Meski dia tak ditugaskan untuk turun
tangan langsung, namun dia ikut bertanggungjawab. Maka kalau si gemuk itu kalah
nanti, dia akan ikut jadi korban. Harapannya tinggal satu kini, yaitu agar si
gendut itu menang.
Perkelahian berlanjut lagi. Suatu saat si
gemuk berhasil mendekap tubuh Belanda itu. Dia dekap dengan kuat ke tubuhnya
seperti memeluk kekasih. Dengan kedua tangannya yang masih bebas. Belanda besar
itu menghantam pelipis dan pangkal telinga Cina itu. Namun dia jadi kaget. Cina
itu tak mengubris serangan itu samasekali.
Dan kini tubuhnya dipiting dengan kuat
oleh Cina gendut itu keperutnya yang besar. Dengan perlahan, tapi pasti,
Belanda itu mulai kehabisan nafas. Dekapan Cina itu alangkah luar biasa
kuatnya. Muka Cina itu mulai merah dan
berpeluh karena dia mengerahkan tenaganya. Belanda itu berusaha meronta untuk
membebaskan diri. Namun pagutan Cina itu seperti pagutan gurita raksasa. Tak
tergoyahkan.
Belanda itu mengangkat tangannya kembali.
Memukulnya dengan kuat ke pelipis Cina itu. Cina itu menyeringai. Pukulan itu
seperti tak dia rasakan. Belanda itu sudah pucat. Nafasnya sudah sejak tadi tertahan
oleh kepitan raksasa itu.
Dan tiba-tiba matanya terpandang pada
mata sipit Cina gemuk itu. Ya, mata Cina ini adalah bahagian terlemah yang tak
terlindung. Cuma apakah bahagian matanya juga kebal? Belanda itu akhirnya
menyerang dengan harapan terakhir. Dia memang tak pernah belajar tusuk menusuk
dengan jari. Dia hanya tahu main boksen dan gulat. Tapi kini kedua ilmunya itu
punah.
Dipunahkan oleh kekuatan Cina yang luar
biasa ini. Dengan menggertakkan gigi dan mengerahkan sisa tenaganya, dia
menusukkan kedua jari telunjuk dan jari jari tengahnya yang kanan ke mata Cina
tersebut. Cina itu sebenarnya sudah akan meremukkan tulang belulang si Belanda.
Tapi tiba-tiba matanya jadi gelap. Pedih. Dan sakit bukan main. Dia meraung.
Lalu menghempaskan tubuh Belanda itu ke lantai!
Belanda itu meraung pula begitu tubuhnya
tercampak. Dia seorang pegulat, jatuh terhempas merupakan hal kecil. Tapi kali
ini, dengan hempasan Cina gemuk ini, sakitnya terasa amat melinukan jantung.
Cina itu menutup matanya dengan tangan. Matanya
berdarah. Tusukkan jari tangan Belanda itu bukan main kuatnya. Untung saja
matanya tak copot keluar. Tapi meski tak copot keluar, tusukan itu cukup
membuat matanya tak bisa melihat.
Dan Cina itu tahu, bahaya tengah
mengintainya. Karena itu, begitu dia mendengar lawannya memekik di lantai, dia
segera maju kesana. Dia hanya memakai perkiraan saja, dan kakinya terangkat.
Lalu dia hujamkan kebawah. Ketempat dimana kepala belanda itu dia perkirakan
terletak. Perkiraannya tak meleset, hanya perhitungannya agak meleset. Belanda
itu sudah menelentang. Begitu dia lihat Cina itu menghantamkan kakinya ke
bawah, dia berguling menyelamatkan nyawa.
Lalu sambil tegak dia putar kakinya dalam
bentuk sapuan yang amat kuat ke kaki Cina itu. Cina yang tak melihat apa-apa
itu tersapu kakinya. Tubuhnya jatuh berdembum ke lantai. Saat berikutnya adalah
peristiwa yang mengerikan. Belanda yang bertubuh besar kekar itu melambung
tinggi. Dan dalam suatu gerakan gulat profesional tubuhnya meluncur turun
dengan kedua kaki menghujam ke arah dada Cina yang terbaring menelentang itu.
