Serangan itu demikian cepatnya. Namun si
Bungsu tak mencabut samurainya. Dia mengelakkan ketiga serangan itu dengan
memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!
Lalu melangkah ke depan dua langkah.
Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi masih
terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi.
Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.
Si Bungsu mempergunakan sarung samurainya
untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak mencabut samurai dari sarungnya.
Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu keras itu dia pergunakan sedemikian
rupa hingga ketika membentur samurai lawan jadi mencong arah serangannya.
Dua kali serangan seorang. Berarti si
Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan ketiga lawannya tanpa menjatuhkan
korban.
Ketiga orang itu saling pandang. Demikian
juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget melihat kehebatan anak
muda ini.
Kemudian seperti dikomandokan, mungkin
karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini, keenam mereka tiba-tiba maju
serentak.
Enam samurai dari penjahat-penjahat
Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh si Bungsu. keenam mata
samurai itu menyeranga enam tempat yang berbahaya ditubuhnya.
Sebenarnya, bagi mata samurai, bahagian
manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan bahagian yang berbahaya. Karena
meskipun mengenai tempat yang tak mematikan, mengenai kaki atau tangan
misalnya, tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh seketika. Bayangkan saja
kalau tangan atau kaki putus.
Maka kini, nasib itulah yang sedang di
hadapi si Bungsu. namun kali ini dia tak mau anggap enteng. Bermain samurai
baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu “kerja” yang mendatangan
rasa susah.
Gerak tangannya mempergunakan samurai itu
hampir-hampir merupakan gerak yang tak diperhitungkan. Merupakan sesuatu
kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.
Begitu gebrakan keenam samurai itu
menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula. Samurai tercabut tak
sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara beradunya baja terdengar
mengoyak suitan angin dingin. Beberapa bunga api memercik dari pertemuan
samurai itu.
Kemudian terdengar seruan-seruan tertahan
dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu tersurut setindak begitu samurai
mereka dihantam samurai anak muda itu.
Tangan mereka terasa sakit dan tergetar
hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja samurai di tangan mereka
berpentalan ke udara kalau mereka tak
cepat-cepat mundur.
Dan kini si Bungsu tegak dengan diam dan
dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!
“Sudahlah, kita akhiri saja pertikaian
ini….” Dia ingin berkata demikian. Namun ucapannya belum sempat keluar takkala
keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik Banzai menggebrak lagi maju!
Enam samurai kembali bersuitan dengan
kecepatan luar biasa. Namun saay berikutnya hanya pekik kaget dan sakit yang
terdengar. Keenam samurai di tangan anggota Kumagaigumi itu mental ke udara.
Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang berisik ketika menimpa lantai batu di
halaman belakang kuil tua itu.
Dan keenam lelaki itu merasakan betapa
tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan darah! Siul Zato Ichi
terhenti seketika. Kepalanya tertegak.
Si Bungsu masih tetap tegak. Dan kali ini
perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan keenam lelaki itu, termasuk
Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda ini benar-benar telah bermurah
hati mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia mau, maka dengan mudah dia bisa
menghabisi mereka semua.
Tapi buktinya tak seorangpun di antara
mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan rusuk mereka saat ini
hanyalah semacam “pemberitahuan”.
“Saya tak suka kekerasan. Saya berharap
pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan kalian. Namun saya
peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota Kumagaigumi yang
menghadang jalan yang saya tempuh, maka saya akan membunuhnya disaat pertama?”
Suara anak muda ini terdengar amat
dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan tak seorangpun di
antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang menganggap bahwa anak
muda ini hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.
Semua mereka yakin, bahwa anak muda itu
akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya sekefar gertak sambal!
Dengan didahului oleh pimpinannya yang
bertubuh kekar berkumis lebat, keenam anggota Beruang Gunung itu segera angkat
kaki tanpa memungut samurai mereka yang bertebaran di halaman kuil itu.
“Ck…ck…ck! Benar-benar ilmu samurai yang
luar biasa…”
Si Bungsu menoleh dan melihat Zato Ichi
masih duduk di kursi batu enam depa dari tempatnya tegak.
