Dan saat itu, orang Itali itu tengah
membidik ke arah salah seorang anggota Baret Hijau. Namun orang Itali ini
nampaknya punya firasat yang tajam juga. Dia seperti merasa ada orang dekatnya.
Dia menoleh ke kiri. Kosong. Ke kanan. Kosong. Namun hatinya tetap tak sedap.
Dia melihat ke belakang. Dan darahnya seperti berhenti mengalir. Jantungnya
seperti berhenti berdetak.
Di belakangnya, entah kapan datangnya,
entah darimana asal muasalnya, telah berdiri saja seorang anggota Baret Hijau.
Dan orang yang membuat dia kaget itu tak lain dan tak bukan daripada si Bungsu.
Namun Itali ini segera jadi lega. Sebab
ditangan orang itu tak tergenggam sepucuk senjata apapun. Ditangannya hanya ada
sebuah tongkat kecil. Dia segera berbalik sambil menembakkan bedilnya setinggi
pinggang ke arah si Bungsu.
Tapi bedilnya tak pernah menyalak.
Tangannya yang memegang bedil itu terasa lumpuh. Sakit dan pedih bukan main.
Dan ketika menoleh, dilihatnya tangan kanannya telah putus!
Dia hampir tak percaya. Namun si Bungsu
juga tak memberi kesempatan pada orang Itali yang telah membunuh Fred
Willianson itu untuk percaya. Samurai ditangannya segera melibas lagi. Dan mata
samurai itu menyelusup antara dagu dan pangkal leher si Itali.
Darah segera menyembur dari luka yang
menganga membelah jakun orang itu. Tubuhnya mengelupur-gelupur, mati seperti
babi disembelih. Dan ketika si Bungsu menoleh ke dermaga, pertempuran telah
selesai. Semua anggota sindikat yang ada di dermaga itu, kecuali satu orang
mati semua.
Ya, kecuali satu orang. Yang satu orang
ini adalah orang Cina. Dan dia belum mati. Dia belum mati karena berlindung
dibalik tubuh seorang gadis Indonesia. Ditangannya cina itu memegang sevbuah
pistol. Pistol itu lopnya ditekankan rapat-rapat ke pelipis gadis Indonesia
itu. Sementara tangan kirinya memiting leher gadis itu dari belakang dengan
kuat.
“Jangan menembak! Kalau kalian menembak,
gadis ini kubunuh. Gadis ini kupecahkan kepalanya…!” Cina itu menggertak.
Ketiga pasukan Baret Hijau disekitar dermaga itu tertegun. Si Bungsu juga
tertegun. Subuh tiba-tiba datang menguak malam yang gulita. Cahaya subuh yang
kemerah-merahan. Dermaga itu sendiri telah berkuah darah.
Dengan si Bungsu, maka pasukan Baret
Hijau di sekitar dermaga itu hanya tinggal empat orang. Jumlah mereka semua
sembilan orang, dua orang yaitu Donald dan Miguel menjaga tawanan dekat rawa.
Fred Williamson gugur. Jhonson dan Kapten Fabian juga tertembak.
Cina berperut gendut bertubuh gemuk itu
mulai menyeret gadis yang dia jadikan tameng itu ke ujung dermaga. Ke arah
kapal! Dia bergerak mundur dengan gadis itu di depannya.
Keempat anggota Baret Hijau itu tertegun
di tempat mereka masing-masing.
Di dermaga, ada sekitar tiga orang gadis
yang barangkali mati terkena peluru nyasar.
Apakah akan ditambah lagi dengan kematian
gadis yang dijadikan tameng itu?
Ditempatnya tegak, si Bungsu menoleh ke
tempat Sony. Anggota Baret Hijau dari yang berasal dari Inggris dan ahli
menembak dan ahli bahan-bahan peledak itu juga tengah memandang pada si Bungsu.
Setelah kematian Kapten Fabian, maka
komando kini dipegang oleh “Letnan” itu. Dia memang ahli menembak tepat. Tapi
menembak Cina itu dari jarak sejauh ini, dengan mulut pistol yang ditekankan
rapat ke pelipis gadis itu, Sony jadi khawatir juga. Makanya dia menoleh ke
arah si Bungsu meminta pendapat.
