Saat itu Datuk Penghulu naik lagi dia
bersama dengan seorang imam yang ditemuinya surau ketika akan sembahyang Ashar.
Mereka mendekat kepada kedua anak muda itu. Mata Mei-mei terpejam.
“Mei-mei. …. .dengarlah. Ini pak Imam. Kita
akan menikah disini. . .”
Si Bungsu berkata perlahan ke telinga
gadis itu. Mei-mei tersenyum sebelum matanya terbuka. Senyumnya senyum lelah.
Senyumnya senyum yang amat letih dan kalah. Dimatanya tergenang manik-manik air
yang lambat-lambat meleleh turun.
“Benarkah . . .benarkah Uda mau mengambil
saya jadi istri? Setulus hati menikahi anak cina yang sepanjang hidupnya
dilumuri dosa ini? Benarkah uda. . . .?”
“Demi Allah yang kusembah, aku
mencintaimu sayang. . . .”
“Uda . .. saya bahagia. . .engkau menjadi
suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. . .”
Mata gadis itu terpejam. Si Bungsu
menoleh pada Imam dan Datuk Penghulu, kemudian mengangguk. Imam itu
mengingsutkan duduknya.
“Jawab pertanyaan saya ini anak muda.
Apakah engkau bersedia menerima Mei-mei menjadi istrimu, menjaga dan membelanya
dalam sakit dan senang. Akan membahagiakannya dan tidak akan berbuat aniaya
padanya. . . .?”
“Saya menerimanya dengan setulus hati
saya.” Jawab si Bungsu.
Imam itu menoleh Mei-mei. Kemudian
berkata :
“Apakah engkau bersedia menerima pemuda
ini menjadi suamimu dan berjanji akan mengabdikan dirimu padanya, dalam sakit
dan senang dan akan tabah menerima setiap cobaan?” Gadis itu tak menjawab.
Matanya masih terpejam. Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
“Jawablah sayang..” Mei-mei tak menjawab.
“Jawablah dengan mengangguk kalau engkau
setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju..”
Imam itu berkata perlahan. Namun Mei-mei
tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu berdetak hatinya.
Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
“Innalillahi wa Inalillahi rojiun”,
desisnya perlahan.
Si Bungsu terpana. Terpaku. Kemudian
suaranya seperti berbisik-bisik memanggil nama Mei-mei.
“Mei-mei….. Mei-mei…”
Tapi gadis itu memang sudah berpulang ke
Khaliknya. Seulas senyum masih membayang di bibirnya. Datuk Penghulu menghapus
air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapapun jua, dia sangat
menyayangi gadis ini. Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya. Yang
sepermainan dan sayang menyayangi dengan si Upik anaknya.
Malam tadi si Upik meninggal. Dia
berharap Mei-mei lah tempat dia mencurahkan saying, pengganti anaknya. Ada
sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Mei-mei. Dia akan
mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain
dari rencana yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu
masih termenung. Menatap wajah gadis itu. seperti masih terngiang di telinganya
ucapan Mei-mei yang terakhir :
“Uda saya… bahagia engkau suamiku.. dan
aku mengabdikan diriku menjadi istrimu,”
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad
nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan memanggilnya. Kiranya Tuhan
pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tiba-tiba
si Bungsu berdiri.
“Jepang jahanam. Kubunuh kalian. Demi
Allah, saya akan membunuh kalian sebanyak yang bisa saya lakukan”
Habis berkata dia menyambar samurainya
yang terletak di lantai. Kemudian bergegas turun. Namun Datuk Penghulu mencegahnya.
“Jangan memperlihatkan diri saat ini
Buyung.
Dijalanan berkeliaran ratusan serdadu
Jepang..”
“Persetan . .saya akan membunuh mereka…”
Dia berbalik untuk turun. Tapi saat itu
pula tangan Datuk Penghulu menghantam tengkuknya. Anak muda itu terkulai, dia
berusaha memutar wajah menatap Datuk Penghulu, sinar matanya memancarkan rasa
sakit dan heran, kenapa Datuk itu sampai berbuat demikian. Kemudian dia jatuh
pingsan. Imam yang ada di sana itu juga menatap heran bercampur terkejut atas
sikap Datuk Penghulu.
“Kenapa Datuk pukul dia?”
Datuk Penghulu menarik nafas panjang
sebelum menjawab.
