Si Bungsu dapat menduga, bahwa yang
datang ini tentulah bukan sembarangan orang.
“Engkau yang bernama si Bungsu dari
Indonesia?”
Seorang lelaki berkepala botak, yang
mirip pendeta di kuil Shimogamo, bertanya dengan suara datar dan dingin.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia
menyapu kesepuluh orang itu dengan tatapan mata menyelidik. Bagaimana dia harus
menghadapi orang sebanyak ini?
Tapi akhirnya dia mengangguk ketika orang
gemuk itu kembali bertanya tentang namanya.
“Dimana Zato Ichi…?” kembali si
kepalabotak itu bertanya setelah si Bungsu mengangguk.
“Dia ada di dalam…” jawabnya.
“Suruh keluar dia…”
“Dia tak bisa keluar. Dia sakit…”
“Dia harus keluar. Katakan bahwa pimpinan
Kuil Kofukuji dari Nara datang menuntut balas…”
“Tidak. Apapun urusan kalian dengannya ki
ni harus melalui tanganku…”
“Hmm, anak muda asing. Sejak kapan kau
mencampuri urusan orang lain di negri ini?”
“Sejak kalian mencampuri urusanku…”
Lelaki gemuk itu tertawa berguman.
“Sejak kapan saya mencampuri urusanmu
anak muda?”
“Bukankah kalian datang untuk mencabut
nyawaku?”
Lelaki gemuk itu tertawa lagi perlahan.
Suaranya seperti berguman rendah. Nampak bahwa dia sangat tenang sekali. Dan
itu membuat si Bungsu jadi waspada. Orang gemuk ini tentulah orang yang sangat
berisi.
“Siapa bilang bahwa kami menghendaki
nyawamu? Tak ada urusan kami denganmu anak muda. Engkau boleh pergi kemanapun
engkau suka. Kami hanya berurusan dengan Zato Ichi”
Si Bungsu tertegun. Benarkah lelaki ini
bukan dari Kumagaigumi? Dan benarkah mereka bukan menghendaki nyawanya? Ketika
dia tengah berfikir itu, dia mendengar suara dengus nafas perlahan di
belakangnya. Dia menoleh. Dan Zato Ichi berdiri di sana sambil menahan
sakitnya.
“Ichi-san….!” Katanya kaget.
Zato Ichi menatap pada lelaki botak itu.
Dia coba mengenalinya. Namun dia
benar-benar tak mengenal lelaki itu.
“Saya dengar anda mencari saya…” katanya.
Lelaki botak yang mengaku dari Kuil Kofukuji di kota Nara itu menatap tajam
pada Zato Ichi. Pendekar buta itu seperti menatap padanya dengan matanya yang
buta. Aneh dan agak menyedihkan memang.
“Ya. Saya mencari anda….masih ingat kuil
Kofukuji di Nara?”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Menghembuskannya
seperti menghembuskan masa lalu yang pahit.
“Ya. Saya masih ingat. Siapa anda?”
tanyanya perlahan.
“Saya dahulu pernah mengepalai pendeta di
kuil itu. Nama saya Zendo…”
“Zendo…” Zato Ichi mengulang menyebut
nama itu seperti berfikir.
“Zendo….maafkan saya tak bisa mengingat”
“Ya, engkau takkan pernah mengingat nama
itu Zato Ichi. Karena ketika pemimpin Kuil Kofukuji yang bernama Akira engkau
bunuh, empat puluh tahun yang lalu, aku masih kecil. Masih berusia sepuluh
tahun…”
Zato Ichi kembali menarik nafas panjang.
“Akira…..” katanya perlahan.
“Ya. Akira dari Kofukuji adalah abangku
yang paling tua…”
Zato Ichi jadi sangat terkejut.
“Engkau adik Akira?”
