Jeep itu makin mendekat. Dan seperti
sudah diatur ketika tiba di dekat kedai dimana mereka minum air kelapa muda
itu, jeep tersebut berhenti.
Si Bungsu dan kedua temannya segera
mengenali dua diantara tentara KNIL itu adalah yang memeriksa mereka tadi. Dua
orang lagi adalah serdadu KL. Belanda Asli. Jeep ini nampaknya memang jeep
patroli.
Sebab dibahagian belakangnya, tegak
sebuah mitraliyur ukuran 12,7 dengan moncong menghadap ke depan. Kedua serdadu
KNIL itu melompat turun. Dengan sikap seperti ada peperangan dia mengacungkan
bedilnya kearah pondok. Dengan matanya yang merah kedua mereka menatap isi
pondok. Kemudian menyapu keadaan disekitarnya dengan tatapan menyelidik.
Dua orang tentara Belanda asli yang tadi
masih duduk dibahagian depan lalu menyusul turun. Salah seorang tentara KNIL
memerintahkan kedua perempuan yang ada diatas jeep itu untuk turun.
Dengan kepala menunduk karena malu, yang
gadis lalu turun. Si Bungsu melihat betaoa mata gadis itu basah. Demikian pula
ibunya yang tua. Dan setiap lelaki yang ada di pondok itu dapat menduga bahwa
gadis itu telah dinodai Belanda.
“Turun disini, dan awas kalau lain kali
tidak memberikan keterangan yang benar…..” KNIL itu berkata dengan suara yang
dibesar-besarkan. Semua yang ada dipondok hanya menatap dengan diam. Tak
seorang pun yang bicara.
Tentara Belanda yang tadi memegang stir,
dan berpangkat Sergeant melangkah mendekati kedai. Masuk dan berdiri dekat si
Bungsu.
“Apakah kalian ada mendengar para
ekstremis lewat disini?” dia bertanya dengan suara yang dibuat agak ramah.
“Ada….!” Salah seorang diantara yang
hadir dalam kedai itu menjawab pasti. Isi kedai itu hanya tujuh orang. Tiga
diantaranya adalah si Bungsu dan teman-temannya. Yang satu pemilik kedai. Dua
lagi adalah penduduk. Dan kedua penduduk ini memang benar-benar pejuang bawah
tanah. Hanya saja tak seorangpun mengetahui bahwa mereka pejuang. Termasuk
pemilik kedai itu!
Kini terdengar bahwa ada orang yang
menjawab bahwa ada ekstremis atau pemberontak Indonesia lewat dekat situ, kedua
pejuang ini jadi tegang. Semua mereka menatap pada orang yang menjawab
pertanyaan serdadu KL itu.
Dan orang yang menjawab itu adalah si
Bungsu!
Semua mereka jadi heran, sebab anak muda
ini tak pernah mereka kenal sebelumnya. Dan kedua teman si Bungsu,
anggota-anggota fisabilillah itu juga merasa kaget mendengar jawaban si Bungsu.
“Bila mereka lewat, dan apakah anda kenal
dimana markasnya?” tentara Belanda itu mendesak.
“Ya saya kenal semuanya. Mereka ini
justru tengah menyusun suatu rencana penyerangan ke Simpang Tiga. Mereka..” si
Bungsu berhenti bicara. Matanya memandang kepada para lelaki yang ada dalam
lepau itu. Yang juga tengah menatapnya dengan mata tak berkedip.
Si Bungsu tegak.
“Ikut saya, saya akan sampaikan dimana
mereka…” katanya sambil melangkah keluar. Sergeant itu segera jadi maklum,
bahwa lelaki ini pastilah tak mau laporannya didengar oleh orang dalam kedai
tersebut. Karenanya dia lalu menurut.
Si Bungsu berhenti, kemudian menoleh pada
kedua temannya tadi. Memberi isyarat dengan mata, lalu berkata:
“Hei, mari kita tunjukkan saja tempat
pejuang-pejuang itu!” Kedua temannya anggota fisabilillah itu jadi maklum. Dan
kedua mereka memberi isyarat pula pada dua orang pejuang dari Marpuyan itu
dengan isyarat mata.
Sergeant itu menuruti langkah si Bungsu
dari belakang. Namun gerakan si Bungsu berikutnya tak terikutkan oleh tentara
Belanda itu. Sambil tetap berjalan perlahan, si Bungsu menghunus samurainya.
Dan begitu ia berbalik, samurainya membabat perut tentara KL itu. Tentara itu
mengeluh. Perutnya belah dua.
