Gadis kecil itu menoleh ke pembaringan
ayahnya. Menatap ayahnya yang masih diam tak bergerak. Ketika dia menoleh pada
si Bungsu, dimatanya kelihatan linangan air.
“Ayah Eka orang baik kan Paman..?”
“Ya. Ayah Eka orang baik…”
“Lalu, kenapa ada orang yang melukainya?”
“Yang melukai orang jahat..”
“Kenapa ayah tak membalas, bukankah ayah
juga punya pistol?”
Si Bungsu hampir kehilangan jawab. Anak
ini ternyata cerdas sekali.
“Ayah eka tak mau menyakiti orang,
meskipun dia bisa berbuat begitu. Nah, karena orang itu jahat, biar paman yang
mencarinya”
“Paman akan memukulnya?”
“Ya. Pasti. Paman pasti memukulnya”
“Jangan dipukul paman”
“Kenapa?”
“Dia telah melukai ayah. Orang itu harus
pamai lukai pula. Paman bunuh saja, aya paman…”
“Ya…”
“Paman berjanji..?”
“Ya, paman berjanji”
“Akan membunuh orang yang melukai ayah?”
“Ya. Paman akan membunuhnya, percayalah”
Tanpa dia sadari, dia memang berjanji
berbuat seperti yang diminta oleh gadis kecil itu.
“Terimakasih paman, terima kasih…” dan
anak kecil itu mencium pipi si Bungsu. Yang kiri. Kemudian yang kanan.
“Paman akan sering melihat kami kemari
bukan?”
“Ya, paman kan sering kemari”
“Eka dan ibu akan sunyi kalau paman tak
kemari…ayah sakit dan tak bisa bermain dengan Eka…sering kemari ya paman…?”
Si Bungsu mengangguk berkali-kali.
Kemudian mencium pipi gadis kecil itu. Lalu memberikannya pada Salma. Dan
diapun berlalu.
Dia menginap di Sam Kok Hotel di daerah
pelabuhan Anting. Yaitu sekitar tempat dimana Nurdin kena berondong peluru
tempo hari.
Seperti yang dia katakan, dia memang tak
mengetahui sedikitpun tentang dunia spionase. Tak tahu. Benar-benar tak tahu
dia akan dunia yang banyak belitnya itu. Namun dia memang bertekad untuk
melanjutkan penyelidikan dan menjalankan pesan Nurdin sesaat setelah dia kena
berondong peluru senapan mesin.
Meski tak punya pengetahuan tentang dunia
spion itu, anak muda ini memiliki modal yang amat besar untuk menjadi seorang
spion.
Yaitu memiliki daya ingat dan firasat
yang tajam sekali. Firasatnya sudah merupakan indera keenam. Yang hampir-hampir
bisa memastikan setiap bahaya yang mengintai dirinya.
Dari firasatnya yang amat tajam itu pula
yang mengisyaratkan padanya, bahwa sejak dia meninggalkan gedung konsulat, dia
telah diikuti orang. Dalam perjalanan menuju ke hotel dia menoleh ke belakang.
Tak ada yang mencurigakan. Banyak mobil yang seiring jalan dengan mereka.
Selintas lihat segalanya wajar-wajar saja. Namun tidak demikian perasaan si
Bungsu.
Di antara puluhan mobil yang searah
dengan taksi yang dia tumpangi, dia yakin ada satu mobil yang sengaja
membuntuti taksi yang dia tompangi. Barangkali mobil berwarna merah darah yang
berjalan persis setelah taksi ini. Atau barangkali taksi berwarna hitam di
belakang mobil merah darah ini? Dia tak tahu dengan pasti. Namun dia ingin
mengujinya.
“Berhenti dibawah pohon di depan sana…”
katanya pada sopir taksi yang orang melayu. Mobil itu melambat. Kemudian
berhenti.
Mobil merah darah itu lewat. Di dalamnya
ada tiga orang lelaki. Tak satupun yang menoleh ke arahnya. Kemudian taksi
hitam gelap itu juga lewat. Di dalamnya ada seorang Cina bertubuh gemuk.
Kegemukannya jelas kelihatan pada wajahnya yang membengkak dan lehernya yang
sebesar leher gergasi.
Cina gepuk itu juga tak menoleh padanya.
Kemudian dia menoleh ke belakang. Tak ada mobil yang berhenti. Hmm, dia tak
yakin.
