Dia lalu berganti pakain dengan kain
sarung. Kemudian ke kamar mandi berudhuk. Mei-mei belum tertidur. Dia melihat
anak muda itu sembahyang. Dia melihat tubuh anak muda yang semampai itu.
Bermuka lembut atau lebih tepat dikatakan murung. Sinar matanya sayu. Ketika si
Bungsu selesai sembahyang Isa, ketika dia menoleh mengucapkan salam dia melihat
Mei-mei belum juga tidur. Masih menatap padanya. Dia tersenyum pada gadis itu.
“Belum tidur Moy-moy ?”
“Belum tidur Moy-moy ?”
Mei-mei menggeleng. Kemudian duduk di
sisi tempat tidur. Si Bungsu masih duduk di lantai yang beralas tikar. Mei-mei
pindah duduk ke bawah, duduk tak jauh dari si Bungsu.
“Koko sembahyang apa ?”
“Koko sembahyang apa ?”
“Isa ..”
“Kenapa orang Islam harus sembahyang lima
kali sehari semalam ?”
“Karena begitu suruhan Tuhan ..”
“Tidak melelahkan ?”
Bungsu menatap Mei-mei. Dia tersenyum.
Pertanyaan begitu pernah memenuhi tengkoraknya dulu. Ketika ayahnya selalu menyuruhnya
sembahyang. Waktu itu dia bukan hanya sekedar bertanya, tapi malah membangkangi
suruhan ayahnya. Tak mau sembahyang. Buat apa sembahyang, pikirnya. Kesempatan
untuk
bersuka ria adalah waktu muda. Kelak kalau sudah tua, barulah sembahyang.
bersuka ria adalah waktu muda. Kelak kalau sudah tua, barulah sembahyang.
Lagi pula, sembahyang lima kali sehari
semalam, alangkah seringnya. Kenapa sembahyang itu tidak hanya sekali seminggu,
atau paling tidak sekali dua hari misalnya. Itu mungkin lebih ringan
Namun ketika sendirian di Gunung Sago,
ketika dia bersujud menyembah Allah di tengah belantara, dia merasakan betapa
tentram hatinya saat dan setelah sembahyang. Dia merasakan betapa Tuhan
melindunginya. Dia merasakan suatu kedamaian setiap selesai sembahyang. Dia
merasakan seperti mendapat tenaga dan semangat baru selesai sholat. Ya, itulah
intinya. Menemukan kedamaian dan ketentraman, menemukan semangat dan tenaga
baru, setelah mengerjakan suruhan Tuhan. Perlahan dia menjawab pertanyaan
Mei-mei,
“Tidak ada pekerjaan yang melelahkan,
bila pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas. Apalagi kalau kita mencintai
pekerjaan itu Moy-moy”
Mei-mei menatapnya.
“Engkau pernah sembahyang Moy-moy ?”
Mei-mei menggeleng.
“Waktu kecil bersama ibu saya pernah
sembahyang. Tapi semenjak ibu meninggal, saya tak lagi pernah melakukannya ..”
ujar Gadis itu sembari menunduk.
“Nah, tidurlah Moy-moy. Koko juga
mengantuk ..”
Namun mereka belum sempat membaringkan
dirinya di tempat tidur, ketika terdengar suara heboh. Suara heboh itu diikuti
oleh suara menggedor pintu kamar mereka.
“Hei beruk yang ada di dalam. Buka pintu
ini cepat”
Suara berat terdengar memerintah. Dari
suara yang berbahasa Minang itu, si Bungsu segera tahu bahwa orang di luar
adalah lelaki asal daerah ini. Dia menatap pada Mei-mei yang tertunduk di tepi
pembaringan. Kemudian mengambil samurainya. Kemudian melangkah kepintu.
“Tenang saja di dalam Moy- moy. Jangan
buka pintu kalau bukan saya yang menyuruhnya..”
“Koko ..” gadis itu berlari memeluknya.
“Tenanglah ..”
“Jangan tinggalkan saya koko ..”
“Tidak. Saya akan kembali ..”
“Saya akan bunuh diri kalau koko
meninggalkan saya..”
“Tenanglah. Nah kunci pintu ..”
Dia muncul di gang di luar kamarnya. Di
depan pintu, orang lelaki berjambang kasar tegak berkacak pinggang. Begitu dia
muncul, lelaki itu mencekal lengannya. Kemudian menariknya keruang tengah.
