Dan tubuhnya besar terjajar kedinding.
Sebelum dia sadar sepenuhnya si Bungsu melompat turun. Kini mereka tegak
berhadapan. Bekas tentara itu maju lagi dan cepat mengirimkan sebuah pukulan
beruntun ke kepala dan ke dada si Bungsu.
Secara reflek, si Bungsu menjatuhkan
tangannya ke lantai. Dan secara reflek pula kaki kananya menerjang ke belakang
dalam bentuk sebuah cuek yang kuat sekali.
Orang Australia itu seperti dihantam
kerbau besar. Perutnya kena sepak belakang yang telak. Matanya juling. Dia
melosoh ke lantai. Yang satu lagi menyerang dari samping. Namun si Bungsu
menyambutnya dengan sebuah tendangan telak menyamping. Sebuah tendangan
mirip-mirip Kekomi dari jurus karate. Bekas tentara itu tersentak kebelakang.
Namun dia menyerang lagi dengan sebuah pukulan. Si Bungsu mengelak, dan saat
berikutnya dia balas memukul dengan cepat. Kepalanya masuk ke bawah hidung
tentara itu. Terdengar suara berderak. Hidung orang itu remuk. Darah mengucur.
Tapi tanpa dia sadari, si kekar besar
yang tadi melosoh ke lantai bangkit diam-diam. Dan disuatu kesempatan, dia
memiting leher si Bungsu dari belakang secara tiba-tiba. Nafas si Bungsu jadi
sesak. Melihat anak muda ini tersekap begitu, yang kena hantam hidungnya tadi
segera mendekat dan mengirimkan sebuah pukulan ke perut si Bungsu. si Bungsu
merasa perutnya akan pecah.
Namun ketika orang itu akan melancarkan
pukulan kedua, kakinya dia hantamkan ke kerampang bekas tentara itu. Suara tak
sedap terdengar dan bekas tentara itu melolong sambil kedua tangannya memegang
kerampangnya. Dia meringkuk dan melingkar di lantai.
Pada saat itu pula, dengan menghimpun
sisa tanaganya, si Bungsu membungkuk dengan cepat. Karena tubuhnya membungkuk
tiba-tiba itu, bekas serdadu yang memitingnya dari belakang jadi terangkat
tubuhnya.
Si Bungsu meneruskan gerakkan itu. Dan
tanpa dapat dikontrol, orang Australia bertubuh kekar itu terbanting ke lantai
di depan si Bungsu. si Bungsu menarik nafas panjang. Mengatur lagi
pernafasannya yang seperti akan meledak dipiting tadi.
Lalu ketika orang itu tengah merangkak
bangkit, dia menendang pelipisnya dengan kuat. Bekas tentara itu tercampak lagi
ke lantai. Namun dia benar-benar ulet, dia merangkak lagi bangkit. Si Bungsu
membiarkannya untuk coba bangkit. Ketika lelaki itu belum begitu sempurna
tegaknya, dia menendang kerampang tentara Australia itu.
Terdengar suara berderak. Mata bekas
tentara itu membelalak. Tangannya seperti tangan temannya tadi, memegang
kerampangnya. Mulutnya mengeluh. Dan tubuhnya rubuh. Ketika dia rubuh, temannya
yang kena tendang duluan tengah berusaha bangkit. Namun si Bungsu menendang
rusuknya. Dan lelaki ini rubuh lagi. Kini keduanya tak bergerak. Pingsan!
Si Bungsu tegak. Menghapus darah yang
masih melelh dari hidung dan bibirnya akibat pukulan tadi.
Lalu menoleh pada Mei-Mei yang masih
terbaring pingsan. Tubuh gadis itu hampir telanjang. Dia mengambil selimut.
Menutupkannya ke tubuh gadis itu. Kemudian mengangkatnya keluar.
Peritiwa itu segera saja membuat heboh.
Polisi datang memeriksa. Mei-Mei dan beberapa saksi yang kebetulan mengintip
ketika kejadian itu menceritakan bahwa bekas tentara Australia itu mati karena
akan memperkosa Mei-Mei. Yang membunuhnya adalah seorang anak muda dari
Indonesia.