Terdengar suara tulang patah. Cina itu
meraung lagi. Darah menyembur dari mulut dan hidungnya. Merasa masih belum
puas, Belanda itu mengalihkan tegak. Lalu kakinya terayun dalam bentuk sebuah
tendangan yang amat kuat. Tendangan mendarat di selangkang Cina itu. Cina itu
tak lagi meraung. Mulutnya ternganga. Mukanya berkerut. Tangannya yang tadi
mendekap mata, dalam gerak perlahan sekali berusaha memegang selangkangnya.
Namun gerakkannya terhenti setengah jalan. Gerakkan itu tak sampai. Karena
nyawanya sudah terbang. Cina itu segara saja beralih status dari seorang
manusia gemuk menjadi seorang almarhum.
Belanda itu berhenti dengan nafas
terengah. Menatap pada bosnya dengan peluh membanjiri muka. Bosnya tersenyum.
Baginya sama saja siapa yang menang atau siapa yang kalah. Tak peduli dia. Bos
ini menoleh pada si keling yang tegak dengan lutu gemetar. Lalu memberi isyarat
dengan gerakkan kepala. Dan si keling jadi negrti. Dia berjalan ke arah
almarhum gemuk itu. Memegang tangannya, dan menyeretnya. Tapi malang, tubuh
Cina bukan main beratnya. Tak bergerak di tarik, meski Keling itu tubuhnya juga
berdegap besar.
Dia beranjak dari arah tangan. Berjalan
ke arah kaki. Kini dia pegang kaki Cina itu. Lalu menariknya. Tak bergerak!
Cina ini nampaknya bukan hanya karena
gemuknya saja, tapi karena dosanya juga maka tubuhnya berat setelah dia mati.
Menurut orang meski seseorang bertubuh besar, tapi kalau dia banyak beramal dan
baik, maka kalau dia mati, tubuhnya jadi ringan. Dan kata orang pula, kalau
banyak dosa, meski badan kurus kerempeng, maka mayatnya akan terasa amat berat.
Nah, Cina yang satu ini, sudahlah
tubuhnya kayak kerbau bunting dua puluh bulan, ditambah dosanya yang sudah
delapan belas gerobak, kini tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun ditarik
kawannya. Dan yang menderita adalah temannya ini. Dengan ketakutan, keling itu
coba lagi menarik mayat temannya. Tapi sungguh mati, mayat itu tak bergerak.
Sedang untuk mengangkat sebelah kakinya saja, Keling besar itu harus
mengerahkan seluruh tenaganya?
“Tak bisa?” Bos yang orang Inggris itu
bertanya. Keling itu menunduk dengan putus asa.
“Lalu mengapa saja kau yang bisa?”
Keling itu menunduk dengan wajah yang
patut dikasihani. Dia menatap mayat temannya. Dan dia merasakan kini, temannya
ini justru lebih beruntung dari dirinya. Sekurang-kurangnya, mayat ini sekarang
tak lagi merasakan ketakutan, pikirnya.
Perlahan tangan bos itu bergerak ke meja.
Menyingkirkan koran dan majalah dengan gambar telanjang di depannya. Dan dibawah
majalah dengan gambar wanita-wanita cantik bertelanjang itu, dia mengambil
sepucuk pistol otomatis.
“Mau ini?” tanyanya. Keling itu
mengangkat kepala. Menatap pada moncong pistol yang mengarah ke arahnya. Dia
mengangguk perlahan. Tapi pada saat yang sama dia menyadari, bahwa bosnya itu
bukan mau memberikan pistol itu padanya, melainkan mau memberikan timah
pansanya. Makanya dia cepat menggeleng dan berkata.
“Nehi. Nehilah bos. Kita orang nehi
maulah..”
Bosnya menatap dengan mata dingin.
