Anak muda itu terguling untuk
keduakalinya. Empat kali tembakan. Berarti kini masih tersisa satu peluru lagi.
“Bangkitlah. Kau seorang jagoan bukan?
Dan seorang jagoan biasanya sok perkasa. Kalau akan ditembak suka tegak lurus
dan menantang dengan dada terbuka dengan mata menatap tegas seperti mata
anjing. Kau tegaklah dan cobakanlah sikap gagah perkasa konyolmu itu…! Kalau
tidak kepalamu akan keremukkan ketika menelungkup itu….”
Orang itu nampaknya memang tak main-main.
Dan si Bungsu memamng berusaha untuk tegak. Darah sudah berceceran di lantai.
Dia menggigit bibir. Kepalanya mulai pusing. Kebanayakan mengeluarkan darah
bisa membahayakan dirinya. Dia tahu benar akan hal itu. Namun dia teringat lagi
pada permintaan Eka, gadis kecil Overste Nurdin.
“Paman berjanji akan membunuh orang yang
melukai ayah, ya paman?”
“Ya, paman berjanji..”
Dan dia bangkit. Tegak dengan tangan
tergantung lemah keduanya. Lengan kanan dan paha kirinya telah berlumur darah.
Sakitnya hanya Tuhan yang tahu.
“Nah, kini kau datang kesini sambil
merangkak. Cepaat..!” perintah orang Inggris itu menggeledek. Si Bungsu
menurut. Dia membungkuk. Tangan kirinya bergoyang. Dua buah samurai kecil yang
diikat di lengan kirinya itu melosoh turun. Disambut jari-jarinya. Terlindung
dari penglihatan si Inggris oleh punggung tangannya.
Dan kini terpaksa mempergunakan samurai
yang dilengan kiri. Sebab tangan kananya sudah lumpuh. Ini adalah kesempatannya
yang terakhir. Kalau kesempatan ini tak dia pergunakan, maka tamatlah
riwayatnya. Dia membungkuk terus untuk memenuhi perintah si Inggris agar dia
merangkak. Tapi begitu tubuhnya membungkuk itu, tubuhnya berputar. Dia pikir
orang itu pening dan akan jatuh ke lantai.
Namun si Bungsu berputar sambil
melemparkan kedua samurai kecil itu di tangan kirinya. Dan kedua samurai itu
menancap di tenggorokkan si Inggris . masuk hingga hulu samurai itu hanya
nampak satu senti. Yang satu menancap di leher si Belanda yang tadi mengalahkan
Cina gendut itu. Samurai yang satu itu hanya menancap separohnya. Namun Belanda
itu seperti orang dicekik setan. Matanya juling dan lidah terjulur. Dia
berusaha untuk mencabut samurai itu dari lehernya.
Namun usahanya itu alangkah sulitnya dia
lakukan. Darah melelh di sela batang samurai kecil itu. Akhirnya yang mampu dia
lakukan adalah jatuh. Belum mati. Yang sudah mati adalah si Inggris yang
memegang pistol otomatik itu. Ujung samurai kecil itu menyembul sedikit di
tengkuknya. Dia merasakan nafasnya sesak. Jantungnya sperti akan pecah. Dia
mengangkat pistol. Berusaha menarik pelatuknya.
Namun itulah usahanya yang terakhir.
Pelatuk pistol itu tak pernah mampu di tarik. Yang tertarik justru pelatuk
nyawanya. Dan nyawanya melompat ke luar dari tubuhnya yang laknat itu. Nyawanya
melayang justru ketika tubuhnya masih tegak.
Dan tubuh yang tak bernyawa itu, jatuh
dengan bunyi bergedubrak ke atas tubuh Cina gemuk yang tadi ketika mereka masih
sama-sama hidup adalah anak buahnya. Kini setelah mereka mati, maka tak ada
perbedaan mana yang bos dan mana yang buruh. Ketika sudah mati, yang buruh dan
yang majikan jasadnya sama-sama jadi bangkai!
Si Belanda itu masih mengejang-ngejang
ketika bosnya sudah mati. Tubuhnya meregang-regang. Suaranya gemuruh seperti
kerbau disembelih. Lalu tiba-tiba diam. Matanya memandang pada si Bungsu dan
juga sekaligus memandang pada bosnya. Kenapa bisa begitu? Memang begitulah,
karena matanya jadi juling!