Mendorongnya hingga si Bungsu terjajar.
“Ini beruk yang waang katakan itu Pudin
?” orang bertubuh kasar itu berkata.
Si Bungsu menatap pada orang itu. Dan dia
segera kembali mengenali kelima lelaki yang mencoba merampoknya tadi. Di sana
juga ada sopir bus.
“Benar. Dialah orangnya Datuk ..” jawab
si Kurus.
Orang bertubuh besar itu menggerendeng.
Sementara penghuni penginapan yang lain tak berani menampakkan muka. Mereka
lebih merasa aman berada rapat rapat di bawah selimut daripada mencampuri
urusan orang yang satu ini.
“Waang telah melukai anak buah saya
buyung. Itu hanya bisa dibayar dengan dua hal. Pertama dengan seluruh isi
bungkusan yang waang bawa. Atau kalau waang keberatan, maka harus waang bayar
dengan nyawa waang dan tubuh bini waang …” dan si Tinggi besar itu meludah.
Hampir saja dahaknya mengenai kepala si
Bungsu. Si Bungsu tegak dengan diam. Muaknya muncul melihat lelaki ini. Dia
teringat lagi akan cerita kedua perempuan yang sama sama satu bus dengannya
tadi. cerita tentang perampokan yang dilakukan oleh orang Minang terhadap orang
orang yang bepergian dengan bus. Dia lihat, selain si Besar tinggi ini, masih
ada temannya yang lain. Jumlah mereka kini sembilan orang. Hanya yang menjadi
heran di hatinya adalah keberanian penyamun penyamun ini muncul di tengah kota.
Nampaknya mereka tak merasa gentar sedikitpun pada Kempetai Jepang.
Selama hidup beberapa bulan di
Payakumbuh, si Bungsu mengetahui, bahwa tentara pendudukan Jepang menjalankan
roda pemerintahan dengan ketat. Mereka menangkapi para penjudi dan perampok.
Kini sembilan lelaki ini berani muncul di tengah kota. Apakah mereka memang
orang bagak. yang pada Kempetai sekalipun mereka tak merasa takut? Atau
barangkali karena hari sudah lewat tengah malam, mereka tahu bahwa bakal takkan
ada patroli Kempetai. Atau barangkali mereka memang dilindungi oleh Jepang ?
Tapi dia tak sempat berfikir dan
menyimpulkan pikirannya. Datuk bersisungut (berkumis) dan bertubuh besar itu
telah memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Dan kedua lelaki itu segera
bertindak. Yang satu menangkap tengkuk si Bungsu, yang satu lagi memegang
tangannya. Si Bungsu menghantamkan samurainya yang masih bersarung itu. Kayu
samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras. Kedua lelaki
itu terpekik. Namun mereka maju lagi dengan berang. Namun itu sudah cukup. Di
mana Mei-mei berada. Kedua lelaki itu berhenti sedepa di depan si Bungsu.
Sebuah kilatan cahaya putih yang amat cepat menahan gerakkan mereka. Mereka
tertahan karena tiba tiba saja setelah kilat cahaya yang amat cepat itu, dada
mereka merasakan terasa amat pedih. Dan ketika mereka lihat, pakaian mereka
telah robek lebar dari pundak ke perut. Dari balik pakaian yang robek seperti
disayat pisau silet itu, merembes darah segar. Mereka memang tidak rubuh.
Karena si Bungsu hanya sekedar melukai mereka saja.
“Hari telah larut malam. Saya tak
bermusuhan dengan kalian. Saya harap jangan menganggu kami ..” ujar si Bungsu
datar.
Sementara samurainya telah masuk
kesarungnya kembali. Di sudut lain, dua lelaki yang tadi berjalan ke kamar
dimana Mei-mei berada, sekali mendobrak berhasil menghantam pintu kamar
sehingga terbuka. Terdengar pekikan Mei-mei. Si Bungsu bergerak ke kamarnya.
Namun Datuk yang tak diketahui namanya itu menghadangnya bersama empat temannya
yang lain. Dan saat itu kedua lelaki yang masuk kamar tadi muncul dengan
bungkusan mereka dan Mei-mei dalam ringkusan tangannya. Nyata sekali gadis itu
menderita akibat cengkeraman tangan orang yang meringkus bahunya.