Si Bungsu mengangguk. Dan isyarat itu
sudah cukup bagi Sony. Isyarat itu adalah perintah untuk menembak. Sudah tentu
dia berusaha melumpuhkan Cina itu tanpa membuat gadis yang disanderanya jadi
cidera. Tapi kalaupun akhirnya gadis itu cidera, maka dia takkan dipersalahkan.
Sebab perintah langsung dari pimpinan pasukan.
Anak
Inggris yang masih muda itu perlahan mengangkat bedilnya. Sepucuk
Jenggel semi otomatik. Dia membidik. Dari tempatnya tegak, Cina yang tengah
mundur itu kelihatan tubuhnya sedikit dibalik tubuh gadis yang dia jadikan
sandera itu.
Cina itu nampaknya salah salah seorang
dari pimpinan sindikat penyelundupan ini. Dan ia cukup cerdik. Dia tetap
melindungkan dirinya rapat-rapat ke tubuh gadis itu. Demikian pula kepalanya
dia letakkan rapat-rapat di belakang kepala si gadis. Dengan demikian dia
memunahkan kemungkinan untuk kena tembak.
Sony juga menyadari betapa sulitnya
membidik sasaran bergerak dan dalam posisi terlindung begitu. Namun dia sudah
dikenal sebagai penembak jitu yang jarang tandingannya dalam pasukannya dan
salah satu modal untuk bisa menembak jitu adalah ketenangan dan kesabaran yang
luar biasa.
Tangan kirinya yang menopang laras
Jenggerl itu seperti dipakukan. Tak bergerak sedikitpun. Telunjuk kanannya
rapat menempel di pelatuk bedil itu. Popor bedil itu menekan bahunya dan
menempel rapat dipipi kanannya. Mata kirinya terpicing. Dan dia bernafas lewat
mulut dalam jarak waktu yang teratur. Sistim pernafasan begitu membuat dadanya
tak begitu berombak ketika bernafas.
Dan dengan demikian, tubuhnya juga tak
banyak bergoyang jika dibandingkan dengan kalau dia bernafas lewat hidung
seperti biasa.
Cina gemuk itu akhirnya sampai ke tepi
dermaga. Nah, dia nampaknya menemui kesulitan. Untuk masuk ke kapal, dia harus
menuruni sebuah anak tangga.
Sony membidik. Yang dia bidik bukan
kepala atau bagian tubuh yang lain. Yang dia bidik justru siku kanan lelaki
itu. Siku kananya menyembur keluar. Hal itu disebabkan karena tangan kanannya
memegang pistol yang ujungnya ditekankan ke pelipis gadis itu.
Kalau saja dia bisa menembak dengan
tepat, maka telunjuk kanan Cina itu pasti takkan mampu menarik pelatuk karena
sikunya remuk. Urat pengatur gerakkan jari berada pada siku dan lipatan siku.
Kalau siku itu bisa dia remukkan, maka urat-urat jari itu otomatis lumpuh.
Pistol ditangan lelaki itu akan jatuh dengan sendirinya.
Cina itu mundur, setapak kaki kanannya
turun ke bawah anak tangga di bawah dermaga. Dan saat itulah letusan bergegar
dari loop senjata Sony. Terdengar pekik gebalau dari dermaga. Perempuan itu
memekik. Cina itu juga memekik.
Persis seperti perhitungan Sony. Dia
berhasil menembak dua jari dari siku Cina itu. Sikunya remuk. Dan menghancurkan
sistim kerja seluruh jari kanannya. Pistolnya jatuh atnpa meledak. Dalam takut
dan rasa sakit yang luar biasa, dia coba menarik gadis Indonesia itu dengan
tangan kirinya. Namun sebuah lagi tembakkan bergegar. Dan siku kiri Cina itu
hancur pula dimakan peluru Sony.
Cina itu meraung dan terjatuh ke
belakang. Untung jatuhnya ke dalam kapal dan menimpa tubuh anak buahnya yang
tadi telah mati ketika akan menembak Kapten Fabian, tapi didahului oleh pasukan
Kapten itu.
Gadis itu sendiri jatuh tertelungkup.
