Suara Zato Ichi terdengar getir tapi
pasti! Si Bungsu tertegun. Dia hampir tak percaya pada pendengarannya. Zato
Ichi menarik nafas panjang. Dan suaranya terdengar perlahan:
“Ya, engkaulah orangnya yang harus saya
cari dan harus saya bunuh Bungsu-san…”
Si Bungsu masih tetap tak berbicara. Tak
kuasa bicara. Kalau benar dia yang harus dibunuh lelaki ini, kenapa dia
menolongnya dari ancaman maut di hotel dulu? Kenapa dia juga mengobati lukanya?
Ada hal-hal yang tak masuk akal!
“Saya tak berdusta Bungsu-san. Lelaki
yang menolong saya dua puluh tahun yang lalu itu adalah Saburo Matsuyama…”
Kalau ada petir yang menyambar, mungkin
si Bungsu takkan seterkejut ini.
“Ya. Dialah yang menolong nyawa saya Bungsu-san.
Waktu itu dia belum memasuki dinas ketentaraan. Setahun setelah peristiwa itu
dia baru jadi tentara kekaisaran Tenno Heika.
Dan beberapa hari yang lalu, saya dengar
dia meninggal di kuilnya Shimaogamo. Saya ada disana ketika upacara penguburan
itu. Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan
Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel
Bungsu-san…”
“Kalau begitu….yang menyuruh Ichi-san
membunuh saya pastilah…pastilah puterinya, Michiko!”
Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
“Tidak Bungsu-san. Gadis itu sangat
mencintai dirimu. Dia melukai dirimu padi itu di Shimogamo hanya karena pukulan
bathin yang dahsyat. Kini dia sakit. Yang menyuruhku untuk membunuhmu adalah
adik Saburo. Doku Matsuyama. Dia seorang oegawai pemerintah di kota Kyoto….”
Dan mereka sama-sama terdiam. Angin
bersuit perlahan. Bagi si Bungsu, ini adalah sesuatu yang teramat dahsyat.
Bagaimana dia bisa mempercayai bahwa orang yang akan membunuhnya adalah orang
yang menyelamatkan nyawanya?
“Kalau begitu….kenapa Ichi-san menolong
saya dari kematian di hotel itu? Bukankah hari itu saya harusnya sudah mati dan
Ichi-san tak usah susah-susah turun tangan sendiri…?”
Zato Ichi menarik nafas lega.
“Itulah malangnya Bungsu-san. Saya paling
tak bisa melihat ketidakadilan terjadi. Kelaurgamu dibunuhnya semua. Dan saya
juga akhirnya tahu, bahwa Saburo-san bukan engkau yang membunuhnya. Meskipun
engkau sanggup melakukan itu padanya. Saya tahu, Saburo-san harakiri. Dan
sebelumnya dia telah meminta kepada para pendeta di kuil itu untuk tidak
memperpanjang soal ini.
Sebenarnya soal itu sudah selesai sampai
disana. Tapi, adik Saburo meminta saya untuk melakukan pembalasan padamu.
Engkau barangkali akan bertanya, kenapa aku harus mematuhi permintaan adiknya,
padahal saya tidak berhutang apa-apa pada adiknya bukan?
Seharusnya demikian. Tapi adiknya
ternyata ikut membantu saya. Meskipun secara tidak langsung. Doku Matsuyamalah yang
setiap hari membawa obat dan makanan bagi saya di kebun persembunyian itu.
Karenanya, saya ikut berhutang budi
padanya. Dan kini dia meminta saya untuk membayar hutang budi itu…”
Si Bungsu duduk terdiam. Zato Ichi juga.
Dia tatap lelaki itu. Tokoh legenda yang dicintai rakyat Jepang itu. Kelihatan
tua dan lelah. Alangkah kasihannya, pikir si Bungsu, sudah setua ini masih
harus dibebani oleh hutang budi yang alangkah mahalnya.
Dia tiba-tiba membayangkan bahwa Zato
Ichi itu adalah dirinya yang sudah tua. Bagaimana kalau dia mengalami hal yang
dialami Zato Ichi saat ini?
