Perkelahian dibahagian si Bilal ini
berakhir beberapa detik setelah perkelahian dipihak si Bungsu berakhir.
Sebenarnya tak dapat disebut perkelahian. Sebab dalam suatu perkelahian
senantiasa ada lawan ada yang melawan.
Sedangkan dalam peristiwa di pendakian
Pasir Putih ini keempat Belanda itu tak ada yang melawan. Katakanlah, mereka
sebenarnya tak punya kesempatan untuk melawan sedikitpun. Kejadian ini tak
pernah mereka duga. Terlalu cepat kejadiannya bagi mereka.
Mereka semua menyangka yang mati tergolek
di pendakian itu adalah serdadu KNIL yang tadi
ikut dengan jeep itu mengantarkan dua perempuan yang telah mereka
kerjakan di Perhentian Marpuyan. Tak tahunya dibalik pakaian loreng itu
ternyata tubuh para ekstremis. Tubuh kaum perusuh dan pemberontak, menurut
istilah mereka.
Dan inilah jebatan yang diatur oleh si
Bungsu itu. Yaitu jebakan yang tak mempergunakan peluru sebagai pengganti
jebakan yang direncanakan oleh Bilal yang akan mencegat Belanda di pendakian
ini dengan menghajar mereka memakai senjata 12,7.
Si Bungsu menerangkan rencananya itu
sambil membukai pakaian KNIL yang tergolek di bak belakang jeep. Kemudian
memakainya. Pejuang-pejuang Indonesia lainnya jadi mengerti. Dan yang berminat
ikut bersama si Bungsu untuk pura-pura jadi mayat adalah Bilal.
Dia disebut dengan panggilan Bilal adalah
karena sehari-harinya di Buluh Cina tugasnya adalah memang jadi Muazin dan imam
di Mesjid.
Nama aslinya jarang orang yang tahu.
Sebab sejak kecil, sejak pandai mengaji, dia telah jadi muazin dikampungnya.
Dan nama Bilal melekat pada dirinya.
Dia memang pesilat yang tangguh. Di Buluh
Cina ada puluhan muridnya yang menjadi pendekar yang disegani orang. Dan si
Bungsu menyetujui pendakian Pasir Putih itu sebagai tempat memasang jebakan.
Pendakian itu cukup tinggi. Di bawahnya
mereka melalui sebuah sungai dangkal yang melintang di jalan. Dasar sungai itu
berpasir sangat putih dan airnya sangat jernih. Dikiri kanannya terdapat tebing
yang berhutan dan bersemak lebat.
“Kita turun disini, dan antarkan jeep ini
kebalik pendakian” si Bungsu berkata sambil melompat turun. Bilal dan kedua
pejuang lainnya juga menghambur turun. Jeep itu terus ke puncak pendakian.
Kemudian lenyap dari pandangan.
Tak lama kemudian sopirnya muncul. Si
Bungsu dengan cepat menyuruh pejuang itu bersembunyi ditebing kiri dan kanan
tebing tersebut.
“Engkau menunggu di jeep….” Dia berkata
pada Suman. Suman jadi kaget.
“Kenapa harus disana?”
“Rencana ini belum tentu berhasil
seluruhnya. Kalau kami gagal, maka engkau menjadi harapan terakhir untuk
menyudahi mereka dengan mitraliyur itu..”
“Tapi,,,”
“Mereka bukan orang bodoh Suman. Mungkin
saja kami segera mereka kenali. Nah, kalau hal itu terjadi, maka kami akan jadi
korban sia-sia. Kalau mereka mengenali kami dan mereka justru tak berhenti,
mereka tentu akan melindas tubuh kami dengan truk itu.
Yang bersembunyi ditebing itu takkan ada
artinya. Nah, bila hal ini terjhadi. Maka komado kami serahkan padamu. Bila
truk itu ternyata sampai ke puncak pendakian itu berarti aku dan Bilal sudah
jadi mayat dilindasnya. Engkau sambut mereka dengan mitraliyurmu….”
Suman dan yanglainnya segera jadi
mengerti. Tanpa banyak tanya lagi Suman yang sama-sama datang dari Pekanbaru
itu segera berlari ke jeep dibalik pendakian itu.