“Sudah terlalu banyak saya kehilangan Pak
Imam. Malam tadi anak dan istri saya. Sebentar ini gadis ini pula. Gadis yang
telah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kini, kalau saya biarkan dia
mengamuk diluar sana, mungkin dia akan bisa membunuh sepuluh atau dua puluh
Jepang dengan kemahirannya mempergunakan samurai. Tapi setelah itu, betapapun
jua peluru jauh lebih unggul dan lebih ampuh dari samurai di tangannnya. Bagaimana
hebatnya sekalipun, Saya tak mau kehilangan dirinya. Dia sudah banyak berjasa
pada bangsanya. Telah banyak membunuh Jepang yang merampok dan memperkosa
rakyat. Meskipun dia tak menyadari jasanya itu, karena dia berbuat itu hanya
untuk membela diri dan membalaskan dendam keluarganya. Tapi Indonesia banyak
berhutang padanya. Saya tak mau dia mati terlalu cepat. Masih banyak hal-hal
besar yang bisa dia lakukan daripada harus mati cepat-cepat dia pelindung orang
yang lemah…”
Imam itu terdiam mendengarkan keterangan
Datuk penghulu. Kemudian menoleh pada mayat Mei-mei.
“Kasihan gadis ini.. dia meninggal
sebelum sempat merasakan kebahagiaan,” Kata Imam itu perlahan.
“Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia. Yaitu di saat dia merawat si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta, maut datang menjemput Mei-mei.”
Mayat Mei-mei kelihatan tetap cantik, meski wajahnya pucat. Senyum tipisnya seakan berkata bahwa dia rela pergi setelah mengetahui bahwa si Bungsu juga mencintainya. Sementara si Bungsu terbaring sehasta di sampingnya.
“Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia. Yaitu di saat dia merawat si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta, maut datang menjemput Mei-mei.”
Mayat Mei-mei kelihatan tetap cantik, meski wajahnya pucat. Senyum tipisnya seakan berkata bahwa dia rela pergi setelah mengetahui bahwa si Bungsu juga mencintainya. Sementara si Bungsu terbaring sehasta di sampingnya.
“Bila kita kuburkan mayat Mei-mei..?” Imam
itu bertanya perlahan.
“Kalau tak ada patroli, nanti malam kita
kebumikan.” jawab si Datuk.
“Tapi siapa yang akan memandikan
jenazahnya?”
“Pak Imam tolonglah memanggil beberapa
penduduk sekitar sini. Tek Munah, Tek Niar dan Amai Zainab. Katakan pada mereka
apa yang telah terjadi. Minta mereka untuk datang seperti Sholat berkaum malam
nanti kemari. Bawakan juga kain kapan dan bunga rampai. juga tolong katakan
pada Pak Bidin dan PakTamam untuk datang membantu menggali pusara…”
“Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?”
“Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?”
“Jika itu terjadi, hanya ada dua
kemungkinan pak Imam. Membunuh atau dibunuh. Hanya berusahalah untuk tidak
menimbulkan kecurigaan ..”
“Ya.Ya.
Saya akan berhati-hati. . lebih baik saya turun sekarang. . .”
“Ya. Saya rasa juga begitu. Kalau kemari
nanti tolong bawakan makanan.”
“Ya. Akan saya bawakan. Tunggulah disini.
. ..”
Imam itu bergerak turun. Pada saat yang
sama, si Bungsu
mulai sadar diri. Dia masih merasakan kepalanya berdenyut bekas dihantam Datuk
Penghulu. Sebenarnya dia sudah sadar agak lama. Hanya saja dia tak bisa
menggerakkan tubuhnya. Dia mendengar pembicaraan terakhir antara Datuk Penghulu
dengan Imam itu. Ketika dia bangkit, dia terpandang pada mayat Mei-mei.
Kemudian dia memandang pada Datuk Penghulu.
“Maafkan saya buyung. Mei-mei berkata benar. Bukankah dia berpesan padamu, agar engkau tak mencari si Atto, tidak lagi melibatkan diri dalam perkelahian? Dia menginginkan keselamatanmu. Dan dia mengharapkan itu dikala ajalnya akan datang. Tak ada salahnya engkau menuruti pesan orang yang akan meninggal dunia, apalagi orang yang amat mencintai dirimu…”
“Maafkan saya buyung. Mei-mei berkata benar. Bukankah dia berpesan padamu, agar engkau tak mencari si Atto, tidak lagi melibatkan diri dalam perkelahian? Dia menginginkan keselamatanmu. Dan dia mengharapkan itu dikala ajalnya akan datang. Tak ada salahnya engkau menuruti pesan orang yang akan meninggal dunia, apalagi orang yang amat mencintai dirimu…”
Si Bungsu menarik nafas. Lalu duduk
disisi mayat Mei-mei. Manatap wajah mayat itu diam-diam. Datuk Penghulu
memperhatikan dengan sudut mata.
