Si Bungsu memperlihatkan dokumen itu.
Bekas Kapten itu mempelajari sejenak. Dokumen itu mempunyai sebuah peta
darurat. Sebagai seorang bekas perwira dari pasukan Komando, tak begitu sulit
bagi Kapten itu untuk membaca peta rahasia itu.
Dia kemudian bicara lagi pada seseorang
lewat telpon di hotel itu.
“Nah, sahabat. Tinggallah dahulu. Anda
istirahatlah. Malam ini kita akan bergerak. Anda akan saya jemput sekitar jam
delapan nanti malam..”
Mereka bersalaman. Kemudian bekas perwira
baret hijau itu berlalu. Si Bungsu seperti bermimpi saja. Alangkah banyaknya
pengalaman yang dia timba dari kehidupan yang dua hari ini.
Dia tengah duduk termenung di kamarnya
ketika pintu kamar diketuk. Ketika pintu dia buka, seorang lelaki Barat,
mungkin dari Amerika masuk dengan sebuah tas.
“Saya Donald. Mac Donald dari pasukan
Green Barets. Saya disuruh Kapten Fabian untuk menemui anda disini…” orang yang
baru masuk itu langsung saja bicara dan menyalami si Bungsu.
“Saya si Bungsu. Apa yang bisa saya
perbuat?”.
Serdadu yang bernama Donald itu tak
bicara. Dia membuka ritsleting tas kulitnya. Dari dalamnya dia mengeluarkan
sepucuk thompson. Sejenis senjata otomatis bermagazine bundar.
“Anda bisa mempergunakan besi tua ini?”
Si Bungsu menggeleng. Dia memang tak
pernah melihat bedil seperti itu.
“Nah, caranya mudah saja…begini” dan anak
buah Kapten Fabian itu memberikan petunjuk selama beberapa saat pada si Bungsu
tentang penggunaan senjata otomat itu.
Lalu setelah dia merasa si Bungsu bisa,
diapun berlalu. Senjata itu dia bawa kembali dengan tas kulitnya yang usang.
Dan kembali si Bungsu tinggal dalam biliknya sendirian.
Dan tanpa terasa haripun malamlah. Di
luar terdengar mobil berhenti. Si Bungsu bersiap.
Tak lama setelah mobil itu berhenti,
terdengar suara langkah masuk. Makin lama makin dekat ke kamarnya. Dia sudah
bermaksud membukakan pintu, ketika firasatnya yang amat tajam, firasat yang
terlatih di rimba Gunung Sago mengirimkan denyut peringatan.
Hanya beberapa detik, dia segera merasa
ada sesuatu yang tak beres. Tangannya cepat memadamkan lampu. Lalu dalam dua
loncatan dia sampai dekat jendela.
Ketika tubuhnya melambung dalam loncatan
ketiga, pintu ditendang dengan sangat kuat. Pintu itu tanggal dengan
engsel-engselnya.
Ketika daun pintu tercampak menerpa
tempat tidur, tubuh si Bungsu menerpa kaca jendela. Kaca itu hancur berderai.
Tubuhnya jatuh bergulingan di halaman hotel. Dan saat itu terdengar enam deram
tembakan di dalam kamar. Sepi. Suara langkah kaki memburu ke jendela yang
pecah.
Seseorang mengintai lewat jendela itu
dengan bedil otomatis di tangannya. Dia melihat bayangan. Dekat sekali. Orang
itu mengulurkan senapannya, dan menarik kepalanya masuk. Tapi terlambat.
Bayangan sekilas yang dia lihat itu tak lain dari berkelabatnya pedang samurai.
Si Bungsu memang menanti diluar jendela.
Dan dia tak peduli lagi, siapapun orangnya yang menembak-nembak dalam kamarnya
pastilah menghendaki nyawanya. Dan orang itu harus mendapat ganjaran yang
setimal. Dalam sekali ayun, samurai panjang yang dia bawa dari Situjuh Ladang
Laweh, yang telah membunuh banyak manusia, termasuk ayah, ibu dan kakaknya,
memakan leher orang berbedil di jendela itu.
