Langsung ke konten utama

Tikam Samurai (18)

Saat itu Datuk Penghulu naik lagi dia bersama dengan seorang imam yang ditemuinya surau ketika akan sembahyang Ashar. Mereka mendekat kepada kedua anak muda itu. Mata Mei-mei terpejam.
“Mei-mei. …. .dengarlah. Ini pak Imam. Kita akan menikah disini. . .”
Si Bungsu berkata perlahan ke telinga gadis itu. Mei-mei tersenyum sebelum matanya terbuka. Senyumnya senyum lelah. Senyumnya senyum yang amat letih dan kalah. Dimatanya tergenang manik-manik air yang lambat-lambat meleleh turun.
“Benarkah . . .benarkah Uda mau mengambil saya jadi istri? Setulus hati menikahi anak cina yang sepanjang hidupnya dilumuri dosa ini? Benarkah uda. . . .?”
“Demi Allah yang kusembah, aku mencintaimu sayang. . . .”
“Uda . .. saya bahagia. . .engkau menjadi suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. . .”
Mata gadis itu terpejam. Si Bungsu menoleh pada Imam dan Datuk Penghulu, kemudian mengangguk. Imam itu mengingsutkan duduknya.
“Jawab pertanyaan saya ini anak muda. Apakah engkau bersedia menerima Mei-mei menjadi istrimu, menjaga dan membelanya dalam sakit dan senang. Akan membahagiakannya dan tidak akan berbuat aniaya padanya. . . .?”
“Saya menerimanya dengan setulus hati saya.” Jawab si Bungsu.
Imam itu menoleh Mei-mei. Kemudian berkata :
“Apakah engkau bersedia menerima pemuda ini menjadi suamimu dan berjanji akan mengabdikan dirimu padanya, dalam sakit dan senang dan akan tabah menerima setiap cobaan?” Gadis itu tak menjawab. Matanya masih terpejam. Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
“Jawablah sayang..” Mei-mei tak menjawab.
“Jawablah dengan mengangguk kalau engkau setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju..”
Imam itu berkata perlahan. Namun Mei-mei tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu berdetak hatinya. Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
“Innalillahi wa Inalillahi rojiun”, desisnya perlahan.
Si Bungsu terpana. Terpaku. Kemudian suaranya seperti berbisik-bisik memanggil nama Mei-mei.
“Mei-mei….. Mei-mei…”
Tapi gadis itu memang sudah berpulang ke Khaliknya. Seulas senyum masih membayang di bibirnya. Datuk Penghulu menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapapun jua, dia sangat menyayangi gadis ini. Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya. Yang sepermainan dan sayang menyayangi dengan si Upik anaknya.
Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia mencurahkan saying, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Mei-mei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu. seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
“Uda saya… bahagia engkau suamiku.. dan aku mengabdikan diriku menjadi istrimu,”
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan memanggilnya. Kiranya Tuhan pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tiba-tiba si Bungsu berdiri.
“Jepang jahanam. Kubunuh kalian. Demi Allah, saya akan membunuh kalian sebanyak yang bisa saya lakukan”
Habis berkata dia menyambar samurainya yang terletak di lantai. Kemudian bergegas turun. Namun Datuk Penghulu mencegahnya.
“Jangan memperlihatkan diri saat ini Buyung.
Dijalanan berkeliaran ratusan serdadu Jepang..”
“Persetan . .saya akan membunuh mereka…”
Dia berbalik untuk turun. Tapi saat itu pula tangan Datuk Penghulu menghantam tengkuknya. Anak muda itu terkulai, dia berusaha memutar wajah menatap Datuk Penghulu, sinar matanya memancarkan rasa sakit dan heran, kenapa Datuk itu sampai berbuat demikian. Kemudian dia jatuh pingsan. Imam yang ada di sana itu juga menatap heran bercampur terkejut atas sikap Datuk Penghulu.
“Kenapa Datuk pukul dia?”
Datuk Penghulu menarik nafas panjang sebelum menjawab.
“Sudah terlalu banyak saya kehilangan Pak Imam. Malam tadi anak dan istri saya. Sebentar ini gadis ini pula. Gadis yang telah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kini, kalau saya biarkan dia mengamuk diluar sana, mungkin dia akan bisa membunuh sepuluh atau dua puluh Jepang dengan kemahirannya mempergunakan samurai. Tapi setelah itu, betapapun jua peluru jauh lebih unggul dan lebih ampuh dari samurai di tangannnya. Bagaimana hebatnya sekalipun, Saya tak mau kehilangan dirinya. Dia sudah banyak berjasa pada bangsanya. Telah banyak membunuh Jepang yang merampok dan memperkosa rakyat. Meskipun dia tak menyadari jasanya itu, karena dia berbuat itu hanya untuk membela diri dan membalaskan dendam keluarganya. Tapi Indonesia banyak berhutang padanya. Saya tak mau dia mati terlalu cepat. Masih banyak hal-hal besar yang bisa dia lakukan daripada harus mati cepat-cepat dia pelindung orang yang lemah…”
Imam itu terdiam mendengarkan keterangan Datuk penghulu. Kemudian menoleh pada mayat Mei-mei.
“Kasihan gadis ini.. dia meninggal sebelum sempat merasakan kebahagiaan,” Kata Imam itu perlahan.
“Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia. Yaitu di saat dia merawat si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta, maut datang menjemput Mei-mei.”
Mayat Mei-mei kelihatan tetap cantik, meski wajahnya pucat. Senyum tipisnya seakan berkata bahwa dia rela pergi setelah mengetahui bahwa si Bungsu juga mencintainya. Sementara si Bungsu terbaring sehasta di sampingnya.
“Bila kita kuburkan mayat Mei-mei..?” Imam itu bertanya perlahan.
“Kalau tak ada patroli, nanti malam kita kebumikan.” jawab si Datuk.
“Tapi siapa yang akan memandikan jenazahnya?”
“Pak Imam tolonglah memanggil beberapa penduduk sekitar sini. Tek Munah, Tek Niar dan Amai Zainab. Katakan pada mereka apa yang telah terjadi. Minta mereka untuk datang seperti Sholat berkaum malam nanti kemari. Bawakan juga kain kapan dan bunga rampai. juga tolong katakan pada Pak Bidin dan PakTamam untuk datang membantu menggali pusara…”
“Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?”
“Jika itu terjadi, hanya ada dua kemungkinan pak Imam. Membunuh atau dibunuh. Hanya berusahalah untuk tidak menimbulkan kecurigaan ..”
Ya.Ya. Saya akan berhati-hati. . lebih baik saya turun sekarang. . .”
“Ya. Saya rasa juga begitu. Kalau kemari nanti tolong bawakan makanan.”
“Ya. Akan saya bawakan. Tunggulah disini. . ..”
Imam itu bergerak turun. Pada saat yang sama, si Bungsu mulai sadar diri. Dia masih merasakan kepalanya berdenyut bekas dihantam Datuk Penghulu. Sebenarnya dia sudah sadar agak lama. Hanya saja dia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia mendengar pembicaraan terakhir antara Datuk Penghulu dengan Imam itu. Ketika dia bangkit, dia terpandang pada mayat Mei-mei. Kemudian dia memandang pada Datuk Penghulu.
“Maafkan saya buyung. Mei-mei berkata benar. Bukankah dia berpesan padamu, agar engkau tak mencari si Atto, tidak lagi melibatkan diri dalam perkelahian? Dia menginginkan keselamatanmu. Dan dia mengharapkan itu dikala ajalnya akan datang. Tak ada salahnya engkau menuruti pesan orang yang akan meninggal dunia, apalagi orang yang amat mencintai dirimu…”
Si Bungsu menarik nafas. Lalu duduk disisi mayat Mei-mei. Manatap wajah mayat itu diam-diam. Datuk Penghulu memperhatikan dengan sudut mata.
“Secara hakikat, kalian telah menjadi suami isteri.”
Datuk Penghulu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya.
“Ya. Kalian telah sama-sama berikrar untuk jadi suami isteri. Ikrar yang suci dan ikhlas itu saja sudah merupakan suatu ikatan. Meskipun belum disahkan oleh kadi dan tak ada saksi. Namun pada mulanya, dahulu kala lembaga pernikahan belum ada. Dia hanya ada setelah Islam atau agama dikenal manusia. Sebelum agama turun ke muka bumi, sebelum lembaga pernikahan seperti sekarang dikenal manusia, maka pernikahan dilangsungkan secara apa adanya, sementara yang jadi saksi bisa manusia, bisa pula tak ada saksi. Tetapi yang jadi kadinya secara hakikat adalah Tuhan”
Si Bungsu masih tetap diam mendengar ucapan Datuk Penghulu ini. Sementara itu, di luar hari merangkak memasuki malam. Di langit guruh terdengar menderam-deram. Angin bersuit-suit. Tanpa mereka sadari, Imam yang tadi akan menikahkan si Bungsu dan Mei-mei sudah cukup lama berlalu.
Adalah si Bungsu yang pertama menegakkan kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau, dalam kesepian yang kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa aman dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab dengan demikian Jepang yang mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Mei-mei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak demikian halnya dengan si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam kesunyian di loteng surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup lebih dari setahun bersama binatang-binatang buas di belantara Gunung Sago, kini mencium bahaya adanya yang tersembunyi.
“Ada apa?” Datuk Penghulu bertanya melihat perobahan air muka anak muda itu.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia masih tetap duduk di dekat mayat Mei-mei. Namun matanya berkilat aneh. Wajahnya jadi tegang.
“Kita terperangkap. . . .,” katanya perlahan.
Datuk Penghulu menegakkan kepala.
“Perangkap ?” desisnya sambil coba menangkap suara-suara yang menyelingi suitan angin dan gemuruh guruh di luar surau.
Namun dia tak menangkap suara apa-apa. Tapi dia percaya pada anak muda ini. Dia sudah beberapa kali membuktikan bahwa indera dan naluri anak muda didepannya itu amat tajam. Datuk itu segera teringat pada Imam yang turun tadi. Apakah Imam itu mengkhianati mereka? Ternyata Jepang itu memang mengetahui persembunyian mereka dari Imam tersebut.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama jadi mata-mata Jepang, melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu muncul di rumahnya, dia jadi terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh enam orang Serdadu Jepang dengan bedil dan bayonet terhunus.
