Datuk itu memang mulai membenamkan diri.
Saat itu seorang Kempetai telah sampai ke loteng dan berteriak pada temannya di
bawah. Jepang-Jepang itu mulai mencari ke belakang surau. Sesaat sebelum mereka
muncul, si Bungsu telah membenamkan diri dan mulai menuju terowongan yang di
maksud Datuk Penghulu.
Terowongan air itu melintasi sebuah
tanggul sebelum sampai ke sebuah sungai kecil. cukup lama si Bungsu menahan
nafas dan berenang mengikuti arus air, kemudian dia merasa melayang-layang. Dia
menjangkau tangannya ke atas. Ketika dirasanya tak ada langit-langit yang
menghalangi, dia lalu muncul.
“Lekaslah ….” Ujar Datuk Penghulu yang
telah tegak di tebing, dan mulai melangkah.
“Yang kelihatan lampu sedikit itu rumah
Imam tadi,”
Datuk Penghulu berkata sambil menunjuk ke
belakang. Di rumah Imam itu Letnan yang tadi memegang anak gadis si Imam masih
duduk di kursi. Sementara di lantai, duduk Imam yang berlumuran darah itu
bersama-sama istrinya. Di luar hujan gerimisan turun. Mata Letnan itu menyambar
dengan kilatan birahi ke tubuh anak Imam itu. Gadis itu punggungnya kelihatan
jelas karena bajunya robek. Letnan itu beberapa kali menelan ludahnya. Pinggul
gadis itu merangsang birahinya. Dan tiba-tiba dia memberi isyarat pada seorang
prajurit yang menjaga. Prajurit itu mendekat. Mereka berbisik. Kemudian si
Letnan bangkit. Dan menyambar tangan gadis itu.
“Tuan telah berjanji tidak mengganggu
kami. . . . “, Imam itu berkata.
Tapi Letnan itu nyengir seperti iblis.
Dia tetap menarik tangan gadis yang meronta-ront a itu. Tapi apalah dayanya.
Letnan itu terlalu kuat baginya. Dalam dua kali renggut dia sudah sampai ke
pintu bilik. Gadis ini berteriak. Ayahnya bangkit akan menolong anaknya. Tapi
ketiga prajurit lainnya sudah siap sejak tadi. Dengan sebuah pukulan popor
bedil Imam itu terkulai. Istrinya terpekik memeluknya. Sementara gadis itu
dengan masih memekik-mekik di seret ke bilik orang tuanya. Dua puluh depa dari
rumah itu, si Bungsu dan datuk Penghulu yang baru saja keluar dari sungai,
telah melangkahkan kaki untuk memulai pelarian mereka, jadi tertegun. Mereka
seperti mendengar pekik perempuan.
Pekik itu juga terdengar oleh beberapa
penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah Datuk Penghulu. Namun tak
seorang pun diantara para lelaki yang ada disekitar itu yang berani memberikan
pertolongan. Mereka semua mengetahui bahwa di rumah Datuk itu ada Kempetai. Dan
bila ada perempuan memekik, itu bisa disadari apa artinya.
Tak ada yang berani menolong. Sebab
pertolongan berarti melawan Jepang. Dan melawan Jepang artinya cabut kuku atau
dibunuh. Nah, dari pada mencari susah lebih baik diam di rumah. Itu lebih
selamat. ‘Bikin apa cari penyakit,’ pikir mereka.
Tapi tak demikian halnya dengan si Bungsu dan Datuk Penghulu. Hampir
bersamaan, mereka yang sedianya akan melarikan diri itu, pada mengayunkan
langkah panjang ke ruamh Imam tersebut. Mereka sadar, jika mereka kelihatan oleh
Jepang, itu artinya maut mengintai. Tapi menyadari bahwa ada orang lain yang
butuh pertolongan, mereka melupakan bahaya yang mengancam diri mereka sendiri.
Mereka segera mancapai belukar di pinggir rumah itu. Pekik dan tangis masih
terdengar dari dalam.
“Ada tiga orang diluar” si Bungsu
berbisik.
Lalu seperti sudah bermufakat, tiba-tiba
saja mereka meloncat ke depan. Ketiga Serdadu Jepang yang tegak di bawah
cucuran atap itu, yang berteduh dari gerimis, terkejut melihat kehadiran mereka
yang amat tiba-tiba. Yang seorang berniat membentak, tapi suaranya hanya sampai
di tenggorokan. Kerampangnya kena tendang Datuk Penghulu. Kemudian sebuah tinju
mendarat di jantungnya. Dia terjajar, mati.
Yang dua lagi mengangkat bedil. Namun
bedil itu tak pernah meletus. Sebuah sinar halus melesat amat cepat. Dan
tahu-tahu yang satu lehernya hampir putus, yang satu lagi dadanya terburai.
Mereka mati tanpa sempat mengeluh. Dan tak sempat pula mengetahui, apa yang
menjadi malaikat maut yang merenggut nyawa mereka demikian cepatnya. Dan si
Bungsu menyisipkan kembali samurainya.
