Laporan itu dimasukkan ke dalam
penyimpanan dokumen paling rahasia oleh Kolonel Fujiyama. Kolonel Fujiyama
terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang
yang amat konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara.
Seorang tentara berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan
Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak mengambil
putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan
menyuruh Eraito, seorang mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil
langkah kedua dalam urusan peristiwa si Bungsu ini. Dia memerintahkan pada
Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha (Mayor) dan menjabat sebagai Bu
Tei Cho (Komandan Batalyon) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di
Markas Besar.
Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
”Saya punya keyakinan, kalau engkau masih
di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda bersamurai yang bernama si
Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak
dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat,
engkau akan mati di tangannya. Karena itu pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di
sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa anak bini orang. Namun saya
merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi ..”
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada
Saburo, Saburo termenung.
”Apakah engkau punya anak?”
”Ada Kolonel ..”
”Berapa orang?”
”Seorang, dan perempuan ..”
”Dimana dia kini?”
”Di Nagoya. Baru berumur enam belas ..”
”Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap
orang akan menerima balasan dari perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu
ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau
bayangkan apa yang akan terjadi Saburo? Saya tak menakut-nakutimu. Tapi
berdoalah, agar anak muda itu melupakan. Nah selamat jalan..!”
Kata-kata ini masih terngiang di telinga
Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang ke Jepang. Anaknya
seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih
berumur sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di
Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah
dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri setelah dia
perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya
itu memburunya dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba
Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu tubuhnya pada merinding. Anak muda itu
mencarinya dengan samurai.
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amatlihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amatlihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
”Saya akan menuntut balas atas
perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk membunuhmu
dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik–baik..” Suara itu
seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak
kandungnya. Dulu dia menganggap hal-hal mistis ini sebagai nonsens.
Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu? Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka?
Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu? Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka?
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia
yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak jauh. Konon bernama Gayung,
Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang
terkena senjata rahasia itu? Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang
saja? Saburo termasuk orang praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk
mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa yang telah mati lebih
dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut? Dia ingin segera pulang ke
kampungnya di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di
Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari
Dumai ke Singapura.
Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura. Kemana si Bungsu? Kenapa dia bisa lenyap dari ruangan di mana dia membantai tentara Jepang dan Babah gemuk mata mata itu? Padahal rumah itu telah dikepung dengan ketat oleh Kempetai. Tambahan lagi dia mengalami luka di berbagai bahagian tubuhnya dalam perkelahian melawan si Babah itu. Kemana saja dia melarikan diri hingga tak bersua? Malam itu, sebenarnya si Bungsu tak pernah meninggalkan rumah si Babah. Bahkan hari hari berikutnya dia masih tetap di rumah itu. Tapi kenapa sampai tak diketahui Kempetai? Kenapa sampai tak diketahui perempuan perempuan lacur yang tinggal di rumah itu?
Malam itu, tatkala dia selesai membunuh dua perwira Jepang yang merupakan orang terakhir di dalam ruangan itu, pintu besar yang dia kunci dengan palang besar itu sudah hampir dijebol oleh Kempetai dengan truk reo. Suara reo telah terdengar olehnya memasuki rumah. Bahkan reo itu sudah berada di ruang depan- Dia harus menyelamatkan diri. Namun dia tahu, ruangan ini telah dikepung dengan ketat. Tapi bagaimana juga dia harus selamat. Harus tetap hidup sampai dendamnya pada Saburo terbalaskan. Dengan kaki pincang dia segera mencarijalan untuk menyelamatkan diri. Dia tidak menuju ke belakang. Melainkan ke samping.
Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura. Kemana si Bungsu? Kenapa dia bisa lenyap dari ruangan di mana dia membantai tentara Jepang dan Babah gemuk mata mata itu? Padahal rumah itu telah dikepung dengan ketat oleh Kempetai. Tambahan lagi dia mengalami luka di berbagai bahagian tubuhnya dalam perkelahian melawan si Babah itu. Kemana saja dia melarikan diri hingga tak bersua? Malam itu, sebenarnya si Bungsu tak pernah meninggalkan rumah si Babah. Bahkan hari hari berikutnya dia masih tetap di rumah itu. Tapi kenapa sampai tak diketahui Kempetai? Kenapa sampai tak diketahui perempuan perempuan lacur yang tinggal di rumah itu?
Malam itu, tatkala dia selesai membunuh dua perwira Jepang yang merupakan orang terakhir di dalam ruangan itu, pintu besar yang dia kunci dengan palang besar itu sudah hampir dijebol oleh Kempetai dengan truk reo. Suara reo telah terdengar olehnya memasuki rumah. Bahkan reo itu sudah berada di ruang depan- Dia harus menyelamatkan diri. Namun dia tahu, ruangan ini telah dikepung dengan ketat. Tapi bagaimana juga dia harus selamat. Harus tetap hidup sampai dendamnya pada Saburo terbalaskan. Dengan kaki pincang dia segera mencarijalan untuk menyelamatkan diri. Dia tidak menuju ke belakang. Melainkan ke samping.
Baru tiga langkah dia berjalan, dia
tertegak. Di depannya berdiri seorang perempuan. Tepatnya adalah seorang gadis
cina. Sekali pandang dia dapat menebak, gadis ini paling paling baru berusia
enam belas atau tujuh belas tahun. Gadis cantik bertubuh menggiurkan. Gadis
berkulit kuning berambut lebat itu hanya mengenakan handuk di tubuhnya.