Tapi ketika pintu kamar anak muda itu
dibuka, dia tak ada lagi disana. Si Bungsu tahu bahwa pembunuhan di kota besar
seperti Singapura ini tak akan didiamkan begitu saja. Makanya dia cepat-cepat
menyingkir dari hotel Sam Kok itu. Dia meja dia tinggalkan uang sewa
penginapan.
Mei-Mei merasa matanya basah begitu
mengetahui bahwa anak muda itu telah meninggalkan hotelnya.
Dan peritiwa itu ternyata dipeti-eskan.
Sebab, bagi pejabat Singapura, adalah rumit juga menuntut kedua bekas tentara
Sekutu yang masih hidup itu ke pengadilan.
Namun si Bungsu tak pergi jauh. Hanya
berjarak seratus meter di kiri hotel Sam Kok itu ada lagi hotel bernama
International. Hotel itu kecil saja, meski mereknya International namun di
dalamnya serba brengsek. Si Bungsu memilih hotel itu hanya karena letaknya yang
strategis. Berada tepat di depan jalan yang menuju dermaga di pelabuhan.
Dari balik jendela kamarnya dia bisa
langsung melihat ke dermaga. Melihat orang-orang yang lalu lalang. Melihat
mobil yang keluar masuk. Dan di hotel International yang brengsek itulah dia
mempelajari lagi dokumen tentang sindikat perdagangan wanita-wanita itu.
Dari dokumen itu dia melihat bahwa di
Jakarta ada beberapa nama dengan jabatan-jabatan resmi di beberapa departemen.
Ada pula beberapa nama yang kerjanya adalah pedagang. Overste Nurdin nampaknya
telah menyelidiki hal ini sampai mendetail.
Hanya saja, ketika dia akan mulai
bertindak tubuhnya diberondong peluru. Dan ingatan itu segera menyadarkan si
Bungsu pada keadaan Nurdin. Bagaimana temannya itu kini? Sudah beberapa hari
ini dia tak datang ke gedung Konsulat untuk menengoknya.
Dia segera berkemas. Menyimpan dokumen
itu dan mengunci kamar. Kemudian dengan sebuah taksi dia berangkat ke Konsulat.
Di Konsulat dia mendapatkan Nurdin masih
terbaring diam. Tubuhnya masih dipenuhi balutan. Salma menemani disana. Dudk
dengan diam disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, anak mereka, duduk
dipangkuannya.
“Sudah banyak angsurannya?” si Bungsu
bertanya perlahan. Salma mengangguk.
“sudah bisa makan?”
Salma mengangguk. Kemudian mereka
sama-sama terdiam.
“Paman, apakah paman telah menangkap
orang yang melukai ayah?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya.
Si Bungsu menatap gadis kecil itu.
“Sudah. Mereka telah paman bunuh…”
“Betul?”
“Betul..”
“Paman bunuh pakai apa? Pakai pistol
seperti punya ayah?”
“Tidak”
“Lalu pakai apa?”
“Mereka…mereka..” si Bungsu terhenti.
Akankah dia ceritakan terus terang pada gadis kecil ini? Dan dia menoleh pada
Salma.
Salma juga tengah menatap padanya. Dan
Salma yakin bahwa si Bungsu memang telah membunuh orang yang menembak suaminya
itu. Dia yakin benar akan hal itu.
Dan dia tahu, si Bungsu pasti lah membunuhnya
dengan samurai kecil itu. Dan Salma juga tahu bahwa si Bungsu kesulitan dalam
menjawab pertanyaan anaknya itu.
“Dengan pisau” si Bungsu berkata
perlahan.
“Dengan pisau..?” gadis kecil itu
mengerutkan keningnya.
“Ya. Dengan pisau.”
“Apakah orang bisa mati karena pisau?”
“Bisa”
“Ah. Tapi orang jahat itu matinya
tentulah tak sesakit yang diderita ayah..”
“Sakit. Malah dia jauh lebih menderita
dari ayah Eka..” si Bungsu menjelaskan.
“Benar…?”
“Benar!”
Wajah anak itu berseri.
“Terimakasih paman. Eka akan ceritakan
pada ayah kakau dia bangun nanti, bahwa orang jahat itu telah paman bunuh.
Paman tidur disini saja malam ini ya? Kami selalu ketakutan. Malam tadi ada
orang yang memanjat jendela. Ibu sampai berteriak ketika orang itu memecahkan
jendela. Lihatlah, jendela itu masih epcah…” gadis kecil itu menunjuk ke
jendela yang menghadap ke belakang.