Si Bungsu juga jatuh terduduk. Darah
sudah cukup banyak mengalir dari dua luka di paha dan di lengan kanannya.
Dia terduduk dengan lemah. Matanya
memandang ke meja. Ada surat kabar dan ada majalah dengan gambar wanita-wanita
telanjang. Dan ada dokumen yang tadi dirampas oleh Cina gendut itu darinya di
hotel Sam kok.
Dia bangkit dengan susah payah. Untung
saja di rumah ini hanya empat orang itu saja yang ada. Kalau ada seorang lagi,
maka tamatlah riwayatnya. Bagaimana dia akan melawan dengan tubuh luka
demikian?
Dia lalu memunguti dokumen itu.
Memasukkan ke balik baju di sebelah kiri. Kemudian mengitari kamar-kamar di
rumah itu dalam usahanya mencari kotak obat-obatan. Dan kotak obat itu dia
temukan di ruang makan. Dia buka tutupnya. Mengambil sejenis alkohol.
Menyiramkannya ke kapas. Lalu dia merobek kaki celana dan lengan bajunya di
tentang luka tertembak tadi. Untung kedua peluru itu menembus langsung kaki dan
tangannya. Dengan demikian dia tak begitu menderita.
Yodium itu dihapuskan ke lukanya.
Pedihnya bukan main. Namun dengan teguh dia bersihkan terus. Setelah itu dia
mengambil sejenis obat lalu membalutkan ke lukanya. Dia masih belum pergi dari
rumah itu. Sidik jarinya bertebaran di rumah ini. Polisi Singapura bisa dengan
mudah membekuknya dengan alasan pembunuhan. Sebab sidik jarinya diambil ketika
dia mula pertama mendarat di lapangan udara.
Pembunuhan anggota sindikat itu di rumah
Nurdin yang terletak di jalan Brash Basah memang tak diusut sebagai sebuah
pembunuhan. Karena pihak Konsulat Indonesia melakukan protes dan menyatakan
sindikat-sindikat itu datang dengan niat merampok.
Maka untuk menghilangkan jejak, si Bungsu
lalu mengambil derigen minyak yang dia temukan di garasi. Lalu dia siramkan ke
luruh ruangan.
Nah, kini tinggal mengambil korek api.
Dan benda itu ada di atas meja. Dekat majalah dengan gambar perempuan
telanjang. Dia mengambil korek api. Lalu membakar majalah dan koran di meja
itu. Api menyala. Koran dan majalah itu dia lemparkan ke minyak yang tadi telah
dia siramkan. Dan api segera menjilat dan membakar keseluruhan ruangan.
Si Bungsu masih menanti beberapa saat.
Kemudian setelah yakin rumah itu bakal dilahap api seluruhnya, dia lalu
berjalan keluar dengan tenang. Membuka pintu pagar. Kemudian dia masih harus
berjalan beberapa ratus meter baru sampai di jalan Gagak Selari Timur. Di jalan
itu baru ada taksi lewat. Dia menyetop taksi. Kemudian kembali ke hotelnya.
Gadis Cina akan pemilik hotel Sam Kok di
daerah Anting itu kaget melihat dia muncul. Dari kaget wajahnya berobah sangat
gembira. Dia lantas meninggalkan buku dan tamunya yang akan menginap. Berjalan
bergegas ke arah si Bungsu. tamunya dua orang dari Australia, menganga saja
ditinggalkan gadis itu.
“Hei, kami bagaimana, ada kamar atau
tidak..” kedua orang Australia itu berseru. Tanpa menoleh gadis cantik dengan
lesung pipit di kedua pipinya itu balas pula berseru:
“A Bun! Layani orang itu…”
Dari belakang muncul seorang lelaki Cina
yang lain. Dialah A Bun yang di panggil gadis itu.
“Tuan ingin menginap disini?” tanya A
Bun. Tapi kedua orang Australia itu masih memandang pada gadis cantik yang
telah meninggalkannya itu.
“Itu suaminya?” salah seorang bertanya
sambil memonyongkan mulutnya ke arah si Bungsu. A Bun menggeleng.
“Tunangannya?”
A Bun menggeleng.
“Pacarnya…?”
A Bun menggeleng.
“Apakah orang itu adalah orang yang
menginap disini?”