Nampaknya dia sudah sejak tadi berdiri di sana. Dan si Bungsu dapat memastikan
bahwa gadis ini melihat semua perkelahian yang berlangsung di ruangan itu. Dia
pasti melihat pembantaian itu. Mereka bertatapan. Pintu mulai didobrak.
“Masuk
kemari ..”
Tiba tiba saja gadis itu menarik tangan
si Bungsu kedalam kamarnya. Si Bungsu seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Dia menurut, sebab tak ada jalan lain- Dengan berada dalam kamar gadis ini, dia
berharap bisa selamat. Atau dia bisa menjadikan gadis ini sebagai sandera.
Kamar gadis itu bersih dan berbau harum.
“Masuk kemari ..” gadis itu berkata lagi
sambil membuka sebuah katup di lantai.
Tanpa banyak cincong, si Bungsu mendekat.
Di bawah lantai yang menganga itu, dia melihat sebuah ruangan kecil.
“Masuklah cepat ..” gadis itu berkata
lagi. Si Bungsu tak lagi sempat berfikir. Dia menurut dan mulai menuruni tangga
ke bawah. Dia sampai ke dalam sebuah ruangan kecil dan gelap. Gadis itu lalu
menutupkan lantai yang dia angkat tadi. Kemudian membetulkan tikar di atasnya.
Lalu mengambil kain dan mulai melap bekas darah yang berceceran di lantai dari
bekas luka di tubuh si Bungsu. Kerjanya baru saja selesai ketika pintu berhasil
di dobrak oleh truk reo tentara Jepang. Kamarnya ikut digeledah. Lemari
pakaian, bawah kolong tempat tidur, loteng. Si Bungsu mendengar derap sepatu.
Kempetai itu lalu lalang di atas kepalanya. Dia menanti dengan diam dalam
kegelapan di ruang yang tak dikenalnya ini. Barangkali tentara Jepang masih
berada di rumah itu. Sebab telah berlalu waktu beberapa jam, namun gadis itu
belum kunjung muncul. Si Bungsu tak berani naik keatas. Dia tetap menanti.
Dengan meraba raba dia berbaring di lantai yang rasanya di alas dengan tikar
yang bersih.Dia terbangun dengan terkejut
tatkala dirasakannya sebuah benda jatuh menimpa perutnya. Kemudian pintu di
lantai ditutup lagi. Dia meraba dalam gelap itu. Yang dijatuhkan ternyata sebuah
bungkusan. Dalam gelap dia membuka bungkusan itu. Meraba isinya. Pisang, ah,
perutnya memang amat lapar. Segera saja empat buah pisang lenyap ke dalam
perutnya.
Kemudian dia memeriksa isi bungkusan yang
lain. Sebuah senter kecil. Dengan senter itu dia dapat memeriksa dengan isi
bungkusan itu. Ada perban dan plaster. Ada obat merah. Dia sangat berterima
kasih pada gadis c ina yang belum dia kenal itu. Apakah dia salah seorang dari
pelacur yang disimpan dalam rumah ini? obat itu sebenarnya tak dia perlukan.
Sebab untuk mengobati lukanya, dia masih mempunyai bubuk ramuan yang dia bawa
dari gunung Sago. obat itu amat manjur. Obat itulah dulu yang menyembuhkan dari
luka akibat samurai Kapten Saburo. Dan obat tradisional itu pula yang
menyembuhkan luka bekas dicakar harimau jadi-jadian ketika bulan terakhir dia
akan turun gunung.
Dia ambil ramuan yang terdiri dari kulit
dan daun kayu, lumut batu, lumut pohon dan daun tanaman melata yang sudah
dikeringkan yang selalu dia simpan dalam kantongnya, dalam sumpik rokok daun
enau, yang dulu memang berisi rokok daun enau. Ramuan itu dia tabur pada luka
disekujur tubuhnya. Dengan menimbulkan rasa dingin lukanya dengan cepat
mengering, merapat dengan cepat mengering. Dengan senter kecil yang dijatuhkan
gadis itu, si Bungsu mulai memeriksa ruangan di mana dia berada. Ruangan ini
ternyata ruangan di bawah tanah. Memang dibuat untuk menghadapi keadaan
darurat, seperti umumnya rumah-rumah turunan cina. Bedanya kalau ruangan bawah
tanah di rumah-rumah cina yang lain digunakan untuk menyimpan bahan makanan
atau tempat air, maka ruangan bawah tanah ini dipergunakan sebagai ruangan
tempat tinggal.
Tak jauh dari tempat dia tidur di lantai
ada sebuah pembaringan. Kalau saja dia bergerak dalam gelap itu agak empat
langkah ke kanan, maka dia akan menemui tempat tidur empuk itu. Tapi mana pula
dia akan menyangka hal itu. Di dekat tempat tidur itu, di bahagian kepalanya
ada sebuah lemari kaca. Di dalamnya si Bungsu mendapatkan tiga buah pistol dan
dua buah bedil panjang. Lengkap dengan mesiunya. Ruangan bawah tanah ini nampak
dijadikan semacam benteng oleh Babah gemuk itu Dia tak menyentuh senjata
tersebut. Di samping tak mengerti cara memakainya, juga menganggap tak ada
gunanya untuk dibawa.