Koko .. rintihannya dengan air mata yang
mengalir. Melihat hal itu si Bungsu menatap Datuk bersungut itu dengan
kemarahan besar. Datuk itu dapat membaca kemarahan itu. Dia menyeringai dan
berkata :
“Hee .. waang beruntung buyung, bisa
berbini cina. Tentu lamak(enak) ya ..? He .. he ..saya juga ingin
mengicok(mencoba) sedikit. Kau boleh menonton ..”
Habis berkata Datuk buruk bersungut ini
berbalik. Menarik tangan Mei-mei. Wajah si Bungsu menegang. Dia sebenarnya tak
ingin menurunkan tangan kejam lagi pada bangsanya sendiri. Dia tak bisa
menghitung sudah berapa banyak nyawa yang telah dia rengut lewat samurainya.
Namun dari sebanyak itu yang terbunuh, baru dua orang Minang yang jadi korban.
Baribeh dan si Juling yang dia bunuh bersama si Babah mata mata itu.
Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Tapi ketika si Datuk kalera itu merobek
baju Mei-mei dan gadis itu terpekik, saat itu pula samurainya di tangannya
bekerja. Tiga lelaki yang tegak tak jauh darinya, yang tadi ikut bersamanya
dalam bus dan berusaha merampok mereka, terpekik dan rubuh dengan dada belah.
Mati. Datuk itu tertegun. Teman temannya yang lain kaget.
“Ohooo ..jual lagak waang pada saya ya ?
Waang sangka saya takut dengan permainan samurai waang itu he”
Sehabis ucapkannya tangannya bergerak
menyentak kain Mei-mei. Pakaian gadis itu robek lebar. Dan dengan jahanam
sekali, tangan Datuk itu meremas dada gadis itu. Mei-mei terpekik. Dengan cepat
setelah mencabik baju Mei-mei Datuk itu berbalik menerjang kearah si Bungsu.
Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Mulai dari menyobek baju hingga
menyerang, hanya berlalu beberapa detik. Si Bungsu masih tertegun ketika
serangan datuk itu datang. Dia berusaha mengelak. Namun Datuk ini seorang
pesilat yang tanngguh.
Terjangan nya mendarat di pusat si Bungsu. Anak muda itu
terjajar menghantam dinding di belakangnya. Kemudian tubuhnya melosoh turun.
Matanya berkunang-kunang. Dia ingin bangkit. Tapi Datuk itu datang lagi
menerjang. Dan kali ini rusuknya kena. Rusuk kiri. Terdengar suara berderak.
Tanpa dapat ditahan si Bungsu terpekik. Dua tulang rusuknya kupak. Datuk itu
menerjang lagi dengan seringai buruk di bibirnya. Tubuh si Bungsu tercampak
dari kaki penyamun yang satu ke kaki penyamun yang lain. Itulah malangnya
karena tadi dia masih tenggang menenggang. Tak segera bersikap tegas kepada
lelaki lelaki ini.
Padahal dia sudah diberitahu oleh kedua
perempuan yang satu bus dengannya dari Payakumbuh itu. Bahwa lelaki lelaki itu
adalah penyamun-penyamun yang sering merampok pedagang yang dalam perjalanan ke
Bukittinggi dari Payakumbuh atau dari Padang Panjang. Dia terlalu menenggang.
Dia hanya ingin membunuh Jepang yang membunuh keluarganya. Yang menjajah
negerinya. Dia tak ingin membunuh bangsanya sendiri.Ternyata belas kasihannya
memakan dirinya sendiri. Mei-mei memekik mekik melihat tubuh si Bungsu
tercampak dari satu kaki ke kaki yang lain.
“Jangan siksa dia Jangan siksa diaaa.
Kuserahkan apa yang kalian minta.Jangan siksa dia … Koko …Koko” Mei Mei menatap
memohon. Lambat lambat di antara rasa sakit dan terguling guling di lanyau cuek
itu, si Bungsu mendengar suara Mei-mei. Hatinya luluh ketika mendengar betapa
gadis itu bersedia memberikan apa saja, termasuk dirinya, asal lelaki lelaki
itu berhenti menganiaya dirinya. Dia coba menyusun ingatannya kembali. coba
mengingat dimana samurai nya terjatuh. Lalu, tiba tiba sekali, dengan sisa sisa
tenaga tubuhnya bergulingan amat cepat. Dengan mengandalkan pendengaran nya
yang amat tajam, telinganya menangkap suara samurainya yang tersentuh kaki
salah seorang lelaki itu.
