Si Bungsu tak dapat menjawab
sekalimatpun. Dia menatap gadis itu dengan tatapan tak menentu. Gadis itu
bangkit. Mengambil sebuah tablet berwarna coklat di meja.
“Nah, minumlah ini, tablet ini bisa
menenangkan anda. Degup jantung begitu bisa membuat anda sakit jantung…” gadis
itu berkata sambil menoyongkan tablet itu kedekat mulut si Bungsu.
Busyet!
Si Bungsu menggeleng.
“Saya memang telah sakit jantung nona.
Kalimat-kalimat anda membuat saya putus-putus..”
Gadis itu mengerutkan kening. Tersenyum.
Dia tak mengerti apa yang diucapkan si Bungsu.
“Saya tak begitu mendengar anda menyebutkan
nama sanda tadi. Dapatkah nona ulangi kembali?” si Bungsu meminta dengan
harapan bahwa dia salah dengar.
“Nama saya Mei Ling. Tapi panggilan saya
Mei-Mei..”
Si Bungsu terbatuk lagi. Kemudian matanya
terpejam. Nafasnya memburu. Dan lagi-lagi gadis itu meraba kepalanya.
Mendekapkan telinganya ke dada si Bungsu. waktu dia berbuat begitu, tubuhnya
dibahagian atas menelungkup diatas tubuh si Bungsu. terang saja debur darah dan
detak jantung si Bungsu seperti deru lokomotif yang mendaki lembah Anai.
“Hei. Anda sakit jantung?”
“Tidak. Jantung saya tak sakit. Tapi
sudah pecah!”
Gadis itu tertawa dan mencubit tangan si
Bungsu. dan mau tak mau, anak muda itu terpaksa ikut nyengir.
“Nah, untuk merekat kembali jantung anda
yang pecah itu, minumlah obat ini” gadis itu menyorongkan tablet itu lagi.
Karena si Bungsu tetap saja tak membuka mulut, maka tablet itu disumbatkannya
ke bawah bibir si Bungsu!
Si Bungsu seperti orang memakai sugi.
Bibir atasnya membengkak. Dan dia merasa lucu. Mau tak mau dia tertawa lagi.
Gadis itu juga ikut tertawa renyai. Kemudian meminumkan si Bungsu air dari
cawan putih.
“Bagaimana kalau saya memanggil dengan
Mei Ling saja?” si Bungsu menawarkan kemungkinan lain pada gadis itu. Sebab
bagaimana dia akan bisa menyebut nama Mei-Mei sementara nama itu adalah gadis
yang dia cintai buat pertamakalinya. Dan gadis yang mati sebelum mereka menikah
di mesjid kecil di Tarok dahulu?
“Seharusnya orang memanggil saya dengan
sebutan itu. Tapi karena sejak kecil saya dipanggil Mei-Mei, maka saya seperti
tak mengenal lagi nama Mei Ling itu. Jadi kalau anda memanggil saya dengan nama
itu, barangkali saya takkan menyahut”
Aduh mak, mati awak, si Bungsu mengeluh.
“Apakah anda tak menykai nama Mei-Mei?”
tiba-tiba gadis itu bertanya. Dan pertanyaan ini terang saja membuat jantung si
Bungsu rengkah-rengkah. Seperti tanah sawah dihantam panas terik
bertahun-tahun.
“Tidak. Ya. Eh, anu…suka. Suka, kenapa
tidak. Mei-Mei…hmm, bukankah itu nama yang indah. Namanya indah, orangnya
cantik…” si Bungsu ngomong asal ngomong saja. Soalnya hatinya tak menentu.
Mei-Mei tersenyum lagi. Lalu tegak
membereskan menja dan piring mangkuk bekas makan si Bungsu.
“Hei, anda banyak sekali memiliki
Samurai. Ada yang besar dan enam buah yang kecil. Lalu ini, dalam kopor anda
ada enam buah lagi samurai kecil. Nampaknya anda seperti bersiap untuk sebuah
pertempuran..”