Pistol atau bedil menimbulkan suara bila
membunuh orang. Dia lebih suka memakai samurai. Dengan samurai dia bisa
bertindak diam diam. Karena lelah dia berbaring di tempat tidur. Dia tak tahu
sudah berapa lama dia tertidur ketika tiba tiba terbangun lagi. Ada seseorang
dirasakan hadir di kamar berdinding beton di bawah tanah itu. Dia membuka mata
dan berusaha untuk bangkit.
Namun sebuah tangan halus menahannya.
Dalam cahaya lampu dinding yang telah dipasang, dia lihat gadis cina yang telah
menyelamatkannya itu. Gadis itu duduk di tepi pembaringan. Menatap padanya
dengan pandangan lembut.
“Berbaringlah .. lukamu belum sembuh ..”
suaranya terdengar lembut.
Bahasa Melayunya terdengar bersih. Si
Bungsu tetap duduk. Gadis itu menatap pada matanya.
“Terima kasih nona, nona telah
menyelamatkan nyawaku. Apakah Jepang itu sudah pergi ?”
“Sudah. Tapi rumah ini tetap mereka
awasi. Rumah ini sudah ditutup untuk tempat pelacuran. He,.. engkau tentu
lapar. Sudah dua hari kau berada dalam lubang ini”
“.. Dua hari …?”
“Ya. Engkau masuk kemari tengah malam
yang lalu. Kini hari kedua hampir sore, saya membawa makanan dengan gulai ikan,
sambal la do dan petai. Suka sambal lado dan petai?”
Si Bungsu tak banyak bicara. Dia makan
dengan lahap. Gadis itu ternyata juga belum makan. Mereka makan bersama.
“Engkau yang memasak makanan ini?” dia
bertanya setelah selesai makan dengan bertambah sampai tiga kali.
“Bagaimana, enak ?”
“Hampir menyamai masakan ibuku …”
“Yang memasak etek Munah, pembantu kami
…”
Si Bungsu kemudian teringat, bahwa dia
harus segera pergi dari rumah ini. Tubuhnya meski belum segar, tapi dia rasa
sudah kuat untuk melanjutkan perjalanan.
“Siapa namamu ..?”
“Mei-mei…”
“Mei mei ?”
“Ya, dan namamu ?”
“Bungsu …”
“Bungsu ? Engkau anak terkecil dalam
keluargamu ?”
“Ya. Mei-mei.. Terima kasih atas
bantuanmu. Saya tak bisa membalasnya. Saya harus pergi sekarang.”
“Kemana engkau akan pergi?” Si Bungsu
termenung.
Ya, kemana dia akan pergi ? Tak pernah
ada tempat yang pasti dia tuju dalam set iap perjalananya. Tapi, bukankah dia
mencari Saburo ? ingatan ini membuatnya ingin menanyakan pada Mei-mei. Bukankah
tempat ini tempat perjudian dan tempat bersenang senang para perwira ?
“Saya mencari seorang perwira Jepang
bernama Saburo. Apakah engkau mengenalinya Mei-mei ?”
“Saburo….., Saburo Matsuyama ?”
“Ya. Saburo Matsuyama Apakah engkau
mengenalnya?”
“Saya mengenal hampir semua perwira yang
bertugas di Payakumbuh ini”
“Di mana dia sekarang ?”
“Seingat saya sudah cukup lama dia tak
kemari. Kabarnya dia pindah ke Batusangkar…”
“Batusangkar…?”
“Ya …engkau akan ke sana, membalas dendammu
padanya ?”
“Ya. Darimana kau tahu Mei-mei ?”
“Saya melihat seluruh perkelahianmu
dengan Jepang dan dengan Bapak dua hari yang lalu juga mendengar semua
pembicaraan saat itu…”
“Bapak ?” Si Bungsu heran mendengar kata
Bapak yang diucapkan Mei-mei.
“Ya. Babah gemuk itu adalah ayah tiriku
…”
Si Bungsu sampai tertegak mendengar
pengakuan Mei-mei. Hampir hampir tak dapat dia percayai, bahwa si Babah yang
telah dia cencang itu adalah ayah tiri gadis ini. Bukankah dia melihat bahwa
dia telah mencencang si Babah itu ? Lantas kenapa gadis ini menolongnya dari
cengkeraman Jepang? Mei-mei menatapnya.
“Ayahmu ..?”
Si Bungsu bertanya perlahan “Duduklah
Bungsu. Dia ayah tiriku. Aku melihat engkau mencencang tubuhnya seperti di
rumah bantai. Tapi engkau tak perlu menyesal. Dia memang harus mendapat
perlakuan yang demikian. Atas apa yang dia perbuat pada bangsamu dan pada
diriku ..”
si Bungsu tak mengerti apa maksud ucapan
Mei-mei.
“Dia menjadi mata mata Belanda. Menjadi
mata mata Jepang. Dan lebih daripada itu dia adalah seorang Komunis ..”
“Komunis ..?” si Bungsu tak mengerti.
Sebagai anak desa yang memang lugu dia
tak pernah mendengar nama komunis. Nama itu teramat asing bagi telinga anak
desa Situjuh Ladang Laweh di pinggang Gunung Sago ini.
“Ya, komunis. Engkau tak tahu ..?” Gadis
itu lalu bangkit. “Ikutlah saya ..”