Si Bungsu kaget mendengar cerita anak
itu. Dia menoleh ke arah jendela yang disebutkan gadis kecil itu. Dan benar
saja, kaca jendela itu kelihatan ompong. Dia menatap pada Salma.
“Ya. Malam tadi ada orang masuk. Sekitar
jam satu. Saya tak pernah tidur sebelum jam tiga. Saya duduk disini. Mendengar
saya memekik, orang itu kaget sebentar. Kemudian nampaknya ingin masuk terus.
Mungkin karena tahu saya sendirian disini. Tapi begitu penjaga yang berada di
ruang sebelah masuk, dia lalu melompat lari.
Penjaga tak sempat memburunya. Orang itu
melarikan diri dengan sebuah mobil yang tak sempat pula dikenali penjaga. Mobil
itu parkir di lorong belakang konsulat ini..”
Salma mengakhiri ceritanya. Si Bungsu
masih menatap dengan diam. Ada semacam ketegangan menjalar di pembuluh darah
anak muda ini mendengar cerita itu.
“Barangkali orang itu berniat
mencuri…” Salma berkata perlahan. Namun
naluri si Bungsu tak berkata demikian.
Ada sesuatu yang tak beres di gedung
konsulta ini. Ucapan Nurdin seperti melintas lagi ketika overste itu baru kena
tembak:
“Saya harap engkau meminta dokumen itu
pada Salma. Bawa ke Jakarta. Jangan sampai tahu orang di konsulat bahwa dokumen
itu ada padamu Bungsu. bukannya saya tak percaya pada rekan-rekan di konsulta.
Tapi….tapi…saya lebih suka dokumen itu berada padamu…”
Ada misteri dan rahasia yang terpendam
dalam ucapan Ocerste Nurdin itu. Kenapa dia tak mempercayai dokumen itu pada
seseorang di konsulat ini? Apakah ada diantara orang di konsulat yang ikut
terlibat dalam sindikat perdagangan wanita internasional itu?
Tak ada petunjuk tentang hal itu dalam
dokumen tersebut. Si Bungsu mengulangi membaca dokumen itu berkali-kali di
hotenya. Dia coba mencari petunjuk meski amat kecil sekalipun tentang
keterlibatan orang di konsulat itu. Namun usahanya sia-sia.
Dalam dokumen itu hanya ada beberapa nama
orang Melayu, Inggris, Keling dan Cina. Namun alamat mereka tak tertera jelas.
Empat orang diantara mereka telah mati. Yaitu Cina gemuk seperti kerbau dan
orang Inggris yang mati dimarkasnya empat hari yang lalu.
Lelah mencari petunjuk itu, si Bungsu
akhirnya memutuskan untuk mengintai gedung konsulat Indonesia itu malam ini.
Siapa tahu, malam ini ada lagi orang yang berniat datang ke sana seperti malam
sebelumnya.
Tak begitu sulit baginya untuk menemukan
lorong di belakang gedung konsulat itu.
Di mulut lorong itu dia melihat seorang
Melayu tengah menyapu jalan. Orang itu memakai topi lebar dari bambu, dengan
baju dinas berwarna biru. Si Bungsu melewati orang itu.
Berjalan terus ke lorong yang cukup untuk
dilewati sebuah sedan.
Tiba-tiba dia melihat sebuah gudang
kosong. Dia masuk kesana. Lalu bersiul panjang. Tukang sapu itu menoleh. Si
Bungsu melambainya. Tukang sapu itu datang.
“encik mau apak…?” tanyanya.
“Di dalam sana ada perempuan cantik
tidur..” si Bungsu berkata sambil menunjuk ke dalam. Tukang sapu itu
mengerutkan kening. Kemudian berjalan ke arah yang ditunjukkan si Bungsu.
Sampai di dalam dia mencari-cari. Tapi
tak seorangpun yang dia lihat. Usahkan perempuan cantik, cacingpun tak ada yang
tidur disana. Merasa dipermainkan, dia lalu menoleh pada si Bungsu.
“Hei, encik jangan main-main ya. Mana
perempuan cantek yang encik katakan itu…”
Si Bungsu yang tegak sedepa darinya hanya
tersenyum.
