Gedung yang dijadikan untuk Kantor
Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan bertingkat yang
sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu.
Dan dia kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan
makin terkejut lagi dia. Ketika diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat
yang dia jaga terluka parah.
Dia segera berlari ke pintu konsulat.
Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang semenit setelah
itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan
dokter-dokter. Nurdin dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke
ambulan yang akan membawanya ke hospital, si Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan
bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.
Konsul Republik Indonesia untuk Singapura
yang juga datang menatap si Bungsu.
“Apakah anda yang bernama Bungsu?”
Si Bungsu mengangguk.
Konsul itu menjabat tangan si Bungsu.
“Overste Nurdin banyak bercerita tentang
anda, saya kita bertemu dalam saat seperti ini…” dia menoleh pada tubuh Nurdin
yang masih tergeletak dalam pandu, “:Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang
khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat..”
Dan konsul itu memberikan
perintah-perintah.
Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin
menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun Overste itu mungkin masih bisa
ditolong.
“Harus dioperasi. Ada dua peluru yang
bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus di hospital…”
kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan
dibawa oleh taksi ke Hospital tadi.
Konsul kembali menatap si Bungsu.
“Kalau demikian dia mempunyai
alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat ini…”
Dan permintaan konsul Indonesia itu
dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat operasi segera
dipindahkan ke konsulat tersebut.
Konsul Indonesia itu memutuskan untuk
memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon.
“Bu Salma…”
“Ya, ini dari siapa…?”
Konsul itu menyebutkan namanya.
“Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?”
“Ya. Ya, dia ada dirumah…tapi…”
“Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?”
“Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh,
maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan penting. Saya
harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang…”
Salma memang tak punya prasangka. Dia segera
saja bersiap dan berangkat ke konsulta dengan mobil dinas suaminya yang memang
ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal
yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan
mendadak. Apalagi yang memanggil ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat,
pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibuk-ibuk pejabat teras
konsulat diperlukan untuk hadir.
Namun segala pendapatnya itu segera saja
buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu dipenuhi oleh mobil
polisi yang nampaknya siap siaga.
Dan kagetnya segera berobah jadi pekik
tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu tentang malapetaka
yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang
menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang
tengah menjalani operasi.
“Tenanglah Salma. Tenanglah, overste
pasti selamat. Tenanglah…” nyonya konsul membujuk. Salma menangis memeluk
perempuan separoh baya yang telah dia anggap sebagai ibunya itu.
“Apa yang terjadi bu? Apa yang terjadi
dengan suami saya…”
“Barangkali ada kekeliruan. Dia kena
tembak di pelabuhan…” suara konsul menjelaskan. Salma menatap pada pejabat
tinggi Republik Indonesia itu.
“Di pelabuhan…?”
“Ya. Dia bersama saudara Bungsu…”
Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia
menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut. Disana ditentang bahu
Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi
Salma masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini
adalah tempa para pejabat. Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau
harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga berani mendekati isteri
seorang atase militer dari sebuah Negara?
Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya
dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali yang dibuat secara
darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para
pejabat konsulat yang hadir disana.
Barulah ketika namanya terdengar disebut
dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia mengangguk pada isteri
atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi
kemeja dan kaki celana si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah
ke tubuh anak muda itu tadi. Dan ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong.
Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia sangat mencintai
suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama
selama perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan
yang pertama meskipun tak begitu kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan
kuat seperti yang dialaminya saat ini!
Salma lalu digotong ke kamar yang ada di
kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjutr terus.
Menjelang tengah malam, sudah ada delapan
dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak sadar diri.
Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang
bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa dikeluarkan. Mereka baru
sampai pada taraf pengehntian pendarahan secara total.
Mereka memerlukan beberapa kali
konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung Nurdin. Sebab letaknya
amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya
fatal.
Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa
melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung zat asam dan infus
darah dilakukan terus menerus.
Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu
bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih belum selesai. Penjahitan
kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak
kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.
Seluruh operasi yang menegangkan untuk
menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru selesai takkala siang
telah datang.
“Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang
amat lama baginya untuk istrirahat…” dokter konsulat yang memimpin operasi itu
berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.