“Terus…” katanya pada sopir. Dan dia
tetap berkeyakinan ada bahaya mengintainya. Taksi itu berhenti di depan hotel
Sam Kok. Sebuah hotel bertingkat dua dengan bangunan beton yang kokoh bekas
bangunan di zamannya Rafles berkuasa.
Seorang gadis Cina cantik menerimanya dibahagian
penerimaan tamu.
“Mau kamar tuan?” tanya gadis itu.
Si Bungsu mengangguk. Meletakkan koper
kecilnya di atas meja resepsionis. Gadis Cina itu tersenyum manis padanya
sambil mencatat dibuku tamunya. Senyumnya memperlihatkan dua buah lesung pipit
di pipinya.
“Nah, mari saya antar. Kamar tuan di
tingkat atas” gadis itu berkata sambil mengangkat koper si Bungsu.
“Tidak usah. Biar saya yang membawa koper
ini…”
Gadis itu kembali tersenyum. Dan kembali
lesung pipi dipipinya kelihatan. Dia melangkah mendahului si Bungsu. dan dia
tetap juga dahulu ketika menaiki sebuah tangga batu menuju ke tingkat atas. Si
Bungsu yang semula tak menyadari apa-apa karena fikirannya tengah melayang pada
orang yang membuntutinya tadi, tak memperhatikan gadis itu.
Namun ketika dua tangga sudah terlangkahi
tanpa sengaja dia menoleh ke atas. Gadis itu berada tiga anak tangga di
depannya. Dan mukanya menjadi merah takkala terpandang pada betis dan paha
gadis Cina itu.
Gadis bertubuh indah itu memakai rok yang
tak begitu dalam. Si Bungsu cepat-cepat menundukkan kepala. Menatap anak tangga
saja.
Dia seorang lelaki. Bujangan lagi.
Betapapun imannya dia, namun dalam saat-saat tertentu, darahnya gemuruh juga
melihat hal-hal demikian.
Namun tunduknya yang terus-terusan itu
akhirnya membuat dirinya tambah jadi malu. Dia tak tahu gadis itu sudah
berhenti. Dia masih melangkah. Gadis itu memutar tubuh menghadap. Dan saat itu
si Bungsu menabraknya.
Celakanya, wajahnya justru mengenai wajah
gadis Cina yang cantik itu. Dia gelapapan.
“Faam, fa….eh maaf, maaf sorry. Maaf
sorry” katanya gugup. Sungguh mati kejadian itu benar-benar tak dia sengaja.
Gadis itu juga bersemu merah mukanya.
Perlahan dia berbalik dan membuka pintu kamar.
“Silakan, ini kamar tuan” kata gadis itu
sambil mendahului masuk. Si Bungsu menurut seperti kerbau yang dicocok
hidungnya.
Gadis itu membuka jendela. Di depan sana,
kelihatan laut membentang dan puluhan kapal berayun-ayun dimainkan ombak.
“Kalau panas, kipas angin ini bisa tuan
hidupkan. Dan kalau tuan perlu sesuatu, tuan bisa menekan bel itu untuk
memanggil pelayan. Untuk ke kamar mandi dan WC tuan terpkasa berjalan ke ujung
gang di luar kamar. Tak ada kamar mandi khusus di dalam kamar di hotel ini…”
Gadis itu menatap si Bungsu. si Bungsu
meletakkan koper kecilnya di tempat tidur.
“Ada yang tuan perlukan?”
“Buat sementara tidak. Terimakasih”
Gadis itu mengangguk, kemudian melangkah
keluar. Menutupkan pintu dan sesaat masih sempat menatap pada si Bungsu yang
juga tengah menatap padanya.
Kemudian gadis itu lenyap ketika pintu ditutupkan.
Si Bungsu masih tetap tegak sesaat. Kemudian membuka sepatu. Membuka baju. Lalu
berjalan ke jendela. Menatap ke laut. Menatap pelabuhan yang ramai dan hinggar
bingar. Menatap kapal yang membuang sauh di kejauhan.
Kapal-kapal tak satupun yang merapat ke
dermaga. Laut di sekitar dermaga nampaknya terlalu dangkal untuk dirapati.
Karenanya kapal-kapal terpaksa buang jangkar sekitar setengah mil di teluk
tersebut. Di bawah, dilihatnya jalan raya membentang dengan mobil yang
berseliweran. Dan itu di sana, sekitar lima ratus meter dari hotelnya, dia
lihat jalan ke daerah pelabuhan itu.