Keluhannya terdengar oleh ketiga temannya
yang lain. Mereka menoleh, dan melihat temannya rubuh dengan perut berlumuran
darah. Ketiganya mengangkat bedil. Namun saat itu pula ketiga pejuang yang lain
menghambur. Ketiga bedil tentara Belanda itu tak dapat meletus. Sebab tiba-tiba
saja tiga pisau telah menancap
dipunggung mereka,.
Bedil mereka terlepas dan berusaha untuk
memegang punggung yang tertikam dan sakitnya bukan main itu.
Namun beberapa tikaman lagi, ketiga
Belanda itu matilah sudah. Keajdian itu teramat cepatnya. Sejak jeep
berloreng-loreng itu berhenti, sampai dengan matinya keempat Belanda itu, tak
sampai dua menit!
Bahkan kedua perempuan yang mereka
turunkan itu, masih belum meninggalkan jeep tersebut. Dan kini kini mereka
tertegun. Belanda itu sudah mati. Tapi apa yang akan diperbuat selanjutnya?
Mereka jadi pucat sendiri. Pemilik kedai
wajahnya pucat bukan main. Mereka memang benci pada Belanda. Tapi ketakutan
setelah pembunuhan ini juga besar. Mereka takut pada pembalasan Belanda!
“Naikkan mereka ke atas jeep……” si Bungsu
berkata sambil memandang ke arah Simpang Tiga. Dari jauh kelihatan debu
mengepul. Yang datang itu pastilah sebuah mobil. Hanya tak diketahui apakah
kendaraan itu kendaraan militer atau kendaraan sipil.
Namun kendaraan papaun yang datang itu,
apakah militer atau sipil keduanya sama-sama berbahaya bagi mereka. Bila
kejadian ini diketahui Belanda maka pembalasan yang mengerikan akan menimpa
penduduk Marpuyan.
“Itu power tentara Belanda!” Suman yang
anggota fisabilillah, yang datang bersama si Bungsu dari Pekanbaru berkata.
Mereka bergegas menaikkan mayat-mayat itu ke atas jeep. Menggulingkan di bak
belakang.
Suara power yang merupakan sejenis truk
perang itu makin menakutkan.
“Siapa yang menyetir mobil?” tanya si
Bungsu. Kedua temannya yang dari Pekanbaru menggeleng.
“Maarif…kau saja…!” Pemilik kedai bicara
pada salah seorang pejuang dari perhentian Marpuyan yang tadi ikut menikam
Belanda.
“Dia biasa membawa truk!” pemilik kedai
ituy berkata cepat. Pejuang bawah tanah yang bernama Maarif itu tak banyak cakap.
Dia melompat ke balik stir. Kemudian menghidupkan mesin. Si Bungsu dan kedua
temannya melompat pula ke bak belakang. Demikian pula pejuang yang satu lagi,
yaitu temannya si Maarif.
“Kemana kita?” Maarif berkata sambil
menjalankan jeep.
“Arahkan ke Buluh Cina…” tanpa sadar
sepenuhnya si Bungsu berkata.
Jeep itu segera membelok ke kiri.
Meninggalkan pemilik kedai dan kedua perempuan itu tegak di pinggir jalan.
“Katakan kepada mereka, teman mereka
mengejar pejuang….!” Si Bungsu berteriak pada pemilik kedai tersebut. Pemilik
kedai hanya sempat mengangguk.
Hanya selang tiga menit, power wagon yang
berisi selusin KNIL dan KL sampai pula disana.
“Hmm, sudah sampai kalian dikampung
he..?” seorang Leutenant bertanya pada gadis yang baru turun itu. Yang masih saja
tegak dipinggir jalan.
Gadis cantik itu hanya menunduk. Matanya
membersitkan kebencian. Dan Leutenant itu nyengir. Pemilik kedai tegak dengan
tegang. Sebab semakin lama tentara Belanda ini berhenti didepan kedainya, bisa
bocor pembunuhan yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Kalau saja ada diantar mereka yang
bermata tajam, maka mereka akan melihat bercak-bercak darah pada kerikil di
jalanan. Tapi untunglah hal itu tak kejadian. Sehabis nyengir pada gadis cantik
yang telah mereka nodai itu, si Leutenant bertanya pada pemilik lepau dengan
berteriak:
“He pak tua, mau kema Sergeant Rudolf
dengan jeepnya itu?”
“Mengejar pejuang yang baru saja lewat
disini…”
“Pejuang yang lewat”
“Ya. Ada tiga orang…!”
Para tentara Belanda di atas power itu
saling pandang.
“Godverdome! Ayo kejar…!!”perintah
leutenant itu mengguntur. Dan power wagon itu segera meraung-raung ke kiri dan
melaju ke arah Buluh Cina.