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan
Ichi-san…” akhirnya si Bungsu berkata perlahan.
Zato Ichi mengangkat kepala. Dia menoleh
pada si Bungsu. meski matanya buta, tapi dia seperti menatap wajah anak muda
itu tepat-tepat.
Dan tiba-tiba Zato Ichi berdiri. Berjalan
ke arahnya. Dia menanti dengan tegang. Sedepat di depannya, lelaki buta perkasa
itu berhenti.
Si Bungsu tak bisa menatap matanya. Kalau
orang biasa dengan menatap matanya bisa menebak apa gerakan yang akan dia
lakukan, maka terhadap Zato Ichi yang buta ini tak bisa dipakai teori demikian.
Si Bungsu justru menatap ke bahu lelaki
itu. Dia akan perhatikan gerakannya melalui bahunya. Dan tiba-tiba Zato Ichi
bergerak. Melangkah maju. Dan memegang bahu si Bungsu.
“Barangkali kita akan bertarung
Bungsu-san. Bukan sebagai orang yang bermusuhan, tapi sebagai dua lelaki yang
menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagai dua lelaki yang berjiwa samurai
sejati. Tapi itu tidak sekarang. Kita perlu istirahat…”
Dan terompa kayunya terdengar
berdetak-detak masuk kembali ke rumah kecil di halaman belakang kuil tua itu.
Si Bungsu menarik nafas panjang.
Dia tahu, istirahat yang dimaksud oleh
Zato Ichi itu adalah khusus untuk dirinya. Sebab dia baru saja sembuh sakit.
Baru saja memeras tenaga melawan enam anggota Kumagaigumi tadi.
Jadi, dialah yang dimaksudkan istirahat
tadi. Zato Ichi ingin memberi kesempatan padanya untuk memulihkan kesehatan.
Baru nanti menantangnya berkelahi.
Si Bungsu jadi terharu. Lelaki itu
benar-benar seorang satria sejati. Dia patut menjadi pujaan seluruh rakyat
Jepang.
Dia menatap keliling. Melihat enam
samurai yang berserakan malang melintang. Yang tadi dia pukul terpental dari
tangan anggota Kumagaigumi itu.
Kemudian dia melangkah masuk ke rumah
kecil itu mengikuti langkah Zato Ichi. Di dalam dia disambut oleh bau panggang
ikan yang harum.
“Hm, Bungsu-san, mari makan. Ini saya
punya ikan kering, dan sudah saya bakar…ini ada sedikit roti…”
Si Bungsu tegak di pintu. Menatap betapa
lelaki buta itu mengulurkan ikan bakar padanya.
“Ambilah. Bungsu-san. Kita masih tetap
sahabat. Kini dan sampai kapanpun…” suara lelaki buta itu terdengar jujur dan
mengharukan.
Si Bungsu melangkah. Memegang ikan bakar
itu. Kemudian duduk di sisi Zato Ichi.menyenduk bubur di panci. Memasukkannya
ke dalam mangkuk. Memberikannya ke tangan si Zato Ichi.
“Arigato…” kata si buta itu perlahan.
Si Bungsu menyenduk semangkuk lagi
untuknya. Kemudian mereka makan dengan berdiam diri.
Selesai makan siang itu, Zato Ichi
kembali meramu obat-obatan. Cukup lama dia meramu obat itu. Si Bungsu
menatapnya dengan diam dari pembaringan. Betapapun jua, dia belum pulih seratus
persen.
Entah berapa lama Zato Ichi meramu obat
tersebut. Si Bungsu tak begitu pasti. Tapi yang jelas dia jatuh tidur setelah
makan siang itu.
Barangkali hari sudah sangat sore ketika
dia terbangun. Rumah kecil itu kosong. Tapi dari luar terdengar bunyi suling
yang merawankan hati.
Dia segera tahu bahwa yang meniup suling
itu adalah Zato Ichi. Dia pernah mendengarkannya ketika dia dirawat dua hari
yang lalu.
Suling dimanapun nampaknya sama. Dia juga
punya sebuah suling yang bernama bansi. Dan dia membawanya. Bansinya sering dia
tiup kalau hatinya sedang gundah. Kalau dia sedang sepi sendiri.