“Secara hakikat, kalian telah menjadi
suami isteri.”
Datuk Penghulu berkata perlahan. Si
Bungsu menoleh padanya.
“Ya. Kalian telah sama-sama berikrar
untuk jadi suami isteri. Ikrar yang suci dan ikhlas itu saja sudah merupakan
suatu ikatan. Meskipun belum disahkan oleh kadi dan tak ada saksi. Namun pada
mulanya, dahulu kala lembaga pernikahan belum ada. Dia hanya ada setelah Islam
atau agama dikenal manusia. Sebelum agama turun ke muka bumi, sebelum lembaga
pernikahan seperti sekarang dikenal manusia, maka pernikahan dilangsungkan
secara apa adanya, sementara yang jadi saksi bisa manusia, bisa pula tak ada
saksi. Tetapi yang jadi kadinya secara hakikat adalah Tuhan”
Si Bungsu masih tetap diam mendengar
ucapan Datuk Penghulu ini. Sementara itu, di luar hari merangkak memasuki
malam. Di langit guruh terdengar menderam-deram. Angin bersuit-suit. Tanpa
mereka sadari, Imam yang tadi akan menikahkan si Bungsu dan Mei-mei sudah cukup
lama berlalu.
Adalah si Bungsu yang pertama menegakkan
kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau, dalam kesepian yang
kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa
aman dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab
dengan demikian Jepang yang mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan
mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Mei-mei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan
diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak demikian halnya
dengan si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam
kesunyian di loteng surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa
mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup lebih dari setahun bersama
binatang-binatang buas di belantara Gunung
Sago, kini mencium bahaya adanya yang tersembunyi.
“Ada apa?” Datuk Penghulu bertanya melihat perobahan air muka anak muda itu.
“Ada apa?” Datuk Penghulu bertanya melihat perobahan air muka anak muda itu.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia masih
tetap duduk di dekat mayat Mei-mei. Namun matanya berkilat aneh. Wajahnya jadi
tegang.
“Kita terperangkap. . . .,” katanya
perlahan.
Datuk Penghulu menegakkan kepala.
“Perangkap ?” desisnya sambil coba
menangkap suara-suara yang menyelingi suitan angin dan gemuruh guruh di luar
surau.
Namun dia tak menangkap suara apa-apa.
Tapi dia percaya pada anak muda ini. Dia sudah beberapa kali membuktikan bahwa
indera dan naluri anak muda didepannya itu amat tajam. Datuk itu segera
teringat pada Imam yang turun tadi. Apakah Imam itu mengkhianati mereka?
Ternyata Jepang itu memang mengetahui persembunyian mereka dari Imam tersebut.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu
naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama jadi mata-mata Jepang,
melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada
tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu
muncul di rumahnya, dia jadi terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul
dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh enam orang Serdadu Jepang
dengan bedil dan bayonet terhunus.
“Nah, kini katakan cepat siapa yang ada
di surau itu pak imam.?”
Letnan Jepang itu segera saja buka suara
begitu dia masuk. Imam itu jadi pucat. Namun rasa nasionalnya yang tebal
menolak untuk membuka rahasia.
“Tak ada siapa-siapa. Di sana hanya seorang
perempuan yang akan sembahyang…”
“Apakah tak ada orang lain?”
“Tak ada. Boleh lihat kesana.”
Imam itu berkata pasti. Sebab dia tahu,
loteng surau itu dari bawah kelihatannya hanya terbuat dari bambu. Padahal
loteng itu berlapis dua. Bahagian atasnya terbuat dari papan. Garin serta
penjaga mesjid lainnya tidur disana. Jalan naik ke atas berada di bahagian
belakang, tersembunyi dari pandangan orang.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan,
tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di pipi si Imam.
Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya
berdarah. Istri dan anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap
dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang tersebut.
“Jahanam. Kalian takkan selamat di tangan
negeri ini . . .” desisnya.