“Ya. Dan kini aku datang untuk menuntut
pembantaian yang sudah empat puluh tahun itu…”
“Ah, sudah lama sekali…” suara Zato Ichi
terdengar perlahan. Sementara dia mengangsurkan dirinya ke samping. Kemudian perlahan
duduk di kursi batu. Tiga depa dari si Bungsu.
“Ya. Sudah lama sekali. Sudah empat puluh
tahun. Dan selama itu pula saya menanti kesempatan ini Zato Ichi. Kesempatan untuk
membalaskan dendam kematian abang saya…”
“Apakah engkau mengerti apa yang sebenarnya
terjadi antara saya dengan abangmu itu Zendo? Maksud saya, apakah engkau
mengerti sepenuhnya kenapa kami bertarung, dan menyebabkan kematiannya?”
“Kenapa tidak. Suatu malam seorang buta
datang ke kuil, kelak saya ketahui bahwa orang buta itu adalah engkau, abang
saya nampaknya bersahabat dengan anda. Dia menerima anda dengan baik. Tapi esok
paginya, dia telah terbujur jadi mayat dengan seorang imam kuil, sementara
engkau tak ada lagi disana.
Menurut penuturan imam yang lain, kalian
bertengkar perkara sumbangan keluarga Kendo pada kuil. Dan sumbangan yang
merupakan wakaf itu adalah milik kuil. Kenapa engkau ikut campur urusan abangku
yang menjadi pemimpin Kuil itu? Tapi kini persoalannya adalah hutang nyawa di
bayar nyawa. Kami datang untuk menuntut balas”
Sehabis berkata begini, tanpa menunggu
reaksi dari Zato Ichi, kesepuluh orang itu segera saja mendekat.
“Tunggu….” Pendekar buta itu masih coba
menghindarkan pertumpahan darah.
Zendo memberi isyarat. Dan kesembilan
temannya yang bergerak maju menghentikan langkah.
“Harapkan dengarkan dahulu Zendo-san. Saya
tak ingin kesalahpahaman itu terulang lagi…”
“Apakah engkau akan berkata bahwa yang
bersalah dalam hal itu adalah abangku?”
“Dengarlah dulu…”
Tapi Zendo tak mendengarkan. Nampanya dendam
selama 40 tahun itu merupakan dendam yang harus dibalaskan hari ini.
Namun mereka terhenti lagi ketika anak
muda yang bernama Bungsu itu maju tegak antara mereka dan Zato Ichi.
“Anak muda, sudah kukatakan, kami tak
ikut campur urusanmu, maka jangan ikut campur urusanku…”
Suara Zendo terdengar perlahan
mengingatkan.
“Maafkan. Saya berhutang nyawa pada Zato
Ichi. Maka kalau ada orang lain yang menghendaki nyawanya, maka saya harus
membantunya….”
“Apakah negerimu tak beradat anak muda. Sehingga
engkau bisa demikian saja ikut campur urusan orang lain?”
Muka si Bungsu jadi merah padam. Negerinya
dikatakan tak beradat. Amboi! Dia terungat pada Minangkabau. Negeri yang
adatnya tak lapuk dek hujan. Tak lekang dek panas.
Negeri leluhur dimana darahnya tumpah
ketika dilahirkan. Negeri bergunung megah berlembah indah yang melantunkan rasa
rindu. Negeri yang telah mengorbankan ribuan nyawa untuk mempertahankan adat
istiadatnya dari jajahan Jepang, kini dikatakan oleh Jepang Gemuk Botak
dihadapannya sebagai negeri yang tak beradat!
Dia tersenyum. Tapi jelas senyumnya
bukanlah senyum tanda suka hati. Senyumnya jelas membayangkan luka dan amarah
yang besar. Barangkali dia takkan semarah itu benar, kalau si gemuk itu memaki
dirinya yang tak beradat. Tidak, dia takkan seberang itu benar.
Tapi kini negerinya yang dikatakan tak
beradat. Meskipun dia seperti telah dibuang oleh orang kampungnya, oleh anak
negeri, namun rasa cinta kampung, cinta negeri di lubuk hatinya tak dapat
dipupus hanya karena kebencian orang kampung padanya.