Dan kini dia dengar Zato Ichi meniup
sulingnya. Lelaki buta itu adalah lelaki yang menjalani lorong sepi yang tak
berujung. Yang hidup dari magma sepi yang satu ke pusat sepi yang lain.
Perlahan dia bangkit. Dipan kayu dimana
dia berbaring berdenyit halus ketika dia turun. Suara suling di luar berhenti.
Kemudian terdengar suara Zato Ichi:
“Minumlah obat di dalam mangkuk itu
Bungsu-san. Itu adalah obat terakhir untukmu. Kalau obat semala tiga hari ini
merawat lukamu dari luar, maka di mangkuk obat itu akan memulihkan peredaran
darahmu dari dalam. Minumlah….”
Si Bungsu menarik nafas. Zato Ichi
rupanya mendengar bunyi denyit tempat tidurnya ketika dia turun.
Dan dari sana, dapat diterka, betapa
tajamnya pendengaran pendekar buta itu. Si Bungsu jadi terharu. Ternyata Zato
Ichi masih meramu obat untuknya.
Si Bungsu yakin, bahwa obat ini memang
obat. Takkan mungkin seorang berhati mulia seperti Zato Ichi akan memperdayakan
dirinya dengan obat tersebut.
Dia mengangkat mangkuk itu. Memang ada
kelaianan bau. Tapi dengan keyakinan penuh dia meminum obatnya. Tapi pada teguk
pertama saja, celaka sudah menjeput pemuda dari Gunung Sago ini.
Seharusnya dia sudah bisa menebak dari
bau obat yang amat keras itu. Bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam obat
tersebut. Dan mangkuk obat itu segera saja jatuh ke lantai. Pecah dan isinya
tumpah.
Tubuh si Bungsu menggetar. Rasa panas
yang amat luar biasa menyerang jantungnya!
“Racun…!” bisiknya.
Di luar, suara suling Zato Ichi terdengar
berbunyi kembali. Lembut dan menimbulkan perasaan haru. Namun si Bungsu
mendengarkannya dengan penuh penderitaan. Dia tengah berjuang dengan maut.
Dia merangkak ke pembaringan, menggapai
ke atas. Mengambil samurainya. Kemudian tangannya menyentuh gelas. Jatuh pecah!
Suara dentingnya membuat suling Zato Ichi terhenti.
Si Bungsu muntah darah. Tapi dia
menahannya sekuat mungkin. Jahanam itu pasti menanti bunyi muntah atau tubuh
yang jatuh. Dan dia akan masuk menyudahi nyawaku, pikir si Bungsu.
Tak dia duga sedikitpun. Lelaki yang jadi
legenda Jepang itu berhati pengecut seperti ini. Dia tak berani menghadapinya
dengan samurai secara terang-terangan. Dan dia memakai racun!
Jahanam yang benar-benar pengecut, sumpah
si Bungsu. dia tahan muntahnya sedapat mungkin agar tak terdengar keluar.
Namun suara suling itu terhenti lagi. Si
Bungsu menahan nafas. Dia tak ingin telinga si buta yang tajam itu mendengar
bahwa nafasnya memburu.
“sudah engkau minum obat itu Bungsu-san?”
terdengar suara Zato Ichi perlahan. Si Bungsu kembali menyumpah.
Benar-benar seorang pemain watak yang
jahanam sumpahnya. Kalau dia jawab “sudah” si buta itu tentu akan masuk dan
menonton betapa dia menyudahi lawanny.
“Belum….!” Jawabnya berusaha bersuara
dengan wajar. Dan sehabis mengucapkan itu, kembali darah segar muncrat dari
bibirnya.
“Minumlah agar engkau pulih kembali
seperti biasa….” Suara Zato Ichi terdengar lagi. Si Bungsu menggertakkan gigi.
Dan dia mulai melangkah menuju pintu.
Betapapun jua, sebelum mati, dia harus menghajar si buta itu. Dia tak mau mati
terkapar seperti anjing yang terminum racun.
Tiba di pintu tubuhnya menggigil.
Panasnya sudah tak tertahankan lagi. Dia meminum obat itu hanya setengah teguk.
