Kedua orang itu semula hanya melihat
bayangan gelap. Dan bagi Tongky maupun Donald hal begini mereka maklumi sangat
sebagai suatu bahaya. Kalau saja sempta salah seorang diantara orang yang
mereka sekap ini berteriak, maka tamatlah riwayat penyergapan mereka. Mungkin
mereka masih akan bisa memenangkan pertarungan. Tapi korban akan berjatuhan.
Sedangkan mereka tak ingin seorangpun korban yang jatuh di pihak mereka.
Dan yang lebih penting lagi, kalau sampai
terdengar tembakan, maka kapal yang sedang membongkafr muatan berupa
perempuan-perempuan itu pasti akan melarikan diri.
Mengingat bahaya ini, Tongky segera
menerkam lawannya yang orang Cina itu.
Dan Donald menerkam lawannya yang orang
Melayu. Cara mereka memang cara khas pasukan komando. Terlatih, cepat dan
mematikan. Dan yang lebih penting, tak menimbulkan suara!
Tongky menyergap lawannya dengan pisau
komando. Sergapannya dibuat sedemikian rupa. Sehingga ujung pisau komando itu
menerkam jantung Cina tersebut bersamaan dengan tangan kirinya yang menyekap mulut
Cina itu.
Cina itu kaget separoh mampus. Bukan
hanya separoh mampus, tapi dia kaget sampai mampus. Mula-mula tubuhnya akan
berkelonjotan seperti tubuh Keling yang dipancung kepalanya itu. Tapi Tongky
menekan tubuhnya rapat ke tanah. Dan menyekap mulutnya kuat-kuat. Menghujamkan
pisaunya sampai tembus kehulu!
Cina itu menggigit jari Tongky. Sakitnya
bukan main. Tapi Tongky membiarkan. Lebih baik jarinya digigit. Biar saja, asal
mulutnya tak terbuka. Jari tangan Tongky berdarah. Tapi akhirnya Cina itu mampus!
Tongky menarik nafas. Perlahan tubuhnya
bergulingan ke samping. Menelentang diam. Dan perlahan masih dalam berguling,
mencabut pisau komandonya yang tertancap di jantung Cina itu. Cina berdegap itu
beralih jadi mayat.
Akan hanya Donald, dia juga mempergunakan
pisau Komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan
komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando
di negara manapun, adalah kemahirannya dalam bela diri.
Dia menyerang dengan tusukan pisau
komando. Serangan dengan pisau ini terutama ditujukan agar lawan tak bersuara.
Dan serangan yang dilakukan juga tak menimbulkan suara. Namun orang Melayu yang
dia serang ternyata punya reflek yang cepat.
Tikaman pisau komando itu berhasil dia
tangkis. Meski lengannya jadi luka, tapi nyawznya selamat. Dia berusaha
mengangkat bedil dan memberi ingat teman-temannya.
Tapi sergapan orang tak dikenalnya itu
telah membungkam mulutnya. Tangan orang itu rapat sekali ke mulutnya.
Posisinya yang duduk menyusahkannya untuk
bergerak bebas. Dia mengeliat. Tapi tangan kiri Donald benar-benar seperti
melengket dimulutnya.
Donald sendiri, merasa serangan pisau
komandonya luput, segera memiting leher orang itu dengan tangan kanannya. Dia
berusaha menanamkan kedua lututnya di tanah. Orang itu menggelinjang, namun dia
makin menekankan tubuhnya ke bawah. Dia tak ingin pergulatan ini menimbulkan
suara. Suara harus dilenyapkan sedapat mungkin.
Jika suara tak bisa diredam, maka
peyergapan bukan bernama penyergapan. Namanya sudah jadi pertempuran. Dan kalau
pertempuran, maka nilainya sama saja dengan pasukan-pasukan biasa. Disitulah
letak istimewanya pasukan komando.
Jika berperang dalam bentuk beregu atau
Kompi, dia akan merupakan pasukan pemunah yang sangat tangguh, ditakuti dan
berbahaya. Kalau berperang secara individu, maka dia merupakan ujung-ujung
tombak yang amat berbisa.
Yang setiap goresannya merupakan maut.
