Si Bungsu menunduk cepat begitu kepala
ular itu meluncur seperti anak panah ke arah lehernya.
Begitu sasarannya luput, kepala ular itu
berputar kearah pohon dimana lima meter tubuhnya lelilit sebagai pegangan.
Ketujuh anggota Baret Hijau itu
terkesiap. Kaget dan merasa ngeri. Mereka memang manusia-manusia yang tak takut
pada maut. Tapi keberanian mereka adalah bila bertempur melawan manusia.
Mereka memang bukan pengecut. Namun
diserang ular mendadak begini, nyali mereka jadi ciut juga. Mereka segera ingat
pengalaman dua tahun lalu di India. Di Negeri ular itu, tak kurang dari sebelas anggota baret hijau yang kesohor itu
mati dipatuk ular berbisa. Tragis memang. Pasukan yang berani mati, yang
ditakuti lawan dan kawan, ternyata banyak yang mati digigit ular!
Dan kini mereka berjongkok tanpa sempat
berbuat apa-apa melihat ular itu kembali melesat ke arah orang yang laing
depan. Mereka tak tahu siapa orang itu. Namun demi malaikat mereka menggigil
melihat orang itu tetap tegak seperti menanti datangnya serangan ular raksasa
itu.
Dan ular itu nampaknya memang berang
benar. Kalau tadi yang meluncur kedepan hanyalah kepalanya dengan mulut
menganga, diiringi mencuatnya taring yang hampir sejengkal panjangnya itu, dia
juga melepaskan lilitan tubuhnya di pohon.
Dengan demikian, dia bermaksud menyerang
lawannya habis-habisan dengan mematuk dan meremukkan tubuhnya dengan lilitan.
Tapi malangnya orang itu justru adalah si
Bungsu! dia memang bukan Tarzan. Raja Rimba yang jadi legenda di hutan
belantara Amerika serikat. Namun, hewan buas dan binatang melata mana yang tak
“kenal” pada si Bungsu ketika dia bertarak di Gunung Sago?
Di rimba gunung sago yang belum pernah
dijamah kaki manusia itu, binatang-binatang buas lebih senang menghindar
jauh-jauh atau berdiam diri saja dipersembunyiannya bila manusia yang satu ini
lewat.
Hal itu terjadi setelah setahun si Bungsu
dirimba itu. Dan selama setahun itu memang banyak coba-coba. Maklumlah “orang
baru”.
Namun anak muda ini telah bertekad untuk
tetap hidup. Hidupnya adalah pembalasan dendam. Dan selama setahun itu tak
terhitung ular, harimau yang ingin “mencobanya”. Namun dia menghadapi dengan
samurai. Anak muda itu tak mau mengganggu kalau dia tak diganggu. Akhirnya
seperti ada persepakatan antara mereka. Antara hewan buas itu dengan si Bungsu.
bahwa mereka akan hidup sebagai tetangga yang rukun.
Dan hal itu memang jalan terbaik bagi hewan-hewan
buas itu. Sebab setelah setahun, anak muda itu telah berobah menjadi manusia
yang amat cepat mempergunakan samurai.
Nah, kini dia berhadapan dengan ular itu.
Dia menunggu kepala ular itu dekat. Kemudian mengelak ke kiri. Dan samurainya
berkelabat. Sekali. Dua kali! Empat!
Pada gerakkan pertama, kepala ular itu
putus tentang lehernya. Kepalanya masih terus melayang ke belakang. Kepalanya
masih terus melayang ke belakang. Mengenai tubuh Miguel. Miguel terpekik kaget.
Pada gerakkan kedua, ketiga dan keempat,
butuh ular yang tengah meluncur dengan maksud melilit badannya itu
berpotong-potong sama panjang! Semuanya jatuh dengan darah bersemuran! Lalu
sepi!
Ke tujuh anggota Baret Hijau itu,
termasuk Kapten Fabian, menatap dengan mulut ternganga dan bulu tengkuk
merinding. Dalam cahaya samar-samar mereka melihat anak muda itu tegak dengan
tenang. Kemudian dengan tenang pula secara perlahan dia menyarungkan
samurainya!
