Berdesak-desakan, hawa panas serta bau
asap rokok yang mengganggu kenyamanan, begitulah suasana yang sering
dijumpai ketika jadi penumpang bus untuk bepergian ke suatu tempat.
Bahkan, bus dengan kapasitas tempat duduk mulai dari 28 hingga ukuran
jumbo, pernah menjadi transportasi utama masyarakat yang ingin
bepergian dari suatu kota ke kota lainnya dengan jarak tempuh cukup
jauh. Begitupun dengan ongkosnya, cukup mengeluarkan ongkos yang tidak
begitu mahal.
Untuk Anda yang lahir pada tahun 60an hingga 70an tentu masih sangat
hafal merk-merk dinding bus antar kota dalam provinsi di daerah ini yang
pernah malang melintang bertahun-tahun di jalanan Sumbar.
Untuk trayek Padang-Bukittinggi pernah jaya nama PO Triarga dan
Cemerlang. Tapi keduanya kemudian sudah tinggal kenangan saja. Untung
Elly Kasim, penyanyi Minang itu mengabadikan nama kedua bus itu dalam
bait lagu. Rute gemuk ini juga diperebutkan oleh ‘dua raksasa’ ketika
itu ANS dan NPM. ANS berbasis di Padang, sedang NPM berbasis di Padang
Panjang.
Di rute Payakumbuh-Padang ada nama Bintang Kejora, Bunga Setangkai,
TES, Sinamar, Soember, Pozla, dan Bahagia. Kini tinggal Sinamar dan
Bahagia yang masih menjalani trayek mereka.
Dari Batusangkar terdengar pula klakson Gumarang, APD, APB dan Minang
Jaya. Gumarang lebih banyak mengambil rute Antarkota Antarprovinsi.
Sedang yang lain sudah lama tenggelam. Hanya ada dalam kenangan betapa
petikan klakson yang khas dengan dendang lagu Minang menghiba-hiba di
pendakian Kelok Sikumbang (kawasan antara Padang Panjang dan Simabur)
Yang tak kalah terkenal, Harmonis dan Harmoni, dua ‘pendekar’ yang
berani turun naik kelok 44 untuk rute Lubuk Basung – Bukittinggi. Rute
dari Lubuk Basung ke Padang dilayani oleh Dagang Pesisir. Sementara dari
Pariaman PO Kawan dan Alisma berkejaran berebut penumpang dengan
rekan-rekannya dari Lubuk Basung menuju Padang.
Dari Sawahlunto dan Sijunjung nama ADS, HZN dan Dasrat pernah amat
jaya. Sama ayanya dengan PO Terang dan Ubani yang mengambil trayek Solok
– Padang.
Trayek yang agak lama bertahan adalah Painan – Padang yang dilayani Guntur Super, Habeco, Erlindo dan beberapa yang lain.
Tapi masa keemasan angkutan darat itu kini sudah sirna. “Ada dua hal
yang membuatnya demikian. Pertama kecenderungan penumpang yang makin
banyak berkenderaan pribadi, kedua penggunaan bus besar ternyata
melelahkan orang menunggu, ketiga mismanajemen dan keempat
persaingan dengan angkutan jemput antar atau travel,” kata Angga
Vircansa Chairul, generasi ketiga keluarga Babak yang meneruskan
perusahaan keluarga NPM ini.
Kini NPM bersama ANS masih setia menjalani trayek mereka walau jumlah
armada tidak sebanyak dulu lagi. ANS beralih ke kendaraan 3/4 sedang
NPM lebih berkonsentrasi pada rute antarprovinsi dan angkutan
pariwisata.
Dimasa jayanya, NPM memiliki armada sampai lebih 100 unit dan
ratusan karyawan tetap. Tapi kini usaha yang dirintis keluarga Babak
sejak tahun 50an hanya memiliki 53 unit bus besar, 2 unit medium dengan
30 orang kayawan serta ratusan pengemudi.
Angga mengakui bahwa maraknya travel, moda transportasi bus besar
tersingikir. Boleh dikatakan saat ini hanya beberapa otobus saja yang
menjalani route AKDP (antar kota dalam propinsi). Saingannya adalah
jenis microbus.
Angga Vircansa Khairul, menyebutkan, makin ditinggalkannya bus besar
untuk AKDP karena gampangnya mendapatkan motor dan mobil pribadi,
serta kebijakan pemerintah yg tidak prokepada angkutan massal.
Meski demikian sejak tahun 2011 NPM tetap melakukan peremajaan unit
baru sebanyak 13 bus besar dan 2 unit medium, sasarannya adalah
memberikan kenyaman kepada penumpang. “Alhamdulillah trayek
Padang-Jakarta-Bandung kini masih tetap lumayan. Dan yang juga laris
adalah moda angkutan wisata Vircansa, kata Angga kepada Haluan pekan ini.