Begitulah yang telah dibuktikan oleh
Tongky. Dan kini Donald sedang berusaha menyelesaikan penyergapannya. Dia jadi
malu kalau penyergapan ini ketahuan. Meskipun musuhnya ini bisa dia bunuh,
namun suara yang ditimbulkan akan jadi cemooh nanti.
Dengan tetap mendekap mulut orang Melayu
itu, Donald memiting lehernya dengan kuat. Pitingannya makin menjepit. Dia
memiting dengan sebuah pitingan Yudo yang tangguh. Tubuh orang Melayu itu mulai
menggeletar. Dan suatu saat terdengar suara berderak. Kepala orang itu
terkulai. Tulang lehernya ternyata patah!
Dalam usahanya mematahkan perlawanan
orang Melayu itu, Donald mendekap mulutnya dengan tangan kiri dengan kuat.
Kemudian memiting lehernya dengan lengan kanan. Yaitu setelah lengan kanannya
gagal memasukkan pisau komando.
Dia memiting dengan segenap tenaga.
Kemudian dengan segenap tenaganya pula, tangan kirinya yang masih mendekap
mulut, dia tolakkan ke kanan. Akibatnya sungguh fatal bagi orang itu. Tulang
lehernya patah!
Donald masih memiting leher orang itu
beberapa saat. Bahkan tangan kirinya masih mendekap mulut orang itu. Dia
menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha mendengar reaksi. Apakah pergumulannya
ini terdengar tadi atau tidak?
Tak ada suara apa-apa. Perlahan dia
membaringkan tubuh orang itu ke tanah. Kemudian dia menghapus peluh. Waktu yang
termakan oleh mereka sejak mereka bersalaman tadi, sampai terbunuhnya ketiga orang
itu adalah empat menit. Jadi jika dihitung sejak mereka mulai menyebrang rawa,
yaitu sejak meninggalkan Kapten Fabian dan lima anggota lainnya di seberang
sana, telah habis waktu selama enam belas menit.
Keadaan kini jadi sepi. Tak ada suara.
Dan si Bungsu yakin, sebagaimana Donald dan Tongky juga yakin, bahwa
teman-temanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik.
Kini mereka menanti. Sementara si Bungsu
yang harus menyelesaikan Cina di atas pohon itu, tengah merangkak ke pohon
tersebut.
Dia merangkak mendekati tempat itu dari
arah belakang. Posisi ini menguntungkan dirinya. Sebab Cina itu pasti tetap
memandang ke depan. Ke rawa yang airnya hitam dalam gelapnya malam itu.
Dia tengah merangkak, ketika dari
seberang sana terdengar suara burung malam. Tak sembarang orang bisa mengetahui
bahwa suara itu sebenarnya adalah suara manusia. Isyarat yang dikirimkan oleh
regu Kapten Fabian.
Si Bungsu menangkap bunyi itu. Dia
berhenti merangkak. Dan tiba-tiba dia dengar suara yang sama dari arah
kanannya. Suara itu kalau tidak balasan dari Tongky pastilah balasan dari
Donald. Jawabannya itu hanya sekali. Kemudian sepi.
Si Bungsu merangkak lagi. Makin dekat ke
pohon rendah itu. Ah, soal merangkak dalam semak-semak tanpa menimbulkan bunyi,
dia tak usah malu pada anggota Baret Hijau itu. Pekerjaan itu sudah merupakan
mainannya ketika di Gunung Sago.
Bukankah ketika mengintai rusa atau
kijang untuk persediaan makanan dia harus menanti atau merangkak mendekati
hewan itu ketika mereka sedang minum di tebat kecil di rimba belantara itu?
Nah, pekerjaan itu mula-mula amat susah bua dia lakukan. Dia masih ingat,
selama sebulan dia berusaha mendekati rusa itu, tapi dari jarak seratus meter,
rusa itu sudah tahu akan kehadirannya.
Tidak saja dia lupa memperhitungkan arah
angin, sehingga bau tubuhnya tercium oleh binatang itu, tapi gerakan kakinya
dia anggap sudah sangat hati-hati dan perlahan sekali, rupanya sangat hinggar
binggar di telinga binatang-binatang itu.