Suasana tegang itu terpecahkan oleh suara
langkah menguak semak-semak di depan mereka. Secara reflek mereka menyiapkan
bedil. Suara burung malam menggema perlahan. Mereka menarik nafas. Seorang dari
anggota rombongan itu menyahuti suara burung itu dengan nada yang sama.
Selang beberapa saat muncul sesosok
tubuh. Dan si Bungsu segera mengenalinya sebagai si Negro.
“Kapal mereka nampak tengah menuju
kemari. Hanya ada sebuah kapal….” Tongky si Negro itu melapor perlahan pada
Kapten Fabian.
“Ya. Mereka mengumpulkan wanita-wanita
itu ke kapal yang satu itu ditengah laut. Dan kini mereka menuju ke markas
mereka di pantai sana. Mari kita bersiap…” Kapten Fabian memberi
perintah-perintah.
“Kita takkan kembali lagi kemari. Kita
akan merebut kapal dan menyelamatkan wanita-wanita itu. Jangan menembak sebelum
ada komando dari saya dengan tembakan peluru sinar hijau”
Selesai perintah singkat itu merekapun
bergerak. Tongky di depan sekali. Berturut-turut dalam jarak dua depa adalah
Kapten Fabian, Donald, Miguel dan yang lain-lain.
Di belakang sekali si Bungsu.
Sebenarnya dia ingin berjalan di depan
sekali. Dia ingin menjadi penunjuk jalan. Sebab meskipun belum pernah kepulau
ini, tapi dia hapal setiap lorong dan setiap jengkal tanah rimba.
Dia tahu dari bau yang dipancarkan hutan
itu apakah tanah yang mereka pijak keras atau lunak. Dalam jarak sepuluh depa,
dia sudah tahu apapun di depan rawa, atau ada bahaya dalam bentuk binatang buas
atau manusia.
Dia hapal segalanya itu. Ah, dia
mengenali rimba raya seperti dia mengenali dirinya sendiri. Namun dia tak jadi
berjalan ke depan karena perintah Kapten Fabian. Karena dalam pasukan komando
itu Tongki lah yang ahli dalam mengenal lapangan.
Kini mereka berjalan dengan diam tanpa
menyalakan lampu. Tanpa cahaya setitikpun. Rimba rendah di pinggir laut segera
saja disambut oleh belantara yang lebat dibahagian darat pulau itu.
Dan dibawah pohon raksasa di pulau Pesek
itu segalanya jadi gelap gulita. Hujan lebat yang menerpa mereka di tengah laut
tadi, kini hanya tinggal titik-titik berupa hujan rintik. Namun saking rapatnya
dedaunan, rintik-rintik itu tak sampai ke bawah.
Dan Tonky nempaknya memang ahli dalam
menyelusup dirimba raya. Itu diakui oleh si Bungsu yang berjalan di belakang
sekali. Negor pendiam itu dalam gelapnya malam dengan lincah menyelinap ke sana
kemari. Menghindarkan dirinya dan rombongan dibelakangnya dari perangkap hutan
belantara yang mereka lalui.
Mereka berpedoman dari bayangan di depan
mereka agar tak kehilangan teman. Dan si Bungsu mengakui bahwa pasukan ini
memang pasukan yang ahli dalam rimba. Dari cerita-cerita yang pernah dia dengar
tentang pasukan Green Barets diketahuinya bahwa pasukan ini tak hanya tangguh
bertempur merebut kota dari tangan musuh. Tapi juga tangguh dan sangat ditakuti
di rimba dan di lautan.
Sebagai suatu pasukan Komando dibawah
bendera pasukan sekutu yang bertempur melawan Jerman dan Jepang, pasukan ini
memang diakui musuh. Mereka biasanya didrop ke daerah musuh yang paling
tangguh. Dimana pasukan-pasukan infantri atau pasukan artileri tak kuasa
menerobos pertahanan musuh., maka sudah bisa dipastikan bahwa Jenderal
Eisihhower yang menajdi panglima pasukan sekutu akan mengirim telegram pada
komando pasukan Green Barets.