Mengangkat pistol setinggi kepala si Keling. Keling itu mengangkat tangannya
seperti menutup wajahnya dari mulut pistol yang seperti menyeringai kearahnya
itu.
“Nei. Nehii…” katanya sambil mundur. Dan
pistol itu memang tak menyalak. Bos yang orang Inggris itu menatap ke arah si
Keling. Si Keling yang merasa nyawanya selamat, memandang pada bosnya yang
kelihatan memandang padanya dengan heran.
Keling itu juga jadi heran. Dan
ikut-ikutan mengerutkan kening. Lalu melihat ke belakang, dan dia jadi kaget.
Ternyata bosnya memandang kebelakangnya. Bukan pada dirinya. Di belakangnya,
entah kapan datangnya, telah tegak seorang lelaki asing. Di tangan kirinya
terpegang sebuah tongkat panjang. Orang asing itu masih muda. Dan keling ini
bisa menerka, orang itu pastilah orang Melayu atau orang Indonesia. Dia
menyingkir dari tempat tegaknya. Memberikan keleluasaan pada bosnya untuk
menatap orang itu.
Keling itu bersukur atas kehadiran orang
asing itu. Sebab dengan kehadirannya, nyawanya telah selamat. Meskipun untuk
sementara. Dan orang asing itu tak lain daripada si Bungsu.
Kenapa dia bisa hadir disana, dikandang singa itu?
Padahal tadi dia berada di penginapan Sam Kok setelah ditempeleng dan jatuh
bergulingan bersama gadis cantik anak pemilik hotel itu?
Ceritanya.
Semula dia ingin membuat perhitungan
disana juga. Dia ingin membabat habis si gendut itu. Dia yakin, sekali dia
mengayunkan tangan, ketiga samurai kecil itu akan melayang dan menyudahi nyawa
si gendut. Tapi secara tiba-tiba ketika si gendut itu melambai dan mengucapkan
bai-bai padanya di pintu hotel, sebuah pikiran lain menyelinap di kepalanya.
Kalau dia babat di hotel, maka dia takkan
tahu dimana markas mereka. Lagipula dia takkan tahu siapa-siapa di belakang
sindikat jualbeli perempuan ini. Makanya si Bungsu mengikuti si gendut dengan
taksi.
Taksi si Bungsu berhenti di luar. Si
Bungsu membayar sewanya. Dia sendiri lalu mencari jalan untuk bisa masuk. Rumah
ini ternyata berpagar tinggi. Si Bungsu terpaksa memanjat pohon mahoni lalu
melompat ke pagar, baru terjun ke halaman. Untung saja pengalaman di gunung
Sago dahulu memudahkan pekerjaannya sekarang ini.
Dia lalu mengendap-endap ke dakt rumah
tersebut. Sedan hitam itu dia lihat parkir di depan teras. Dan dari dalam
terdenar suara orang bicara perlahan. Ketika dia akan mendekati lagi, dia
dikejutkan oleh salak anjing. Ketika dia menoleh, anjing besar itu siap untuk
menerkamnya. Tak ada jalan lain bagi anak muda ini selain mengayunkan tangan.
Dan dua buah samurai kecil terbang dengan kecepatan kilat. Lalu menancap di
leher anjing besar itu. Dan anjing itupun tamatlah riwayatnya. Gonggongannya
yang dua kali itu sebenarnya adalah gonggong yang tadi terdengar oleh
orang-orang yang ada dalam rumah tersebut.
Tapi karena saat itu si Belanda tengah
bertarung dengan Cina gendut itu, maka gonggongan tersebut tak diacuhkan. Kalau
saja mereka memperhatikan gonggongannya, dan melihat keluar, mungkin si Bungsu
takkan sempat masuk rumah. Dan si Bungsu masih sempat mengintai perkelahian
serua antara si Belanda dengan si Cina lewat kaca jendela. Dia merasa negri
juga melihat pertarungan itu berlangsung. Kalau saja dia yang dipagut Cina
gendut itu, maka dia yakin nyawanya sudah melayang dengan seluruh tulang
ditubuhnya patah-patah. Dan bulu tengkuknya berdiri semua melihat Belanda itu
menyudahi nyawa si Cina gendut.