Suara gadis itu mengejutkan si Bungsu.
dia melihat tangan kiri dan kanannya. Dua hari yang lalu, ketika akan
berbaring, dia lupa membuka ikatan samurai-samurai kecil di lengannya. Kini
samurai itu tak asa lagi ditangannya. Dan tidak hanya itu, bajunya juga sudah
ditukar. Pastilah gadis itu yang telah menukarkan bajunya, dan membuka samurai
kecil-kecil itu.
“Dimana anda letakkan samurai kecil-kecil
itu…?”
“Ada di bawah bantal. Saya rasa anda
memerlukannya…” gadis itu kemudian meninggalkan kamar itu setelah melemparkan
sebuah senyum.
Si Bungsu menarik nafas. Alangkah panjang
dan berlikunya jalan yang dia tempuh.
Mei-Mei!
Mei-Mei nama gadis itu. Mana mungkin ada
orang yang serupa. Dan mana mungkin dia bisa ketemu lagi dengan orang yang
memiliki nama yang sama dengan nama kekasihnya yang mati diperkosa Jepang itu?
Mei-Mei gadis cina yang nyaris kawin
dengannya dahulu adalah gadis yang juga merawat luka-luka yang dia derita
tatkala usai dari perkelahian dengan Jepang di sebuah rumah pelacuran di
Payakumbuh.
Kini, Mei-Mei yang ini juga merawat
luka-luka yang dia derita dari sebuah perkelahian. Ah, dia seperti
berulang-ulang menikam lagi jejak yang telah dia lalui.
Perlahan dia coba untuk bangkit. Luka
bekas tembakan di paha dan dilengannya tak terasa lagi.
Namun ada yang terasa, yaitu rasa penat
yang menyerang.
Dia ingin tidur, ingiin sekali. Namun
diantara rasa kantuknya yang menyerang. Lambat-lambat dia mendengar suara
langkah. Suara pintu ditutupkan. Kemudian suara bergumul. Dia tengah berbaring
ketika pikirannya berjalan dan memikirkan apakah yang tengah terjadi. Suara
apakah itu? Pikirnya.
Dan dirinya terserang oleh dua keinginan
yang saling tindih. Antara keinginan untuk tidur dengan keinginan untuk
mengetahui ada apa di luar. Tapi ini hotel, apa saja bisa terjadi, pikirnya
pula sambil coba memicingkan mata.
Namun suara perempuan yang tertahan,
seperti sedang disekap mulutnya, membuat si Bungsu tertegak tiba-tiba. Suara
Mei-Mei kah itu, pikirnya. Dan dengan pikiran demikian dia segera saja menuju
ke luar. Pintu kamarnya dia buka. Memandang ke lorong di depan kamar-kamar yang
berdert di tingkat dua hotel itu. Lengang!
Tak ada apa-apa. Namun suara apakah
sebentar ini yang terdengar olehnya? Dia tatap lagi lorong di depan kamar-kamar
hotel itu. Lengang!
Perlahan dia masuk lagi. Menutupkan
pintu. Kemudian tegak dibalik pintu itu dengan diam. Dia berkonsentrasi. Kalau
dahulu di rimba gunung Sago, dia selalu dapat mendengarkan bunyi ular yang
menjalar sekitar dua puluh meter dalam hutan dari dirinya, mengapa kini
konsentrasi yang sama tidak dia lakukan?
Beberapa detik setelah dia konsentrasi,
dia segera saja dapat mendengar suara orang bergumul. Tiga kamar di sebelah
kiri kamarnya memang tengah terjadi pergumulan. Dan yang bergumul adalah ketiga
orang Australia yang menginap disana. Yang datang ketika si Bungsu kembali
dalam keadaan luka-luka tiga hari yang lalu.
Ke tiga orang Australia itu, adalah bekas
tentara Sekutu dalam perang Dunia ke II yang baru saja berakhir. Mereka bekas
anggota Raider Divisi III yang bertugas di India ketika Kemerdekaan RI
diproklamirkan. Dan sebagai bekas tentara, bekas raiders pula, mereka adalah
orang-orang yang mahir dalam perkelahian.