Di sanalah mobil mereka diberondong
peluru. Ingat akan Nurdin yang terbaring di gedung konsulat itu, si Bungsu
ingat pula pada dokumen yang ada padanya. Dia membiarkan jendela tetap terbuka.
Kemudian berjalan ke tempat tidur. Mengambil koper kecilnya. Dalam koper kecil
itulah semua miliknya tersimpan. Mulai dari beberapa stel pakaian, termasuk
dokumen yang mereka ambil dari rumah Nurdin di Brash Basah Road.
Dokumen itu dia letakkan di tempat tidur.
Kemudian memasukkan kopernya ke lemari. Sebelum berbaring dia mengunci pintu
kamar. Kemudian membuka samurai-samurai kecil yang terikat secara khusus di
lengan kanannya.
Dan dia segera ingat pada Tokugawa. Bekas
kepala Jakuza itulah yang mengajarnya mempergunakan samurai-samurai kecil ini.
“Ada saatnya kelak, dimana engkau tak
mungkin membawa-bawa samurai panjang kemana engkau pergi Bungsu-san. Namun
demikian, bukan berarti bahaya meninggalkan kita pula. Orang seperti engkau,
akan tetap saja banyak musuh.
Saya yakin, permusuhan datangnya bukan
dari dirimu. Tapi dari pihak orang lain. Mungkin karena niat jahatnya engkau
halangi. Mungkin karena dia iri padamu. Tapi yang jelas, engkau akan tetap
punya musuh. Sebab apa yang engkau jalani saat ini, telah kulalui ketika muda.
Nah, disaat seperti itu Bungsu-san,
engkau memerlukan senjata khusus untuk membela dirimu. Ada berbagai cara orang
membela dirinya. Ada yang belajar Karate dan Yudo, barangkali dinegerimu orang
belajar silat. Ada pula yang memakai senjata api. Dan di tiongkok maupun di
negeri Jepang ini, tak sedikit yang mempergunakan samurai-samurai kecil ini
sebagai pelindung dirinya.
Samurai ini sangat efektif. Tak
menimbulkan bunyi. Dan kalau dia diikatkan secara khusus di lengan, ditutup
dengan lengan baju, maka tak seorangpun yang menyangka bahwa engkau memiliki
senjata ampuh”
Dan Tokugawa memang mengajarkan si Bungsu
mempergunakan samurai yang panjangnya tak sampai sejengkal dengan besar sekitar
sejari. Selain itu dari Kenji dia belajar dasar-dasar Yudo dan Karate.
Dia kurang tertarik pada Yudo dan Karate.
Sebab dahulupun ketika ayahnya menyuruh belajar silat, dia juga sangat tak
tertarik. Ternyata samurai-samurai kecil itu telah menolongnya sangat banyak
ketika melawan komplotan penjual wanita beberapa hari yang lalu di jalan Brash
Basah.
Samurai-samurai kecil itu dia letakkan
diatas meja. Lalu dia berbaring. Mebalik-balik dokumen itu. Untung saja dokumen
itu tertulis dalam bahasa Indonesia. Dia melihat beberapa peta. Beberapa foto.
Beberapa alamat dan nama-nama. Peta kota Singapura yang ditandai. Kemudian peta
kota Jakarta yang juga ditandai di beberapa bahagian.
Dan saat itu pula pintu kamarnya terbuka
dengan paksa. Dia terlonjak bangun. Namun pada saat yang sama, seorang lelaki
yang lebih mirip babi gemuk, sudah tegak disisinya. Cina gemuk yang tadi berada
dalam taksi hitam pekat!
Aneh, segemuk ini tubuhnya, kenapa dia
tak mendengar langkah Cina itu ketika naik. Dan lagi pula, buku-buku tangannya
nampak membengkak. Tak pelak lagi, ketika tadi dia mendapatkan pintu kamar anak
muda ini terkunci, dia telah mempergunakan buku tangannya memukul hancur pintu
tersebut.
Sebelum si Bungsu dapat berbuat lebih
banyak, tangan Cina itu yang besarnya lebih kurang sebesar paha si Bungsu,
terayun. Si Bungsu menunduk. Namun tangan gemuk seperti perut babi itu alangkah
cepatnya bergerak.
Kepala si Bungsu kena gebrak. Anak muda
itu segera terbanting. Pukulan itu bukan
main dahsyatnya. Tubuh si Bungsu terangkat, terlambung dan menabrak lemari.