Salma yang sudah sejak tadi sadar diri,
menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya orang sembahyang
dari kamar sbelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang
sembahyang adalah si Bungsu.
Salma dan keluarga konsul Republik
Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam. Tapi karena alasan
kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka
tak pernah melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis
yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri Padang Panjang.
Dan tanpa dapat ditahan, air mata
perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke kamar mandi. Mengambil
udhuk. Kemudian ikut sembahyang. Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun
dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.
Kenapa harus malu memulai sholat,
pikirnya. Dan dia sholat dibelakang si Bungsu tegak. Untuk keamanan, Nurdin
tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.
Konsul menyuruh agar dia dirawat di
konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal itu sendiri
dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.
Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan
suaminya yang sakit.
Dokter datang tiga kali sehari mencek
keadaannya.
**000**
Hari keempat setelah operasi itu.
Nurdin masih belum sadar. Namun keadaannya
tak lagi begitu mengkhawatirkan. Makanannya diinfuskan melalui pembuluh darah
berupa zat cair berwarna putih. Di kamar tamu, si Bungsu menceritakan pada
Salma tentang peristiwa di pelabuhan tersebut.
“Dia mengatakan tentang dokumen yang ada
padamu. Salma…”
“Dokumen?”
“Ya. Ada sebuah map biru berbungkus
kertas minyak berwarna kuning…”
Salma coba mengingat.
“Oh ya. Ya, saya ingat. Dia berikan
sebulan sebelum kejadian ini..”
“Engkau mengetahui isinya?”
“tidak. Saya hanya menyimpannya..”
“Dia meminta saya mempelajari dokumen itu”
“Apakah tak lebih baik diserahkan pada
Konsul?”
Dia tak berkata begitu. Barangkali dia tak
ingin memberitahukannya sebelum dia usut secara menyeluruh. Ada dokumen itu
sekarang…?”
“Ada. Di rumah di jalan Brash Basah. Kita
bisa mengambilnya sekarang…”
Salma lalu berdiri. Namun telinga si
Bungsu yang amat tajam dapat menangkap suara langkah kaki bergeser halus
dibalik pintu ruang tamu dimana mereka berada.
Langkah itu jelas sekali diinjakkan
secara amat hati-hati. Semula si Bungsu berniat memburu. Tapi dia segera sadar.
Ini adalah gedung konsulat. Dan statusnya sendiri hanyalah sebagai tamu. Dia tak
mau bertindak gegabah. Namun peringatan Nurdin ketika menuju ke konsulat ini
terngiang ditelinganya:
“Kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen
tentang sindikat itu. Saya bukannya tak percaya pada beberapa petugas di
konsulat Indonesia di kota ini. Namun saya lebih percaya padamu. Bungsu, jangan
sampai orang di konsul tahu, bahwa dokumen itu ada padamu…”
Masih dia ingat pesan itu. Dan hatinya
jadi tak sedap mengingat langkah menjauh di balik pintu tadi. Kalau demikian,
gerak gerik mereka di gedung ini telah diawasi dengan cermat. Hanya pihak
manakah yang mengamati itu?
Saat itu Salma muncul setelah bertukar
pakaian. Mereka segera menuju ke rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
“Uda, apakah Bang Nurdin ada berpesan
sesuatu padamu sebelum di jatuh pingsan dahulu..?”
Tiba-tiba saja bertanya ketika mobil
telah berjalan. Si Bungsu jadi kaget. Dia teringat pada pesan Nurdin yang
meminta dia menjaga dan bahkan mengawini Salma jika Nurdin meninggal dunia.
Dan sampai saat ini, overste itu belum
juga sadar diri. Nyawanya masih dalam kritis. Akan dia ceritakan permintaan
Nurdin itu?
“Ya. Dia berpesan tentang dokumen itu..”
“Tak ada yang lain?”
“Tidak..”
Salma menarik nafas panjang. Si Bungsu
juga meraik nafas panjang. Tapi nafas mereka seperti terhenti takkal mereka
sampai di rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
Isi rumah itu sperti sudah diaduk aduk
ribuan kerbau.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (83)
Komentar
Posting Komentar