Tadi ketika Mei-Mei berada dalam kamar si
Bungsu, mereka sudah mengintai di luar kamar. Dan begitu gadis itu keluar serta
menutupkan pintu, merekapun menyergapnya. Menyeretnya ke kamar mereka. Gadis
itu coba meronta. Menggigit. Menjerit. Namun mulutnya tak pernah bisa sempat untuk
menjerit. Yang keluar hanyalah suara-suara tertahan. Dia langsung dibawa ke
kamar ketiga bekas Raiders itu. Dibaringkan di tempat tidur.
Tangannya dipegangi. Mulutnya disekap.
Dia meronta, dan akibatnya pakaiannya tersingkap hingga ke perut. Ketiga bekas
tentara itu melotot matanya melihat paha dan perut Mei-Mei yang alangkah mulus
dan putihnya.
Yang seorang tak sabar lagi. Dia menerkam
mencium Mei-Mei. Gadis itu menerjangnya. Kena kepala. Dia terpental ke bawah
tempat tidur. Lelaki itu menyeringai. Senang juga dia kena hantam jidatnya. Dia
bangkit lagi.
Sementara kedua temannya yang lain sudah
menggerayangi tubuh gadis itu dengan tangan mereka. Pakaian gadis itu sudah
sempurna terbuka. Kini yang membalut tubuhnya hanya sehelai celana dalam yang
amat kecil. Sementara tubuh bagian atasnya tak tertutup sedikitpun. Dan
kesanalah tangan ketiga bekas serdadu perang dunia ke II itu menggerayang silih
berganti.
Gadis Cina itu menerjang-nerjang.
Mencakar-cakar. Dia tidak bisa bersuara. Karena mulutnya disekap oleh salah
seorang diantara mereka. Namun terjang dan rontaan ubunya justru membuat
menaiknya nafsu ketiga bekas serdadu Australia itu. Karena meronta ingin
melepaskan diri, pinggul gadis itu naik turun. Menggeliat kekiri dan kekanan.
Dan gerakkan itu merangsang ketiga lelaki tersebut.
Mereka tengah menikmati gerak merangsang
pinggul gadis yang hanya tertutup celana kecil itu ketika pintu tiba-tiba
terbuka. Ketiga bekas serdadu itu menoleh. Dan mereka melihat dipintu berdiri
anak muda yang beberapa hari yang lalu dilayani dengan baik oleh gadis Cina
itu.
“Hei! Giliranmu sudah cukup lama bukan?
Engkau sudah cukup puas. Kini giliran kami. Nah, pergilah. Jangan mengganggu..”
suara yang pakai brewok dan bermata coklat terdengar serak. Sementara tangannya
tak pernah lepas dari dada gadis itu.
Si Bungsu, yang tegak di pintu itu,
tiba-tiba merasa perutnya mual melihat tingkah ketiga orang ini.
“Lepaskan dia…!” suaranya terdengar datar
dengan wajah tenang seperti danau yang tak beriak.
Namun mama mau ketiga orang itu melaksanakan
perintahnya. Mereka justru melanjutkan pekerjaan tangan mereka.
“Lepaskan dia. Atau kalian saya bunuh…!”
ketiga lelaki itu benar-benar terhenti. Bukan karena takut dibunuh, tidak.
Bagaimana mereka akan takut kena gertak meski gertak bunuh sekalipun? Ah,
mereka sudah kenyang akan pembunuhan. Bukankah mereka bekas balatentara sekutu
yang bergelimang elmaut di India? Ah, mereka tak pernah takut menghadapi maut.
Tapi mereka terpaksa berhenti karena nada
suara anak muda itu. Nadanya dingin dan menegakkan bulu roma. Tidak besar
mengguntur. Tidak pula diucapkan dengan nada marah. Namun dalam nada yang
perlahan itu ersimpan bahaya yang alangkah mengerikannya. Dan itulah yang
menyebabkan mereka berhenti.