Si Bungsu mengikuti gadis itu, yang
membawa lampu dinding dan berjalan ke sebuah gang. Lobang di bawah tanah ini
nampaknya cukup besar. Mereka sampai ke
sebuah kamar lain yang lebih besar dari
kamar pertama. Di dalam kamar itu dindingnya dilapis kain merah. Di tengah, di
depan sebuah meja, ada sebuah gambar cina dalam ukuran besar. Di bawahnya ada
bendera merah dengan sebuah gambar kuning di tengahnya.
“Itu gambar pimpinan komunis cina. Mao
TseTung. Dan bendera dengan gambar palu arit itu adalah lambang komunis …”
Mei-mei menjelaskan.
Si Bungsu hanya menatap dengan melongo.
Menatap bendera besar dengan gambar palu arit itu. Dia benar benar tak
mengerti. Mei-mei tersenyum melihat kebingungannya. Dia duduk disebuah kursi,
si Bungsu duduk di depannya. Si Bungsu masih dikuasai perasaan herannya. Kenapa
gadis ini menolongnya, padahal bapaknya dia yang membunuh. Didepan matanya
pula.
“Tentang Babah yang engkau bunuh, dia
memang pantas mendapat hukuman seperti itu. Dia telah meracuni ayahku. Kemudian
mengawini ibu. ibuku waktu itu hamil. Enam bu lan setelah mereka kawin, akupun
lahir. Dia memerlukan uang untuk membiayai Partai Komunis di negeri ini. Dan
dia juga memerlukan pengaruh serta pangkat untuk berkuasa. Untuk kedua maksud
itu dia mempergunakan tubuhku. Aku tak berdaya melawan. Dia seorang ayah tiri
yang berhati bengis. Yang suka memukul dan menyiksa orang. Ibuku meninggal
dunia karena dia dikurung selama enam hari tanpa diberi makan. Peristiwa itu
terjadi ketika aku berumur delapan tahun. ibu dikurung dan mati dalam kamar ini
…”
Gadis cina itu kemudian menanggis isak
mengingat jalan hidupnya yang teramat pahit. Si Bungsu hanya bisa mengucap
perlahan. Lama gadis itu menangis, sampai akhirnya si Bungsu memegang bahunya.
“Tenanglah Mei-mei. Kurasa arwah ibumu
sudah tenang di akhirat. Dendamnya telah kubalaskan”
“Ya, dendam ibu dan dendamku telah Koko
balaskan. Terima kasih. Itulah sebabnya kenapa saya harus menyelamatkan Koko
dari tangan Kempetai dua hari yang lalu…”
Si Bungsu terharu. Gadis itu memanggilnya
dengan sebutan Koko. sebutan itu berarti abang dalam bahasa Indonesia. Sebagai
sebutan terhadap adik perempuan adalah Moy-moy. Dia mengetahui itu dari
beberapa temannya orang Tlonghoa yang jadi temannya dalam beberapa bulan
terakhir. Meskipun gadis ini telah ternoda hidupnya, namun itu bukan atas
kehendaknya sendiri. Dia pegang bahu Mei-mei, dan berkata lembut :
“Tenanglah Moy-moy. Aku akan melindungimu
dari orang orang yang berniat mengganggumu”
Mei-mei memang terdiam. Gadis cina yang
cant ik ini, berwajah bundar berhidung mancung dengan mata yang hitam berkilat,
hampir hampir tak percaya bahwa anak muda yang dipanggilnya dengan Koko itu
balas memanggilnya dengan sebutan Moy-moy. Dan ketika dia yakin bahwa memang
anak muda itu berkata demikian, dia lalu tegak dan tiba tiba mereka telah
berpelukan.
“Terima kasih Koko, terima kasih …”
isaknya.
Si Bungsu memang seperti mendapatkan
seorang adik. Dia pernah merasakan kasih sayang seorang kakak yang kemudian
mati diperkosa Saburo. Kini dia seperti mendapatkan kembali tempat menumpahkan
sayang yang telah hilang itu. Akan halnya Mei-mei, gadis Tionghoa malang yang
berusia tujuh belas tahun itu adalah anak tunggal yang hidupnya selalu
teraniaya. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindungnya adalah ayah tirinya.
Tetapi lelaki itu, si Babah gemuk komunis itu, ternyata telah menjualnya dari
satu lelaki ke lelaki yang lain. Gadis yang tak pernah mendapatkan perlindungan
dan kasih sayang itu kini ada dalam pelukan seorang pemuda Melayu yang telah
membalaskan dendamnya, dan pemuda itu memanggilnya dengan sebutan adik,
alangkah terlindungnya dia terasa.
“Apakah Koko akan pergi ke Batusangkar
mencari Saburo ?” Mei-mei bertanya ketika mereka kembali ke ruangan pertama.
Si Bungsu menatapnya. “Kalau aku pergi,
dengan siapa engkau tinggal di sini, Moy-moy?”
Gadis itu menunduk. Lama dia menatapjari
jari tangannya. Kemudian ketika dia mengangkat kepala, si Bungsu melihat
matanya basah. Gadis itu berkata perlahan :
“Di sini tak ada lagi orang tempatku
berlindung. Kalau aku tidak akan mendatangkan kesusahan bagi koko, aku ikut
dengan koko. Kemanapun koko pergi …” Air mata lambat lambat membasahi pipinya.