“Kami kandas dalam menerobos sasaran “X”
telah dicoba dengan infantri yang ribuan
jumlahnya. Dan dibantu oleh pasukan artileri serta pasukan-pasukan payung. Namun
pertahanan mereka sangat tangguh. Kami berharap dan bangga sekali kalau pasukan
Green Barets dapat membantu kami. Terimakasih, Einsihower”
Selalu demikian bunyi “perintah” jenderal
berbintang empat itu. Dia tak pernah memakai kalimat “dengan ini saya perintahkan”.
Dia selalu memakai kalimat “Kami bangga sekali kalau pasukan Green Barets dapat
membantu kami..’
Itu sebabnya kenapa Eisinhower jadi akrab
dengan setiap prajurit yang dipimpinya. Meskipun “perintah” dan “kepatuhan”
merupakan dogma yang mutlak bagi setiap prajurit, namun Eisinhower selalu
berusaha menghindar dari sistim itu. Dia seorang jenderal yang keras, tegas dan
berwibawa. Namun disamping itu dia juga seorang jenderal yang dicintai.
Dia adalah perpaduan antara Panglima
dalam arti militer, dan Pemimpin dalam arti sipil. Dan kini, Green Barets,
pasukan kebanggan tentara sekutu itu, juga kebanggan Eisinhower, sebagian
anggotanya berada di depan si Bungsu. berada dalam rimba pulau Pesek di selatan
Singapura.
Pasukan kecil beranggotan sembilan orang
itu suatu saat berkumpul di sebuah tempat gelap.
“Kita akan menyeberang rawa ini…” Tongky
brekata perlahan.
“Tak ada buaya…?” terdengar pertanyaan
dari mulut Donald.
“Tidak. Tadi saya menyeberang disini
juga. Ini jalan pintas terdekat. Disebelah sana, setelah menerobos sedikit
belukar, kita akan sampai antara rumah papan yang mereka jadikan sebagai markas
dengan pelabuhan kapal dimana mereka menurunkan perempuan-perempuan itu…”
“Engkau menyeberang disini pulang pergi
tadi?” kali yang bertanya adalah Kapten Fabian.
“Ya. Inilah jalan saya tadi. Buktinya
saya masih hidup, toh?” Tongky meyakinkan. Dan dia memang masih hidup. Dan dia
memang lewat di rawa itu tadi. Dia tak berbohong akan hal itu. Namun si Bungsu
tak sependapat dengan Negro itu.
Barangkali saja Tongky benar, bahwa rawa
ini tak berbuaya. Namun firasat si bungsu mencium bahaya yang jauh lebih
dahsyat daripada seekor atau lima ekor buaya. Inderanya yang amat tajam tentang
perilaku rimba belantara membisikkan bahaya itu pada hatinya.
“Baik, engkau duluan. Yang lain mengikuti
dalam jarak empat depa….” Kapten Fabian berkata. Mereka berkata-kata tetap
berupa bisik-bisik perlahan.
Tongky mulai masuk ke air.
Tapi langkahnya terhenti ketika terdengar
ucapan “tunggu” dari belakangnya.
Dia berhenti, dan dia termasuk juga
seluruh rombongan menoleh pada si Bungsu yang mengatakan “tunggu” itu.
“Saya rasa jalan ini berbahaya…” katanya
perlahan.
Anggota bekas pasukan baret hijau itu
menatap padanya tepat-tepat. Mereka tak bersuara. Menanti penjelasan dari anak
muda itu.
“saya tak dapat mengatakan apa bahayanya.
Tapi firasat saya mengatakan hal itu. Barangkali bukan buaya atau ular. Tapi
kesunyian di seberang sana membuat saya curiga….” Si Bungsu berkata separoh
berbisik.
Tongky mendekat lagi mendengar penjelasan
itu.