Letnan itu menggerakkan kaki. Ujung
sepatunya yang keras mendarat di dagu Imam tersebut. Kembali Imam ini
terpelanting. Kali ini giginya copot beberapa buah. Istrinya memburu dan
memeluknya. Ketika anak gadisnya juga mendekat. Letnan itu menyambar tangannya.
Gadis itu terpekik dan meronta. Tapi Letnan itu merenggut pakaiannya hingga
robek.
“Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya. Kalau tidak, anakmu ini akan kubawa ke kamar ..”
“Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya. Kalau tidak, anakmu ini akan kubawa ke kamar ..”
Ujar Letnan itu menyeringai. Imam itu
melompat bangkit ingin menghantam letnan tersebut. Tapi sebuah tendangan
kembali membuat dia terjajar.
“Hmm Baik. Kalau kau tak mau buka suara,
saya akan menikmati anakmu ini.”
Si Letnan lalu menyeret gadis berusia
enam belas tahun itu ke bilik, Akhirnya Imam itu tak bisa berbuat lain dari
pada harus mengaku. Dia berharap agar kedua orang yang ada di loteng surau itu
menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Dia berharap agar kedua mereka segera
turun dan melarikan diri. Dia terpaksa mengakui bahwa kedua buronan yang di cari
Jepang itu berada di loteng surau itu. Jalan ini benar-benar dia lakukan dengan
sangat terpaksa. Orang tua mana yang tak menginginkan keselamatan anaknya?
Si Letnan memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam yang ada di rumah ini.
Si Letnan memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam yang ada di rumah ini.
Kedelapan Kempetai itu segera menuju ke
surau tersebut. Kedatangan mereka inilah yang dapat dirasakan oleh naluri si
Bungsu.
“Kita harus meninggalkan surau ini. . . .
.,” kata Datuk Penghulu.
“Tapi bagaimana dengan Mei-mei.” ujar si
Bungsu. Datuk Penghulu menarik nafas.
“Terpaksa kita tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat. . . .”
“Terpaksa kita tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat. . . .”
Si Bungsu menatap pada mayat Mei-mei.
Tanpa dapat dia tahan, air matanya mengenang di pelupuk matanya.
“Semasa hidupmu, kita jarang bersama.
Ketika engkau meninggal pun, aku terpaksa meninggalkan jasadmu. Kita memang
orang-orang yang bernasib malang Mei-mei. Kudoakan semoga engkau bahagia
ditempatmu yang baru. Jika di dunia jasadmu menderita, semoga Tuhan menempatkan
rohmu di tempat yang bahagia. Dan aku yakin, Tuhan akan menempatkanmu disana. .
. Selamat tinggal sayang. . . .”
Dia menunduk. mencium kening mayat yang
mulai mendingin itu. Kemudian dengan mengeraskan hatinya, dia tegak.
“Kita berangkat. . .,” katanya pada Datuk
Penghulu. Datuk Penghulu sendiri merasakan matanya basah melihat kedua anak
muda ini.
“Mei-mei anakku, maafkan kami tak bisa
menyelenggarakan jenazahmu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kami benar-benar
menyayangimu. Tinggallah nak. . . ,” Ujarnya perlahan.
Kemudian mereka mulai menuruni jenjang
yang menuju ke belakang surau. Gerimis menyambut mereka begitu menjejakkan kaki
di tanah.
“Mereka sudah dekat. .” si Bungsu
berbisik.
Datuk Penghulu bergegas membawa si Bungsu
ke dekat sebuah tebat di belakang surau. Dia hapal betul dengan situasi surau
ini. Sebab dia termasuk salah seorang yang membuat surau itu. Derap sepatu
Kempetai terdengar memasuki surau ketika Datuk tersebut mulai memasuki tebat.
“Masuklah . . . .”, katanya pada si
Bungsu.
Si Bungsu tak banyak tanya. Dia segera
masuk. Tebat itu cukup dalam. Mereka bisa menyelam. Di arah batang pisang itu,
di bawahnya ada terowongan yang tembus ke sungai kecil di balik hutan bambu
sana.
“Kita akan keluar persis di belakang
rumah Imam tadi. Kita bisa menyelami terowongan itu. cukup lama, salah-salah
bisa kehabisan nafas sebelum sampai ke sungai belakang bambu itu. Dan jika kita
sampai kehabisan nafas, maka mayat kita akan tersangkut dalam terowongan. Ayo
mulai menyelam. . . .”
Bersambung ke.... Tikam Samurai (19)
Komentar
Posting Komentar