Setengan depa dari kepalanya, Zato Ichi
pendekar samurai Jepang yang tersohor itu tegak dengan kaku!
Wajahnya tetap saja menggambarkan
kemarahan yang luar biasa.
“Benar-benar jahanam yang tak tahu budi,
telah diampuni nyawanya, masih saja berlaku kotor!” suara pahlawan samurai itu
terdengar penuh kebencian.
“Heh…he..heh…!!” suara tawa terdengar
menyahuti ucapan Zato Ichi. Dan seiring dengar tawa itu, tiga orang lelaki
segera saja muncul dari balik pohon sepuluh depa dari pondok itu.
Dan mereka adalah anggota Kumagaigumi. Di
antara yang bertiga itu, seorang diantaranya ternyata yang memimpin serangan
terhadap si Bungsu pagi tadi!
Kini dia muncul lagi dengan dua temannya
yang lain. Yang nampaknya jauh lebih andal dari dirinya. Kalau tidak, mana
berani dia datang kemari.
“Heh-heh….Ichi-san. Antara kita
sebenarnya ada persoalan hutang nyawa. Kau telah membunuh tiga anggota kami di
hotel empat hari yang lalu. Tapi biarlah, yang mati tak mungkin hidup lagi. Kini
kami hanya ingin membunuh orang Indonesia ini. Dia sudah terlalu banyak membuat
susah kita. Orang asing yang sok jago dengan senjata tradisionil kita. Nah,
kami datang selain untuk melihat kematiannya, juga mengambil samurai yang kami
tinggalkan tadi pagi….”
Wajah Zato Ichi jadi merah padam.
“Kalian yang memasukkan racun ke dalam
obat yang diminum Bungsu-san…” suaranya terdengar bergetar menahan marah yang
dahsyat.
“Ah, tak usah dipikirkan benar Ichi-san. Kami
hanya sekedar memberi bubuk penyedap ke dalam obatmu yang kurang sedap itu. Sebetulnya
kami ingin meminta persetujuanmu. Membawamu ikut serta dalam membunuh lelaki
jahanam itu. Bukankah engkau juga menghendaki kematiannya? Bukankah engkau
harus menuntut balas atas kematian Saburo Matsuyama, orang yang telah
menolongmu 20 tahun yang lalu?
Kami yakin engkau pasti mau kerjasama
untuk melenyapkan jahanam ini. Tapi siang tadi Ichi-san sembahyang terlalu lama
dalam kuil. Makanya kami masuk saja. Kami lihat orang itu tidur terlalu
nyenyak. Kami ingin menyudahninya dengan samurai, tapi kabarnya lelaki ini
firasatnya amat tajam. Dan samurainya amat cepat. Makanya kami mencari jalan
aman yang tak mengandung resiko. Kami hanya memasukkan racun pembunuh ikan paus
kedalam obatmu itu.
Dan buktinya, kerja kami selesai, tugasmu
untuk melenyapkan orang itu juga selesai. Ichi-san hanya tinggal melapor pada
Doku Matsuyama bahwa orang itu telah mati oleh samuraimu. Beres bukan? Hehe..”
Zato Ichi tak bergerak. Tubuhnya tetap
tegak diam. Setelah meramu obat tadi, dia pergi sembahyang ke kuil di depan
rumah itu. Cukup lama dia sembahyang. Dan di saat itulah kiranya jahanam ini
masuk.
Dan dia benar-benar menyesal meninggalkan
si Bungsu sendirian di dalam rumah itu.
“Jangan khawatir Ichi-san. Kami tidak
akan menganiaya mayatnya. Kami hanya menginginkan samurainya sebagai bukti,
bahwa dia sudah mati. Sekaligus juga sebagai kenang-kenangan bukan? Nah,
mundurlah agar kami bisa mengambil samurainya….’
Wajah Zato Ichi membersitkan amarah yang
amat hebat.
“Datanglah kemari, ambil samurainya
setelah kalian melangkahi mayatku….” Suaranya terdengar mendesis. Pahlawan samurai
Jepang ini benar-benar merasa muak melihat tingkah laku anggota Kumagaigumi
itu.
Dia jadi sangat marah, karena si Bungsu
menyangka bahwa dialah yang meletakkan bubuk racun itu ke dalam obat tersebut.
Dia sangat membenci sikap licik begitu. Kini
meski si Bungsu adalah orang yang harus dia bunuh demi membalas hutang budi
pada Saburo, namun dia tak mau mempergunakan sikap licik. Kalaupun dia harus
membunuh si Bungsu, maka itu akan dia lakukan dengan sikap satria. Menantangnya
bertarung dengan samurai.