Hih, ini memang bukan pekerjaan main-main
pikirnya. Dan dia masuk ketika si Keling kena ancam dikala tak berhasil
menyeret mayat Cina gendut itu. Dan kini, orang Inggris yang tak berbaju itu
melihat kedatangan anak muda tersebut dengan heran. Kenapa orang asing ini bisa
masuk, kemana si Bleki, anjing besar itu, pikirnya.
Dia bersiul. Siulnya melengking tinggi.
Siulnya memanggil anjingnya. Namun anjing itu memang sudah mati kok. Tentu saja
tak pernah datang.
Bos itu memberi isyarat pada si Keling.
Dan seperti seekor anjing pula, si Keling itu berlalri ke luar. Dan di halaman,
dekat pohon pinang merah, dia melihat anjing itu ditidurkan malaikat maut.
Darah mengenang dekat lehernya. Dia berlari lagi masuk.
“Mati…” katanya.
Orang inggir itu menatap pada si Bungsu.
“Kamu bunuh anjing itu he?” suara sengau
seperti suara kepinding terdengar dari mulut orang Inggirs itu.
“Tidak. Saya tak minta izin padanya untuk
masuk kemari. Dia lalu bunuh diri…” si Bungsu menjawab seenaknya.
Inggris itu mengeluarkan suara menggeram.
Namun dia suka juga mnedengar guyon anak muda ini
“Nah, kalau begitu, engkau harus minta
izin pada anjing yang satu ini….” Inggris itu menunjuk pada si Keling.
Dan bagi si Keling, ini adalah perintah
untuknya. Perintah untuk menyudahi nyawa anak muda itu. Dan perintah itu
sekaligus juga sebagai keringanan hukuman baginya. Artinya, kalau saja dia bisa
menyudahi anak muda ini, maka nyawanya akan bisa pula selamat.
Nah, diapun bersiaplah. Dia bersiap
dengan suatu keyakinan bahwa dia bisa menyudahi anak ingusan ini. Bukankah
temannya, Cina gendut yang telah mati itu tadi berkata, bahwa anak muda ini
terberak-berak ketika digertak?
Keling itu maju. Si Bungsu tegak dengan
diam. Dia ak tahu apa kepandaian orang yang satu ini. Kalau si gendut Cina itu
mahir Kuntau dan Yiu Yit Su, dan si Belanda mahir dengan boksen dan gulat, maka
apa pula kemahiran si Keling ini?
Dia coba mengingat-ngingat, apa kemahiran
orang India dalam berkelahi. Seingatnya tak pernah ada yang menonjol. Orang
India seingatnya hanya mahir bermain suling untuk menjinakkan ular atau mahir
menyanyi dalam film-film. Apakah Keling ini akan memainkan sulung atau akan
menyanyi, pikirnya.
Tapi Keling yang satu ini bukan sembarang
orang pula. Memang tak sembarang orang bisa masuk jadi anggota sindikat
Internasional penjual wanita di kota Singa ini. Keling itu mengyunkan kakinya.
Kakinya panjang seperti umumnya orang keling yang lain. Ayunan kakinya berisi
juga. Namun si Bungsu tak usah banyak bergerak kalau hanya sekedar
menghindarkan tendangan model demikian.
Samurainya dia ayunkan kebawah. Pletok!!
Sarung samurai itu menggetok lutut orang
keling itu. Keling itu menyeringai. Matanya juling seketika. Namun dia tak mau
kalah. Sebab kekalahan baginya berarti maut. Ini adalah kesempatan akhir
baginya untuk menyelamatkan nayawa yang tinggal diujung tanduk.
Dengan memekik ala kingkong mabuk dia
menyerang dengan sebuah tinju. Tinjunya mirip tinju dalam film koboi. Dan si
Bungsu kembali menghantamkan samurainya. Kena tepat disiku Keling itu. Keling
itu juling lagi matanya. Sakit menyerang hulu hatinya. Namun dia tak pernah mau
mundur. Bukankah ini kesempatan terakhir baginya? Dia maju, dan kali ini
ditangannya ada sebuah belati!