Seperti magnit, ke sanalah tubuhnya
bergulingan amat cepat. Para lelaki itu masih berusaha mengejarnya. Masih belum
mengetahui dengan sepenuhnya bahwa tubuh anak muda itu bergulingan bukan lagi
karena tendangan mereka. Ketika mereka memburu lagi, saat itulah tangan si
Bungsu berhasil meraih samurainya. Dia tak bisa tegak sempurna. Rusuknya yang
patah di sebelah kiri menghalangi gerakannya. Namun dengan berlutut tiba tiba
samurainya bekerja. Dalam tiga kali gerakan pertama, tiga lelaki dimakan
samurainya.
Perut mereka robek Ada yang dadanya belah
Menggelepar dan mati. Datuk itu kaget. Tapi dia memang seorang pesilat tangguh.
Dia menendang cepat sekali. Wajah si Bungsu berubah keras seperti baja. Ketika
kaki Datuk itu menendang ke wajahnya, samurainya bekerja. Dan amat cepat
sekali, kaki datuk itu buntung sebatas lutut. Yang seorang lagi, yang menyerang
dengan keris dia pancung tentang pinggangnya. Pinggang lelaki itu hampir putus.
Datuk itu terpekik, namun si Bungsu
menggeser tubuh. Dan samurainya kembali bekerja. Kaki kiri Datuk itu putus
sebatas betis. Datuk itu terguling. Samurai si Bungsu bekerja lagi. Kedua
tangan Datuk jahanam itu putus hingga siku. Anak buahnya yang satu lagi, yang
masih selamat, menggigil. celananya segera basah. Dan tiba tiba dia balik
kanan. Lari kedalam kegelapan. Dialah satu satunya yang selamat. Datuk itu
menggelepar gelepar. Memekik mekik. Minta ampun. Kaki dan tangannya putus semua
“Bunuhlah saya. Tolong lah. Jangan
biarkan saya menderita … oh tolonglah ..” dia meratap.Bungsu menatapnya dengan
wajah datar. Kemudian dia berkata dengan suara tanpa emosi.
“Engkau takkan mati Datuk. Darahmu akan
kuhentikan alirannya agar kau tak mati kehabisan darah. Kematian terlalu mulia
bagimu. Engkau akan tetap hidup dengan tubuh seperti sekarang. cukup banyak
orang sengsara olehmu. Mulai hari ini, kau akan merasakan kesengsaraan yang
lebih hebat dari itu. Ini adalah balasan dari kejahatan selama ini. Engkau
seorang datuk seorang penghulu, seorang kepala suku. Yang seharusnya membimbing
anak kemenakanmu. Yang seharusnya meluruskan yang bengkok, menyambung yang
singkat menyayangi yang muda, melindungi yang lemah. Tapi ternyata gelar yang
engkau sandang engkau laknati sendiri …”
“Ampun saya anak muda … tolonglah saya.
Jangan biarkan diri saya hina begini. Bunuhlah saya .. bunuhlah saya ..” ratap
datuk yang sudah lenyap seluruh kepongahannya Si Bungsu hanya menatapnya dengan
dingin sambil menekan beberapa bahagian di tempat tubuhnya yang putus, darah
tiba-tiba berhenti mengalir. Kemudian menatap ketujuh mayat yang bergelimpangan
dalam kamar tunggu penginapan itu. Lalu lambat lambat dia berbalik. Menghadap
pada Mei-mei. Gadis itu berlari memeluknya.
“Koko ..”
“Mari kita pergi Moy-moy ..”
Dan malam itu, mereka meninggalkan penginapan
tersebut. Si Bungsu tahu dalam waktu singkat, Kempetai akan memenuhi penginapan
itu. Dan dia tak mau ditangkap. Dengan sebuah bendi yang berada di depan
penginapan itu, mereka pergi membelah malam yang dingin. Malam yang hampir
bersahut dengan subuh.
“Ke mana kita koko ..?” “Saya tak tahu
Moy-moy. Saya tak punya kenalan di sini Jangan ke rumah famili ibumu di Kampung
cina, berbahaya bagi keluarganya.