“Heh….he. zamanmu telah berlalu Zato Ichi,
kini minggirlah….” Suara pimpinan Kumagaigumi itu terdengar memerintah. Dan mereka
lalu mengurung tubuh Zato Ichi.
Mereka kini mengurung Zato Ichi dalam
jarak yang sangat ketat. Meski pahlawan samurai itu sudah kelihatan tua, namun ketiga
mereka yakin bahwa Zato Ichi masih tetap Zato Ichi yang dahulu.
Cepat dan sangat mahir dengan samurai. Itulah
kenapa sebabnya kini mereka agak ragu untuk membuka serangan.
Lelaki buta itu menunduk. Tangan kanannya
tergantung lemas di sisi tubuh. Tangan kirinya memegang samurai yang diangkat
agak tinggi. Setinggi pinggang. Yang mula membuka serangan adalah yang tegak di
belakang Zato Ichi. Lelaki itu mempergunakan gerak tipu. Dia melempar Zato Ichi
dengan sarung samurainya.
Telinga Zato Ichi yang sangat tajam
mendengar desiran angin. Dan samurainya membabat sangat cepat. Saring samurai
itu putus tiga! Namun saat itu pula lelaki yang tegak di sisi kanan dan di
belakangnya bergerak tak kalah cepatnya.
Samurai mereka berkelabat! Namun suatu
hal yang di luar dugaan terjadi pula. Tubuh si Bungsu yang tadi rubuh muntah
darah, pada saat yang sangat tak terduga bergerak.
Tangannya yang masih menggenggam samurai
terhayun. Dan lelaki yang tegak disisi Zato Ichi, yang menyerang lelaki buta
itu, tak sempat berbuat apa-apa.
Bahkan untuk kagetpun dia tak sempat. Sebab
gerakan dari orang yang sudah diduga “mati” itu tak pernah dia bayangkan.
Dari bawah samurai anak muda itu membelah
ke atas. Kerampang Jepang itu belah. Ikut pula terbelah beberapa alat peraga di
kerampangnya itu.
Matanya mendelik, dan dia
mengejang-ngejang. Lalu rubuh mati! Si Bungsu duduk bertelekan di kedua
lututnya.
Namun saat itu pula Zato Ichi yang tadi
ditipu dengan lemparan sarung samurai itu kena babat perutnya. Terdengar dia
mengeluh. Tubuhnya terhuyung, yang dibelakangnya memburu.
Namun dia masih tetap Zato Ichi yang
mampu bergerak cepat. Begitu anggota Kumagaigumi melangkah dua langkah
memburunya, dia menjatuhkan diri di lutut kanan. Kemudian samurai di tanggannya
memancung ke belakang.
Anggota Kumagaigumi itu seperti pisang
kena tebang. Perutnya dimakan samurai Zato Ichi. Berkelonjotan sebentar. Kemudian
mati!
Dan kini yang tinggal hanya seorang. Dengan
terkejut dia memandang pada Zato Ichi dan si Bungsu bergantian.
Dan yang masih hidup ini adalah lelaki
yang memimpin penyergapan pagi tadi.
“Telah kukatakan pagi tadi, bahwa siapa
saja yang menghalangi jalanku, akan kubunuh pada kesempatan pertama….” Suara si
Bungsu terdengar bergema dingin.
Dia masih duduk di atas kedua lututnya. Samurainya
tergenggam di tangan kanan. Nampaknya dia sudah lemah sekali. Dia bertelakan
untuk tetap seperti itu pada sarung samurainya yang dia tekankan kuat-kuat ke
lantai batu.
Pimpinan Kumagaigumi ini berfikir. Kedua lawannya
ini amat berbahaya. Tapi kini keduanya tidak dalam keadaan normal. Zato Ichi terluka
perutnya. Si Bungsu terminum racun. Tapi kenapa lelaki asing itu tak segera
mampus? Apakah racun yang mereka taruh dalam obatnya tadi kurang keras? Padahal
seingatnya, jumlah racun yang dimasukkan ke obat anak muda itu sanggup untuk
membunuh sepuluh ekor anjing sekaligus?
Kini akan dia serangkah kedua orang yang
tak berdaya ini? Atau lebih baik kabur? Kedua pilihan ini dipertimbangkannnya. Dia
memang mencintai organisasinya. Tapi sudah tentu dia lebih mencintai nyawanya.
Kalau dia mati, bagaimana dengan dua
orang isterinya yang muda-muda dan cantik itu? Tentu akan diambil alih oleh
teman-temannya yang lain. Ih, mengingat ini, dia benar-benar tak mau mati.
