Buat sesaat mereka masih bertatapan. Dan
ketika bagasi belakang mobil berdentam ditutupkan Nurdin, si Bungsu cepat
menguasai diri.
Dia menyambar tangan Salma. Menyalaminya.
Dan dengan suara yang jelas dipaksakan untuk gembira dan wajar, dia berkata:
“Senang berkenalan dengan ibu. Saya dari
Situjuh Ladang Laweh. Ibu dimana di Minangkabau?”
Nurdin saat itu sudah berjalan kembali ke
arah mereka. Salma buat sesaat masih tergagau. Namun dia juga cepat menguasai
diri. Dia tersenyum meski hatinya menggigil.
“Saya dari Bukittinggi…” katanya lemah.
“Jauh kota itu dari kampungmu Bungsu?”
suara Nurdin memutus. Si Bungsu melepaskan salamnya. Menoleh pada Nurdin. Dan
sungguh mati, tak sedikitpun Nurdin menangkap bayangan lain pada wajahnya.
Entah belajar dari mana, tapi saat ini baik Salma, lebih-lebih lagi si Bungsu
adalah pemain sandiwara yang alangkah sempurnanya.
“Cukup jauh. Saya pernah datang ke
Bukittinggi. Tapi hanya sebentar…”
Mereka lalu masuk. Rumah itu alangkah
besarnya. Berisi perabotan yang mewah.
Seorang anak perempuan tiba-tiba
berlarian dari kamar belakang. Mukanya belepotan bedak dan lipstik.
“Ayaaah…!” anak yang berusia sekitar tiga
tahun itu berlari dan tanpa memperdulikan pakaian ayahnya yang mentereng, dia
lantas saja menghambur kepelukan ayahnya. Dan Nurdin mencium anak perempuan
yang mungil itu. Hingga wajahnya ikut berlepotan bedak dan lipstik.
Si Bungsu menatapnya dengan rasa tak
menentu. Salma menatap anak dan suaminya dengan mata berbinar. Namun hatinya,
jelas tak kesana. Hatinya sedang bergemuruh.
“Hei, Eka, salam sama paman Bungsu, ayo…”
Nurdin berkata sambil menurunkan anaknya dari pangkuan. Anak kecil hitam manis
dengan tubuh montok itu melangkah mendekati si Bungsu.
Sesaat dia tegak menengadah keatas,
menatap si Bungsu. si Bungsu berjongkok. Gadis kecil yang mungil itu
mengulurkan lidahnya. Menjilat bibir. Matanya berbinar-binar. Kemudian
mengulurkan tangan.
Si Bungsu menyambut tangan anak itu.
Menyalaminya.
“Siapa namanya…?”
“Eka….” Jawab gadis kecil itu.
Si Bungsu mencium pipinya yang berlepotan
bedak. Kemudian memangkunya. Salma menudurkan diri dari ruangan itu. Dia pergi
ke kamar yang diperuntukan bagi si Bungsu. membenahi kamar itu baik-baik.
Ada gigilan aneh ketika dia membereskan
tempat tidur di kamar itu. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia teringat,
ketika akan berangkat dari Bukittinggi dahulu, dia memberikan sebuah cincin bermata
berlian pada si Bungsu. apakah cincin itu masih ada?
Perlahan dia meninggalkan kamar. Berjalan
ke tengah. Melihat si Bungsu masih menggendong Eka. Suaminya barangkali ada di
kamar depan.
Dan si Bungsu tiba-tiba juga terpandang
pada Salma yang tegak antara ruang depan dengan ruang tengah. Mereka
bertatapan. Salma mencari-cari. Dan tiba-tiba dia melihat cincin di jari manis
tangan kiri si Bungsu.
Si Bungsu tanpa sengaja mengikuti
pandangan mata Salma ke jarinya. Dan dia terpandang pada cincin yang telah
bertahun-tahun menemaninya itu.
Ketika dia melihat lagi pada Salma,
perempuan itu telah berbalik. Yang kelihatan hanyalah punggungnya yang berjalan
ke kamar belakang. Nurdin muncul.
“Hei, masih gendong terus. Ayo, turun
Eka. Paman lelah. Bungsu, mari saya tunjukkan bilikmu. Engkau harus disini.
Saya merasa sepi di kota ini. Rindu terus ke kampung…”
Nurdin yang berkata sambil membimbing
tangan puterinya dan menunjukkan si Bungsu ke kamarnya. Di kamar itu, Salma
tengah melipatkan selimut wool berbunga merah jambu. Meletkkannya ke atas
tempat tidur.
“Nah, inilah kamarnya. Seadanya. Kami
harap udah betah di sini….” Nyonya rumah berkata perlahan sambil tersenyum.