Nyata sekali suaranya adalah suara gadis yang dirundung sepi. Suara gadis yang
amat butuh perlindungan dan kasih sayang. Suara seorang gadis yang mulai
menginjak usia remaja, yang selalu ingin dekat dengan orang yang disayangi. Si
Bungsu menarik nafas panjang. Dia benar benar menyayangi Mei-mei. Bukan karena
gadis itu amat cant ik bukan pula karena gadis itu telah menolong nyawanya.
Tapi gadis itu dia sayangi karena si gadis memang harus disayangi. Harus
dilindungi. Dalam kasih sayang, perbedaan kulit dan asal usul tak pernah
menjadi hambatan. Sebab rasa sayang muncul dari dalam tidak dipermukaan.
“Apakah ada familimu di Batusangkar ?”
Mei-mei menggeleng.
“Di Bukittinggi?”
“Kalau di Bukittinggi ada. Adik jauh ibu.
Tinggal di Kampung cina …”
Si Bungsu berfikir. Di akan mengantarkan
gadis ini terlebih dahulu ke Bukittinggi. Di sana dia bisa tinggal di rumah
saudara ibunya itu. Untuk dibawa kemana pergi memang akan menyusahkan. Bukan
karena dia tak mau. Tapi yang akan dia hadapi adalah bahaya melulu. Dan dia tak
mau membawa bawa Mei Mei kedalam bahaya. Nanti kalau urusannya dengan Saburo di
Batusangkar selesai, dia akan menjeputnya ke Bukittinggi.
“Baiklah. Kita akan pergi ke Bukittinggi
bersama, kalau keadaan telah memungkinkan …”
“Terima kasih koko, terima kasih”
Mei-mei melompat memeluk si Bungsu. Dia
sangat bahagia bisa pergi bersama anak muda itu. Belasan tahun dia hidup di
rumah ini. Disekap tak boleh keluar. Dia hanya bisa keluar dikala Hari Raya
Imlek. Itupun tidak bisa jauh jauh. Tugas berat selalu menantinya di rumah.
Memuaskan nafsu perwira perwira Jepang. Kini dia bersumpah untuk meninggalkan
semua pekerjaan laknat yang dipaksakan padanya itu. Dia akan tobat dan minta
ampun pada Tuhan. Tapi mereka baru bisa meninggalkan rumah itu setelah masa dua
minggu.
Sebab selama jangka waktu itu, Kempetai
tetap mengawasi rumah tersebut dengan ketat. Mei-mei terpaksa minta bantuan
pembantunya, seorang wanita Minang, untuk membelikan keperluan mereka kepasar.
Dan suatu malam, yaitu di saat mereka sudah merasa pasti untuk bisa melarikan
diri, mereka lalu keluar dalam hujan lebat. Dengan membayar cukup tinggi,
mereka bisa menompang sebuah bus yang akan berangkat ke Padang. Bagi mereka
soal uang tak jadi halangan. Uang judi yang dimenangkan oleh si Bungsu ternyata
diselamatkan Mei-mei ketika dia membersihkan jejak si Bungsu sesat sebelum
Kempetai mendobrak pintu. Selain itu, mereka juga berhasil menemukan simpanan
uang dan perhiasan emas milik ayah tiri Mei-mei. Jumlahnya bisa membuat mereka
jadi orang kaya. Uang itu didapat si Babah dari hasil judi, hasil menjadi mata
mata untuk Belanda dan Jepang, dan hasil menjadi germo bagi beberapa perempuan
di rumahnya itu. Termasuk diri Mei-mei.
Di dalam bus itu hanya ada beberapa
lelaki dan tiga orang perempuan. Perempuan yang dua separo baya, yang satu lagi
adalah Mei-mei. Selain ketiga perempuan itu, penompang yang lainnya adalah enam
orang le laki. Dalam hujan lebat, bus itu melaju membelah jalan raya yang
nampaknya seperti ular raksasa berwarna hitam. Memanjang dan meliuk liuk di
tiap tikungan. Lima lelaki penompang bus itu tak pernah menoleh ke belakang
ketempat si Bungsu dan Mei-mei. Mereka hanya memandang sekali, yaitu ketika
naik tadi. Setelah itu, kelima lelaki itu tetap memandang kedepan dalam
kebisuan. Namun si Bungsu yang telah hidup di rimba raya, yang kini memiliki
indera yang amat tajam, dapat merasakan bahaya yang datang dari kelima lelaki
itu. Meski lelaki lelaki itu berdiam diri saja, bahkan saling berbisikpun
tidak. namun firasatnya yang tajam membisikkan akan adanya bahaya. Dia tetap
diam. Sementara bus itu berlari sambil terguncang guncang karena jalan yang
berlobang lobang. Dalam diamnya dia mulai membuat perhitungan. Kenapa kelima
lelaki ini sampai berniat tak baik pada mereka. Apakah itu hanya hayalannya
saja? Tidak. dia tak pernah dibohongi oleh firasatnya.
