Sukarelawan yang satu lagi adalah Donald.
Si Bungsu menuju ke samping. Dan dia mengambil sebatang bambu sebesar ibu jari
yang beruas panjang-panjang. Memotongnya sepanjang sehasta. Memberikannya pada
Tongky dan Donald masing-masing sepotong. Untuknya sendiri sepotong.
“Barangkali ini kita perlukan. Saya lebih
percaya bahwa kita akan aman jika menyelam dan mempergunakan bambu kecil ini
sebagai slang pernafasan. Dengan demikian kita tak usah muncul di permukaan air
sampai sekarang”
Si Bungsu kemudian masuk ke air rawa yang
dalam malam pekat ini kelihatan seperti aspal, hitam pekat.
Dia menoleh pada Kapten Fabian dan
berkata:
“Untuk menyeberang, kami butuh waktu
sepuluh menit paling lama. Kami akan memberi syarat kalau keadaan aman, maka
musuhlah yang akan memberi isyarat dengan tembakan ke arah kami..” sehabis
berkata dia memberi hormat. Kemudian mulai melangkah ke tempat dalam.
Lima meter dari pinggir dia berheti.
Menoleh ke belakang ke arah Tongky dan Donald. Dia berkata separoh berbisik.
“Ini batas kita berjalan. Dari sini kita
harus menyelam. Nah, kita mulai…”
Dia meletakkan bambu bengkok itu ke
mulutnya. Kemudian menyelam. Dengan memakai bambu bengkok tersebut di mulut,
dia dapat menyelam telungkup.
Tubuhnya segera lenyap ke dalam air. Dan
di permukaan air rawa hanya terlihat sepotong ranting kecil bergerak perlahan
ke arah seberang sana.
Donald dan Tongky berpandangan. Mereka
sebenarnya tak mau menyeberang dengan cara itu. Mereka memang tak usah khawatir
dengan senjata mereka, senjata adalah senjata-senjata yang dirancang oleh para
ahli. Yang bisa ditembakkan meski senjata itu telah terendam air.
Magazine tempat pelurunya serta loop
senjata otomat tersebut diluar sistim yang pelik. Sehingga air tak bisa masuk
kedalamnya meski terendam air agak dua hari.
Yang membuat mereka tak sedap adalah
harus berendam lagi.
Tapi anak muda itu telah ditetapkan
sebagai Komandan Regu mereka.
Dan mereka adalah orang-orang yang telah
dididik dengan disiplin keras, bahwa komandan harus dipatuhi.
Maka merekapun meletakkan bambu bengkok
yang dipilih oleh si Bungsu itu ke mulut. Lalu dengan perasaan separoh enggan
mulai menelungkup dalam air.
Lalu mereka mulai berenang keseberang.
Kapten Fabian dan kelima anggotanya tiba-tiba melihat ketiga orang itu lenyap
dalam rawa. Dari tempat mereka tegak, tak ada yang kelihatan. Bambu kecil yang
mencuat sejengkal lebih ke atas permukaan air itu juga tak bisa dikenali lagi
diantara semak dan ranting kayu yang berserakkan di permukaan.
Kalau benar di seberang sana ada
perangkap seperti dikatakan si Bungsu, maka Kapten Fabian harus mengakui bahwa
cara peyebrangan yang kini dilakukan anak muda itu adalah cara yang sempurna.
Dan kalaupun tak ada musuh seperti yang
diduga itu, cara penyebrangan sebentar ini tetap saja merupkan tindakan
hati-hati yang memang harus dilakukan.
Mereka menanti dengan hati berdebar
peyebrangan itu.
Sementara itu dalam air, si Bungsu
menyeruak diantara rumpun-rumpun rumput. Dia harus bergerak perlahan sekali.
Dan dia berharap agar hal yang sama juga dilakukan oleh kedua anggotanya di
belakang. Kalu rumput-rumput itu bergerak dengan kuat, dan geraknya menuju ke
pinggir, maka penjebak tentu akan segera curiga. Dan siapapun yang melihat
pasti akan segera tahu bahwa didalam air ada penyelam yang sedang mendekat.