Datuk Penghulu memberi isyarat. Si Bungsu
mengangguk. Di dalam bilik si Letnan tadi sudah merenggut seluruh pakaian anak
gadis Imam itu. Gadis malang itu tegak di sudut ruangan dengan tubuh menggigil
tanpa pakaian secabikpun. Kempetai itu menjilat bibir dan meneguk liurnya
beberapa kali melihat tubuh montok gadis itu.
“Hhhhh, bagusy badan . . .bagusy badaaaan
. . . .,” katanya seperti orang menggigil.
Dan dalam gigilannya itu dia membuka pula
pakaiannya sendiri. Kemudian mendekat pada si gadis. Gadis itu tak kuasa lagi
memekik. Dia menutupi wajahnya. Dan tiba-tiba dia terkulai pingsan saking ngeri
dan malunya. Tubuhnya yang terkulai cepat disambut oleh Jepang itu. Kemudian
menghempaskannya ke pembaringan. Saat itulah jendela kamar itu pecah di hantam
dari luar. Seiring dengan masuknya papan pecahan jendela, sesosok tubuh
berpakaian serba hitam tiba-tiba saja sudah tegak dalam kamar itu. Dia adalah
Datuk Penghulu yang masuk dengan meloncat menerjang jendela kamar Kempetai itu
tertegun. Tapi itulah tegunnya yang terakhir. Itulah kesempatan baginya untuk
tertegun semasa hidupnya, sebab setelah itu dengan penuh kebencian pukulan
Datuk Penghulu menghujam ke arah jantungnya. Dia berusaha untuk mengelak dengan
mempergunakan tangkisan karate. Namun Datuk itu sudah sampai ke puncak
berangnya. Begitu tangannya ditangkis, tangan yang menangkis itu dia tangkap.
Kemudian dengan sebuah pelintiran yang
telak, tubuh Jepang itu terjerembab ke tanah. Saat berikutnya, dengan masih
memegang tangan kanan Jepang itu, kaki Datuk Penghulu menghujam ke bawah.
Hujaman pertama membuat tulang leher Jepang itu berderak. Kemudian hentakkan
kedua adalah hentakkan tumit ke hulu hati. Jantung dan hati Jepang itu pecah
oleh jurus Hentak Alu yang dipergunakan oleh Datuk tadi.
Pada saat Datuk itu menjebol jendela,
saat itu pula si Bungsu membuka pintu depan. Kemudian dia berdiri dua depa dari
ketiga Jepang yang mengawasi imam dan istrinya itu. Semula mereka tak acuh.
Menyangka bahwa yang hadir itu adalah temannya yang tadi keluar. Tapi begitu
mendengar jendela dijebol, mereka terkejut. Dan ketika diperhatikan, ternyata
yang tegak dekat pintu adalah pemuda yang mereka cari-cari.
“Bagero ini dia. Dia iniiiiii..!!” yang
seorang memekik saking kagetnya.
Serentak mereka mengangkat bedil. Tiga
letusan bergema mengoyak kesunyian. Tapi saat si Bungsu sudah mempergunakan
loncat tupainya yang tangguh itu. Tubuhnya bergulingan ke depan sesaat sebelum
ketiga bedil itu menyalak. Dalam saat seperti itu, tak ada kalimat yang bisa
menggambarkan kecepatan anak muda itu mempergunakan samurainya yang tangguh
itu. Dia mempergunakannya tak tanggung-tanggung. Dia baru saja kematian
kekasih. Gadis cina
yang dicintainya sepenuh hati. Mati karena ditembak dan diperkosa Jepang malam
kemaren. Gadis itu meninggal di depannya hanya beberapa detik sebelum mereka
mengucapkan ijab kabul di depan kadi Karenanya, dalam berang dan dendamnya yang
amat sangat menyala-nyala, dia menebaskan samurai di tangannya dengan tak
tanggung-tanggung pula. Hanya sekali tabas, ketiga kepala Kempetai itu putus
Sebelum ketiga tubuh mereka jatuh memecah lantai, sekali lagi samurai di tangan
anak muda itu bekerja. Tubuh mereka terpotong dua persis di tentang dada.
“Bungsu Jangan menganiaya mayat”
Suara Datuk Penghulu yang telah tegak di
pintu bilik menyadarkan anak muda ini dari gejolak dendam dan amarahnya. Dia
tertegun, wajahnya yang semula tegang menakutkan dengan sinar mata berkilat,
lambat-lambat biasa kembali. Dia menatap kepala dan potongan tubuh serta darah
yang berceceran di lantai. Kemudian menunduk. Kemudian lambat-lambat
menyarungkan kembali samurainya.
Istri imam itu dan anak gadisnya yang
kecil terdiam. imam itu yang lambat-lambat menyadari apa yang terjadi, juga tak
bisa bicara. Mereka sudah lama mengenal anak muda ini. Karena dia selalu
bepergian dengan Datuk Penghulu. Ada orang yang berbisik-bisik, bahwa anak muda
ini sangat mahir memakai samurai. Dan konon kabarnya sudah puluhan Jepang dia
bunuh ketika masih di Payakumbuh.