Nah, mungkin ada tiga sebab kenapa mereka
ingin berbuat tak baik. Pertama mungkin melihat Mei-mei yang cantik. Dizaman
Jepang berkuasa, hampir tak pernah orang melihat perempuan cantik berada di
luar rumah. Nah, mungkinkah lelaki lelaki ini menginginkan tubuh Mei-mei? Atau
barangkali mereka telah mencium bahwa di dalam bungkusan yang dia bawa
tersimpan uang dan perhiasan emas yang nilainya amat tinggi? Atau barangkali
juga mereka mengetahui, bahwa Mei-mei berasal dari rumah bordil dimana si Babah
menjadi mata-mata. Karena itu mereka menduga bahwa Mei-mei adalah mata mata
Jepang pula. Kalau dugaan terakhir ini benar, maka si Bungsu tak begitu
khawatir. Sebab tentulah kelima lelaki itu dari pihak pejuang pejuang
Indonesia. Atau para lelaki itu merasa curiga atas kehadiran mereka berdua,
sepasang anak muda, yang satu cina dan yang satu Melayu?
Pikirannya masih belum rampung, ketika
bus tiba tiba berhenti. Dari cahaya lampu bus, si Bungsu segera mengetahui,
bahwa mereka tidak lagi berada pada jalan utama menuju Bukittinggi. Nampaknya
sebentar ini ketika dia melamun, bus telah dibelokkan kesuatu jalan kecil
dimana dia kini berhenti. Si Bungsu mulai merasa bahwa firasatnya tadi akan
terbukti. Kelima lelaki itu turun satu demi satu. Akhirnya tinggal kedua
perempuan separoh baya tadi, si Bungsu, sopir dan seorang lelaki yang bertubuh
kurus dan Mei-mei.
“Turunlah sanak berdua sebentar” Seorang
lelaki yang bertubuh kurus, saat akan turun berkata pada si Bungsu. si Bungsu
menatap saat dia turun.
“Dimana kita sekarang ..?” si Bungsu
bertanya pada sopir.
“Disinilah”, sopir itu menjawab seadanya.
Dari jawaban itu si Bungsu tahu, bahwa
sopir bus berada dipihak kelima lelaki itu.
“Mengapa kami harus turun ?” si Bungsu
bertanya pada si Kurus yang sudah menjejakkan kakinya di tanah.
“Turun sajalah kalau sanak mau selamat …”
Si Kurus itu berkata dengan suara kering
serak. Mei-mei merapatkan duduknya pada si Bungsu. Tangannya memeluk tangan si
Bungsu erat erat.
“Jangan turun koko ..jangan turun ..”
gadis itu berbisik ketakutan.
“Diamlah Moy-moy …”
“Hei, waang yang ada di atas, turunlah
bersama anak cina itu”
Tiba tiba terdengar bentakan dari bawah.
Mei-mei makin mengeratkan pegangan tangannya pada si Bungsu.
“Kenapa kita tak terus saja ?” si Bungsu
masih mencoba bertanya pada sopir.
“Lebih baik kau turun saja daripada
tubuhmu dilanyau mereka ..” Sopir itu menjawab dingin.
Namun si Bungsu tak beranjak dari tempat
duduknya. Tempat dimana mereka duduk, kebetulan tak ada jendela di kiri
kanannya Jadi mereka aman. Sebab dinding bus itu terbuat dari kayu tebal. Yang
ditakutkan si Bungsu adalah kalau kelima lelaki itu memiliki senjata api. Kalau
ada, maka dia dan Mei-mei bisa celaka. Tapi kalau tidak dia merasa aman di atas
bus ini.
“Kami beri waang kesempatan satu menit
untuk turun. Kalau tidak. waang akan kami seret ke bawah ..” terdengar lagi
bentakan
“Kenapa tak sanak katakan saja apa maksud
sanak sebenarnya ?” si Bungsu menjawab.
“Turunlah. Jangan banyak cakap waang di
sana …”
“Kalau sanak yang punya keperluan,
silahkan naik lagi dan kita berunding di sini. Saya tak punya keperluan untuk
turun” jawab si Bungsu.
Terdengar sumpah serapah dan carut marut
dari kelima lelaki di bawah itu. Namun si Bungsu tetap duduk diam di tempatnya.
Ketika mereka menyuruh turun lagi, si Bungsu membisikkan sesuatu pada Mei-mei.
Kemudian kedua anak muda ini bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti akan
turun, tapi ternyata tidak. Si Bungsu hanya pindah tempat. Kini mereka duduk
persis di belakang sopir. Melihat keras kepala anak muda ini, dua orang segera
naik dengan maksud menyeretnya kebawah. Si Bungsu sampai saat itu masih belum
mengetahui siapa mereka sebenarnya. Apakah orang yang berniat merampok saja
atau dari pihak pejuang.
Dia tak mau salah turun tangan. Sebab dia
sudah bersumpah takkan menurunkan tangan jahat pada pejuang pejuang Indonesia. Sama
halnya seperti dia
dilanyauoleh anak buah ayahnya di dekat
Mesjid ketika mula pertama turun gunung dulu. Dia tak sedikitpun mau membalas
pukulan pukulan mereka. Meskipun dengan mudah dia bisa membunuh orang orang
itu. Kinipun, ketika kedua orang itu naik lagi keatas bus dengan wajah berang,
dia berkata dengan tenang :
“Saya harap sanak mengatakan apa maksud
sanak
sebenarnya. Apa yang sanak inginkan dari
kami ..”