Leher orang itu putus. Seperti membabat
batang pisang saja. Kepalanya jatuh keluar jendela. Tubuhnya terkulai di
jendela itu. Senepannya masih tergenggam di tangan. Tak ada suara pekikan. Tak
ada keluhan.
“Ada dia disana?” terdengar pertanyaan
dari dalam kamar. Suaranya jelas beraksen asing. Seperti suara orang eropah.
Mirip suara Kapten Fabian siang tadi!
“Ada, dia lari keseberang jalan…” si
Bungsu berkata sambil mendekatkan dirinya ke mayat di jendela. Dadanya berdebar
kencang. Dia ingin tahu siapa orangnya yang di dalam itu.
Langkah mendekat ke jendela. Nampaknya
orang itu tertegun kaget melihat temannya tak berkepala. Dan waktu itulah si
Bungsu berdiri. Tegak persis di depan jendela. Menatap dalam ke arah orang yang
kaget itu.
Orang itu, teman sipenembak yang telah
putus kepalanya itu tersurut begitu melihat ada orang yang tegak tiba-tiba di
depannya. Dia memang orang barat. Tapi bukan Kapten Fabian seperti dugaan si
Bungsu.
Orang itu nampaknya seperti orang Teksas.
Tinggi besar dan bermata coklat. Mereka bertatapan sejenak sebelum keduanya
sama-sama bergerak untuk saling membunuh. Orang teksas itu, sebagaimana
lazimnya orang-orang dari Amerika, amat mengandalkan kecepatannya menggunakan
pistol.
Si Teksas mengangkat pistol yang memang
telah dia genggam sejak tadi. Si Bungsu masih tetap tegak menatapnya. Ketika
pelatuk pistol ditarik, si Bungsu menghayunkan samurai. Ujung samurainya memang
tidak ditujukan pada tubuh si Teksas. Melainkan memukul ujung pistolnya ke
bawah.
Pistol itu menekur. Dan meledak.
Pelurunya menghujam ke punggung mayat temannya yang tergantung di jendela.
Sementara orang ramai mulai berkerumun. Namun semuanya melihat saja dari
kejauahan.
Ketika si Teksas itu akan mengangkat
pistolnya lagi, si Bungsu menghujamkan samurainya lurus ke depan. Samurai itu
masuk ke leher si Teksas. Si Teksas kaget dan kesakitan luar biasa, dia
berusaha terus mengangkat pistolnya. Namun si Bungsu menekankan lagi samurainya
yang luar biasa runcing dan luar biasa tajamnnya itu.
Bilah samurai itu masuk mengenai tulang
leher. Mecong sedikit kekiri. Kemudian tembus ke tengkuk. Teksas itu masih berdiri.
Matanya mendelik. Darah tak setetespun keluar dari lehernya yang luka. Darah
justru menyembur lewat tengkuknya.
Si Teksas menarik pelatuk pistol. Sebuah
ledakan bergema. Tapi pelurunya sudah kelantai arahnya. Si Bungsu menarik
samurainya dengan cepat. Si Teksas menggelepar. Jatuh ke tempat tidur. Kemudian
kejang. Mati!
Si Bungsu melompat lagi ke dalam lewat
jendela. Menyambar dokumen yang terletak diatas meja. Kemudian ketika
orang-orang mulai heboh, dia menyelinap keuar.
Begitu dia tiba diliaur, mobil polisi
datang.
“Tuan saya tahan…” kata seorang polisi
berpangkat letnan ketika seseorang berkata bahwa anak muda itulah yang telah
membantai kedua orang dikamar tersebut.
Si Bungsu berniat melawan, tapi tahu-tahu
saja tiga orang polisi Singapura telah memegangnya. Dan borgol segera pula
dilekatkan ketangannya.
Dia masih ingin memberikan penjelasan.
Tapi dia telah dinaikkan ke sebuah jeep berpengawal dan berdinding baja. Jeep
spesial membawa tawanan berbahaya. Dan jeep itu segera dilarikan ke markas
polisi.