Separoh tubuhnya sudah menjulur ke bawah dermaga. Namun dia berusaha menggapai
ke atas. Tongky, si Negro yang berada tak jauh dari salah satu tepi dermaga
segera melompat dan berlari menolong gadis itu. Untung dia datang tepat pada
waktunya. Gadis itu hampir tercebur ke bawah, ketika tangannya yang menggapai
disaat terakhir disambar oleh Tongky.
Ada beberapa saat tubuhnya terayun di
awang-awang. Baru Tongky bisa mengangkatnya keatas dengan sebuah tarikan kuat.
Gadis itu menangis. Dan rubuh ke dalam pelukan Tongky. Dia jatuh pingsan.
Sony masih tetap tegak. Jenggel mautnya
tetap pada posisi siap tembak seperti tadi. Ujung bedilnya kini dia arahkan ke
kapal.
Cina gemuk yang memimpin sindikat
penyelundupan wanita-wanita di Asia Tenggara itu tergolek kesakitan di lantai
kapal. Mulutnya menyumpah-nyumpah. Kemudian perlahan dia bangkit.
Merangkak. Tapi rubuh lagi, kedua
tangannya tak lagi bisa dipakai. Dengan menyumpah dan bercarut marut, dia
bangkit. Dan saat itu pula, ketika dia tengah tegak, bedil Sony menyalak lagi.
Senapan semi otomatik itu memuntahkan empat peluru berturut-turut dalam jarak
dua detik-dua detik.
Tubuh Cina gemuk itu seperti
ditendang-tendang gergasi. Terpental-pental. Dan ketika akhirnya tubuh gemuknya
itu kecebur ke laut, kepalanya telah rengkah berserak-serak. Lalu sepi. Perlahan
Sony menurunkan bedilnya. Menoleh lagi pada si Bungsu. “Letnan” itu tersenyum
dan mengangkat jempol. Sony membalas senyumnya dan melambai.
Mereka berjalan ke arah tubuh Kapten
Fabian yang tertelungkup mandi darah.
“Tongky, ambil tubuh Jhonson di bawah…!”
si Bungsu berkata.
“Siap, Let!”
Mereka melangkah ke dermaga. Tapi langkah
mereka terhenti ketika dari belakang terdengar derap sepatu. Ketika mereka
menoleh, kelihatan Miguel dan Donald menggiring keenam tawanannya yang mereka
tinggalkan di pinggir rawa tadi.
Dua orang diantara tawanan itu menggotong
tubuh Fred Williamson. Rupanya Donald dan Miguel mendengar tembakan-tembakan
pertempuran. Mereka segera menuruh tawanan itu bangkit. Lalu menggiring mereka
ke arah markas. Ketika Donald masuk, dia terkejut melihat mayat Fred terlantar.
Dari mulut temannya itu mengalir darah segar.
Dari markas itu terdengar suara tembakkan
dua kali. Suara tembakan itu adalah suara tembakan Sony yang menghantam siku
Cina gemuk yang menyandera gadis Indonesia itu. Mereka memerintahkan dua orang
diantara tawanan itu untuk menggotong mayat Fred. Dan dengan menodong mereka
dari belakang, kedua anggota Baret Hijau itu membawa tawanan tersebut ke
dermaga.
Mayat Fred dan mayat Jhonson segera di
baringkan di dermaga. Ketika tubuh Kapten Fabian akan diangkat, terdengar
keluhan lemah.
“Dia masih hidup!” si Bungsu berseru.
Semua anggota Baret Hijau itu berlarian ke arahnya. Kecuali Miguel yang tetap
menodong para tawanannya yang menelungkup di tanah.
Kapten Fabian ternyata memang masih bernafas.
Meski denyut jantungnya sudah melemah, tapi dia masih hidup. Itu yang penting.
“Bob, lekas….!” Donald memanggil temannya
Bob Hansen orang Irlandia yang ahli dalam obat-obatan.
Sersan itu segera membuka ransel kecil di
punggungnya, mengeluarkan obat-obatan.
Donald dengan hati-hati merobek baju
Kapten itu tentang luka dipunggungnya. Ada dua peluru bersarang di pundak
Kapten Itu. Untung yang kena adalah pundak belakang bahagian kanan. Kalau
bahagian kiri, Kapten itu takkan tertolong lagi.