Dari kesulitan hidup di belantara itu dia
belajar. Akhirnya di bulan kedua dia berhasil mendekati tempat binatang
tersebut tanpa diketahui.
Menginjak bulan purnama, dengan mudah dia
menangkap kijang atau rusa yang tengah makan rumput. Dia merayap dari balik
alang-alang tanpa diketahui sedikitpun. Dan kini dia mengulangi lagi kaji lama
itu.
Dengan mudah kini dia berada di bawah
pohon tersebut. Menembus gelapnya malam dan rimbunan daun, dia berhasil melihat
sesosok tubuh duduk dengan enaknya di sebuah cabang yang benar-benar strategis
dan mirip kursi. Pantaslah Cina itu tak menimbulkan suara sedikitpun. Sebab dia
tak usah susah-suah merubah posisi. Posisi duduknya sudah sedemikian enaknya.
Dahan tempat duduknya lebar. Ada dahan lain dikiri kanan tempat kaki.
Dan dibelakangnya tegak batang pohon
tersebut untuk bersandar. Hm, benar-benar tempat yang enak.
Kalaupun ada suara yang ditimbulkan oleh
Cina itu, hanyalah dari mulutnya. Mulutnya mengunyah terus-terusan. Nampaknya
dia seorang profesional benar.
Menanti musuh dengan senjata api siap
memuntahkan peluru, dan sekantong makanan di dekatnya. Makan itulah yang
dikunyah dan dilahapnya terus selama penantian tersebut.
Pantas saja dia tak merasa bosan seperti
teman-temannya yang lain.
Cina itu merogoh kantong. Mengeluarkan
sebuah botol picak. Membuka tutupnya, lalu meneguk isinya. Si Bungsu yang
tiarap setengah depa dari pangkal pohon itu segera dapat mencium bau minuman
keras menyeruak dari mulut botol tersebut.
Dan saat itulah si Bungsu menginsut
tubuh. Dia tegak perlahan. Kalau sekedar ingin membunuh, maka Cina itu sudah
kehilangan kepala dia buat. Ketika si Bungsu tegak, Cina itu persis berada sama
tinggi dengannya. Dia duduk di dahan yang tingginya hanya setengah meter dari
tanah. Dan kini tanpa dia sadari sedikitpun, seseorang dengan sebilah samurai
yang sudah terlalu banyak merenggut nyawa berada persis di balik pohon yang dia
buat sebagai tempat sandaran tubuhnya.
“Psst….!” Cina itu mendengar isyarat di
belakangnya. Tanpa curiga dia menoleh. Dan tiba-tiba saja sebuah benda panjang
lagi dingin dan tajam, tertekan di lehernya.
“Jangan bersuara kalau engkau masih ingin
tetap memilki kepalamu ini….” Terdengar suara bisikan perlahan dan bernada
datar dirumpun telinganya.
Kalau ada seekor ular berbisa melilit
tubuhnya saat itu, mungkin Cina tersebut takkan kaget dan takut seperti yang
dialami saat ini. Betapa mungkin, seseorang mendekati tempatnya tanpa dia
ketahui sedikitpun? Siapapun orang yang mengancamnya ini, meski tak dia
ketahui, namun yang pasti, orang ini adalah seorang tangguh dan amat berbahaya.
Dan ancamannya pastilah tidak main-main.
Cina itu menggeleng. Gelengannya tanda
persetujuan bhawa dia takkan bersuara. Tanda pengakuan bhawa dia masih ingin
memiliki kepala di atas lehernya.
“Engkau harus bicara bilamana ku
perintahkan…” suara dingin dan datar itu kembali berbisik di pangkal
telinganya. Cina itu menelan ludah. Lalu mengangguk.
“Dan apa yang akan kau katakan, haruslah
menurut yang kuingini..”
Cina itu tak segera mengangguk. Mata
samurai menekan lehernya.
Dan dia segera merasakan bahwa mata benda
yang ditekankan ke lehernya itu telah memakan daging lehernya. Terasa pedih.
Dan sesuatu yang cair lagi panas mengalir di lehernya itu. Darah! Dengan wajah
pucat dan ketakutan yang amat sangat, Cina itu mengangguk. Dia benar-benar
hampir tak bernafas saking takutnya.