Dan satu-satunya jalan untuk menghindar
dari kematian adalah minggat dari tempat ini! Kedua lawannya ini takkan
tertandingi olehnya dalam berkelahi. Meskipun mereka dalam keadaan sekarat. Hal
itu sudah dia buktikan dengan anak muda asing ini.
Makanya, setelah ucapan si Bungsu tadi
dia nyengir. Kemudian berkata:
“Bikin apa aku susah-susah melawan
kalian. Cepat atau lambat, kalian akan mati disini. He….he…tinggallah…he..he..”
Dan dia berbalik.
Namun si Bungsu sudah berkata, bahwa dia akan
membunuh lelaki itu. Dan itu dia buktikan.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, anak
muda ini bergulingan dua kali. Pimpinan Kumagaigumi wilayah Kyoto itu terkejut
dan berpaling ke belakang. Saat itulah sambil bangkit dari duduk, si Bungsu
melemparkan samurainya.
Dan dalam saat yang bersamaan, tangan
Zato Ichi bergerak pula. Semula pimpinanKumagaigumi ini hanya merasa heran
melihat anak muda itu bergulingan.
Tapi melihat dia menghayunkan tangan, dia
segera menyadari bahaya. Sebagai salah seorang pimpinan Kumagaigumi, komplotan
bandit yang ditakuti, dia tentu punya kepandaian yang tak dapat dianggap
enteng.
Dia segera mencabut samurai untuk memukul
jatuh lemparan si Bungsu. Namun saat itu pula dia melihat tangan Zato Ichi yang
terduduk tiga depa disampingnya bergerak.
Untuk sesaat, dia menoleh. Tapi waktu
yang hanya sesaat itu adalah kesalahannya yang paling fatal. Paling fatal dan
paling akhir. Sebab setelah itu, tak ada lagi kesalahan-kesalahan yang bisa dia
perbuat.
Samurai kecil yang dilemparkan Zato Ichi
meleset karena dia berputar. Meleset dari sasaran yang mematikan. Zato Ichi
membidik dadanya, tapi yang kena hanyalah bahunya.
Namun lemparan samurai si Bungsu justru
menancap di lehernya yang berpaling ke arah Zato Ichi itu!
Demikian kuatnya lemparan dalam jarak dua
depa itu. Samurai tersebut menancap hampir separoh. Tembus ke samping lehernya
yang kiri.
Urat nadi besar di lehernya putus
keduanya. Dan lelaki ini mati sebelum tubuhnya jatuh ke lantai batu!
Si Bungsu menoleh pada Zato Ichi. Zato Ichi
menunduk.
“Lemparanmu sangat cepat dan mahir sekali
Bungsu-san…” katanya pelan.
“Engkau tak apa-apa Ichi-san?”
Zato Ichi menggeleng lemah.
Namun begitu geleng kepalanya selesai,
tubuhnya rubuh. Perutnya yang luka terlalu banyak mengeluarkan darah.
Si Bungsu tak segera dapat membantu. Buat
sesaat dia masih bertelekan ke sarung samurainya. Dia masih jongkok di atas
kedua lututnya. Memejamkan mata. Mengatur konsentrasi. Kemudian mengatur
pernafasan menurut methode Silek Tuo Praiangan!
Dan sebenarnya, sistim pernafasan inilah
kembali yang menyelamatkan nyawanya. Begitu tadi dia terminum racun, dia memang
segera menyangka bahwa Zato Ichilah yang berbuat laknat itu.
Dia benar-benar tak menyangka bahwa
pahlawan rakyat Jepang itu mau berbuat serendah itu. Meracuni orang yang sedang
sakit.
Karena itu, dia segera mengatur
pernafasan. Pernafasan secara silat Tuo Pagaruyung itu menghentikan denyut
darah merah ke arah jantungnya.
Dia tak menghirup nafas dengan hidung,
melainkan dengan mulut. Demikian juga ketika menghembuskannya keluar. Dengan menahan
nafas sebisanya, dia berhasil mencegah masuknya racun itu ke jantung.
Dengan tetap mempertahankan sistim
pernafasan begitu, dia berjalan keluar. Dan menantang Zato Ichi. Ketika dia
bicara, sistim pernafasan itu sudah tentu tak bisa dia pertahankan, dan saat
itulah dia muntah darah.
Namun segera setelah muntah darah hitam
itu, dia mendapatkan dirinya agak lebih segar sedikit. Ketika Zato Ichi
mendekatinya tadi, dan di saat dia bersiap untuk mencabut samurai melawannya,
saat itu pulalah telinganya yang tajam itu mendengar nafas beberapa orang di
belakangnya.