Namun ternyata Belanda-Belanda itu
memakan umpan yang dipasang si Bungsu. Mereka berhenti dan berniat mengangkat
“mayat” teman-temannya. Dan disitulah kesahalan mereka.
Begitu keempat serdadu Belanda itu
selesai dalam waktu yang tak sampai sepuluh hitungan, dari tebing yang berhutan
dipinggir truk melompat kedua pejuang lainnya ke atas truk.
Dan sebelum para Belanda itu menyadari
apa yang terjadi, mereka telah dimakan oleh tikaman pejuang-pejuang itu. Bilal
sendiri segera melompat ke atas truk tersebut dan kaki serta tangannya bekerja
pula.
Akan halanya si Bungsu segera berhadapan
dengan Leutenant yang memimpin patroli itu. Leutenant itu bukan main marahnya
mendapatkan kenyataan tersebut.
Dia mencabut pistolnya. Si Bungsu masih
membiarkan. Samurainya yang berdarah sudah disisipkan kedalam sarungnya. Dan
kini samurai itu dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung
lemas.
Pistol Leutenat itu keluar dari
sarungnya. Kemudian terangkat tinggi. Si Bungsu masih membiarkan. Jarak tegak
mereka hanya dua depa.
Leutenat itu berteriak:
“Godverdoom! Kubunuh kowe monyeeeet!!”
dan telunjuknya menarik pelatuk pistol tersebut. Dan saat itulah si Bungsu
bergerak. Tangan kanannya yang tergantung lemas bergerak seperti kilat.
Mencabut samurai dan melangkah selangkah ke depan.
Kemudian samurainya menyilang dari kiri
atas ke kenan bawah. Yang dia babat pertama adalah tangan kanan leutenat yang
memegang pistol itu. Sedetik sebelum pistol meledak, tangan leutenant itu putus
hingga sikunya.
Leutenant itu belum sempat memekik,
sabetan samurai yang kedua menyusul pula. Membabat dadanya dari kiri mendatar
ke kanan. Dadanya belah persis dipertengahan kantong. Ada beberapa lembar uang
dan beberapa lembar foto cabul dalam kedua kantong baju leutenant itu dan
semuanya terpotong dua bersama dadanya.
Dan leutenant itu memang tak pernah
sempat menjerit diakhir hayatnya ini. Demikian cepatnya samurai si Bungsu.
Akan halnya di atas truk itu, perkelahian
lebih banyak menguntungkan pihak pejuang.
Mereka memang pesilat-pesilat yang telah
masak seperti halnya Bilal. Maka perkelahian dalam truk dengan jarak dekat itu
memang merupakan makanan empuk bagi mereka. Sementara dipihak Belanda yang
umumnya hanya mahir mempergunakan bedil panjang, dihadapkan pada situasi yang
hampir-hampir bergumul ini jadi kalang kabut.
Maka tak heran beberapa orang lalu
berusaha untuk terjun ke bawah agar bisa memanfaatkan bedil di tangan mereka.
Dan yang punya kesempatan untuk berbuat
itu hanya Kopral yang jadi sopir.
Semula dia ingin terjun ke bawah dan naik
ke bak belakang ikut dalam perkelahian itu. Tetapi otaknya memang cerdas. Dari
pada susah-susah turun, bukankah lebih baik menembak dari sini, pikirnya.
Power wagon yang dipergunakan itu adalah
truk perang yang terbuka. Di bahagian belakang ada kursi kayu yang dipakukan
pada dinding kiri kanannya. Pada kursi kayu yang dicat hitam inilah Belanda itu
duduk berbaris.
Sopir itu mengambiol stegunnya. Kemudian
tegak ditempat duduk. Dan suatu saat stegunnya menyalak. Yang jadi korban
adalah pejuang dari Marpuyan yang menyopiri jeep Belanda tersebut. Tengkuk dan
kepalanya dimakan empat peluru.
Kontan tubhnya tercampak ke bawah. Kemudian
suara stennya berhenti. Dia menanti kesempatan lain untuk bisa menembak. Sebab
dalam truk itu tengah terjadi pergumulan. Salah-salah dia bisa membunuh teman
sendiri.
Kini Bilal tegak membelakanginya tanpa
ada penghalang. Stegunnya terangkat.