“Nah bagus begitu! Berapa orang anggotamu
yang menanti di sekitar ini?” suara si Bungsu terdengar lagi berbisik.
“Jangan bohong, sebab aku takkan pernah
mengangkat mata samurai ini dari lehermu sebelum semua keteranganmu kuketahui
benar adanya. Sekali engkau coba berbohong, maka engkau akan duduk disini tanpa
kepala…”
“Ada delapan orang..”
Delapan orang. Berarti sembilan dengan
Cina ini. Tiga sudah mati. Yang satu kini dia kuasai. Jadi empat telah
dilumpuhkan. Tinggal kini lima orang. Pikiran si Bungsu bekerja cepat.
“Suruh mereka berkumpul kemari semua..”
si Bungsu berbisik lagi. Dan Cina itu nampaknya memang pimpinan penyergapan
itu. Dia segera memberikan perintah untuk berkumpul. Dan teman-temannya yang
lain, karena merasa bosan menanti tanpa hasil sejak tadi, segera berdatangan.
Si Bungsu memberi isyarat dengan bunyi
siulan yang mirip suara burung. Dan Donald serta Tongky yang masih tiarap dalam
semak belukar mendengar siulan itu. Mereka segera mengerti maksudnya. Kedua
orang ini segera menanti. Begitu anggota-anggota sindikat itu tegak dan
berjalan dalam kegelapan menuju tempat Cina itu, mereka jua ikut berdiri. Dan
ikut berkumpul dekat kayu tersebut.
Cahaya gelap membantu mereka. Tak ada
yang tahu bahwa diantara yang berjalan menuju tempat berkumpul itu ada dua orang
lain yang tak sama dengan mereka. Dan penyelusupan itu baru diketahui ketika
mereka semua telah berkumpul.
“Jangan ada yang bergerak. Kami pasukan
Baret Hijau. Jika ada yang melakukan sedikit saja gerakkan, akan kami siram
dengan peluru” terdengar suara Tongky perlahan. Semua jadi kaget. Mereka
menoleh. Dan dalam kegelapan itu ada dua orang yang tegak hanya setengah depa
dari mereka. Mengacungkan bedil dan siap tembak.
Dalam jarak begitu dekat, mana ada
harapan bagi mereka untuk melakukan sesuatu? Mereka hanya heran, mana tiga
orang lagi teman mereka? Dan mana Cina yang memimpin mereka yang tadi menyuruh
mereka berkumpul?
Si Bungsu membisikkan sesuatu ke pangkal
telinga Cina itu. Dan terdengar suara Cina itu:
“Menyerahlah. Kita sudah terkepung…..”
Terdengar sumpah serapah. Tongky dan
Donald bertindak cepat. Mereka melucuti keempat orang itu. Dan memaksanya
tengkurap.
“Beri isyarat pada Kapten Fabian….” Suara
si Bungsu terdengar perlahan. Tongky kemudian mengirim isyarat itu. Suara
burung malam terdengar berbunyi tiga kali dari mulutnya.
Dari seberang terdengar pula sahutan
sekali.
“Mereka berhasil. Mari kita menyeberang.
Cepat!!” suara Kapten Fabian memrintahkan regunya. Dan keenam pasukan Baret
Hijau ini segera memasuki rawa dan menyebranginya.
Memerlukan waktu lima menit bagi mereka
untuk berjalan mengarungi rawa pekat itu.
Mereka segara saja sampai ke tempat
ketiga orang itu meringkus lawannya. Keenam anggota sindikat yang semula
bermaksud menyiksa mereka kini telah tertelungkup di tanah. Keenamnya dalam
keadaan terikat tangannya kebelakang. Dan terikat kakinya satu dengan yang
lainnya.
“Letnan” Bungsu menyerahkan tawanan itu
pada Kapten Fabian. Dan menerangkan bahwa yang memimpin penyergapan ini adalah
Cina yang tertelungkup paling kanan. Kapten tersebut menyalakan senter kecil.
Menerangi wajah Cina itu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (98)
Komentar
Posting Komentar