“Jangan senyum-senyumlah…” bentaknya
berang.
Namun berangnya hanya sampai disitu.
Sebab sebuah pukulan dengan sisi tangan tiba-tiba mendarat di tengkuknya. Tukang sapu itu melosoh jatuh.
“Maaf kawan. Saya ingin meminjam
pakaianmu. Jadi engkau harus jadi perempuan cantik itu. Tidur disini…” si
Bungsu berguman sendiri sambil membukai pakaian dinas tukang sapu itu.
Kemudian tukang sapu itu dia ikat. Nah,
kini dia mirip tukang sapu dengan segenap peralatannya. Dengan pakaian itu, dia
bebas berada di lorong tersebut. Dia berjalan terus hingga melewati belakang
gedung konsulat. Dia meliaht jendela yang pecah itu kini telah diganti kacanya.
Dan dia melihat pula, bahwa gedung itu
memang mudah untuk dipanjat dari belakang ini. Modelnya yang kuno, yang banyak
variasi jendelanya, banyak bendul dan bahagian-bahagian yang menonjol membuat
gedung itu mudah untuk dinaiki tanpa tangga pembantu. Artinya mudah bagi kaum
pencuri.
Si Bungsu meneruskan langkahnya sambil
sekali-sekali melayangkan sapunya ke sampah yang ada dilorong itu.
Seratus meter dari gedung konsulat itu
lorong tadi tembus ke jalan besar. Jadi dari ujung dia masuk tadi ada jarak
lima puluh meter baru sampai ke konsulat. Kemudian seratus meter dari konsulat
sampai pula ke jalan besar.
Lorong ini merupakan jalan pintas dan
bahagian belakang dari gedung-gedung besar lagi kuno yang ada di daerah itu.
Merasa sudah cukup mengenal situasi. Si Bungsu balik lagi ke gedung kosong
dimana tukang sapu tadi dia pukul sampai pingsan.
Tukang sapu itu masih meringkuk dengan
kaki dan tangan terikat.
Tapi ternyata orang ini tidak pingsan
lagi. Hal itu segera diketahui oleh si Bungsu lewat suara dengkurnya yang
berirama.
Ternyata pingsannya dia sambung dengan
tidur lelap. Mungkin karena lelah bekerja, makanya tukang sapu ini tertidur.
Dia luar gedung, hari berangkat gelap.
Begitu lampu-lampu mulai menyala, si Bungsu segera keluar gedung itu.
Dia memperhatikan lorong belakang itu
dari ujung ke ujung sepi.
Apakah akan ada orang datang malam ini?
Firasatnya mengatakan ada! Cuma dia ragy, apakah orang itu akan datang lewat
pintu belakang ini atau lewat…
Dia seperti tersentak. Lewat pintu depan,
pikirnya. Ya, kalau benar ada orang konsulat yang terlibat dalam sindikat ini,
maka bukannya tak mustahil bahwa orang yang akan membunuh Overste Nurdin itu
masuk dari pintu depan.
Karena bukankah orang dalam, yaitu
pegawai konsulat takkan dicurigai untuk masuk?
Dia mendekati dinding belakang itu.
Kemudian tak begitu sulit baginya untuk memanjat dinding itu ketingkat dua
dimana Nurdin masih terbaring.
Dia sampai ke jendela ditingkat dua itu.
Mengintip ke dalam. Di dalam di bawah penerangan lampu neon kelihatan Salma
duduk menyuapi suaminya. Disisinya, diatas sebuah kursi, duduk Eka, gadis kecil
mereka. Sebelah tangan Nurdin membelai kepala anaknya itu. Sementara mulutnya
tetap melulur perlahan bubur yang disuapkan oleh isterinya.
Dia masih menunggu sesaat ketika
tiba-tiba dia lihat Salma menoleh ke pintu. Nampaknya ada yang mengetuk pintu.
Sebelum Salma berdiri, pintu kamar itu terbuka. Dan tiba-tiba saja muncul dua
orang lelaki.
Yang satu tak lain daripada Polisi
Singapura yang siang tadi bertugas menjaga di depan konsulat. Dan polisi ini
menodongkan pistolnya ke arah Overste Nurdin yang terbaring itu begitu dia
masuk ke kamar tersebut.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (90)
Komentar
Posting Komentar