Kali ini si Bungsu tak mau main-main.
Begitu tangan si Keling terayun, tangannya juga terayun. Si Bungsu ingin
menyelesaikan persoalan ini dengan cepat. Betapapun, dia harus kembali jadi
tukang bantai. Menjual wanita! Bukankah itu sebuah pekerjaan yang alangkah
jahanamnya/ apalagi yang diperjualbelikan adalah wanita-wanita dari Indonesia.
Dalam dokumen yang sempat dia baca sebelum Cina gemuk itu
datang ke hotel Sam Kok, dia ketahui, bahwa banyak diantara gadis-gadis
Indonesia yang ditipu. Anggota-anggota sindikat datang kebeberapa rumah,
dikampung-kampung. Mencari gadis atau janda, bahkan isteri orang yang cantik
untuk ditawari pekerjaan ringan bergaji besar. Yang mau segera dibawa. Yang tak
mau dibujuk dengan berbagai cara. Dan jika sudah berhasil, lalu dibawa ke
kantor atau ke tempat pekerjaan yang mereka harapkan.
Mereka langsung dibawa ke kapal. Dan
disekap dalam ruangan bawah. Jika jumlah yang dikehendaki sudah terpenuhi, maka
kapalpun berangkat. Langsung ke Singapura. Kaum sindikat ini tak pernah
khawatir akan kepergok dengan patroli lautan dari pihak Indonesia. Ada tiga
penyebab kenapa mereka tak takut.
Pertama, kapal patroli Indonesia saat itu
memang tak berapa buah. Kedua, kalaupun kepergok, mereka cukup mengatakan bahwa
mereka membawa getah. Kalau diperiksa, mereka cukup memberikan sejumlah uang.
Biasanya dengan uang segalanya jadi beres. Tentang uang mereka tak usah cemas.
Cukup banyak uang tersedia guna menjalankan operasi itu. Ada uang dollar ada
uang rupiah. Tapi yang terbanyak adalah rupiah palsu. Namun dimata aparat
Indonesia, perbedaan uang palsu dengan yang tak palsu tak mereka ketahui. Dan
ditahun-tahun lima puluhan ini, uang palsu bukan main banyaknya beredar di
Indonesia.
Itu baru dua hal kenapa mereka tak takut
menghadapi aparat hukum di Indonesia. Kalaupun kedua hal itu gagal, artinya
kalau kepergok kapal patroli, alalu aparatnya disogok, tapi masih tetap gagal
karena mental dan pengabdian aparatnya kukuh, meski biasanya mental aparat
Indonesia yang bertugas di laut saat itu kebanyakan bobrok, tapi mereka tetap
saja tak kehilangan akal.
Akal ketiga adalah Bedil!
Ya, mereka memiliki bedil. Mulai dari
pistol sampai ke mitraliur ukuran ringan. Senjata-senjata itu tersimpan dengan
rapi, namun bisa diambil dan dipergunakan setiap saat diperlukan.
Dalam dokumen yang dibuat Overste Nurdin
itu juga si Bungsu membaca bahwa di kapal saja perempuan itu sudah dijadikan
pemuas nafsu binatang para awaknya. Dan jangan lupa, masih dalam dokumen yang
sama tertulis bahwa awak kapal dan anggota sindikat yang di Jakarta, adalah
orang Indonesia asli!
Tapi untuk uang, persamaan Bangsa dan
Tanah Air ternyata tak berguna dalam menyelamatkan kehormatan seseorang. Dan si
Bungsu memang berniat menebas seluruh anggota sindikat yang dia jumpai!
Dan Keling itu memang malang. Dia tak
tahu apa yang menyebabkan dirinya lumpuh. Jatuh. Dan mati.
Si Bungsu kini memandang tepat-tepat pada
orang Inggris yang masih memegang pistol itu.