Tidak. Kebencian pada orang kampung,
yaitu kalaupun ada kebencian dihatinya, merupakan hal yang terpisah dari rasa
cintanya pada negerinya.
“Jangan diulang lagi ucapan yang
mengatakan negeri tak beradat….” Suaranya terdengar perlahan. Pendeta yang
bernama Zendo itu masih akan melanjutkan seringainya. Namun seringai ejekannya
itu dia telan cepat-cepat begitu mendengar suara anak muda itu. Dia jadi
tertegun melihat ekspresi muka anak muda itu.
Dan dia tahu suara anak muda yang mirip
bisikan itu merupakan suatu peringatan yang berbahaya. Dia menatap wajah anak
muda itu. Anak muda itu juga menatapnya dengan wajah yang dingin.
Si Bungsu teringat lagi pada negerinya
yang baru sebentar ini dikatakan tak beradat oleh pendeta itu. Meskipun di
negerinya itu kini banyak kaum cerdik pandai dan ninik mamak yang mempergunakan
adat untuk kepentingan pribadi mereka, namun dia tetap tak bisa menerima negerinya
dicerca.
Kesepuluh orang yang ternyata bukan
anggota Kumagaigumi itu menatap anak muda tersebut dengan diam. Mereka sudah
mendengar tentang kehebatan anak muda ini. Mereka dengar dari cerita di kuil
Shimogamo. Mereka dengar dari anggota bandit Kumagaigumi. Mereka menatap dengan
perasaan takjub dan ingin tahu. Apakah anak muda ini memang hebat seperti yang
diceritakan itu?
Dan ketika mereka tengah berfikir begitu,
anak muda itu berkata lagi:
“Di Negeri saya, untuk mau didengarkan
orang, maka kita harus mau mendengarkan kata-kata orang. Apa salahnya tuan
mendengarkan penjelasan Ichi-san tentang peristiwa itu…”
Zendo tertawa. Untuk pertama kalinya
sejak kehadiran mereka di sekitar kuil itu, lelaki ini tertawa. Tawanya merupakan
guman perlahan saja. Dan dia sebenarnya adalah lelaki yang berwibawa.
“Apa artinya mendengarkan atau tidak. Sebab
apapun yang dia ceritakan saya tak pernah merobah niat untuk membunuhnya. Menuntut
balas kematian abang saya…”
“Apakah itu suatu penyelesaian?”
“Ya. Itulah satu-satunya penyelesaian…”
“Tak perduli apakah abang tuan bersalah
atau tidak”
“Anak muda, tak perlu segala omong
kosongmu itu. Saya tahu dengan pasti apa yang akan saya perbuat. Kini menghindarlah
dari sana…!” dan tanpa menunggu reaksi si Bungsu dia memberi isyarat kepada
sembilan orang temannya.
Kesembilan orang itu serentak mencabut
samurainya dan berjalan menghampiri Zato Ichi. Yang terakhir ini masih tetap
duduk dengan tenang dan kepala tunduk di kursi batu tiga depa dari si Bungsu.
Namun si Bungsu melangkah menghampiri
Zato Ichi. Dan tatapan matanya serta ekspresi wajahnya kembali membuat
kesembilan lelaki itu terhenti.
Anak muda ini nampaknya tak main-main.
“Kalian dengar dulu apa sebabnya
perkelahian itu terjadi…” desisnya tajam.
“Kalau saya tak mau?” Zendo balas
mengancam dengan muka merah.
“Kalau tuan tak mau, maka tuan harus
menyabung nyawa dengan saya…” suara si Bungsu tegas. Dia tak mau Zato Ichi
dikeroyok secara tak adil begini. Dia tahu kesehatan pahlawan samurai Jepang
itu belum pulih. Barangkalai dia masih akan mampu menewaskan empat atau lima
orang. Tapi tak lebih dari itu, setelah itu nyawa tokoh legenda Jepang itu
sudah bisa diramalkan. Dibantai oleh bangsanya sendiri.