Zato Ichio bukan hanya sekedar memuji.
Dia sengaja tak ikut membantu anak muda itu karena ingin “melihat” bagaimana
caranya orang asing ini mempergunakan samurai.
Dia “melihat” dengan indera
pendengarannya yang tajam luar biasa itu. Ya, meski matanya buta, Zato Ichi
bisa “melihat” dengan jelas melalui indera pendengaran, penciuman dan
tangannya.
Dari bau yang tercium oleh hidungnya dia
segera mengetahui ada manusia, hewan atau benda lain yang tak bergerak
disekitarnya. Kegelapan merupakan kawan utamanya sepanjang hidup. Bayangkan
hidup tanpa mata. Itulah yang selalu dilawan oleh Zato Ichi.
Dan perkelahian si Bungsu dengan keenam
anggota Kumagaigumi itu dengan jelas bisa dia “saksikan”. Dia tahu dengan
pasti, betapa samurai anak muda itu menghantam samurai-samurai anggota
Kumagaigumi itu.
Dia tahu pula dengan pasti, bahwa anak
muda itu menghantam samurai keenam lelaki itu dengan punggung samurainya.
Pukulan dengan punggung samurai itu sangat keras. Dan itulah sebabnya keenamnya
terpental. Kekuatan yang dikombinasikan dengan perhitungan dan tekhnik yang
hampir-hampir sempurna.
“Nampaknya engkau memiliki banyak musuh
anak muda. Setiap orang di negeri ini menghendaki nayawamu…” suara Zato Ichi
kembali bergema.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Seperti
sebuah keluhan yang dalam. Ya, setiap orang seperti menghendaki nyawanya. Termasuk
Michiko!!
“Apakah mereka akan datang lagi?” si
Bungsu bertanya perlahan.
“Barangkali. Tapi meskipun mereka tak
datang kemari, mereka akan tetap menghadang jalanmu..”
“Bila itu terjadi, maka aku akan
membuktikan kata-kataku tadi..”
“Ya. Engkau harus. Sebab mereka memang
menghendaki nyawamu. Barangkali engkau ingin tetap mengalah. Tapi sampai bila
engkau mampu bertahan? Suatu saat, engkau akan sampai pada titik, dimana engkau
harus memilih antara membunuh atau dibunuh”
Si Bungsu termenung.
“Apa yang kau alami hari ini dan
hari-hari mendatang, persis seperti yang kualami di zaman yang lalu Bungsu-san.
Engkau memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain.
Engkau mempunyai kelebihan, dan orang
jadi iri. Orang berusaha menjatuhkanmu. Engkau seorang yang tangguh, dan orang
jadi ingin menguji sampai dimana ketangguhanmu.
Menjatuhkan dirimu merupakan kebanggan
bagi orang yang iri atau musuhmu. Sebab dengan bangga mereka bisa berkata: aku
telah menjatuhkan dan menghancurkan jagoan itu. Maka jalan yang akan kau tempuh,
akan selalu berkuah darah”
Si Bungsu termenung.
“Negeri ini memang jauh berbeda kini
Bungsu-san. Kini banyak mobil. Banyak listrik dan modernisasi. Tapi satu hal
yang tak berobah. Yaitu kekerasan watak penduduknya. Di zaman saya dahulu, saya
harus menjaga leher saya untuk tidak ditebas orang. Padahal yang saya perbuat
tak lebih dari sekedar membela orang yang teraniaya. Menolong orang yang
tertindas dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang kaya. Saya memang tak
mengharapkan balasan. Tapi musuh saya jadi terlalu banyak. Orang-orang
miskinpun ikut memburu dan menghendaki nyawa saya…’
Si Bungsu jadi kaget.
“Ya. Merekapun ikut memburu saya. Karena
penguasa dan orang kaya yang pernah saya gagalkan niat jahatnya, membayar
mereka untuk itu. Maka uang segera saja mengalahkan hati nurani manusia. Namun
mustahil saya bisa mengalah terus menerus. Ada kalanya saya terpaksa menurunkan
tangan kejam.