“Jangan banyak bicara waang. Anjing”
Lalu tangan orang itu dengan kasar
merengutkan bahu Mei-mei. Gadis ini terpekik. Dan sampai di sini si Bungsu
mengambil kesimpulan, bahwa orang ini bukan dari pihak pejuang Indonesia. Dia
kenal sikap pejuang pejuang bangsanya. Tak mau berlaku kasar dan kurang ajar.
Tangannya bergerak. dan lelaki yang tengah mencekal tangan Mei Mei itu
terpekik. Dia merasa dada dan lengannya pedih. cekalan pada tangan Mei-mei dia
lepaskan. Dan dia lihat dada serta lengan yang tadi terasa pedih itu berdarah.
Temannya yang satu lagi melompati bangku menerjang si Bungsu. Namun dalam bus
sempit itu, gerakan jadi terhalang. Dan kembali dia terpekik ketika samurai di
tangan si Bungsu bekerja.
Pahanya robek dan mengucurkan darah.
Mendengar temannya terpekik, ketiga temannya yang di bawah melompat naik.
Melihat kedua temannya itu luka, ketiga mereka lalu menghunus golok yang
tersisip di pinggang. Tapi apalah artinya gerakan mereka dibandingkan dengan
gerakan anak muda ini. Dua kali gerakan dengan masih tetap duduk dan sebelah
tangan memeluk bahu Mei-mei, ketiga orang itu pada melolong panjang. Golok di
tangan mereka terpental. Dan tangan serta wajah mereka robek. Masih untung bagi
kelima orang ini, karena si Bungsu tak menurunkan tangan kejam pada mereka.
Anak muda itu hanya sekedar melukainya
saja. Tak berniat membunuh. Ketika kelima lelaki itu terperangah di tempat
duduk mereka, si Bungsu menekankan ujung samurainya pada sopir. inilah
maksudnya pindah kebelakang sopir itu. Yaitu agar mudah mengancamnya untuk
menjalankan bus. Dengan suara datar, dia berkata:
“Kalau kudukmu ini tak ingin kupotong,
jalankan kembali bus ini…”
Sopir itu sudah sejak tadi pucat. Begitu
terasa benda runcing dan dingin mencecah tengkuknya, tubuhnya segera menggigil.
Seperti robot dia kembali menghidupkan mesin bus. Beberapa kali bus itu hidup
mati mesinnya. Sebab sopir itu salah memasukkan gigi.
“Tenanglah, kalau tidak nyawamu kucabut
dengan samurai ini” Si Bungsu berkata.
“Ya .. ya pak Saya tenang .. saya tenang
..”
Sopir itu menjawab sambil menghapus
peluh. Bus itu berjalan. Kembali memasuki jalan utama menuju Bukittinggi.
Kembali merangkak terlonjak lonjak dijalan yang berlobang lobang. Deru mesinnya
seperti batuk orang tua yang sudah sakit menahun. cukup lama bus itu berkuntal
kuntil ketika tiba t iba sopir menginjak rem.
“Ada pemeriksaan oleh Kempetai ……..” sopir
berkata.
Mei-mei, menatap pada si Bungsu. Si
bungsu menyimpan samurainya. Kelima le laki yang luka itu saling memandang.
“Mau kemana ..?” suatu suara serak
bertanya dari bawah kepada sopir. Buat sesaat sopir itu tergagap tak tahu apa
yang harus dijawab. Sebuah kepala menjulur kedalam. Memperhatikan isi bus tua
itu. Memperhatikan wajah yang luka luka.
“Hmm, ada yang luka. Kenapa ?”
“Kami baru saja dirampok di bawah sana
..” si Bungsu berkata.
“Di mana ada rampok ?” Jepang itu balik
bertanya.
“Di Padang Tarab ..” sopir menjawab
cepat.
“Siapa yang merampok ?”
“Orang Melayu ..”
“Berapa orang ..?”
“Ada delapan orang. Mereka semua memakai
pedang..” salah seorang yang luka itu menjawab.
“Mereka tidak merampok perempuan ?”
Jepang itu bertanya lagi. Sementara matanya
nanar menatap Mei-mei yang duduk memeluk si Bungsu.
“Semula mereka memang ingin. Tapi begitu
dia ketahui bahwa gadis ini sakit lepra, mereka cepat cepat menyingkir. Dan
hanya uang kami yang mereka sikat …” jawab si Bungsu.
“Lepra ..?” Jepang itu bertanya kaget.
“Ya. Isteri saya ini sakit lepra .. akan
dibawa kerumah sakit Bukit Tinggi ..” si Bungsu menjawab lagi.
Kepala Jepang itu dengan cepat menghilang
keluar. Kemudian terdengar perintah untuk cepat cepat jalan. Bus itu kemudian
merayap lagi. Mereka semua menarik nafas lega. Kelima lelaki itu menjadi lega,
karena mereka lepas dari tangan Kempetai. Sebab merekalah yang melakukan
beberapa kali perampokan di sepanjang jalan Bukittinggi Payakumbuh. Dan bus ini
salah satu alat mereka untuk itu. Si Bungsu tak mengetahui, bahwa yang dia
lukai adalah perampok perampok. orang Minang yang mempergunakan kesempatan
dalam kesempitan orang yang mengail di air keruh. Ketika penduduk sedang
ketakutan dan menderita di bawah kuku penjajahan Jepang, mereka menambah penderitaan
itu dengan merampok.