Sebab mustahil ada kapal selam dalam rawa sedengkal begini.
Dan si Bungsu memang beruntung. Sebab
baik Tongky maupun Donald yang berada di belakangnya memang bertindak hati-hati
pula. Mereka nampaknya memang berasal dari pasukan yang disiplin. Ketiga mereka
berenang dengan lambat.
Si Bungsu merasakan air makin dangkal.
Tapi dia tetap tak mau muncul. Bahkan dia telah merayap ditanah, namun dia
masih belum mau mengangkat kepalanya dari permukaan air.
Beraulah ketika air telah menimbulkan
rambut dikepalanya dia mendongak perlahan. Sepi. Dia masih tiarap dia air.
Perlahan dia menoleh ke belakang. Dua meter dibelakangnya, dia lihat dua sosok
bayangan mendekat. Persis seperti yang dia lakukan tadi, kedua orang itu juga
tetap tak mau bangkit seski air telah amat dangkal.
Mereka merayap dalam sikap hati-hati
sekali. Akhirnya ketiga orang itu berada sejajar berdekatan. Dingin menusuk
kulit.
“Nah, Letnan, apa lagi kini?” Donald
berbisik.
“Jalan menuju ke markas mereka ada
dibelah kananmu Letnan…” Tongky menyambung bisik Donald.
Si Bungsu mengangkat tangan. Memberi
isyarat untuk tak berbisik. Dan tangannya masih bergoyang memberi isyarat
ketika perlahan terdengar suara dari sebelah kiri, yaitu tak jauh dari tempat
Tongky menelungkup.
“Nampaknya kita disuruh menunggu nyamuk
disini…” suara itu jelas dalam aksen Tionghoa.
“Tenanglah. Tadi saya melihat sesuatu
bergerak di seberang sana…” suara lain menyahut perlahan. Aksennya dalam nada
Melayu.
“Ya, saya juga melihat ada yang bergerak.
Barangkali ada orang menari striptis disana.heheh…hihi…huhu….” orang lain yang
nampaknya juga sudah jengkel menanti
ikut menyambung.
“Cibai! Kalian tak bisa diam?!” Cina yang
lain bercarut dalam bahasanya. Dan tiga orang yang tadi menyumpah-nyumpah kesal
itu pada terdiam. Nampaknya yang bercarut terakhir ini cukup berpengaruh
diantara mereka.
Suasana kembali sepi. Si Bungsu, Tongky
dan Donald masih tetap tiarap. Diam. Tongky dan Donald yang berbaring dilumpur
berdekatan saling pandang.
Dan seperti bersepakata, mereka menoleh
pada si Bungsu. namun anak muda itu tengah menatap ke arah Cina yang bercarut
terakhir. Cina itu nampak bersembunyi diatas dahan yang tingginya sekitar
sedepa dari tanah. Terlindung oleh dedaunan yang lebat.
Tongky dan Donald diam-diam mengakui
ketajaman firasat anak muda itu. Coba kalau tadi mereka menyeberang saja bersama.
Tentu kini mereka telah jadi tapisan di drel oleh senapan orang-orang yang
menanti mereka ini.
Si Bungsu masih menatap ke arah suara di
atas dahan yang jaraknya sekitar dua puluh depa dari tempatnya. Dia lalu
menoleh pada Tongky dan Donald. Memberi isyarat. Dengan gerakkan sehalus ular,
kedua bekas anggota Baret Hijau ini merayap kearahnya.
Dan ketika jarak mereka tinggal sejengkal
kedua orang itu berhenti. Si Bungsu berbisik perlahan:
“Kita tak tahu dengan pasti berapa orang
yang menanti kita disini. Yang kita dengar berbicara hanya empat. Tapi saya
merasa yakin jumlahnya lebih dari itu. Barangkali sekitar sepuluh orang. Nah,
tugas kita sekarang membuat jalan aman bagi teman-teman di seberang. Caranya
hanya satu. Yaitu melenyapkan segala perangkap yang ada. Saya akan
menyelesaikan Cina yang di pohon itu. Kalian pilih yang berdua yang bicara
pertama tadi…” dan si Bungsu memberi beberapa penjelasan. Lalu dalam posisi
tengkurap di lumpur itu, ketiga mereka salaing bersalaman.