Bagi Nurdin ucapan itu adalah ucapan biasa. Namun tidak demikian di telinga si
Bungsu. dan tidak demikian juga di hati Salma.
“Ah, saya…saya barangkali tak bisa
tertidur ditempat sebagus ini nyonya…” jawabnya.
“Jangan sebut saya dengan sebutan nyonya.
Panggil nama saya saja….” Salma berkata.
Nurdin telah berada lagi diluar kamar
mengejar anaknya yang berlari ke ruang tengah. Sesaat Salma dan si Bungsu
bertatapan lagi. Dan si Bungsu melihat betapa mata perempuan cantik itu
berkaca-kaca.
“Udaaa….” Suara Salma seperti desahan.
“Saya bahagia, bisa bertemu lagi dengan
engkau Salma…”
“Maafkan saya,….Udaaa..”
Si Bungsu menggeleng.
“Tak ada yang harus dimaafkan Salma. Saya
ikut bahagia dengan kebahagianmu. Nurdin sahabat saya. Saya banyak berhutang
budi padanya…’
Suara terputus. Langkah-langkah kaki
terdengar mendekati kamar. Salma tak berusaha menghapus matanya yang basah. Nurdin
muncul dipintu kamar menggendong anaknya. Si Bungsu merasa marah pada dirinya
sendiri. Kenapa kejadian ini bisa terjadi, pikirnya. Dan dia pura-pura sibuk
meletakkan koper ke atas meja. Membukanya dan memasukkan beberapa potong
pakaian kain ke lemari.
“Bersiaplah Bu, kita ke Konsulat sore
ini. Bungsu, engkau juga ikut kami. Di Konsulat ada pertemuan keluarga
Indonesia, kita kesana ya?”
“Maafkan saya Nurdin. Saya terlalu lelah.
Saya ingin sekalai berkenalan dengan orang-orang se bangsa di kota ini. Tapi barangkali
lain kesempatan. Saya ingin istirahat…”
Nurdin sebenarnya ingin membawa si Bungsu
dan memperkenalkannya pada teman-temannya di Konsulta. Dia agak kecewa memang. Sebab
dia benar-benar ingin membanggakan si Bungsu pada teman-temannya.
Dan ketika suami isteri itu berangkat bersama puteri mereka,
tinggallah si Bungsu terbaring di kamarnya yang mewah. Ada kipas angin besar
berputar di loteng kamar. Membuat udara dalam kamar itu jadi sejuk. Namun tubuh
si Bungsu tetap saja mengalirkan keringat dingin.
Siang tadi, ketika akan makan di restoran
padang dekat Arab Street, dia sangat merasa bahagia bertemu dengan sahabatnya
Nurdin. Betapa tidak, Nurdinlah yang membantunya ketika di Pekanbaru. Nurdin yang
saat itu adalah Komandan Gelirya untuk Pekanbaru dan sekitarnya, yang berasal
dari kampung Buluh Cina, juga telah menolongnya untuk bisa menuju ke Jepang.
Nurdin menompangkannya ke sebuah kapal
yang menuju Singapura ini dahulu. Kapal kecil yang menyelundupkan senjata. Tapi,
siapa sangka pertemuan itu menyeretnya ke situasi yang begini sulit.
Tanpa sadar, dia memainkan jarinya di
cincin emas bermata berlian di jari manis tangan kirinya. Bertahun-tahun cincin
pemberian Salma ini tak pernah tanggal dari jarinya. Dan bertahun-tahun dia
menyimpan kerinduan pada gadis itu.
Dia telah berniat untuk segera pulang ke
Minangkabau. Ingin bertemu dengan Salma. Dan kalu gadis itu belum menikah, dia
ingin melamarnya. Ingin sekali!
Tapi, ya Tuhan. Siapa sangka bahwa nasib
akan begini jadinya. Dahulu, ketika dia akan berangkat dari rumah gadis itu,
dia memberikan oleh-oleh berupa sebuah cincin, gelang dan liontin. Kemudian sehelai
kain bekal baju dan sehelai kain batik.
“Ini bukan sebagai pembalas budimu Salma.
Tidak. Budimu takkan bisa kubalas. Ini hanya sebagai kenang-kenangan. Guntinglah
kain ini. Buat kebaya panjang dan kebaya pendek. Saya bahagia, kalau kelak
engkau menikah, engkau memakai kain dan perhiasan ini…’
Begitulah dia berkata dahulu. Ya, dahulu!