Saat itu pula perkelahian antara si
Bungsu dengan Leutenant itu berakhir. Dia mendengar suara stengun yang tadi
menyudahi nyawa pejuang dari Marpuyan yang jadi sopir tadi.
Si Bungsu berbalik. Dan melihat sopir
berpangkat itu membidikkan stennya. Dalam waktu yang sangat singkat,
perkelahian dengan serdadu Jepang membayang dikepalanya.
Betapa suatu subuh dia dan Datuk Penghulu
mencegat truk berisi tentara Jepang setelah kematian istri dan anak Datuk
Penghulu. Keadaannya persis seperti sekarang.
Saat itu seorang perwira tengah
membidikkan pistolnya dari tempat duduk depan ke arah tengkuk Datuk Penghulu
yang berada di depan truk berkelahi dengan tentara Jepang.
Si Bungsu waktu itu berada dibelakang
truk. Dan untuk menolong Datuk Penghulu, samurainya dia lemparkan dengan perhitungan
yang cermat.
Samurai itu meluncur, menembus kaca
pemisah antara ruang belakang dengan ruang depan truk. Kemudian menancap
ditengkuk perwira Jepang itu.
Dan kini, di pendakian Pasir Putih
menjelang Buluh Cina ini, tindakan itu pula lah yang diambil si Bungsu. Bedanya
yang dulu dan yang sekarang adalah dalam soal letak. Dulu lawannya Jepang. Kini
Belanda!
Dahulu dia berada di belakang. Kini di
depan. Dahulu dia harus melemparkan samurainya dengan tenaga ganda. Sebab harus
menembus kaca tebal pemisah ruang belakang dengan ruang depan. Kini hal itu tak
perlu.
Sebab Kopral yang memakai sten ini
berdiri. Dan sebahagian badanya ke atas terbuka pula melewati batas kaca power
yang terbuka itu. Samurai si Bungsu meluncur seperti anak panah. Dan menancap
dibawah belikat kiri Kopral itu!
Namun stennya meledak juga. Hanya yang
kena bukanlah Bilal, tapi nyasar entah kemana. Tubuh kopral itu terjungkal dan
mati.
Di bahagian belakang truk itu, ketiga
pejuang tersebut telah membunuh dua serdadu Belanda. Berarti dengan yang
dibunuh si Bungsu dan Bilal, ditambah dengan sopir power itu, mereka telah
berhasil membunuh tujuh orang belanda tanpa sebutir pelurupun.
Dua orang lagi berhasil turun melompat
dari truk. Mereka memburu ke depan. Dan didepan truk mereka menemui si Bungsu
tanpa senjata.
“Anjing! Mati kowe!” bentak mereka sambil
serentak menembak. Nyawa si Bungsu diujung tanduk. Dia tak bersamurai. Dan itu
sama dengan bertelanjang. Satu-satunya harapan baginya adalah gerak “lompat
tupai”!!
Dia bergulingan. Namun terlambat!
Serentetaan tembakan sten menghajar tubuhnya. Dia jatuh bergulingan ke tanah.
Tapi bukan dengan jurus lompat tupai itu. Dia bergulingan karena dihantam
peluru!
“Mati kowe!” kedua Belanda itu serentak
berseru dan menembak lagi. Namun tembakannya terdengar kalah keras dengan
tembakan yang tiba-tiba datang dari puncak pendakian!
Serentetan tembakan mitraliyur terdengar merobek
rimba di Pasir Putih itu. Dan kedua tentara Belanda itu seperti dilanda Badai.
Terdongak-dongak. Terpental-pental!
Di puncak pendakian berdiri Suman dengan
12,7 ditangannya! Dengan demikian sepuluh orang Belanda telah mati. Sisanya
yang tiga orang tiba-tiba mengangkat tangan.
“Maaf, eh ampun tuan. Kami menyerah”
seorang KNIL berkata dadalam bahasa Indonesia. Sementara dua tentara Belanda
aslinya lainnya tegak dengan menggigil.
Namun dari puncak pendakian 12,7 si Suman
tak memberi keampunan. Mitraliyur menyalak lagi. Dan ketiga Belanda yang
menyerah itu terpental-pental. Menjerit dan rubuh.
“Suman!!” Bilal berteriak.
Namun teriakannya percuma. Mitraliyur
ditangan Suman menyalak lagi.
Menyikat ketiga tubuh tentara Belanda
itu. Dia baru berhenti ketika merasa puas.