Mereka tak mengenali siapa anak muda ini.
Namun ada firasat yang membisiki diri mereka, bahwa yang mereka hadapi sekarang
ini adalah bahaya yang luar biasa.
Perlahan mereka melepaskan gadis itu.
Perlahan mereka tegak. Perlahan mereka turun dari pembaringan. Namun ketika
Mei-Mei akan berlari dari tempat tidur itu ke arah anak muda tersebut, yang
brewok menamparnya keras sekali. Gadis itu terjerembab pingsan.
Namun lelaki brewok itu dengan
perbuatannya itu telah menentukan saat kematiannya. Karena begitu selesai
menampar Mei-Mei, dia lalu berputar menghadap pada si bungsu. dan saat itu pula
tangan si Bungsu menyerang. Samurai dilengannya lepas, jatuh dan disambut oleh
jari-jarinya. Kemudian dengan sebuah ayunan yang sangat cepat, samurai kecil
itu terbang ke arah si Brewok.
Tak seorangpun yang tahu persis apa yang
telah terjadi. Sebab tahu-tahu si brewok mengeluh. Kemudian jatuh terlentang ke
lantai. Dan persis diantara kedua matanya yang coklat itu, tertancap hulu
samurai kecil. Darah mengalir sedikit membasahi matanya yang terbuka. Mulutnya
ternganga. Nyawanya terbang mengirap!
Kedua temannya terbelalak. Menatap pada
si Bungsu. Anak muda itu masih tegak dengan diam dan menatap pada mereka dengan
tatapan mata yang dingin. Kedua lelaki ini adalah tentara yang telah terbiasa
dengan bahaya. Namun menghadapi ketenangan anak muda yang satu ini, dalam
keadaan damai pula, mereka tak bisa menyembunyikan rasa kaget dan takut.
Tapi itu hanya sesaat. Dan saat
berikutnya, terdorong oleh rasa superior orang-orang barat, merasa diri mereka
lebih mampu dan lebih kuat dari orang-orang Melayu yang dianggap ketinggalan
dalam segala hal, yang bertubuh besar dengan otot kekar, mirip tukang jagal,
maju menyerang si Bungsu.
Dia menyerang dengan pukulan. Namun si
Bungsu sudah waspada. Dia mengelak tepat pada waktunya. Pukulan bekas tentara
Australia itu menerpa pintu dimana tadi kepala si Bungsu berada. Pintu itu
berdebrak. Dan anjlok sebesar kepalan tangan orang itu!
Bekas tentara itu menarik tangannya
kembali. Dan tampa membayangkan rasa sakit sedikitpun, dia menyerang lagi!
Si Bungsu mengelak. Tapi orang Australia
yang satu lagi, yang tadi hanya tegak diam, tiba-tiba mendorong si Bungsu dari
belakang. Akibatnya elakan si Bungsu tak terkontrol. Pukulan maut itu mendarat
di wajahnya! Prakk!! Ada rasa asin dimulutnya. Ada cairan hangat melelh
dihidungnya.
Dia membuka mata. Aneh, tiba-tiba saja
dia mendapatkan dirinya diatas tempat tidur. Melingkar diujung sebeleh ke
dinding. Tiga depa dari bekas serdadu yang tadi memukulnya! Kalau demikian,
ternyata dia telah terpental sejauh itu akibat pukulan tersebut. Dan si Bungsu
tak merasa heran. Dia memang yakin bahwa demikianlah kejadiannya, makanya dia
sampai ke pembaringan ini!
Dia menggelengkan kepala. Merangkak di
pembaringan.
“Babi, sok jago koe disini…!” yang
memiliki kepalan seperti godam itu menyumpah sambil mendekat ketempat tidur.
Dia menjangkaukan tangannya yang berotot besi bertulang kawat itu kearah
tengkuk si Bungsu. namun saat itu pula, si Bungsu bertelekan ke kasur. Lalu
kakinya menyorong kebawah perut, langsung ke dada bekas tentara itu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (89)
Komentar
Posting Komentar