“Nah, kini katakan cepat siapa yang ada di surau itu pak imam.?”
Letnan Jepang itu segera saja buka suara begitu dia masuk. Imam itu jadi pucat. Namun rasa nasionalnya yang tebal menolak untuk membuka rahasia.
“Tak ada siapa-siapa. Di sana hanya seorang perempuan yang akan sembahyang…”
“Apakah tak ada orang lain?”
“Tak ada. Boleh lihat kesana.”
Imam itu berkata pasti. Sebab dia tahu, loteng surau itu dari bawah kelihatannya hanya terbuat dari bambu. Padahal loteng itu berlapis dua. Bahagian atasnya terbuat dari papan. Garin serta penjaga mesjid lainnya tidur disana. Jalan naik ke atas berada di bahagian belakang, tersembunyi dari pandangan orang.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan, tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di pipi si Imam. Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya berdarah. Istri dan anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang tersebut.
“Jahanam. Kalian takkan selamat di tangan negeri ini . . .” desisnya.
Letnan itu menggerakkan kaki. Ujung sepatunya yang keras mendarat di dagu Imam tersebut. Kembali Imam ini terpelanting. Kali ini giginya copot beberapa buah. Istrinya memburu dan memeluknya. Ketika anak gadisnya juga mendekat. Letnan itu menyambar tangannya. Gadis itu terpekik dan meronta. Tapi Letnan itu merenggut pakaiannya hingga robek.
“Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya. Kalau tidak, anakmu ini akan kubawa ke kamar ..”
Ujar Letnan itu menyeringai. Imam itu melompat bangkit ingin menghantam letnan tersebut. Tapi sebuah tendangan kembali membuat dia terjajar.
“Hmm Baik. Kalau kau tak mau buka suara, saya akan menikmati anakmu ini.”
Si Letnan lalu menyeret gadis berusia enam belas tahun itu ke bilik, Akhirnya Imam itu tak bisa berbuat lain dari pada harus mengaku. Dia berharap agar kedua orang yang ada di loteng surau itu menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Dia berharap agar kedua mereka segera turun dan melarikan diri. Dia terpaksa mengakui bahwa kedua buronan yang di cari Jepang itu berada di loteng surau itu. Jalan ini benar-benar dia lakukan dengan sangat terpaksa. Orang tua mana yang tak menginginkan keselamatan anaknya?
Si Letnan memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam yang ada di rumah ini.
Kedelapan Kempetai itu segera menuju ke surau tersebut. Kedatangan mereka inilah yang dapat dirasakan oleh naluri si Bungsu.
“Kita harus meninggalkan surau ini. . . . .,” kata Datuk Penghulu.
“Tapi bagaimana dengan Mei-mei.” ujar si Bungsu. Datuk Penghulu menarik nafas.
“Terpaksa kita tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat. . . .”
Si Bungsu menatap pada mayat Mei-mei. Tanpa dapat dia tahan, air matanya mengenang di pelupuk matanya.
“Semasa hidupmu, kita jarang bersama. Ketika engkau meninggal pun, aku terpaksa meninggalkan jasadmu. Kita memang orang-orang yang bernasib malang Mei-mei. Kudoakan semoga engkau bahagia ditempatmu yang baru. Jika di dunia jasadmu menderita, semoga Tuhan menempatkan rohmu di tempat yang bahagia. Dan aku yakin, Tuhan akan menempatkanmu disana. . . Selamat tinggal sayang. . . .”
Dia menunduk. mencium kening mayat yang mulai mendingin itu. Kemudian dengan mengeraskan hatinya, dia tegak.
“Kita berangkat. . .,” katanya pada Datuk Penghulu. Datuk Penghulu sendiri merasakan matanya basah melihat kedua anak muda ini.
“Mei-mei anakku, maafkan kami tak bisa menyelenggarakan jenazahmu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kami benar-benar menyayangimu. Tinggallah nak. . . ,” Ujarnya perlahan.
Kemudian mereka mulai menuruni jenjang yang menuju ke belakang surau. Gerimis menyambut mereka begitu menjejakkan kaki di tanah.
“Mereka sudah dekat. .” si Bungsu berbisik.
Datuk Penghulu bergegas membawa si Bungsu ke dekat sebuah tebat di belakang surau. Dia hapal betul dengan situasi surau ini. Sebab dia termasuk salah seorang yang membuat surau itu. Derap sepatu Kempetai terdengar memasuki surau ketika Datuk tersebut mulai memasuki tebat.
“Masuklah . . . .”, katanya pada si Bungsu.
Si Bungsu tak banyak tanya. Dia segera masuk. Tebat itu cukup dalam. Mereka bisa menyelam. Di arah batang pisang itu, di bawahnya ada terowongan yang tembus ke sungai kecil di balik hutan bambu sana.
“Kita akan keluar persis di belakang rumah Imam tadi. Kita bisa menyelami terowongan itu. cukup lama, salah-salah bisa kehabisan nafas sebelum sampai ke sungai belakang bambu itu. Dan jika kita sampai kehabisan nafas, maka mayat kita akan tersangkut dalam terowongan. Ayo mulai menyelam. . . .”
Bersambung ke.... Tikam Samurai (19)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENDIRIAN BENGKEL AA CEMPAKA AUTO SERVICE