Kaca lemari hancur. Tubuh si Bungsu terpuruk kedalamnya. Terlipat dan tak
bergerak!
Cina gemuk itu benar-benar yakin pada
pukulannya. Dia tak acuh saja pada si Bungsu. dengan tenang dia mengumpulkan
dokumen yang tadi di baca si Bungsu yang kini berserakan di lantai. Ketika
beberapa orang yang menginap di kamar sebelah menyebelah melihat ke kamar itu,
Cina gemuk itu menoleh pada mereka. Tersenyum.dan senyumnya memperlihatkan
giginya yang kuning. Mungkin ada sekitar dua kilo taik gigi bersarang digiginya
yang setengah gondrong itu.
“Tak ada apa-apa la. Hanya sikit
gelut-gelut. We punya kawan bobok dalam lemali…he…he” Cina itu coba menjelaskan
pada pengunjung di pintu kamar. Para pengunjung tak diundang itu cepat-cepat
menarik diri. Masuk ke kamar mereka. Takut dibawa serta pula dalam
“gelut-gelut” seperti yang dikatakan raksasa sipit itu. Dan takut kalau disuruh
tidur pula dalam lemari. Hih!
Selesai membenahi dokumen, Cina gemuk itu
pula berjalan kepintu tanpa menoleh pada tubuh si Bungsu yang entah hidup entah
sudah berpulang ke akhirat. Dia melangkah sambil mulutnya dimonyongkan. Lalu
terdengar siulnya perlahan seperti bunyi peluit kapal pecah.
Dan mungkin karena siul maut itu pula si
Bungsu yang “tidur” dalam lemari itu mulai menggoyangkan kepala.
Cina gemuk itu turun ke jenjang. Si
Bungsu keluar dari lemari. Bahunya luka dimakan kaca. Kepalanya
berdenyut-denyut. Sempat dua kali aku dihantam Cina itu, maka akupun sampailah
di jembatan Siratol Mustaqim, pikirnya.
Cina itu berpapasan dengan gadis yang
tadi mengantar si Bungsu ke kamarnya.
Ternyata dia mendengar suara ribut.
Karena masih ada tamu, dia tak sempat ke atas. Kini baru bisa. Dan dia
berpapasan dengan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu menghentikan siulnya yang
mirip kapal retak tersebut. Tersenyum, ah lebih tepat dikatakan nyengir, kepada
gadis cantik itu.
“Ada apa ribut di atas?” tanya gadis itu
sambil tetap melangkah ke atas. Namun tiba-tiba tubuhnya tersentak. Cina gemuk
itu menyentakkan tangan si gadis, dan tubuh gadis itu jatuh kepelukannya. Si
gemuk hanya memeluknya dengan sebelah tangan. Tangan kiri. Seperti memeluk
boneka kecil dari plastik saja.
“Tak ada libut. Hanya sikit
gelut-gelut..” sehabis berkata begini, si gemuk mengirimkan sebuah sun kepipi
gadis cantik ini.
Bukan main muka dan berangnya gadis itu,
dia meludahi muka si gemuk yang kayak babi itu. Ludahnya mendarat dihidung si
Cina. Tapi cina gemuk itu tak berang. Malah tertawa senang. Dia lepaskan gadis
itu. Kemudian menghapus ludah di hidungnya. Lalu menjilatnya. Gila!
Gadis itu berlari ke atas. Melihat pintu
kamar anak muda tadi hancur. Lalu masuk, dan saat itu dia hanya melihat
punggung anak muda itu saja ketika yang terakhir ini melompat dari jendela
tingkat dua itu ke jalan di depan hotel di bawah sana!
Gadis itu memburu, melihat ke bawah kelihatan
parkir taksi hitam pekat yang tadi ditompangi babi gemuk itu. Tapi anak muda
yang baru melompat ke bawah itu tak dia lihat. Dia balik lagi ke bawah.
Sementara itu, si gemuk itu sudah sampai
di Lobby hotel. Dengan gerakkan seperti babi bunting, dia menuju ke pintu. Di
pintu ada tamu yang masuk dan berjalan ke arahnya. Dan tiba-tiba Cina itu
tertegak. Dia mengernyitkan kening. Salah lihatkah dia?
Tamu yang baru masuk ini mirip sekali
dengan anak muda yang tadi dia gelut-gelut dan dia suruh tidur dalam lemari.
Salahkah dia?
Bersambung ke…..Tikam Samurai (85)
Komentar
Posting Komentar