Beberapa orang, atau tepatnya sekian
ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti, telah saya
bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan. Sampai akhirnya saya memutuskan
untuk membuang samurai saya.
Tapi itu berarti bunuh diri. Saya
menghindar ke hutan. Dapat kau bayangkan Bungsu-san? Kita harus menghindarkan
diri ke rimba hanya untuk tidak membunuh manusia.
Peradaban ternyata lebih tinggi di rimba
raya daripada di kota yang dihuni manusia. Di sana, dibelantara itu saya
menemukan kedamaian. Tak ada dengki dan khianat. Tak ada penindasan. Dan sejak
itulah saya dianggap lenyap dari bumi Jepang…”
Keadaan jadi sunyi. Hanya suitan angin
dingin yang terdengar. Si Bungsu terdiam, karena dalam ucapannya tadi dia
menangkap nada yang luka dihati Zato Ichi.
Dai tak menyangka, bahwa seorang pahlawan
rakyat Jepang, yang namanya menjadi legenda yang amat dicintai orang, ternyata
memendam duka hidup yang alangkah pedihnya.
“Lalu, kenapa kini Ichi-san mencul ke
kota?”
“Ada suatu tugas yang harus saya
lakukan…”
“Kenapa hari itu justru muncul di kamar
saya dan persis ketika nyawa saya terancam?” Zato Ichi tak menyahut. Dia
menunduk.
“Saya sangat bersyukur dan berhutang budi
pada Ichi-san. Kalau Ichi-san tak datang saat itu, saya pasti sudah mati…”
Zato Ichi menarik nafas panjang dan
berat.
“Kehadiran saya itu, termasuk bahagian
dari tugas saya…” suaranya terdengar perlahan.
“Tentulah tugas besar. Dan saya akan
sangat gembira kalau bisa membantu Ichi-san…”
“Tak seorangpun yang dapat membantu saya
Bungsu-san…”
“Tugas apa itu yang tak mungkin dibantu?”
“Saya sendiri tak yakin, apakah saya bisa
melaksanakannya…” suara Zato Ichi terdengar getir.
“Kalau boleh saya tahu, apakah tugas
itu?”
“Membunuh seseorang..”
“Membunuh seseorang?”
“Ya…”
Si Bungsu menatap tak mengerti pada Zato
Ichi. Padahal baru sebentar ini pahlawan itu berkata, bahwa dia terpaksa harus
lari menyembunyikan diri ke rimba untuk menghindar dari orang-orang bayaran
yang diupah untuk membunuhnya.
Tapi justru hanya beberapa detik setelah
itu Zato Ichi sendiri mengakui bahwa dia “disruh” seseorang untuk membunuh
seseorang. Atau tugasnya, disuruh untuk membunuh orang lain. Sesuatu yang
menurut ceritanya sangat dia benci.
Dan Zato Ichi nampaknya mengerti apa yang
tengah dipikirkan si Bungsu.
“Saya tidak dibayar Bungsu-san. Tak ada
yang bisa membayar samurai saya. Samurai saya tak pernah berlumur darah
orang-orang yang tak berdosa…”
“Tapi, kenapa kali ini Ichi-san mau
disuruh membunuh? Siapa yang menyuruh, dan siapa yang harus Ichi-san bunuh…”
“Saya diminta membunuh seseorang. Dan
saya tak mungkin menolak. Sebab jika saya menolak, maka saya akan dianggap
tidak membalas budi. Saya tak mau dianggap tak berbudi. Karena saya menjunjung
budi pekerti ….”
“Saya tak mengerti apa yang Ichi-san
maksudkan..’
“Ya, saya sendiri juga sulit
memikirkannya Bungsu-san….hampir dua puluh tahun yang lalu, saya dalam
perjalanan melarikan diri dari kejaran penjahat-penjahat di daerah Tanjung
Noto.