Dan tadi, ketika akan pergi ke Konsulat
itu, Salma memakai seluruh yang dia berikan dahulu. Kebaya panjang berwarna
biru. Kain batik buatan Jawa. Cincin dan gelang serta liontin pemberiannya
dahulu. Mereka berpapasan di ruang tengah. Salma nampaknya seperti sengaja
memakai pakaian itu hari ini. Untuk memperlihatkan pada si Bungsu, bahwa dia
mengabulkan permintaan si Bungsu dahulu. Dan si Bungsu merasakan tubuhnya
menggigil melihat perempuan itu. Kenangan masa lalunya menikam amat dalam hulu
jantungnya.
Salma menatap padanya tanpa bicara, tanpa
berkedip. Si Bungsu menghela nafas panjang di pembaringan. Berguling ke kanan. Merasa
gelisah. Berguling ke kiri. Merasa tak betah. Menelentang. Merasa resah. Duduk.
Berdiri dan berjalan ke tepi jendela besar dan tinggi. Memandang ke taman yang
luas dengan rumput hijau. Dan pikirannya merangkak lagi ke masa lalunya.
Ketika dia akan berangkat meninggalkan
Bukittinggi, Salma mencegatnya di pintu. Menatapnya dengan mata basah. Kemudian
berkata lembut:
“Terimakasih atas pemberian Uda kemarin. Tak
ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi…. Saya berharap uda
mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada
lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga uda
selamat dan bahagia selalu…”
Gadis itu menanggalkan cincin emas
bermata berlian dari jari manisnya. Kemudian perlahan memegang tangan kiri si Bungsu,
memasukkan cincin itu ke jari manis si pemuda. Lalu mereka bertatapan. Mata gadis
itu basah. Air mata merembes perlahan ke pipinya. Si Bungsu menghapus air mata
itu perlahan dengan jarinya. Sesaat, Salma ingin mendekap pemuda itu erat-erat.
Namun yang dia lakukan hanyalah berlari ke biliknya. Menghempaskan diri ke
pembaringan dan menagis terisak. Si Bungsu turun ke halaman. Menyalami Kari
Basa, ayah Salam. Kemudian meninggalkan Bukittinggi.
Si Bungsu yang hari ini tegak dalam
sebuah rumah besar dan mewah di bilangan Bras Basah Road Singapura, melihat
bayangan masa lalunya itu berlarian di taman rumah.
Dan tiba-tiba, dia merasa menyesal kenapa
harus bertemu dengan Nurdin siang tadi. Dan yang lebih disesalkannya, kenapa
ketika diperkenalkan tadi dia tak berterus terang saja bahwa dia sudah mengenal
Salma?
Dia tak mengerti kenpa tiba-tiba saja dia
ingin menyembunyikan pada Nurdin bahwa dia telah mengenal gadis itu. Bukan hanya
sekedar kenal, tapi dia malah mencintai gadis itu. Kenapa dia merahasiakannya? Apakah
itu karena pertimbangan bahwa dia tak mau membuat hati Nurdin jadi kecewa?
Kini keadaan jadi rumit sekali. Bagaimana
dia akan bersikap terhadap Salma
dihadapan Nurdin? Akan bersandiwara teruskah? Dan dia juga jadi tak mengerti
kenapa keinginan untuk menyembunyikan bahwa mereka telah saling mengenal itu
juga dilakukan oleh Salma siang tadi.
Ini adalah situasi yang sangat tidak
baik. Benar dia mencintai gadis itu. Tapi dia tak boleh menggganggu rumah
tangga mereka. Tidak. Lalu bagaimana? Dia harus pergi dari rumah ini secepat
mungkin. Harus! Ya, itulah satu-satunya jalan yang harus dia tempuh.
Dia harus berani menerima kenyataan bahwa
situasi telah berobah. Dan kalau selama ini dia selalu kuat menerima kenyataan,
selalu tabah dalam tiap cobaan yang bagaimanapun kerasnya datang menerpa,
kenapa kini tidak?
Dan akhirnya dia mengambil ketetapan. Dia
harus pergi. Hatinya jadi tenteram setelah ketetapan itu dia putuskan. Dia memang
mencintai gadis itu. Merindukannya. Kini gadis itu telah dia temukan. Dan dia
dapati kenyataan bahwa gadis itu berbahagia. Lagi pula, suaminya adalah seorang
lelaki yang dia hormati pula. Sahabat yang dia kenal baik semasa perjuangan
fisik dahulu.
Dan ketika keluarga yang dia tompangi itu
pulang malam hari, dia bisa menanti mereka dengan senyum menghias bibir. Gadis kecil
anak suami isteri itu berlari mendapatkannya.
“Paman sudah makan…?” tanyanya begitu dia
dipangku si Bungsu. si Bungsu tak segera dapat menjawab. Sudut matanya melirik,
menyambar cepat sekali ke arah Salma yang tegak di jenjang. Perempuan itu
menatap padanya.
