa
Michiko, gadis yang ditolongnya di Asakusa dan yang sekereta dengannya menuju
Kyoto itu, dan yang dia cintai itu, adalah anak Saburo Matsuyama. Anak musuh
besarnya!
Dan kini, orang yang akan membunuhnya
karena persoalan Mei-Mei di hotel Sam Kok itu. Bekas serdadu perang dunia ke
II, tiba-tiba saja beralih menjadi sahabat yang bersedia mati untuk
membantunya.
“Terimakasih, Kapten…” katanya perlahan.
Mereka segera saja menyelesaikan minum
disana. Kemudian Kapten itu menuju telepon. Kelihatan dia bicara dengan
seseorang. Lalu menuju kembali pada si Bungsu.
“Apakah dokumen sindikat itu ada
padamu..?”
“Ada. Di hotel..”
“Mari kita lihat..”
Dengan sebuah taksi mereka menuju hotel
didepan pelabuhan dimana mereka hampir bertarung dengan pisau kemaren.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (93)
Komentar
Posting Komentar