Firasatnya bekerja cepat sekali. Suara nafas
itu pastilah berasal dari beberapa orang yang sedang bersembunyi. Kalau ada
orang yang bersembunyi, tentulah ada hal yang tak beres.
Dia mencabut samurainya, dan berpura-pura
rubuh! Dan kejadia selanjutnya, yaitu munculnya ketiga anggota Kumagaigumi itu,
kemudian dialok Zato Ichi dengan mereka, membuat persoalan jadi jelas bagi si
Bungsu.
Sambil tetap telungkup, pura-pura mati,
dia mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi sekaligus dia juga mengatur
pernafasannnya. Dia memang dibuat seperti akan lumpuh oleh pengaruh racun yang
terminum dalam obat itu.
Untung saja racun itu hanya sedikit yang
dia minum. Obat itu tak dia teguk semua karena firasatnya berkata bahwa ada
yang tak beres dengan obat tersebut.
Lalu dia bangkit menabskan samurainya
pada saat yang tepat sekali. Yaitu ketika ketiga orang itu akan mengeroyok Zato
Ichi.
Kini dia mengatur pernafasannya. Memang tak
pulih seperti sediakala. Racun itu masih menggerogoti tubuh dan darahnya. Namun
keadaan sudah jauh lebih baik. Dia membuka mata, dan melihat tubuh Zato Ichi
terbaring diam.
Dengan mengumpulkan tenaganya si Bungsu
melangkah mendekati Zato Ichi. Dari gelombang didadanya, dia tahu lelaki itu
masih hidup.
Dia tak mungkin mengangkat tubuh Zato
Ichi ke dalam. Satu-satunya jalan adalah menyeret tubuhnya ke rumah kayu itu.
Namun perkelahian di depan rumah di
belakang kuil itu bukan merupakan perkelahian yang terakhir bagi si Bungsu.
Empat hari setelah itu, sekawanan anggota
Kumagaigumi mengepung tempat itu kembali. Jumlah mereka tak kurang dari
sepeuluh orang. Si Bungsu yang memang telah waspada, mendengar kedatangan
mereka sebelum mereka sampai ke rumah tersebut.
Dia tenagh meramu obat sesuai dengan
petunjuk Zato Ichi ketika langkah kaki kesepuluh orang itu tertangkap oleh
telinganya.
Dia menatap pada Zato Ichi, pendekar
Jepang itu, yang terbaring lemah, yang juga mendengar suara kaki mengitari
rumah dimana mereka tinggal itu, berusaha untuk bangkit.
Tapi dia segera terbaring lagi dengan
meringis. Luka di perutnya tak segera bisa sembuh. Meskipun obat yang diramu si
Bungsu sama dengan yang dia ramu untuk mengobati luka si Bungsu dahulu.
Meski kemujaraban obatnya sama, tapi
perbedaan usia mereka membuat daya kerja obat itu berbeda pula kemanjurannya.
Pada tubuh si Bungsu, lukanya cepat
sekali jadi sembuh oleh obat itu, sebab usianya masih muda. Karena itu rekasi
jaringan darahnya bekerja cepat begitu dibubuhi obat.
Lain halnya pada tubuh Zato Ichi. Usianya
yang telah amat tua menyebabkan reaksi jaringan darah ditubuhnya bekerja lebih
lambat. Makanya lukanya jadi lambat pula untuk sembuh.
Zato Ichi ingin menghadapi orang yang
mengepung rumah ini bersama dengan si Bungsu. namun lukanya tak mengizinkan.
“Tidak udah khawatir Ichi-san. Berbaringlah
dengan diam. Saya akan membereskan mereka…” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Zato Ichi menatap padanya dengan perasaan
menyesal.
“Pergilah Bungsu-san. Tinggalkan tempat
ini. Engkau masih bisa menyelamatkan dirimu…”
Si Bungsu tersenyum.
“Kenapa harus lari dari mereka? Tidak,
mereka menginginkan saya, dan itu akan mereka peroleh…”
“Saya terlalu lemah Bungsu-san. Saya tak
bisa membantumu…”
“Tetaplah disini Ichi-san. Saya akan
menghadapi mereka…”
Dan si Bungsu meraih samurainya. Tubuhnya
kini memang sudah sembuh benar.
Angin menerpa wajahnya ketika dia tegak
di pintu rumah kayu di belakang kuil tua itu. Dan kesepuluh orang Kumagaigumi
itu tegak membentuk setengah lingkaran dihadapannya.
Mereka semua diam.
Si Bungsu juga diam.
Mereka saling tatap dan saling mengukur.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (74)
Komentar
Posting Komentar