Kali ini A Bun mengangguk.
“Kalau demikian, nona itu harus melayani
kami juga. Dia harus adil melayani tamu. Jangan berat sebelah…”
“Tuan mau menginap disini atau tidak..?”
A Bun bertanya kesal.
“Yes. Yeslah. Yeslah…”
A Bun lalu mencatat nama mereka. Tapi
mata kedua orang Australia itu tak pernah lepas dari tubuh gadis Cina cantik
itu. Pada pinggulnya yang sintal. Pada dadanya yang ranum. Pada lesung pipit
dan senyumhya yang membuat kepala pusing tujuh keliling.
“Anda luka…” suara gadis itu terdengar
perlahan begitu dia tegak di depannya. Si Bungsu menatap pada lukanya. Kemudian
pada gadis itu. Lalau mengangguk perlahan.
“Anda berkelahi dengan mereka..?”
Si Bungsu menggeleng.
“Lalu kenapa kaki dan tangan anda luka
begini..?’
“Digigit kerbau…”
Gadis itu menatap heran pada si Bungsu.
si Bungsu menatap pula padanya. Akhirnya gadis itu tersenyum. Manis ekali
dengan lesung pipit di pipinya.
“Kenapa senyum. Ada yang lucu?”
“Ya..”
“Apa..?”
“Tentang kerbau itu”
“Apanya yang lucu?”
“Bukankah kerbau yang menanduk anda itu
adalah kerbau yang datang kemari pagi tadi?”
Dia melangkah masuk. Gadis itu
mengiringkan. Tapi sampai di loby, kedua lelaki Australia tadi memegang tangan
gadis itu. Gadis itu menyentakkan tangannya.
“Hei, kamu harus menunjukkan mana kamar
kami, nona..”
“Ngomong ya ngomong. Tapi tangannya
jangan getayangan ya!”
“Oho-ho! Galak benar si cantik ini. Siapa
namamu upik?”
Yang berjambang lebat dan bermata coklat
berkata sambil mencowel pipi gadis itu tentang lesung pipitnya. Namun gadis itu
mengelak. Dan orang Australia itu mencowel angin.
“Tuan kalau tidak sopan, silahkan
meninggalkan hotel ini..”
Kedua orang itu berpandangan. Kemudian
tertawa.
“Ah, maafkan. Kami adalah orang yang
paling sopan upik. Tentu kami berbaik-baik. Nah, kini tunjukkan dimana kamar
kami…”
Gadis itu memberi tanda pada A Bun, dan A
Bun membawa kunci berjalan ke belakang lewat gang yang dialas perlak berwarna
merah. Kedua lelaki itu mengikuti sambil melemparkan senyum cengar-cengirnya
pada gadis tersebut.
Gadis itu menoleh pada si Bungsu. Tapi anak muda itu sudah tak ada lagi. Dia
sudah sampai di kamarnya di lantai dua. Disana dia membuka pakaian. Kemudian
dengan kelelahan yang tak tertanggungkan dia membaringkan diri setelah
meletakkan dokumen tentang sindikat perdagangan wanita itu di dalam kopernya di
lemari.
Sesaat setelah dia membaringkan diri,
kepalanya terasa berdenyut. Lelah dan kantuk menyerang dengan hebat. Rasa sakit
menhentak-hentak. Dan entah mana yang datang duluan, entah tidur entah pingsan.
Yang jelas, sepuluh atau sebelas detik setelah dia meletakkan kepalanya di
bantal diapun tak sadar diri.
Dan dalam tak sadar dirinya, Salma dan
Mei-mei seperti datang merawatnya. Kemudian Hannako dan Michiko. Dia sangat
gembira atas gadis-gadis itu. Namun itulah mimpin yang paling buruk seumur
hidupnya.
Dia tersadar. Membuka mata perlahan. Yang
membuat dia bangun adalah rasa lapar yang tak tertanggungkan. Kepalanya masih
terasa berat. Ada bayangan samar-samar. Kemudian ketika dia membiasakan matanya
dari cahaya terang. Dia jadi kaget melihat siapa yang di depannya. Dia berusaha
bangkit. Namun tangan halus dari gadis yang duduk disisinya mencegahnya dengan
halus. Dan gadis itu tersenyum. Dua lesung pipit segera saja membayang
dipipinya yang montok.