” “Kita kepenginapan lain koko ?” “Tidak.
Semua penginapan akan digeledah Kempetai…”
Kusir bendi, seorang lelaki tua, yang
tadi mengintip perkelahian dalam penginapan itu mendengarkan saja percakapan
kedua anak muda tersebut. Dari pembicaraan mereka, dia mengetahui, bahwa kedua
anak muda ini bukan suami istri. Dia mengetahui sedikit banyaknya bahasa cina.
Sebab dia bersahabat dengan sebuah keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah
Tembok. yang berdekatan dengan Kampung cina. Kedua anak muda ini, kalau tidak
sepasang kekasih, pastilah dua orang bersahabat. Kusir tua itu juga mengetahui,
bahwa Datuk basunguik buruk dan teman temannya yang dibantai anak muda ini
adalah penyamun yang ditakuti.
Markas Datuk itu dan anak buahnya
terletak di dalam rimba buluh di Tambuo. Suatu tempat angker di dekat kampung
Tigobaleh di tepi Kota Bukittinggi. Banyak orang yang mengetahui bahwa rimba
buluh Tambuo itu adalah markas dan sekaligus tempat persembunyian para
perampok. Namun tak ada yang berani mengadukan pada Jepang. Apalagi bertindak
sendiri menangkap mereka. Datuk ini terkenal bengis. Hal itu hampir saja
terbukti kalau anak muda ini tak cepat dengan samurai nya tadi.
Kini kusir bendi itu dapat menangkap dari
pembicaraan kedua penompangnya ini, bahwa mereka kesulitan tempat menginap.
Hatinya jadi hiba.
“Seluruh kota akan segera diperiksa oleh
Kempetai ..” kusir itu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya.
“Apakah orang orang itu dilindungi oleh
Jepang ? “ tanyanya ingin tahu.
“Tidak. Tapi Jepang akan mencari setiap
pembunuh. Apalagi yang kau bunuh malam ini tujuh orang. Suatu jumlah yang tak
sedikit Jepang membiarkan gerombolan Datuk itu merajalela untuk kepentingan
mereka secara tak langsung. Dalam setiap kekacauan, mereka memetik untungnya …”
Si Bungsu menarik nafas panjang.
Mereka sama sama terdiam. Yang terdengar
memecah sunyi adalah suara ladam kuda yang beradu dengan aspal. Membelah malam
yang telah jauh menikam larut. Si Bungsu tak menyadari kemana bendi itu tengah
menuju. Rusuknya yang patah membuat dirinya letih tak terkira. Makan kaki
lelaki lelaki di penginapan tadi benar benar meluluhkan tubuhnya. Mei-meilah yang
pertama menyadari, bahwa bendi itu makin jauh dan makin masuk kepalunan gelap.
Dia menggoyang tubuh si Bungsu yang bersandar ke dirinya. Si Bungsu tak
bergerak.
“Koko .. Koko …” panggilnya perlahan
dekat telinga si Bungsu. Si Bungsu mengeluh pendek. Tak bisa menjawab, tapi
keluhan itu sebagai tanda bahwa dia mendengarkan panggilan Mei-mei.
“Kemana kita Koko ?” ada nada cemas dalam
suara gadis itu.
“Kemana …?” si Bungsu balas bertanya
perlahan.
“Lihatlah, kita dibawa kepalunan rimba …”
bisik Memei. Masih dalam keadaan menyandarkan kepalanya yang terasa amat berat,
tanpa membuka mata, si Bungsu bertanya perlahan.
“Akan bapak bawa kemana kami ?”
“Kalian tak punya tempat untuk menginap
di kota anak muda ..”
“Ya. Tapi kini kami akan bapak bawa
kemana ?”
“Ke rumah saya …”
“Ke rumah bapak …?”
“Ya. Di rumah saya kalian akan aman. Hais
ck ck ..” kusir itu mendecah kudanya. Terasa goncangan agak keras ketika bendi
itu mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan kecil yang tak datar.
Mei-mei memeluk bahu si Bungsu agar jangan sampai melosoh turun.
“Kerumah bapak …?” si Bungsu mengulangi
tanyanya perlahan.
Dan setelah itu dia tak sadar diri.