Si Bungsu heran kenapa Kapten Fabian yang
berjanji akan datang jam delapan itu tak kunjung tiba. Perjalanan didalam jeep
Polisi itu terasa amat lama.
Ketika akhirnya Jeep itu berhenti, dengan
terkejut si Bungsu menyadari bahwa dia tak dibawa ke markas Polisi Singapura.
Tidak. Gedung dimana mereka berhenti ini adalah sebuah gedung tua di luar kota.
Keadaannya sepi saja.
Suatu perasaan tak enak menyelusup
kehatinya.
Apakah polisi yang membawanya adalah
anggota komplotan sindikat itu? Dia segera di suruh turun. Kemudian dengan
tangan terborgol, dibawa masuk. Dia dibawa masuk lewat sebuah lorong yang
panjang. Dan sebuah ruangan terbuka.
Dia tertegak dengan tubuh kaku menatap
siapa didepannya. Seorang lelaki tinggi besar duduk di sebuah kursi. Di
depannya sebuah meja yang penuh oleh bedil. Dan selain lelaki tinggi itu ada
tiga orang lagi lelaki yang lain.
Yang membuat tubuhnya terasa kaku adalah
lelaki tinggi besar itu. Dia tak lain daripada Kapten Fabian! Orang Australia
yang mengatakan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas itu. Yang berjanji
akan membantunya menumpas sindikat perdagangan wanita itu. Kini apa kerjanya
disini? Dan ternyata dia pula yang menyuruh
keempat polisi Singapura itu menangkap dirinya!
Begitu dia masuk, Kapten itu menoleh.
“Hai. Sanat tidak enak diangkut dengan
tangan terbogrol bukan..?” suara Kapten itu terdengar ramah dengan senyum di
bibirnya. Si Bungsu tak menjawab. Hanya menatap dengan diam.
Kapten itu memberi isyrata pada anak
buahnya. Dan Polisi yang tadi memborgolnya segera membuka borgol itu.
Kapten itu berdiri.
“Nah, Bungsu, ini teman-teman saya ketika
di Komando dulu. Itu Sony, sersan spesialis alat peledak. Itu Tongky, negro
yang ahli menyelusup kemana saja. Itu Fred, ahli karate. Dan keempat Polisi
yang menyergapmu ini adalah empat anggota Green Barets yang ahli dalam
pertempuran… tuan-tuan, inilah saudara Bungsu yang saya katakan itu. Seorang
anak Indonesia yang ahli dengan samurai. Tidak hanya sekedar ahli, tapi dia
memiliki predikat Grand Master dalam hal itu. Selama beberapa pekan di
Singapura ini dia sendirian memerangi sindikat perdagangan wanita. Silahkan
tuan-tuan berkenalan..”
Si Bungsu jadi malu pada persangkaannya
tadi. Dia sangka Kapten inilah komandan sindikat itu. Dia punya alasan untuk
berprasangka demikian. Sebab dia dibawa kemari dengan tangan terborgol. Ke
tujuh bekas anggota baret hijau itu tegak dan menyalami si Bungsu. Tubuh mereka
rata-rata kekar. Ada yang berwajah
sadis, ada yang berwajah murung, ada yang biasa-biasa saja. Namun satu hal yang
dirasakan si Bungsu tentang orang-orang ini. Mereka semua adalah
individu-individu yang tangguh dan kelompok kecil yang sanggup menaklukan satu
bataliyon tentara.
Selesai mereka berkenalan, Kapten itu
membawa mereka ke ruang sebelah. Di sana ada sebuah kertas besar dengan peta
yang dibuat darurat sekali. Mereka segara duduk di kursi yang tersedia.
“Sebelum saya mulai menerangkan detail
penyerangan malam ini, kepada saudara Bungsu ingin saya sampaikan sesuatu. Kami
telah mengetahui bahwa ada yang akan menyerang saudara ke hotel jam delapan
tadi. Ada maksud kami untuk memberitahukan saudara. Tapi ternyata kami harus
berpacu dengan waktu.