“Anda harus banyak istirahat….tetaplah
tenang…”
Si Bungsu menggelengkan kepala perlahan.
Mencoba mengusir rasa pening dan bayangan mimpi yang tak menentu.
Dia memandang ke jendela.
“Hari sudah sore…” katanya perlahan.
“Ya. Dua kali sore. Anda bermimpi banyak
sekali…” gadis itu tersenyum lagi. Si Bungsu menarik nafas, kemudian ketika
ingat pada lukanya, dia melihat ke pahanya. Namun pahanya tertutup selimut. Dia
buka selimut tentang bahunya. Bahunya telah terbalut kain.
“Obatnya telah diganti ayah saya. Ayah
punya obat tradisional yang ampuh. Hari ini anda sudah bisa bangkit dan bisa
ditanduk kerbau lagi. Lihatlah…!” berkata begitu, gadis tersebut menusuk luka
di bahu si Bungsu. si Bungsu yang semula kaget, jadi terheran-heran. Bekas luka
di bawah balutan kain itu tak merasa apa-apa lagi.
Dia menatap gadis itu.
“Ya. Sudah sembuh. Kami memiliki
obat-obatan yang dibawa ayah dari daratan Tinggoan di Tiongkok. Kampung kami
terkenal dengan tabib-tabi yang masyhur. Ayah saya termasuk salah seorang
diantara tabib yang masyhur itu….nah, anda pasti lapar. Dua hari tak makan
bukan?”
Si Bungsu akhirnya menyerahkan dirinya
pada kehendak gadis itu. Dia disuapkan oleh gadis dengan bubur ayam yang bukan
main nikmatnya terasa.
Pada sendokan kedua puluh empat, si
Bungsu berhenti. Dia menatap gadis itu tepat-tepat.
“Ada apa? Ayo, tinggal lima atau enam
sendok lagi…”
“Anda baik sekali nona. Kenapa anda mau
bersusah-susah membantu saya?”
“Ah, sudah kewajiban saya membantu tamu
yang menginap di hotel saya bukan? Anda tamu saya..”
“Anda berbuat baik pada setiap tamu?”
“Ya. Harus begitu bukan?”
Si Bungsu mengangguk. Dia tersenyum.
“Kenapa tersenyum segala, ada yang lucu?”
tanya gadis itu.
“Tidak. Hanya saya sedang memikirkan,
alangkah repotnya anda waktu menyuapkan kedua tamu orang asing yang mencowel
pipi anda tempo hari…”
Muka gadis itu bersemu merah. Dia
menunduk malu. Benar-benar gadis yang cantik.
“Apakah anda menyuapkan semua tamu anda?’
si Bungsu menggoda lagi.
“Ya. Kami menyuapkan mereka semua. Tapi
bukan saya yang bertugas. Untuk menyuapkan tamu-tamu yang lain, saya menyuruh a
Bun, pembantu saya…”
Dan si Bungsu tertawa mendengar gurau ini.
Gadis itu juga tertawa. Aneh, mereka seperti sudah menjadi teman akrab.
“Hei, nama saya telah anda ketahui. Tapi
saya belum mengenal nama anda. Apakah anda punya nama?” si Bungsu bertanya lagi
setelah menelan bubur yang disendokkan gadis itu.
“Apakah itu perlu?”
“Tentu. Bagaimana saya akan memanggil
nona. Apakah cukup dengan si lesung pipit saja?”
Gadis itu tersipu lagi. Menunduk, dan
menatap pada si Bungsu dengan matanya yang indah. Rasanya si Bungsu ingin sakit
seratus tahun lagi.
“Nama saya Mei-mei…” suara gadis itu
terdengar perlahan.
Namun ditelinga si Bungsu suara
menyebutkan Mei-mei itu bukan main dahsyatnya. Dia terbatuk. Wajahnya jadi
pucat. Gadis itu kaget. Memegang kepala si Bungsu. Menyangka panas dan penyakit
anak muda itu kambuh lagi. Ketika kepala anak muda itu tak apa-apa, dia
mendekapkan telinganya kepada si Bungsu yang tak dapat berbuat apa-apa selain
membiarkan saja gadis itu seperti dokter memeriksa pasiennya.
“Hei. Jantung anda tak normal. Terlalu
kencang degupnya. Ada apa?”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (88)
Komentar
Posting Komentar