Namapaknya pertumpahan darah memang tak
terhindarkan. Salah seorang bawahan Zendo yang tegak di belakang si Bungsu
menjadi berang melihat anak muda ini berlancang mulut menghalangi pimpinannya.
Lelaki itu tinggi kurus. Memegang samurai
yang berhulu pendek terbungkus oleh sutera merah. Nampaknya dia seorang pesolek
juga.
Tanpa menunggu isyarat, tanpa mengacuhkan
si Bungsu yang tenagh bicara, dia menghayunkan samurainya yang sejak tadi telah
terhunus. Hayunan samurai ini mengarah ke leher. Memancung dari atas kanan ke
bawah kiri.
Zato Ichi yang duduk mengangkat kepala. Dia
mendengar suitan samurai itu. Dan dia tahu, bahwa suara itu bukan berasal dari
suara samurai si Bungsu. dan firasatnya mengatakan bahwa anak muda itu dibokong
dari belakang.
Dia berteriak memperingatkan si Bungsu.
“Bungsu-san di belakangmu…!” teriakannya
belum berakhir ketika dia dengar suara mengeluh. Lalu diam Zato Ichi tertegak! Suitan
angin yang kencang di musim dingin ini membuat pendengarannya sebentar ini
kurang jelas. Siapakah yang mengeluh?
Tak ada gerakan sedikitpun yang
tertangkap oleh telinganya. Dia tegak diam. Aneh, kemana lelaki yang sepuluh
orang itu? Kenapa tak terdengar mereka menghela nafas?
“Bungsu-san….!” Dia menghimbau dengan
nada khawatir. Dia tak berani bergerak. Sebab dia tak mau terperangkap oleh
kesalahan yang kecil sekalipun. Kalaupun si Bungsu cedera, maka itu berarti dia
harus mempertahankan dirinya sendirian!
“Saya disini, Ichi-san…tetaplah duduk di
sana. Biar saya menyelesaikan soal ini…” terdengar suara si Bungsu perlahan.
Zato Ichi menarik nafas lega. Perlahan degup
jantungnya yang tak teratur tadi jadi tenang kembali. Ah, dia memang telah tua.
Ketuaan telah membuat dirinya terlalu cepat khawatir.
“Syukurlah….” Katanya perlahan sambil
melangkah dan mencari-cari bangku kayu itu dengan tongkatnya. Ketika ujung
tongkatnya kembali menyentuh bangku kayu itu, dia lalu duduk perlahan.
Seluruh gerakannya diperhatikan oleh ke
sembilan lelaki yang mengurung mereka. Ya, mereka kini hanya tinggal sembilan
orang.
Orang kesepuluh, yaitu si kurus
bersamurai dengan hulu sutera merah itu, yang tadi membokong si Bungsu dari
belakang, kini tertelungkup di lantai batu!
Dari bawah tubuhnya yang tertelungkup
itu, merembes darah merah. Membasahi kimono musim dinginnya yang berwarna
gelap.
Takkala tadi si kurus itu menyerang
dengan sabetan samurai sambil melangkah maju, tak seorangpun diantara
kesembilan temannya yang melihat anak muda itu bergerak.
Mereka melihat betapa samurai si kurus
membabat maju. Bahkan sejengkal lagi samurai itu akan mencapai lehernya, anak
muda asing itu tak tahu sedikitpun akan bahaya yang mengancam di belakangnya.
Namun entah kapan saatnya bergerak,
tiba-tiba saja anak muda itu melangkah surut selangkah. Dan disaat yang
hampir-hampir fantastis ketepatannya, dia menjatuhkan diri di lutut kanannya. Lalu
samurainya tercabut. Dan ditikamkan kebelakang tanpa menoleh sedikitpun!
Bersambung ke…..Tikam Samurai (75)
Komentar
Posting Komentar