Meja kursi dan tempat tidur
bertemperasan. Kain-kain dan laci-laci semua terbongkar habis. Dan lebih kaget
lagi, diruang tengah, seorang polisis Singapura yang bertugas menjaga rumah itu
kelihatan terbaring berlumur darah.
Salma terpekik dan memeluk si Bungsu.
“Tenanglah. Tenang. Dimana engkau simpan
dokumen itu?”
Namun Salma tak bisa segera tenang.
Keadaan suaminya dan ditambah dengan situasi rumah ini menambah kesan yang amat
kuat dihatinya. Betapa sebenarnya suaminya berada dalam bahaya besar. Hal itu
menggoncangkan hati Salma.
Namun akhirnya Salma berhasil juga
ditenangkan. Dan dia menunjukkan dimana dia menyimpan dokumen tersebut.
Ternyata dia cukup pandai menyimpan dokumen itu, karena dikatakan suaminya amat
penting dia simpan dalam lemari yang tertanam ke dalam dinding. Dan di bahagian
depan dinding yang menyimpan lemari itu, terletak kaca lebar.
Takkan ada orang yang menyangka bahwa dia
menyimpan dokumen atau benda apapun dibelakang kaca itu. Bahkan kalaupun kaca
itu dihancurkan, lemari dalam dinding itu tak pula segera kelihatan.
Salma sendiri mengetahui lemari itu
ketika dahulu serah terima dengan penghuni sebelumnya. Nyonya rumah yang akan
pindah itu, seorang nyonya Inggris, membawa Salma keliling kamar. Kemudian
menunjukkan lemari rahasia tersebut.
Dan ternyata kinipun orang yang
menggeledah rumahnya tak menemukan lemari rahasia tersebut. Dokumen dalam map
biru yang dibungkus kertas minyak kuning itu masih utuh bersama beberapa
dokumen lainnya berikut perhiasan-perhiasan Salma.
Tiba-tiba si Bungsu tertegak. Salma
merasa heran atas sikapnya itu.
“Ada apa?”
“Tetaplah tenang disini. Pegang dokumen
ini. Jangan pergi sebelum saya datang di sini. Tutup pintu kamar ini…” berkata
demikian si Bungsu lalu menyelinap. Namun berbalik lagi cepat.
“Ada telepon disini?”
“Ada” Salam bergegas ke kamar tengah. Di
sana ada telepon yang diengkol untuk mempergunakannya. Tapi tali telepon itu
ternyata telah putus. Mereka bertatapan.
“Kembali ke kamar tadi!” kata si Bungsu.
Salma bergegas ke kamar tersebut. Dia tak
tahu ada apa sebenarnya. Namun dari sikap si Bungsu dia dapat merasakan bahwa
ada bahaya.
Hanya bahaya apa sesiang ini hari?
Si Bungsu bergegas ke ruang depan dimana
terbaring mayat polisi Singapura tadi. Dia memeriksa pinggangnya, namun
ternyata senjata polisi itu telah lenyap. Dan telinganya yang tajam menangkap
suatu gerak di depan. Dia menoleh, dan seorang Cina berambut pendek bertubuh
gemuk kelihatan muncul. Di tangannya tergenggam sebuah senapan mesin.
Cina itu menyeringai pada si Bungsu yang
masih berjongkok dekat mayat polisi Singapura itu.
Cina itu bicara dalam bahasa nenek
moyangnya. Si Bungsu tak mengerti apa yang dibicarakannya. Namun dia tetap
berjongkok. Cina itu berada di sebelah kananya dalam jarak empat depa. Cina itu
mulai membentak. Si Bungsu tetap diam. Cina itu melihat si Bungsu tak memiliki
senjata. Dia lalu bergerak mendekat.
Saat itu si Bungsu mendengar pekikkan
Salma dari kamar sebelah. Cina itu makin menyeringai. Dan saat itulah tangan
kanan si Bungsu bergerak. Tangannya terayun menyamping. Dan samurai kecil yang
selalu diikatkannya secara khusus di lengan kanannya, dan tertutup oleh lengan
bajunya, meluncur dengan cepat.