Mei-mei tak bisa berbuat apa apa. Kalaupun dia berniat melawan, dan bisa
melarikan diri, namun dia tak akan melakukannya. Dia tak mau meninggalkan anak
muda yang telah menolongnya ini. Kalaupun bencana akan menimpa dirinya, dia
ingin tetap berada di dekat si Bungsu.
“Haissy ck … ck Haissy …” kusir bendi
tersebut mendecah kudanya lagi. Kuda itu seperti berjalan dalam cahaya terang.
Berlari seenaknya. Melangkahi lobang dan batu sebesar-besar tinju. Dia hafal
jalan itu. Meski malam yang hampir disambut subuh itu amat kental gelapnya.
Mei-mei coba memperhatikan jalan dan belantara yang mereka lalui.
Jalan itu di kiri kanannya penuh oleh
pohon pohon. Seperti hutan saja layaknya. Tapi yang paling banyak di antara
pohon pohon itu adalah pohon bambu. Besar dan tinggi seperti akan menjangkau
langit. Dahulu waktu kecil, dia pernah tinggal di kota ini. Tapi saat itu dia
masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya itu, membawa mereka pindah ke
Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah sampai kemari. Paling paling hanya
ke rumah tetangga di kampung cina. Tiba tiba bendi itu berhenti. Kusir berseru,
kemudian dia berjalan ke belakang. Ke tempat si Bungsu dan Mei-mei duduk.
“Mari kutolong menurunkannya …” kata
kusir tua itu lagi sambil memegang tangan si Bungsu. Lalu tiba tiba, dalam
gerakannya yang amat cepat tubuh si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu
pondok terbuka. Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di
tangannya. Mei-mei turun dari bendi dan mengikuti kusir itu. Saat akan masuk
kepondok perempuan paroh baya itu tertegun menatap Mei-mei. Tapi hanya
sebentar. Kemudian menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei-mei..
“Masuklah ..” katanya.
Suaranya lembut. Mei-mei melangkah masuk.
Pondok itu cukup besar. Berdinding bambu, berlantai tanah beratap rumbia.
Seorang anak perempuan muncul. Barangkali usianya sekitar dua belas tahun.
Namun tubuhnya kelihatan segar. Kusir bendi itu meletakkan tubuh si Bungsu di
sebuah kamar di atas balai balai bambu. Mei-mei tegak di sisi pembaringan.
“Biarkan dia tidur …” kata kusir itu
sambil melangkah ke luar kamar.
Dia minta istrinya untuk membuat kopi.
Mei-mei duduk termenung di tepi pembaringan dekat tubuh si Bungsu. Anak muda
itu tergolek tak sadar diri. Gadis itu meraba wajahnya. Terasa dingin dan
berpeluh. Dia tegak dan berjalan kepintu.
“Pak. dia berpeluh dan tubuhnya dingin …”
katanya pada kusir yang kini tengah membuka kekang kudanya.
“Biarkan saja. Dia takkan apa apa. Dia
memiliki tubuh yang kuat. Sebentar lagi dia akan sembuh. Nona istirahatlah di
dalam …” kata kusir itu.
Suaranya terdengar berat tapi ramah dan
bersahabat. Kekawatiran yang sejak tadi bersarang di hati Mei-mei lenyap ketika
mendengar suara kusir itu. Dia lalu berbalik ke kamar. Duduk di sebuah bangku
kecil dekat dinding. Menatap diam diam pada si Bungsu yang masih saja tak
sadar. Tak lama kemudian, terdengar suara azan dari kejauhan. Kusir itu
sembahyang subuh dengan istri dan gadis kecilnya. Tak selang berapa lama
setelah sembahyang subuh itu, Mei-mei mendengar suara orang datang. Dia
mendengar kusir itu berjalan ke luar. Kemudian sepi. Tapi hanya sebentar. Tak
lama antaranya, dia dengar suara tanah berdentam dan suara seperti orang
berkelahi.
Mei-mei tertegak. Takutnya muncul. Siapa
orang yang baru datang itu ? Dia tegak dan berjalan ketempat tidur di mana si
Bungsu masih terbaring. Dia ingin membangunkan anak muda itu. Tapi dia tak
sampai hati. Anak muda itu tidak tidur, melainkan tak sadar karena letih
dikeroyok. Kini dia terbaring diam. Suara perkelahian di luar masih terdengar.