Lalu Tongky dan Donald bergerak. Tongky
nampaknya menuju ke arah Cina yang mula-mula bicara. Sementara Donald ke arah
Melayu yang menyahut kedua.
Si Bungsu mengagumi cara mereka merayap.
Dalam lumpur dan timbunan dedaunan tebal begitu, kedua orang itu merayap
benar-benar seperti ular.
Tak bersuara. Artinya, suara desir yang
mereka timbulkan hanya bisa ditangkap oleh telinga yang amat tajam. Berarti
masih ada seorang lagi di bawah yang harus diselesaikan. Yaitu yang bicara
penghabisan sebelum Cina yang diatas cabang itu bercarut menyuruh mereka diam.
Si Bungsu perlahan merangkak ke arah
suara itu. Dalam jarak tiga depa, si Bungsu merasa berada di pasar. Orang itu
membuat kegaduhan yang tak tanggung-tanggung dalam penantiannya.
Dia menguap. Dan suara kuapnya sebenarnya
cukup perlahan. Tapi ditelinga si Bungsu, suara kuap seperti itu sama seperti
mendengar suara teriakkan. Kemudian orang itu beberapa kali menyumpah-nyumpah.
Dari logatnya, si Bungsu segera tahu, orang ini adalah orang Keling.
Kini jaraknya hanya tinggal sedepa. Dan
si Bungsu segera dapat mencium bau tubuh Keling itu.
Keling itu masih menyumpah-nyumpah karena
muak menanti. Si Bungsu mengukur jarak. Jarak antara dirinya dengan orang
Keling itu.
Orang itu berada agak diatasnya sekitar
sehasta. Hanya karena kesal sejalan orang keling itu sampai tak melihat dirinya
dalam jarak sedepa itu. Padahal orang itu menempati tempat yang strategis. Agak
di atas tebing, si Bungsu hanya dilindungi oleh gelapnya malam, dan sedikit
semak-semak.
Perlahan si Bungsu menoleh ke kiri. Dalam
jarak empat depa, tegak pohon rimbun bercabang rendah. Dan di pohon itulah Cina
yang bercarut tadi bersembunyi.
Kalau sekarang di menyerang Keling ini,
apakah Cina di atas pohon itu takkan mengetahui?
Dia mengangkat kepala sedikit. Antara
tempat kaling itu berada dengan pohon si Cina ada pohon-pohon kecil. Tak dapat
tidak, keling inilah yang harus diselesaikan dahulu.
Dia merayap lagi. Dan nampaknya keling
itu baru menyadari ada sesuatu yang tak beres disekitarnya.
Dia terdiam. Si Bungsu juga menghentikan
gerakkannya. Orang itu menatap tajam ke depan. Ke arah air rawa. Dia ingin
memastikan apakah sesuatu yang bergerak disana.
Tak ada apa-apa.
Air rawa itu tetap pekat dan gelap. Tetap
tak ada riak apa-apa. Tapi ketika dia menukikkan pandangannya agak kebawah,
yaitu ke tebing yang terletak persis di bawah batang hidungnya, dia meliat
sesuatu tergeletak. Terjulur dari dalam semak-semak yang setengah depa di
depannya.
Hitam dan agak besar. Nampaknya seperti
pohon kayu yang lapuk. Tapi, apakah tadi pohon kayu itu ada disitu?
Dia tak begitu yakin. Rasanya tidak. Atau
salah mengingatkah dia? Masakan pohon itu begitu saja ada disana. Dia coba
membuka matanya lebar-lebar. Berusaha menembus dinding gelap yang melingkup
pinggir rawa itu.
Karena tak begitu yakin, dia lalu merangkak
ke depan. Kepalanya dia julurkan, dan menatap. Lalu tiba-tiba di sadar bahwa
itu bukan pohon, melainkan kaki manusia! Kaki yang lengkap dengan sepatu!