Cina itu tak menyangka sedikitpun.
Samurai kecil itu menancap diantara dua matanya. Mulutnya masih memperlihatkan
seringai buruk. Namun ada rasa heran dan sakit pada sinar matanya. Kedua bola
matanya berputar. Lalu rubuh. Mati!
Dari kamar dimana Salma memekik tadi tak
terdengar lagi suara apa-apa. Si Bungsu berjalan ke jendela. Di luar kelihatan
sebuah sedan.
Berapa orang mereka di rumah ini
sekarang.. pikirnya.
Dia lalu berjingkrat ke kamar dimana
Salma tadi memekik. Mendorong pintunya, dan mengintai ke dalam. Dan saat itu
dia melihat punggung Salma lenyap di pintu samping sana. Bersama seorang Melayu
yang menyeret tangannya.
Ke samping!
Si Bungsu berlari ke samping. Masuk ke
kamar yang menghubungkan dengan taman samping. Dan dia segera mendapatkan orang yang menyeret tangan
Salma. Orang Melayu itu tertegak menatapnya. Tangan kanannya menodongkan pistol
otomatis. Si Bungsu tetap tegak. Dia tak bersenjata sama sekali. Dan lelaki
Melayu itu melihat hal tersebut.
“Hei, awak menelungkup di lantai!”
perintah si Melayu itu.
Si Bungsu mematuhinya. Dia menunduk.
Tangan kanannya bergetar perlahan. Samurai kecil yang diikatkan secara khusus
menurut petunjuk Tokugawa dahulu jatuh dan turun ke telapak tangannya. Ketika
tangan kanannya hampir mencecah lantai, dia menghayunkannya kuat-kuat ke depan.
Orang Melayu yang memegang tangan Salma
itu tak menyangka apa-apa. Tapi tiba-tiba saja jantungnya terasa amat pedih.
Dia mengangkat pistolnya. Tapi pistol otomatik yang biasa dia pergunakan itu
terasa alangkah beratnya. Dia jatuh berlutut. Salma menjauh segera.
Mata si Melayu itu menatap heran pada Si
Bungsu. Si Bungsu bangkit perlahan. Si Melayu itu menatap heran pada si Bungsu. Si Melayu itu jatuh terlentang. Pistol masih ditangannya. Matanya masih
terbuka. Dari mulutnya ada keluhan perlahan. Dia lihat anak muda itu melangkah
kearahnya. Membungkuk diatas tubuhnya. Dan mencabut samurai kecil yang
tertancap di jantungnya. Si Melayu itu hanya bisa melihat sementara mulutnya
terasa kering. Dan nafasnya akhirnya juga kering. Mengirap ke langit. Mati
dengan mata masih terbuka, dengan wajah keheran-heranan.
Si Bungsu menghapuskan darah di samurai
yang panjangnya tak lebih dari sejengkal itu ke lengan di balik lengan baju
panjangnya.
Salma melihat di lengan kanan anak muda
itu ada semacam kulit selebar tiga jari yang melilit tangannya. Dan pada kulit
hitam itu tersisip tiga buah samurai-samurai kecil dengan hulunya menghadap ke
bawah.
“Sulong, A Cong! Sudah selesai?”
tiba-tiba terdengar suara dari kamar tamu. Suara itu jelas dengan aksen India.
Salma menatap si Bungsu. si Bungsu memegang tangan Salma kemudian membawanya
lewat ke pintu belakang.
“Sulong, A…” suara India itu seperti
terputus. Dan si Bungsu dapat menduga, India itu pastilah menemui mayat Cina
yang bernama Acong itu di kamar tengah dekat mayat polisi Singapura.
Dan memang benar. India itu berhasil
menemui mayat temannya. Dia menyumpah-nyumpah dalam bahasa Urdu yang tak
dimengerti oleh si Bungsu maupun oleh Salma.