Bob Hansen mencuci luka di bahu Kapten
itu dengan cairan steril dari botol kecil di dalam ranselnya. Kemudian
kelihatan lubang peluru di pundak Kapten itu dua buah sebesar ibu jari.
“Pelurunya tertahan oleh tulang belikat.
Kita memerlukan pisau yang tajam untuk operasi..” Bob Hansen berkata.
Semua anggota pasukan itu segera saja
menoleh pada si Bungsu. memandang pada samurai ditangannya.
“Ya, saya memiliki pisau yang tajam…” si
Bungsu yang jongkok di dekat mereka berkata.
Dan tiba-tiba saja tangan kanannya
mengulurkan sebuah samurai kecil. Tak seorangpun melihat darimana Letnan itu
mengambil samurai yang panjangnya sekitar sejengkal itu.
Tak ada diantara mereka yang tahu bahwa
ada enam samurai semua yang tersimpan dibalik lengan baju loreng si Bungsu. dan
sebentar ini ketika Bob Hansen mengatakan memerlukan sebuah pisau tajam, dia
menggoyangkan tangan kanannya. Salah satu samurai kecil dilengannya itu
meluncur turun. Disambut oleh telapak tangannya.
Bob Hansen yang teka sempat heran karena
pikirannya tercurah ke luka Kapten Fabian menerima samurai itu. Baru ketika
samurai itu berada ditangannya, dia menatap pisau itu dengan heran.
Dia raba matanya. Dengan kaget dia
merasakan betapa kulit ibu jarinya dimakan samurai itu. Bukan main tajamnya.
Padahal dia hanya menggeser sedikit saja untuk merasakan apakah pisau itu tajam
atau tidak. Tajam dan sangat runcing.
Dia menatap pada si Bungsu. si Bungsu
mengangguk memberi isyarat agar cepat mengeluarkan peluru di dalam daging
Kapten Fabian. Bob Hansen segera mencuci samurai itu dengan cairan steril yang
tadi dia pergunakan untuk mencuci luka Kapten itu.
Kemudian dia menyuruh teman-temannya
memegang tangan dan tubuh Kapten itu.
Lalu dia mulai membelah kedua luka itu.
Memperbesar lobangnya. Dan dengan sebuah jepitan kecil, dia mengeluarkan kedua
peluru itu. Memberikan kedua ujung peluru itu kepada si Bungsu. kemudian
kembali membersihkan luka tersebut. Dari salah satu botol kecil dia
mengeluarkan spiritus. Menyiramkannya ke luka yang menganga. Lalu tangannya
merogoh kantong.
“ini akan sangat sakit. Tapi peganglah
kuat-kuat. Hanya ini cara yang tercepat untuk menghindarkan infeksi dan
mempercepat proses penyembuhan. Lukanya akan kita bakar..”
Mereka kemudian memegangi tubuh Kapten
itu bersama-sama. Bob Hansen menyulut korek api, melekatkannya ke luka.
Spiritus itu menyambar api. Dan terdengar Kapten itu mengerang. Bau daging
terbakar tercium hangit. Si Bungsu memperhatikan dengan seksama cara pengobatan
militer ini.
Begitu api padam. Sersan itu mengelurakan
perban dan semacam obat penempel. Membalut luka itu dengan seksama.
Dan selesailah sudah!
Si Bungsu lalu memerintahkan anak buahnya
masuk ke kapal. Tawanan-tawanan diikat satu dengan yang lain. Di kapal mereka
ditempatkan didepan sekali. Diikatkan ke tempat putaran sauh. Mayat Fred Williamson
dan Jhonson atas persepakatan bersama dikubur dipulau Pesek itu.
Bagi anggota pasukan Baret Hijau itu tak
susah untuk menjalankan kapal tersebut. Dalam cahaya pagi yang cerah mereka
meninggalkan pulau. Meninggalkan mayat-mayat anggota sindikat itu bergelimpangan
di pulau tersebut.
Satu jam berlayar, mereka memasuki lagi
sungai kecil dimana malam kemaren mereka meninggalkan Jeep.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (100)
Komentar
Posting Komentar