Kemudian mencampakkan 12,7 nya lalu
berlari bersama yang lain ke tubuh si Bungsu.
Tiga peluru menghajar bahu, lengan dan perutnya.
Nafasnya memburu. Darah membasahi tubuhnya.
“Bungsu…” teriak Suman tertahan.
Anak muda itu membuka mata. Merasakan
linu dan sakit yang bukan main ditiga bahagian tubuhnya.
“Bagaimana yang lain?” tanyanya perlahan
sekali.
“Kami selamat semua Bungsu….” Bilal
menjawab.
Si Bungsu menelan ludah. Bibirnya pucat
dan retak-retak.
“Kulihat Maarif kena tembak…” Si Bungsu
menyanggah keterangan Bilal. Mereka jadi tertunduk.
“Bagaimana dia…?”
“Ya, dia meninggal…” Bilal berkata
perlahan.
Si Bungsu menatap keliling. Menatap
teman-temanya itu. Dia melihat wajah pejuang-pejuang yang tangguh. Yang rela
berkorban untuk Negaranya. Dan tiba-tiba dia jadi terharu. Terharu karena tak
bisa membantu mereka lebih banyak.
“Saya bangga, kalian pejuang yang
militan. Sayang saya harus pergi jauh….sampai disini janjian saya…” katanya.
Dan air mata meleleh disudut matanya.
Suman, Bilal dan seorang pejuang dari
Marpuyan lainnya, yang bernama Liyas terdiam.
“Mari kita terus ke Buluh Cina….” Bilal
berkata sambil mengangkat tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini menggeleng.
“Pak…barangkali nyawa saya tak bisa
bertahan ke kampung bapak. Jangan potong dulu pembicaraan saya. Kalau saya
mati, ambil cincin ini, kirimkanlah ke Bukittinggi. Pada seorang gadis bernama
Salma, katakan saya telah mati….hanya dia tempat saya berkabar berita. Tak ada
yang lain. Semua keluarga saya telah punah. Dialah yang telah mengobati saya
dari sakit, dari resah dan rindu..”
Dia terhenti. Nafasnya memburu. Dan dari
mulutnya darah mengalir. Nampaknya dia memang tak lagi bisa tertolong. Ada
bahagian dalam dari tubuhnya yang terkena parah. Hingga darah tak saja keluar
lewat luka, tapi juga keluar lewat mulut.
“Saya sedih…karena dendam keluarga saya
belum saya balaskan….sebelum saya mati!
“Saya rasa Liyas harus pulang ke
Marpuyan. Pulang segera dengan jalan kaki. Sampaikan pada penduduk untuk siang
ini juga menghilangkan jejak kedua mobil ini. Jangan ada Belanda yang tahu,m
bahwa kedua kendaraan ini telah kemari. Kalau mereka tahu, maka penduduk
Marpuyan dan Buluh Cina akan mereka bunuh semua.
Pulanglah, dan hilangkan jejak mobil ini.
Mungkin dihapus dengan menyapu pakai daun kelapa, atau dengan cangkul. Pokoknya
tak ada jejak dari Marpuyan sampai kemari.
Kalau Belanda datang bertanya ke Marpuyan
katakan saja bahwa setelah mereka menurunkan gadis dan ibunya itu, mereka
meneruskan perjalanan ke Taratak Buluh. Mungkin terus ke Teluk Kuantan. Katakan
saja begitu….dan mayat-mayat yang ada ini, termasuk kendaraannya, menjadi
tanggungjawab Suman dan Bilal untuk menghilangkannya..”
Dia terhenti lagi. Ketika akan bicara,
dia muntah darah. Dan jatuh terkulai. Dengan terkejut Bilal mendengarkan detak
dadanya. Kemudian membuka matanya yang terpejam. Teman-teman menanti dengan
tegang.
“Dia masih bernyawa. Kita harus
menyelamatkan nyawanya. Sekarang tugas kita bagi. Liyas pulanglah ke Marpuyan.
Turutkan petunjuk si Bungsu tadi. Saya akan memakai jeep itu, semua senajata
akan saya bawa ke Buluh Cina bersama si Bungsu. Jeep ini akan saya benamkan
dalam batang Kampar.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (43)
Komentar
Posting Komentar