Dari Padang Panjang, selain NPM, dulu ada beberapa perusahaan otobus
yang cukup jaya, seperti APD dan PO Manila. Keduanya disamping
menjalani trayek AKAP juga melayani trayek AKDP. seperti
Batusangkar-Padang, Bukittinggi dan Solok.
PO Manila kepunyaan H Katik As, sudah lama tidak beroperasi lagi,
sementara APD milik almarhum Leman Kayo boleh dibilang “hidup hidup
mati”. Kini beberapa armada APD mulai tampil kembali menjalani trayek
AKAP. Itupun jumlahnya masih dalam hitungan jari saja.
Hal yang sama juga diakui oleh para pengusaha angkutan antarkota di
Payakumbuh. Umumnya mereka mengaku sangat berat bersaing dengan travel
dan microbus yang marak semenjak beberapa tahun terakhir ini.
“Matinya operasi bus berkapasitas 28 penumpang ini, cendrung
disebabkan hadirnya bus-bus dengan ukuran lebih kecil. Sehingga
penumpang lebih dominan memilih bus kecil yang lebih aman dan nyaman
dari bus-bus ukuran besar. Dengan begitu, secara perlahan bus besar ini
ketinggalan penumpang dan tidak beroperasi lagi,” ujar Eviyunaldi
pemilik bus PO Bahagia di Kabupaten Limapuluh Kota.
Menurut putra Kubang ini, bus ukuran sedang ini mulai ditinggalkan
penumpang semenjak tahun 2008 dan benar-benar tidak beroperasi lagi
hingga tahun 2011 kemaren. “Bus kecil lebih nyaman, aman dari pencopet
dan cepat sampai tujuan. Hal itu berbanding terbalik dengan bus ukuran
besar. Hingga tahun 2011, bus PO Bahagia dengan ukuran besar tak satupun
yang beroperasi lagi,” ujar pemilik pengusaha perjalanan yang telah
beroperasi semenjak tahun 50an.
Ia menceritakan, usaha yang digelutinya sebagai biro perjalan
antarkota dalam provinsi itu, dahulunya memiliki lebih dari 30 unit bus
dengan kapasitas 28 penumpang. Tetapi, memasuki tahun 2009, satu persatu
bus miliknya mulai tidak beroperasi. Hal itu dikarena sepinya
penumpang yang mau menaiki bus ukuran sedang tersebut dan akhirnya
perusahaannya itu terus merugi tiap kali bus beroperasi.
Sepinya penumpang ini, ungkapnya, juga disebabkan banyaknya berdiri
kampus-kampus di Kota Payakumbuh ataupun di Kabupaten Limapuluh Kota,
sehingga pelajar di Luak Limopuluah yang menjadi target utama penumpang
bus ini, lebih cendrung berkuliah daerah sendiri.
“Berdirinya perguruan tinggi di Payakumbuh juga mempengaruhi
hilangnya penumpang bus kita, yang umumnya adalah mahasiswa yang
melanjutkan pendidikannya di Padang. Tetapi, semenjak adanya perguruan
tinggi ini, putra-putri kita ini, lebih memilih berkuliah di daerah
sendiri, sehingga penumpang kita jadi sepi,” ujarnya.
Begitupun dengan penumpang umum, ujarnya, penumpang umum seperti
guru ataupun masyarakat lebih memilih mini bus . Dari situ,
satu-persatu bus PO Bahagia ini dijual dan diganti dengan mini bus. “
Dari 30 bus ukuran sedang yang ada , kini hanya tersisa 3 unit dan
itupun tidak beroperasi lagi. Bus yang pernah berjaya hingga tahun 2010
lalu, digantikan dengan minibus,” ungkap Eviyunaldi yang lebih akrab
disapa Ujeng itu.
Hal senada juga dirasakan perusahaan bus PO Sinamar yang berkantor
pusat di nagari Tobek Panjang, kecamatan Payakumbuh. Dari 16 unit bus
ukuran sedang yang dimiliki PO Sinamar, tak satupun yang kini
beroperasi. Bus trayek Payakumbuh-Padang, Payakumbuh-Pekanbaru itu,
telah digantikan dengan bus yang lebih kecil dengan kapasitas 15
penumpang atau sering disebut minibus. “Salah satu penyebab tidak
berfungsinya bus ini, juga disebabkan adanya praktek pungutan liar
dijalan. Sehingga, setiap kali trayek, selalu merugi,” ujar Azizman Dt.
Majo Kayo pemilik bus PO Sinamar
Sumber : www.harianhaluan.com
Komentar
Posting Komentar