Bayangan sepuluh hari yang lalu melintas
lagi di kepelanya. Yaitu ketika dia bersama Nurdin akan keluar dengan taksi
dari daerah Pelabuhan di Anting. Sesaat sebelum taksi mereka dimakan peluru, ia
meoleh ke belakang. Di belakangnya sebuah taksi mendekat.
Di depannya kelihatan duduk dua orang
asing. Yaitu satu memegang kemudi. Yang satu kelihatan memegang sebuah tongkat.
Ketika hampir mendekati taksi mereka, orang asing yang memegang tongkat itu
mengeluarkan tongkatnya makin panjang. Dan dia melihat tongkat itu adalah
moncong senjata. Kemudian dia menunduk. Terdengar tembakan. Nurdin terkulai.
Namun wajah orang asing itu tak pernah lekang dari ingatannya. Dia ingat benar.
Berambut pirang dengan mata biru.
Dan kini, dihadapannya, orang asing yang
menembak Nurdin itu, duduk di depannya tanpa baju. Di tangannya terpegang
sebuah pistol otomatik. Dan si Bungsu seperti mendengar suara anak Nurdin
sesaat sebelum dia meninggalkan gedung Konsulat untuk pindah ke Hotel Sam Kok.
“Dia telah melukai ayah. Orang itu harus
paman lukai pula. Paman bunuh saja. Ya paman? Paman mau berjanji akan membunuh
orang yang melukai ayah…?’
“Ya, paman akan membunuhnya. Percayalah…”
Dan perjanjiannya dengan anak sahabatnya
itu seperti menyentak jantungnya.
“Hmmm, kamu mau berlagak di depan saya
he? Ayo maju koe kemari anjing!” dan sambil berkata begitu orang Inggris itu
melepaskan sebuah peluru. Peluru itu menerpa pelipis si Bungsu. memutus puluhan
helai rambutnya. Sebuah tembakan yang amat terlatih. Tak melukai kulit
sedikitpun.
“Majulah kemari anjing! Kalau tidak,
peluru ini akan menyudahi nyawamu…” Inggris itu ngomong lagi. Si Bungsu masih
tegak dengan diam. Semburan peluru ketika di daerah pelabuhan dahulu masih
membayang dikepalanya.
Namun saat itu orang Inggris tersebut
memang membuktikan ucapannya. Pistol di tangannya menyalak dan peluru diarahkan
ke jantung si Bungsu. namun mata si Bungsu yang waspada melihat gerak jarinya
ketika akan menarik pelatuk. Sebelum dentuman berbunyi, dia melemparkan
tubuhnya ke samping. Seiring dengan itu, samurai panjangnya melayang dalam
kecepatan kilat!
Samurai itu menancap di sandaran kursi si
Inggris. Persis di tentang jantungnya! Namun orang Inggris itu ternyata juga
sudah matang dalam perkelahian begini. Kalau tidak, mustahil dia menduduki
tempat yang cukup tinggi dalam sindikat. Karena begitu samurai si Bungsu
menancap di kursinya, dia tak lagi ada disana! Dia sudah duluan menghindar. Si
Bungsu segera tegak. Dan jadi kaget melihat samurainya hanya menerkam sandaran
kursi. Dan lebih kaget lagi dia, ketika menoleh kesamping. Orang Inggris itu
tegak di sana dengan sikap petenteng-petentengan. Memandang padanya dengan
sikap seorang jagoan menatap penjahat kelas teri!
“Hmm, ayolah berlagak lagi kau monyet…!”
suaranya mendesis. Si Bungsu tegak lurus. Menatap diam ke arah orang Inggris
yang sejak tadi sudah memakinya sebagai anjing dan monyet ini.
Sebuah letusan bergema. Dan pelurunya
menerkam paha si Bungsu. anak muda itu terpental ke belakang. Terguling di
lantai.
“Ayo, bangkitlah. Coba berlagak jagoan
padaku…!” dan sebuah letusan bergema lagi. Pelurunya menerkam lengan kanan si Bungsu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (87)
Komentar
Posting Komentar