Dengan perlahan Mei-mei berjalan kejendela. Dia mengintip dari lobang kecil
yang terdapat di pinggir jendela. Di luar sana, dalam cahaya subuh, dia lihat
orang tua yang jadi kusir bendi yang mereka tumpangi tadi, sedang berkelahi
dengan seorang anak muda.
Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun
kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi dibungkus dengan kain dan
sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa
baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas
terbaca tenaga yang tangguh.
“Sampai di sini dulu, Kini kau upik ..”
kusir itu berkata menunjuk gadis kecil yang dia temui malam tadi.
Dari lobang kecil itu dia melihat gadis
kecil anak kusir itu maju ke tengah lapangan kecil di belakang rumah itu. Gadis
berusia dua belas tahun itu berpakaian seperti lelaki. Bercelana dan berbaju
longgar. Dari caranya bersiap. Mei-mei segera menarik nafas lega. orang itu
ternyata hanya latihan silat. Dia jadi tertarik. Ingin melihat gadis kecil itu
bersilat. Gadis itu mulai membuka serangan setelah memberi hormat.
“Jangan memukul ketika menarik nafas ..”
kusir itu berkata memberi petunjuk.
Gadis itu menarik lagi pukulannya yang
tengah dia lancarkan. Memulai lagi langkah dari awal. Kemudian beruntun
mengirimkan pukulan dan tendangan ke arah
ayahnya. Gerakan gadis itu cukup cepat.
Namun dengan mudah kusir itu mengelak dan memberi petunjuk terus. Tiba tiba
lelaki tua itu berhenti, lalu menghadap kepondoknya.
“Hei, Nona Jangan mengintip di situ.
Kalau ingin belajar silat, datang kemari..” Seru lelaki itu.
Mei-mei cepat cepat menarik kepalanya
dari lobang yang tak sampai sebesar jari itu. Dia kaget pada ketajaman firasat
kusir itu. Dia duduk kembali di pembaringan dekat si Bungsu yang masih
tertidur. Sesekali matanya memandang juga ke lobang kecil di tepi jendela di
mana tadi dia mengintip. Suara kusir yang menyuruhnya keluar itu seperti memanggil
manggilnya. Dia tatap wajah si Bungsu, hatinya jadi lega. Sebab kini wajah anak
muda itu tak lagi meringis seperti tadi. Kini dia seperti benar benar tidur.
Wajahnya tak lagi menahan sakit.
Nampaknya dia memang tengah tertidur
lelap. Mei-mei menarik nafas lega. Di luar dia dengar lagi orang latihan
bersilat. Lambat lambat dia melangkah keluar. Berjalan ke belakang. Dan tiba di
pinggir lapangan berpasir yang luasnya tak sampai lima depa persegi. Di tengah
lapangan Upik anak kusir itu tengah bersilat dengan lelaki muda yang tadi dia
lihat bersilat dengan kusir. Kusir itu tengah tegak dengan kaki terpentang
menatap ke tengah sasaran.
Mei-mei duduk di bangku bambu yang
terletak di pinggir sasaran. Tak lama kemudian kedua orang itu selesai
berlatih. Si Upik dengan tersenyum ramah mendekati Mei-mei. Gadis kecil itu
mengulurkan tangan bersalaman. Mei-mei ikut tersenyum melihat keramahannya dan
menyambut uluran tangannya.
“Nama saya Upik. Siapa nama kakak ?”
tanyanya dengan suara bersahabat.
Mei-mei terharu, jarang sekali sikap
bersahabat begini datang dari orang Melayu terhadap orang Tionghoa. Biasanya
dia merasa diasingkan di tengah orang orang Melayu. Tapi gadis kecil ini,
demikian juga ayahnya yang kusir itu, seperti telah mengenalnya dengan baik
selama bertahun tahun. Sebenarnya jarak usia kedua gadis itu hanya sekitar lima
tahun. Suatujarak yang tak seberapa jauh. Si Upik benar benar gadis desa yang
polos dan manja. Sementara Mei-mei adalah gadis muda yang dalam usianya yang
belum seberapa itu, telah menapaki kehidupan manusia dewasa yang alangkah
pahitnya dan alangkah hitamnya.
Bersambung ke..... Tikam Samurai (14)
Komentar
Posting Komentar