India itu mulai membuka pintu demi pintu,
dia tertegun. Di tengah ruangan, terlihat temannya yang bernama Sulong itu
tergolek dengan mata terbuka. Dia maju selangkah, dan saat itulah dari samping
sebuah tendangan mendarat di kerampangnya. Tendangan itu amat kuat. Dilakukan
oleh seorang anak muda yang telah melatih diri bertahun-tahun.
Ada suara tak sedap takkala punggung kaki
si Bungsu melanda kerampang India itu. India bertubuh tinggi besar itu tertegak
disana. Matanya jadi juling. Senapan otomatiknya terjatuh. Kedua tangannya
segera memegang instrumen di kerampangnya yang baru saja diterpa kaki si Bungsu.
Dia melenguh. Dan nampaknya, ada beberapa
instrumennya yang rusak fatal kena tendang itu. Dia melosoh turun dengan mulut
berbuih.
Pingsan!
Nah, kini tinggal membereskan sopir di
halaman sana.
Tapi bagaimana caranya? Mereka harus
keluar dari rumah ini secepat mungkin.
Sopir sedan yang parkir jauh di halaman
sana menanti dengan mata terkantuk-kantuk. Lalu dia mendengar suitan. Di pintu
rumah besar itu dia lihat seorang perempuan tegak dengan leher ditekuk oleh
temannya. Temannya yang tegak dibelakang perempuan itu melambaikan tangannya.
Sopir Cina itu menjalankan mobil dan membawanya ke dekat rumah.
Tapi saat itu pula si Bungsu melihat ada lagi yang lain
dibangku belakang sedan tersebut. Dia cepat menarik Salma ke dalam.
“Masih ada yang lain di dalam sedan itu.
Tak ada jalan keluar yang lain?” tanya si Bungsu.
“Ada. Lewat belakang. Tapi harus
meloncati pagar”
“Kita harus coba. Kemana jalan itu
tembusnya?”
“Ke jalan raya”
“Bagus. Ayo cepat”
Mereka berlarian sepanjang rumah.
Sementara sedan terhenti di depan.
Mereka mencapai pintu belakang ketika
yang seorang lagi dari komplotan yang tak diketahui siapa mereka oleh si Bungsu
itu turun.
Dengan pistol di tangan dia membuka
pintu. Dan matanya terbelalak melihat mayat temannya si Cina yang bernama
Acong.
“Mereka lolos!!” teriak orang itu dalam
bahasa Melayu.
Sopir Cina itu turun dan mengambil pistol
dari laci sedannya. Berdua mereka lalu masuk hati-hati ke rumah besar tersebut.
Menyelinap ke kamar demi kamar. Tapi rumah itu kosong!
“Ke belakang!” serunya. Mereka berlari ke
belakang. Dan saat itu di pagar belakang si Bungsu tengah menahan kaki Salma
yang memanjat tembok.
“Berhenti!!” si Melayu itu berteriak.
Saat itu Salma telah melompat ke jalan raya disebelah tembok. Dan kini tinggal
si Bungsu. perlahan dia membalik. Dia melihat dua orang, satu Melayu dan satu
lagi Cina tegak dengan bedil siap ditembakkan padanya.
“Kemari kau!!!” bentak si Melayu.
Yang melayu ini agak tenteram juga
hatinya. Sebab ternyata lelaki di depannya ini tak bersenjata sama sekali.
Si Bungsu melangkah menuruti perintah
kedua orang itu.
Ketika telah dekat, si Melayu itu
menghantamnya dengan sebuah pukulan. Kena mulutnya. Berdarah. Sebuah tendangan
ke perut. Si Bungsu terbungkuk. Terputar. Dan saat berputar itu tangannya
terayun ke belakang.
Dua bilah samurai kecil. Dengan keahlian
yang sulit untuk dipercaya, meluncur dari balik lengan bajunya. Dan kedua
samurai yang sejengkal panjangnya itu, menancap di leher kedua lelaki tersebut!
Menancap hingga ke gagangnya!