Tapi akibatnya sangat fatal. Seluruh wajahnya berobah jadi hitam. Tangannya
juga!
Dia sudah banyak mengenal jenis racun
ketika berada di Gunung Sago. Tapi dia tak mengetahui racun apa yang dipakai Zato
Ichi kali ini. Dan dia pasti takkan sempat membuat obat untuk memunahkan
serangan racun ini. Sudah terlambat!
Dia tegak di pintu. Dia ingin
bersandiwara. Ingin pura-pura jatuh. Zato Ichi tentu masuk. Dan saat dia muncul
dipintu, akan dia hantam dengan samurai!
Namun dia bukan seorang pengecut. Hatinya
memprotes sikap demikian. Tidak, dia harus menghadapi lelaki itu secara jantan.
Namun engkau telah dianiaya. Dia tak jujur. Bikin apa dihadapi secara jujur
pula, bantah pikiran panasnya.
Biar dia tak jujur. Tapi ketidakjujuran
buat apa dibalas dengan ketidak jujuran pula? Hanya kaum pengecut yang membalas
ketidakjujuran dengan ketidakjujuran, bisik hati jernihnya. Dan dengan sikap
demikian, dia melangkah ke luar.
Angin dingin menyambutnya. Dan di luar
enam depa di depan rumah itu, di atas kursi batu tadi, Zato Ichi duduk meniup
sulingnya! Amat tenang!
Dia muntah darah lagi!
“Zato Ichi!” bentaknya dengan keras
mengatasi rasa panas dan denyut jantungnya yang alangkah pedihnya! Zato Ichi terhenti.
Ada sesuatu yang tak beres dalam nada suara si Bungsu itu.
Dia tak menoleh, tapi mengarahkan telinga
kanannya ke arah pintu rumah dimana si Bungsu tegak.
“Bungsu-san…!” katanya heran.
“Ya, saya disini Ichi-san! Saya telah
minum obatmu. Tapi saya belum mampus. Saya bukan seorang pengecut seperti
engkau! Kini cabut samuraimu!”
Berkata begini si Bungsu melangkah. Dia
hampir rubuh. Namun dia yakin bisa melawan Zato Ichi. Dan itu harus dia lakukan
demi kejahanaman yang dilakukan Zato Ichi padanya.
Zato Ichi wajahnya tiba-tiba jadi
mengeras. Kelihatan dia jadi tegang. Dia menyisipkan sulingnya kepinggang.
Kemudian mengambil samurai yang dia letakkan disisinya.
Lalu dengan wajah keras sekali, dia
melangkah dengan pasti ke arah si Bungsu! si Bungsu memperhatikan bahu dan
tangan si buta itu.
“Jahanam! Benar-benar jahanam busuk!”
Zato Ichi menyumpah dengan wajah yang tiba-tiba berobah bengis!
“Kau lah yang jahanam busuk Zato Ichi!
Tak kusangka engkau pahlawan rakyat Jepang memiliki hati sebusuk engkau! Kenapa
tak kau tantang saja aku berkelahi secara jantan. Kenapa kau pilih memasukkan
racun keminuman yang kau katakan obat itu? Begitukah sikap satria dan samurai
sejati yang tadi kau katakan?”
Si Bungsu terhenti bicara. Dia sudah
demikian lemah. Zato Ichi tegak sedepa didepannya. Tegak dengan kaki terpentang
dan sikap yang kaku serta wajah yang amat membiaskan amarah!
Dan kalau biasanya si Bungsu menanti
orang lain yang menyerang, kali ini tidak. Kini dialah yang membuka serangan!
Dia mencabut samurainya secepat yang bisa dia lakukan. Dan dengan sisa
tenaganya dia menghayunkan samurai panjang itu kearah Zato Ichi!
Namun gerakannya hanya sampai separoh
jalan. Tenaganya lenyap. Dan dia rubuh ke lantai batu dengan mulut kembali
menyemburkan darah segar! Dia rubuh dengan tangan tetap menggenggam samurai!
Bersambung ke…..Tikam Samurai (73)
Komentar
Posting Komentar