Padahal yang mereka rampok hanya
orang-orang sebangsanya, mana berani mereka merampok tentara Jepang. Tapi malam
ini mereka mendapat pelajaran pahit
dari anak muda ini. Untung saja anak muda ini tak mengetahui sepak terjang mereka selama ini. Kalau saja si Bungsu tahu, mungkin kelima lelaki ini sudah mampus semua. Bungsu merasa lega karena dia lepas dari pengawasan Kempetai. Kalau saja mereka tahu, bahwa dialah yang membunuhi Jepang di bulan-bulan terakhir ini, mungkin dia akan mati mereka tembak di dalam bus ini. Untung saja mereka tak tahu.
Sementara itu Mei-mei menatap si Bungsu dengan perasaan takjub. Dia merasa takjub, dan amat berdebar mendengar ucapan si Bungsu yang terakhir pada Jepang itu :
dari anak muda ini. Untung saja anak muda ini tak mengetahui sepak terjang mereka selama ini. Kalau saja si Bungsu tahu, mungkin kelima lelaki ini sudah mampus semua. Bungsu merasa lega karena dia lepas dari pengawasan Kempetai. Kalau saja mereka tahu, bahwa dialah yang membunuhi Jepang di bulan-bulan terakhir ini, mungkin dia akan mati mereka tembak di dalam bus ini. Untung saja mereka tak tahu.
Sementara itu Mei-mei menatap si Bungsu dengan perasaan takjub. Dia merasa takjub, dan amat berdebar mendengar ucapan si Bungsu yang terakhir pada Jepang itu :
“Isteri saya ini sakit lepra .. akan
dibawa kerumah sakit”
Kata kata Isteri saya ini yang diucapkan
si Bungsu mengirimkan denyut amat kencang kejantungnya. oh, kalau saja benar
bahwa anak muda ini menjadi suaminya, alangkah bahagiannya dia. Dia merasa aman
dalam pelukannya. Merasa tentram dan terlindungi di sisinya. Si Bungsu merasa
gadis itu tengah menatapnya. Dia balas menatap.
“Moy- moy ..” katanya sambil tersenyum.
“Koko..”
“Sebentar lagi kita akan sampai di Bukittinggi ..” bisiknya.
“Sebentar lagi kita akan sampai di Bukittinggi ..” bisiknya.
Mei-mei hanya mengangguk. Kemudian
menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu. Bus itu tadi dicegat lagi oleh
Kempetai di pos penjagaan di Baso. Mereka memang tengah mendekati Bukittinggi.
Kota itu mereka masuki hampir tengah malam.
“Antarkan saya kepenginapan ..” si Bungsu
berkata pada sopir.
“Ya .. ya..” sopir yang masih merasa
ngeri pada samurai di tangan anak muda yang berada di belakangnya ini menjawab
cepat.
Bus berhenti di sebuah penginapan di Aur
Tajungkang. Sebelum turun, si Bungsu menoleh kepada ke lima lelaki yang masih
tersandar dan luka luka itu. “Saya tak pernah menyusahkan sanak sebelum ini.
Saya tak mau kita berurusan lagi. Ingatlah itu..” katanya berlahan
Kemudian dia membimbing tangan Mei-mei turun dari bus. Meninggalkan para rampok itu terperangah. Diam dan mati kutu. Dua orang perempuan separoh baya yang sejak tadi duduk ketakutan di belakang, ikut bergegas turun di penginapan itu. Mereka adalah dua orang perempuan yang berjualan kacang dan jagung dari Bukittnggi ke Payakumbuh dan Padang Panjang. Ketika mereka sama sama mendaftar di penginapan kecil itu, kedua perempuan itu menceritakan tentang perampokan yang beberapa kali pernah terjadi terhadap pedagang pedagang.
Kemudian dia membimbing tangan Mei-mei turun dari bus. Meninggalkan para rampok itu terperangah. Diam dan mati kutu. Dua orang perempuan separoh baya yang sejak tadi duduk ketakutan di belakang, ikut bergegas turun di penginapan itu. Mereka adalah dua orang perempuan yang berjualan kacang dan jagung dari Bukittnggi ke Payakumbuh dan Padang Panjang. Ketika mereka sama sama mendaftar di penginapan kecil itu, kedua perempuan itu menceritakan tentang perampokan yang beberapa kali pernah terjadi terhadap pedagang pedagang.
“Apakah kelima orang tadi adalah perampok
itu ?” tanya si Bungsu.
“Tak tahu kami. Kebetulan kami tak pernah
mengalami nasib kena rampok. Tapi beberapa teman yang telah pernah mengalami
mengatakan, bahwa perampok perampok itu memang orang awak jua. Dan caranya
memang seperti tadi. Sama sama menompang bus. Kemudian berhenti di tempat sepi.
Untung ada anak muda. Kalau tidak. pastilah kami yang kena rampok …”
Si Bungsu terdiam. Kemudian mereka masuk
kekamar karena hari sudah larut malam. Karena semua kamar penuh, maka dia
terpaksa satu kamar dengan Mei-mei. Untung dalam kamar itu ada dua tempat
tidur.
“Tidurlah Moy- moy. Besok kita cari
famili ibumu yang di Kampung cina..” katanya perlahan
“Koko tidak tidur ?”
“Koko tidak tidur ?”
“Ya. Saya juga akan tidur. Tapi saya akan
sembahyang dulu”
Bersambung ke.... Tikam Samurai (13)
Komentar
Posting Komentar