Kedua lelaki itu tersentak. Melemparkan
senjata ditangan mereka.
Sebelum kedua lelaki itu jatuh ke tanah.
Si Bungsu berbalik. Kemudian memanjat tembok. Dan melompat ke sebelah. Salma
menanti dengan wajah pucat.
Mereka menghentikan sebuah taksi.
Salma menyebutkan alamat konsulat. Taksi
itu meluncur kesana. Di konsulat, Salma melaporkan pada Konsul tentang
peristiwa yang dialami dirumahnya. Menceritakan tentang sopir konsulat yang
mati terbunuh.
Namun dia tak menceritakan tentang
dokumen yang sekarang ada pada si Bungsu. konsul segera saja menelpon pihak
yang berwenang di Singapura. Menyampaikan protes keras atas lemahnya
perlindungan keamanan bagi anggota korp diplomatik Indonesia.
Pihak pemerintah kota Singapura minta
maaf dan berjanji akan menyelidiki dan mengusut peristiwa itu sampai ke
akar-akarnya.
**000**
Si Bungsu kini tidak lagi tinggal di
konsulat. Meski Konsul berkeras menahannya untuk tetap tinggal disana, namun
anak muda ini berkeras pula untuk pindah.
“Kenapa tidak disini saja Uda tinggal?”
Salma bertanya ketika si Bungsu membenahi
pakaiannya untuk pindah.
“Demi keamanan Nurdin dan kalian semua,
Salma. Dokumen ini nampaknya mengundang bahaya. Kalau saya dan dokumen ini
berada disini, saya bisa membayangkan bahwa akan ada saja orang yang akan
berusaha mengambilnya dengan cara apapun. Saya tak mau kalian celaka karena
ini. Biarkan saya mencari tempat lain. Dari sana saya bisa bebas bergerak”
“Kemana uda akan pindah?”
“Lebih baik engkau tak mengetahuinya
Salma. Tapi percayalah, saya akan selalu kemari melihat kalian”.
Dia lalu melangkah ke pembaringan Nurdin.
Overste itu sudah sadar dari dua hari yang lalu. Namun dia belum bisa bicara.
Belum bisa mengingat apa-apa.
Memang benar apa yang dikatakan dokter
dahulu. Bahwa diperlukan waktu yang amat panjang buat istirahat bagi Overste
ini.
Si Bungsu menatap temannya itu dengan
diam. Nurdin kelihatan menatap padanya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa dia
mengenal mereka. Si Bungsu memegang tangannya.
“Saya harus pindah dari sini Nurdin. Demi
keselamatanmu. Saya tak banyak mengerti tentang tugas-tugas spionase. Tapi saya
akan berusaha sekuat mungkin, sebisa saya, untuk membongkat komplot jual beli
wanita ini. Saya akan lanjutkan tugasmu” si Bungsu berkata perlahan. Meskipun
dia tahu, ucapannya barangkali takkan dimengerti oleh Nurdin.
Salma menangis terisak. Nurdin menatap si
Bungsu dengan diam.
Kemudian si Bungsu memutar tegak.
Memandang pada Salma yang menangis terisak disisi pembaringan suaminya.
Sementara Eka, gadis kecil mereka tetap tegak menatap disamping ibunya.
Dia tatap wanita itu. Perempuan yang
pernah dia cintai sepenuh hati. Dia pegang bahunya.
“Tenangkan hatimu. Nurdin akan sembuh”
lalu dia membungkuk. Mengangkat eka kegendongannya.
“Eka jaga ayah baik-baik ya..”
“Paman akan kemana?”
“Paman akan pindah kerumah teman..”
“Apakah kami tidak lagi teman paman?”
Jantung si Bungsu berdegup mendengar
tanya gadis kecil ini.
“Kenapa tidak, Eka. Kita tetap berteman
bukan?”
“Lalu, kenapa paman pergi?”
“Paman akan mencari orang yang menembak
ayah Eka…”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (84)
Komentar
Posting Komentar