Akhirnya diambil keputusan bahwa saudara
akan kami jemput setelah pertarungan itu selesai. Kami yakin saudara yang akan
keluar sebagai pemenang. Untuk mengelabui, maka keempat anggota yang menjemput
saudara saya suruh berpakaian polisi.
Dan kalau ternyata saudara yang kalah
dalam pertarungan tadi maka keempat polisi ini bertugas menyudahi kedua
penyerang itu. Mereka berempat sebenarnya saya beri dua alternatif. Pertama
membantu saudara dalam perkelahian itu, atau “menangkap” saudara setelah
perkelahian usai.
Ternyata mereka memilih alternatif kedua.
Mereka ingin membuktikan apakah engkau memang seorang master dengan samurai
seperti yang kukatakan sebelum mereka berangkat menjemputmu”
Kapten itu menoleh pada keempat “polisi”
Singapura yang tadi menangkap si Bungsu. keempat mereka tersenyum.
“Ya, kami menonton saja kejadian itu
tadi. Kami datang setelah kedua orang itu turun dari kendaraannya. Kami sudah
diberi tahu, bahwa akan ada serangan pada anda. Kami lalu memarkir kendaraan
sejauh sepuluh meter. Dan kami melihat anda melompat dengan memecah jendela
kaca. Kemudian membunuh kedua orang itu. Nah, ketika orang ramai itulah kami
datang menangkap anda…” Polisi gadungan berpangkat letnan yang tadi
menyarungkan borgol pada si Bungsu bercerita.
Si Bungsu hanya menarik nafas. Bagi orang-orang
sisa perang dunia ini, pertarungan hidup dan mati seseorang rupanya merupakan
tontonan yang mengasyikan.
“Nah. Saya rasa perkelanan itu sudah
cukup sekian. Kini silahkan lihat detail pada peta ini. Peta ini merupakan
gabungan dengan dokumen yang dibuat Overste Nurdin dari Konsulat Indonesia yang
saya peroleh dari saudara Bungsu dengan hasil penyelidikan selama 12 jam
terakhir.
Malam ini mereka menanti pengiriman dua
belas wanita dari Indonesia. Dan delapan orang dari Siam, enam orang dari
Hongkong. Semua wanita ini akan dibawa ke eropah dan Afrika. Di kedua negeri
itu, wanita-wanita Asia berharga tinggi.
Menurut rencana mereka, yang sempat
diselidiki oleh Tongky, wanita itu akan didaratkan serentak”
Kapten Fabian berhenti.
Dia menatap anggotanya. Juga menatap pada
si Bungsu. tak seorangpun yang bicara. Dan Kapten itu melanjutkan lagi:
“Sekarang perhatikan ini. Ini peta
bahagian Selatan dari pulau Singapura. Ini gugusan pulau di selatan yang masih
belum berpenghuni. Pulau yang terletak paling barat ini bernama pulau Pesek.
Barangkali mereka telah mengetahui bahwa
gerakkan mereka telah tercium oleh Overste Nurdin. Itulah kenapa sebabnya sejak
sebulan terakhir ini, perempuan-perempuan itu tak lagi diturunkan lewat
pelabuhan resmi sebagai turis atau sebagai pencari kerja sebagaimana biasanya.
Mereka diturunkan dimalam hari di pulau
Pesek ini. Nah, sekarang markas dimana kita berada ini terletak di daerah Bukit
Timah. Dari sini kita akan naik jeep sekita sepuluh menit ke tepi sungai
Jurong. Dari muara sungai itu kit akan naik sampan layar sekitar dua jam menuju
pulau itu.
Jika angin berhembus kencang, dan malam
ini menurut Minguel yang ahli meteorologi dalam pasukan kami dahulu, malam ini
memang akan bertiup angin utara. Berarti kita akan dibantu sangat banyak.
Sengaja tidak kita gunakan mesin boat,
karena kita tak ingin kedatangan ini diketahui mereka. Nah, sampai disni ada
pertanyaan?”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (94)
Komentar
Posting Komentar