“Semoga kalian mampus semua…!”gadis
cantik yang dinodai Belanda itu menyumpah.
Di atas jeep yang dikemudikan oleh
pejuang dari perhentian Marpuyan itu tengah terjadi perundingan.
“Kita cegat mereka di pendakian Pasir
Putih…!” kata anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina dan bernama
Bilal. Pejuang ini adalah teman si Bungsu dari Pekanbaru yang kena tampar KNIL
di Simpang Tiga tadi.
“Kita tembak mereka dengan senapan mereka
sendiri?” temannya yang bernama Suman bertanya.
“Ya, agar mereka rasakan betapa senjata
makan tuan…” jawab Bilal.
“Bagaimana, kita cegat mereka dimana?”
Bilal bertanya pada si Bungsu.
Si Bungsu menatap pada mitraliyur 12,7
yang tegak di bak belakang jeep. Melihat pelurunya yang berantai panjang.
“Apakah kalian mempunyai cukup peluru
untuk berperang?” si Bungsu balik bertanya. Para pejuang itu saling bertukar
pandang.
“Tak begitu banyak…” Bilal menjawab
jujur.
“Kalau begitu kita hajar mereka tanpa
buang peluru…..” si Bungsu berkata pasti.
“Bagaimana caranya?”
Dan cara mencegat tanpa menghamburkan
peluru itu diatur oleh si Bungsu.
Sementara itu, power wagon yang memuat
selusin serdadu Belanda itu meraung-raung membelah jalan kecil menuju ke Buluh
Cina itu. Tiba-tiba di depan mereka, ditengah pendakian, mereka melihat dua
orang sosok tubuh tentara Belanda. Sebab pakaian loreng yang mereka pakai
menununjukkan hal itu.
Tubuh itu makin didekati makin nyata
berlumuran darah.
“Jahanam! Berhenti. Mereka ternyata telah
membunuh serdadu kita….” Leutenant yang memimpin patroli itu menyumpah. Dia
segera mengenali bawahannya itu sebagai serdadu KNIL yang ikut dengan sersan di
Jeep tersebut. Kulit mereka yang hitam membuktikan bahwa mereka adalah tentara
KNIL.
Power itu segera dihentikan persis
ditengah-tengah pendakian didekat tubuh kedua serdadu KNIL tersebut. Leutenant
itu kemudian melompat turun.
“Ayo. Tolong angkat!” serunya.
Empat orang tentara Belanda lainnya
berlompatan turun. Kemudian mengangkat tubuh teman mereka itu. Namun begitu
mereka menyentuh tubuh yang tertelungkup itu, tiba-tiba saja kedua “mayat”
tersebut melonjak.
Yang pertama menjadi korban adalah
seorang Kopral. Tubuh yang akan diangkat membalik. Dan sebilah samurai
menghajar dadadnya. Kontan dadanya belah. Temannya seorang soldaat tertegun,
dan saat itulah dadanya juga ditembus samurai.
Dalam waktu hanya beberapa detik,
keduanya rubuh dimakan samurai “mayat” yang akan mereka angkat.
“Mayat” yang satu lagi, yang ternyata
adalah si Bilal, anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina itu juga
beraksi.
Dia adalah seorang pesilat aliran Pengian
yang tangguh. Begitu dia merasakan tangan menjamah tubuhnya, dia segera
menelentang. Dan kakinya menghujam keatas. Tumitnya mendarat persis di
kerampang sergeant yang tadi akan mengangkatnya.
Demikian kuatnya tendangan itu. Hingga
tubuh sergaent itu terangkat sehasta dari tempatnya berpijak. Kemudian
terguling. Sergeant ini tak sempat menjerit. Hanya wajahnya yang menjadi kelabu
tiba-tiba. Gelandutnya pecah dan nyawanya melayang saat itu.
Saat berikutnya, tubuh Bilal ini melentik
dengan manis lalu berdiri. Dan tendangannya kemudian menghajar seorang soldaat
teman si sergeant yang berniat mengangkat tubuhnya tadi.
Tendangan itu agak meleset. Sebab si
soldaat sempat mundur selangkah.
Bilal memburu. Dan kali ini dua buah jari
tangan kanannya meluncur kedepan seperti kecepatan seekor ular yang marah.
Dan soldaat itu tak sempat mengelak lagi.
Jurus tusukan dari silat Pangian itu menghujam kedua matanya. Dan seiring
dengan pekik kesakitan, kedua matanya terlompat keluar dimakan jari-jari Bilal.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (42)
Komentar
Posting Komentar