Ada tikaman halus menyelusup ke lubuk si
Bungsu. Pertanyaan gadis kecil ini, pastilah ibunya yang menyuruh. Dan pertanyaan
itu, adalah pertanyaan yang selalu diucapkan Salma ketika dia di Bukittinggi
dahulu. Pertanyaan masa lalunya yang berbekas.
Anak itu dia cium sambil membawanya naik
ke rumah.
“Paman sudah makan….?” Gadis kecil itu
kembali bertanya.
“Sudah….sudaah….!” jawab Si Bungsu. gadis
kecil itu tersenyum. Dan senyumnya membuat wajahnya kelihatan lucu.
“Engkau harusnya ikut tadi Bungsu. ada
beberapa teman dari Jakarta yang ingin mengenalmu. Mereka mengenalmu namamu sejak
lama. Dari teman-teman yang pernah berjuang di Minangkabau. Ah, mereka
menganggapmu sebagai seorang tokoh dongeng…” Nurdin berkata ketika mereka duduk
di ruang tengah.
Si Bungsu hanya tersenyum.
Malam itu mereka lewatkan sambil
bercerita tentang masa lalu mereka. Nurdin yang duduk di sebelah Salma
menceritakan pula mula awal dia bertemu dengan isterinya itu.
Ternyata setelah Agresi ke II di tahun 49
Nurdin dipindahkan ke Bukittinggi. Dan disinilah dia bertemu dengan Salma. Dua tahun
dia tinggal di kota itu. Dan ketika dia akan dipindahkan ke Jakarta, dia
melamar Salma. Namun Salma menolak dengan halus. Setahun di Jakarta, Nurdin
cuti. Dia kembali ke Bukittinggi dan kembali melamar Salma.
Ayah Salma, Kari Basa tahu betapa anaknya
mencintai si Bungsu. namun kemana harus mencari anak muda itu? Dan bagi Salma,
sampai bila dia harus menanti? Usianya bertambah juga tahun demi tahun. Teman-teman
seusianya sudah pada menikah semua. Bahkan ada yang sudah punya anak empat. Saat
itu usianya sudah dua puluh dua tahun. Dan bagi gadis sebayanya, usia demikian
sudah bukan main tuanya.
Dan akhirnya, karena desakan keluarga,
ditambah pertimbangan-pertimbangan lain, Salma menerima lamaran Nurdin. Pemuda itu
memang seorang yang menarik hati wanita. Seorang yang sopan dan berbudi. Kalau saja
belum ada si Bungsu dalam hidupnya selama ini, maka Salma tak usah malu untuk
mengakui, bahwa dia sebenarnya juga terpikat pada Nurdin.
Nah, mereka menikah. Memang bukan proses
yang mudah. Tapi waktu membuat yang jauh jadi dekat. Waktu juga menjalin
kehidupan keluarga mereka jadi bahagia. Nurdin membawa Salma pindah ke Jakarta.
Dan setahun setelah pernikahan mereka, Nurdin ditugaskan menjadi atase militer
di Konsulat RI di Singapura.
Si Bungsu mendengarkan cerita itu sambil
mengangguk sekali-sekali. Namun esok paginya ketika dia bangun tidur, hari
telah siang sekali. Dan dia mendapatkan dirinya hanya berdua di rumah itu
dengan Salma. Lewat jendela yang dia buka lebar, dia melihat Eka, gadis kecil
anak Nurdin berlarian di taman bersama pembantu rumah tangga mereka.
Selesai mandi dia keluar ke ruang tengah.
Begitu kakinya tiba di luar kamar, Salma kebetulan juga tengah menuju ke ruang
itu. Mereka berpapasan di depan kamar. Sama-sama tertegak. Diam. Memandang. Si Bungsu
sudah bertekad untuk berlaku wajar dan menghormati leuarga ini sebagai
keluarganya sendiri. Dia harus bersikap wajar seolah-olah tak pernah ada
apa-apa antara mereka.
Dan saat begini, Nurdin tak ada di rumah.
Dia telah pergi ke konsulat. Alangkah tak baiknya kalau dia justru
mempergunakan kepercayaan kawannya itu untuk berlaku tak sopan.
Namun mereka masih tetap tegak diam. Dan tiba-tiba
saja, entah siapa yang memulai diantara mereka, tahu-tahu mereka telah saling
peluk. Dan dengan terkejut si Bungsu mendapatkan Salma menangis dalam
pelukannya.
“Udaaa…kenapa begini jadinya….” Perempuan
cantik itu berkata diantara isaknya yang tertahan.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (80)
Komentar
Posting Komentar