Kaget dan panik dalam waktu yang singkat
melanda diri Keling itu. Dia menarik kepalanya dan mengangkat bedil. Namun
segalanya terlambat sudah. Yang berada di depannya adalah si Bungsu. sesaat
sebelum kepalanya ditarik, samurai anak muda itu berkelabat. Masih dalam
keadaan tiarap, mata samurai itu membuat lingkaran ke udara. Dan kepala orang
Keling itu putus!
Kepalanya justru jatuh menimpa punggung
si Bungsu. dan darah yang menyembur membasahi baju lorengnya! Tubuh keling yang
tak berkepalanya itu menggelepar. Gelepar tubuhnya menimbulkan suara berisik di
semak itu.
“Kani keni Pubo!! Kau tak bisa diam Keling
jahanam?!” terdengar carut yang amat kasar dari mulut Cina diatas pohon itu. Si
Bungsu menanti dengan tegang. Dia tak mungkin bergerak dalam situasi bgitu.
Posisinya berada dalam keadaan lemah. Cina itu bisa saja memuntahkan peluru
kearahnya bila dia curiga.
Dia menanti diam. Tapi tubuh keling itu
masih menggelepur. Persis seperti ayam yang disembelih.
“Kalau kau tak bisa diam, kurengkahkan
kepalamu dengan pistol ini….!” Cina itu nampaknya marah benar. Dan hanya
kebetulan saja yang menolong si Bungsu. tubuh keling itu kehabisan darah.
Darahnya telah menyembur seperti air tumpah dari drom lewat lehernya yang
putus.
Dan kini tubuh yang kehabisan darah itu
terdiam.
“Kalau kau tak bisa menanti, lebih baik
kau pulang saja ke markas….” Suara Cina itu terdengar lagi perlahan. Mayat
keling itu diam. Tak menyahut. Ya, apa pula yang akan disahuti oleh sesosok
mayat yang tak berkepala?
Si Bungsu merasa muak oleh darah yang
membasahi pakaian dan punggungnya.
Dia ingin bergulingan masuk ke air rawa.
Tapi itu adalah hal yang mustahil. Kalau akan masuk rawa, dia harus merangkak
lagi enam depa ke kanan. Yaitu ketempatnya mula-mula muncul tadi. Sebab
disanalah medannya yang penuh semak. Sementara dibawahnya ini, yaitu di depan
sei Keling ini mengintip, sampai ke daerah Cina di atas pohon itu, tebing
rawannya licin, tak berumput. Dan setiap benda yang bergerak akan mudah
kelihatan.
Dan untuk surut ke belakang akan membuang
waktu panjang. Kapten Fabian dengan pasukannya di seberang sana pasti tak sabar
lagi menanti. Maka tak ada jalan lain baginya, selain membiarkan punggungnya
berlumur darah, dan kini dia merayap ke atas. Bergulingan dan hop! Kini dia
berada pada posisi si Keling tadi. Tubuh keling itu terbaring menelentang. Dan
si Bungsu berbaring disisinya.
Pada saat Cina tadi menyuruh Keling yang
telah mati itu untuk diam, Donald dan Tongky pada saat yang hampir bersamaan
terhenti. Mereka sebenarnya siap menyekap musuh mereka dari belakang. Tapi
mendengar Cina itu memerintah si Keling, kedua lelaki yang akan mereka sekap itu
berpaling.
Sebenarnya kedua orang itu berpaling ke
arah tempat si Keling. Yaitu di dua belas depa dari lelaki yang akan disekap
Tongky dan delapan depa dari lelaki yang akan disekap Donald.
Kedua orang itu juga mendengar suar
semak-semak terkuak akibat gesekan tubuh si Keling. Ke arah itulah mereka
berpaling. Meskipun mereka tak dapat melihat karena gelapnya malam, namun
mereka menoleh juga. Dan malangnya baik Donald maupun Tongky berada di arah
yang toleh kedua orang itu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (97)
Komentar
Posting Komentar