“Ya diseberang sana memang sepi. Saya
tadi menyelusup sampai ke dekat rumah yang mereka jadikan markas. Disana enam
lelaki. Semuanya berbedil otomatis. Dan mereka semua asik main kartu. Di
pelabuhan ada dua orang yang memberi isyarat pada kapal yang kelihatannya masih
sangat jauh. Mereka memberi isyarat dengan pelita kecil. Nah, jumlah mereka
hanya delapan. Barangkali dari kapal yang akan merapat itu ada sekitar sepuluh
orang lagi. Jadi semuanya hanya delapan belas. Betapapun juga, dengan kekuatan
sedemikian kita sanggup menyikat mereka…”
Kemudian dia menatap kembali pada Kapten
Fabian. Lalau tatapan matanya berpendar pada ketujuh anggota Baret Hijau yang
lain. Lalu terdengar suaranya perlahan:
“Tak dapat saya mengatakan bagaimana saya
menarik kesimpulan bahwa diseberang sana ada perangkap. Tapi saya dapat
merasakannya. Jika ingin diperjelas lagi, maka diri saya adalah bahagian dari
belantara yang berbahaya tetapi sepi…”
Kapten fabian tahu, orang ini tak
berbohong. Jauh dilubuk hati Kapten itu juga mengakui, bahwa dia merasa firasat
anak muda ini adalah benar.
Namun bagaimana jalan keluar?
“kini, bagaimana kita menyebrenag ke sana
jika kita dari arah ini? Jika diambil jalan memutar, rasanya terlalu jauh”
Semua terdiam mendengar ucapan Kapten
tersebut.
“Bagaimana kalau saya dengan satu atau
dua orang sukarelawan lainnya menyeberang terus pada jalan ini?” yang berkata
ini adalah si Tongky Negro yang ahli menyelusup itu. Dan siapa pun diantara
yang hadir itu dapat mengetahui bahwa Tongky kurang yakin pada firasat si
Bungsu. sebenarnya tidak hanya Tongky, hampir seluruh mereka, kecuali Kapten
Fabian kurang yakin akan firasat si Bungsu itu.
Namun mereka tak berani melanggar
perintah Kapten Fabian. Dalam soal-soal begini, sebuah pasukan Komando memang
ditentukan nasibnya oleh Komandan. Kecuali jika mereka telah berpencar, maka
nasib mereka berada ditangan mereka sendiri. Pada saat begitulah kemampuan
pribadi sangat diandalkan. Kini, betapapun juga kesatuan pasukan harus
dipertahankan.
Dan itu pulalah sebabnya Tongky tak
secara langsung mengajukan protes atas ramalan si bungsu. dia hanya menawarkan
suatu alternatif lain dengan mengatakan : Bagaimana kalau saya tetap
menyeberang dengan satua atau dua
sukarelawan..
Artinya, dia ingin membuktikan bahwa
ramalan si Bungsu itu tak benar. Mendengar tawaran itu, beberapa orang segera
saja menyatakan akan ikut. Jumlah mereka justru enam orang.
“Saya rasa jumlahnya cukup tiga orang
yang diusulkan Tongky. Dan saya masuk satu diantaranya…” yang berkata ini
adalah si Bungsu. dan semua mereka jadi kaget. Sebentar ini anak muda tersebut
mengatakan bahwa diseberang sana ada perangkap. Tapi dia malah menyatakan akan
ikut dalam penyeberangan itu. Apakah dia hanya sekedar ingin membuat sensasi?
“oke. Jika demikian anda ikut dengan
Tongky. Dan sebagai seorang Letnan, regu yang tiga orang ini berada dibawah
pimpinan anda. Kami akan menanti disini…”
Kapetn Fabian akhirnya memutuskan.
Dan semua orang memang tak membantah.
Soalnya waktu sudah semakin sempit. Untuk mempersoalkan apakah diseberang sana
ada perangkap atau tidak ini saja, mereka telah terhenti selama lima menit.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (96)
Cara Efektif dan Tahap Berhenti Taruhan Online Yuk Gabung Disini aja.. Penuh Dengan Kejutan Bonus Berlimpah Setiap Hari!!!
BalasHapus