Saya menyangka nyawa saya takkan
tertolong lagi. Saya dalam keadaan sekarat karena luka yang saya perdapat dari
tembakan bedil dua orang penjahat. Waktu itulah seseorang menyelamatkan saya….
Dapat Bungsu-san menegrti betapa saya berhutang budi padanya?”
Si Bungsu mengangguk. Betapa tidak,
cerita itu mirip dirinya, dia telah diselamatkan dalam keadaan luka parah,
diambang maut, oleh Zato Ichi.
Kalau kelak Zato Ichi meminta dia
melakukan sesuatu, maka dia pasti tak pula bisa menolak.
“Ya, saya dapat mengerti sekarang…” kata
si Bungsu. Zato Ichi tetap diam. Masih
tetap duduk di bangku batunya. Sementara si Bungsu juga duduk di kursi batua
dua depa dihadapannya.
“Dia yang menugaskan Ichi-san membunuh
seseorang itu?”
“Tidak. Dia sudah mati. Yang menugaskan
saya adalah adiknya….adiknya mencari saya dan menceritakan kematian abangnya.
Dan meminta saya mencari pembunuh abangnya itu untuk membalaskan dendam. Yaitu
membunuh pembunuh abangnya yang telah membantu saya dahulu…”
Ya. Saya mengerti sekarang. Ichi-san
harus melakukannya. Dan kenapa pula saya tak bisa membantu Ichi-san? Bukankah
kita bisa pergi bersama mencari orang itu, dan bersama pula membunuhnya?”
Zato Ichi manarik nafas panjang.
Dan si Bungsu dapat melihat, betapa dalam
diri pahlawan Jepang itu berperang rasa yang sulit untuk diduga.
Si Bungsu mengerti. Dalam hidupnya,
seperti yang dikatakannya tadi. Zato Ichi tak pernah melumuri samurainya dengan
nyawa orang yang tak bersalah. Kalau Zato Ichi tentu merasa berat untuk
melakukan pembunuhan itu.
Dan si Bungsu merasa kinilah saatnya dia
membantu Zato Ichi. Yang penting bagi Zato Ichi tentulah orang yang dia cari
itu mati. Tak perduli melalui tangan siapapun. Kalau Zato Ichi keberatan
bukankah dia dapat menggantikan tugas ini?
Dia akan kembali ke Indonesia tak lama
lagi. Apa salahnya sebelum pergi, sebagai tanda terimaksih, dia menolong Zato
Ichi membunuh lawannya?
“Saya dapat membantumu Ichi-san.
Tunjukkan siapa orangnya, dan Ichi-san tak perlu melumuri tangan Ichi-san
dengan dosa, biar saya yang melakukannya…”
Si Bungsu terhenti takkala dia melihat
airmata Zato Ichi mengalir dipipi.
“Tak apa-apa Ichi-san. Saya dengan rela
menggantikan tugas Ichi-san. Saya dapat mengerti perasaan Ichi-san. Ini adalah
negeri Ichi-san. Ichi-san sudah lama meninggalkan dunia bunuh membunuh ini. Dan
Ichi-san akan tetap disini. Sementara saya, setelah tugas itu selesai, akan
kembali ke negri saya. Dan orang akan melupakan peristiwa itu…”
Zato Ichi tak menyahut. Dia tetap tenang
dan duduk memegang samurainya.
“Kalau Ichi-san tak keberatan, tunjukkan
saja pada saya siapa orang yang harus dibunuh itu…”
“Dia orang asing…”
Si Bungsu tertegun. Orang asing! Pastilah
tentara Amerika. Ya, siapa lagi yang mebuat kekacauan di negeri ini selama
lima-enam tahun ini kalau tidak tentara pendudukan.
Tentara Amerika itu pastilah telah
membunuh orang yang pernah menolong Zato Ichi. Dan kini Zato Ichi harus
membunuhnya. Patutlah Zato Ichi merasa tak enak hati untuk melakukan tugas itu.
“Tentara Amerika?” tanya si Bungsu.
Zato Ichi menggelang.
“Siapa?”
“Engkau Bungsu-san…!”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (72)
Komentar
Posting Komentar