Sejarah Singkat pendirian Usaha perbengkelan AA CEMPAKA Auto Service yang berlokasi di kota Padang ini merupakan suatu perusahaan jasa perorangan yang bergerak dibidang perbengkelan dan penjualan yaitu memperbaiki kendaraan penumpang roda empat dan juga menjual spare part, pelumas (Engine Oil) maupun peralatan lainnya. Bengkel AA CEMPAKA Auto Service didirikan pada tanggal 01 Juni 2015, oleh ASRUL ARMISKA seorang mantan karyawan disebuah perusahaan otomotif terbesar yang merupakan pemegang merek kendaraan terkenal di Indonesia yaitu merek Toyota dan bekerja sama dengan beberapa pihak pemodal perorangan. Bengkel ini pada awalnya didirikan hanya untuk melayani service ringan dengan menyewa tempat berupa kios sederhana dan hingga kini sudah beberapa kali mengalami perpindahan lokasi usaha, seiring dengan jumlah pelanggan yang terus bertambah dimana beberapa bulan kemudian melihat banyaknya pelanggan yang meminta perbaikan-perbaikan pada kendaraan milik mereka dengan ...

Mesin Avanza tidak bisa hidup sehabis bongkar Mesin

Ilmu itu sayang jika hanya disimpan maka pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang kasus Mesin avanza dan yang sejenis tidak bisa hidup setelah bongkar mesin atau setelah ganti rantai timing (timing chain)..Dan disini saya tidak bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar dari agan-agan sekalian hanya berharap semoga ada yang bisa mengambil manfaat terutama bagi mekanik-mekanik pemula. Kasus ini sudah beberapa kali saya dapatkan setelah beberapa rekan-rekan mekanik meminta pertolongan untuk mencari titik permasalahan kenapa mesin tidak bisa hidup. Seperti biasa sebelum kita melangkah ke step yang lebih jauh, sebaiknya kita harus mengembalikan pola analisa kita kedasar, dimana kita harus memulai dari langkah-langkah yang paling sederhana yaitu bahwa mesin akan bekerja apabila terpenuhinya tiga syarat utama berikut ini : Kompresi yang tinggi (sesuai standar) Loncatan bunga api Busi yang kuat (Mesin Bensin) Perbandingan campuran Udara dan bahan bakar yang tepat Dalam mas...

Tikam Samurai (53)

Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar. “Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu. Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur. “Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya. “Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu. “Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mere...