Namun itu hanya mereka dengar dari
bisik-bisik. Bahkan ketika malam tadi banyak Jepang yang mati di bekas rumah
Datuk Penghulu, kemudian ditemukan pula mayat yang berkeping-keping bersama
ledakan di truk dekat jalan, banyak orang yang menduga itu adalah pembalasan
Datuk Penghulu dan si Bungsu. Tapi mereka belum juga percaya, bahwa anak muda
yang pendiam dengan wajah dan sinar mata murung ini adalah seorang perkasa
begini.
Kini, ketika hal itu berlangsung di
hadapan mereka, mereka bukan hanya ternganga tak percaya. Tapi lebih dari itu,
mereka merasa kejadian ini terlalu hebat dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang
amat luar biasa. Sesuatu yang tak pernah mereka impikan akan bertemu dalam
kehidupan mereka. Seorang anak minang, pribumi yang terjajah, yang selalu
ditekan dan dianggap sampah, kini di hadapan mereka menghajar Jepang- Jepang
yang laknat itu. Tidak hanya sekedar menghajar. Melainkan melakukan pembalasan
yang luar biasa.
Tak pernah terbayangkan. Tak pernah
terfikirkan. Istri imam itu bangkit menuju kamar, melihat anak gadisnya yang
sudah diselimuti dengan kain panjang. Sementara di lantai terbujur mayat Letnan
yang tadi akan melaknati tubuh anaknya itu.
“Anakmu selamat pak imam. . . .” Datuk
Penghulu berkata perlahan. imam itu tiba-tiba bangkit. Dia teringat sesuatu.
“Di luar masih ada tiga orang Kempetai
lagi. . . . ,”katanya perlahan dengan wajah cemas.
“Jangan khawatir, mereka telah
diselesaikan. . .” Imam itu menarik nafas. Kemudian perlahan dia berkata.
“Maafkan saya Datuk. Bungsu. Saya telah
mengkhianati kalian, sayalah yang mengatakan pada mereka tempat persembunyian
kalian ……”
“Jangan dipikirkan pak Imam. Pak Imam tak
pernah mengkhianati kami. Kami dapat menerka apa yang terjadi. Mereka pasti
sudah di rumah ini ketika pak Imam baru keluar dari surau itu. Dan peristiwa
selanjutnya dapat diterka. Mereka memaksa Pak Imam untuk membuka rahasia, kalau
tidak anak istri pak Imam akan mereka nodai. Kami bisa menerka hal itu, karena
memang demikian watak tentara pendudukan, dimanapun. Nah, kini kami harus
pergi. Saya rasa pak Imam tak usah takut, nantikan saja Kempetai yang ke surau
itu disini. Kalau mereka kembali, katakan kami yang membantai teman-teman
mereka. Dan katakan bahwa kami juga mencari mereka. . . ..”
“Tapi . . . .apakah mereka takkan
mempersusah kami.. . .?”
“Mereka akan sibuk mencari yang membunuh
tentara mereka daripada sekedar mempersusah Bapak..”
Ujar si Bungsu sambil mengangguk pada
imam itu, kemudian pada istrinya. Dan ketika akan melangkah dia teringat
sesuatu.
“Pak imam, mayat Mei-mei kami tinggalkan
di surau. Kalau tidak akan menyusahkan Bapak. mohon Bapak selenggarakan mayat
itu. Kami harus segera berlalu dari sini. . . .”
“Saya akan mengurusnya Bungsu. Saya akan
mengurusnya. Percayalah. Terima kasih atas bantuanmu menyelamatkan keluarga
saya. . ..”
Kedua orang itu segera lenyap ke dalam
hujan yang telah menggantikan gerimis. Tak lama setelah mereka pergi, kedelapan
Serdadu Jepang yang dikirim untuk menangkap mereka di surau itu juga tiba di
sana. Mereka menjadi menggigil melihat tubuh teman-teman mereka kena cencang.
Mereka segera melaporkan ke markas. Kemudian imam itu serta anak istrinya juga
di bawa ke markas besar Jepang di Panorama. Untung bagi imam ini, di markas itu
dia ditanya langsung oleh syo-sho (Mayor Jenderal) Fujiyama Tai cho (Komandan
Divisi) dan Panglima Tertinggi pasukan Jepang di sumatera. Dia baru saja naik
pangkat dari Tai Sha (Kolonel) ke Mayor Jenderal.
Imam itu beruntung karena Fujiyama
terkenal sebagai tentara sejati. Dialah yang telah menekan Syo Sha (Mayor)
Saburo Matsuyama untuk pensiun karena telah membunuh banyak pribumi di Situjuh
Ladang Laweh, diantaranya orang tua si Bungsu. Dan setelah Saburo meminta
pensiun dalam usia yang belum pantas untuk pensiun, Fujiyama kembali menekannya
untuk kembali ke Jepang. Fujiyama tak senang pada tentara yang menindas rakyat.
Dia datang memang untuk menjajah. Tetapi penajajahan dalam arti kemiliteran
yang dianut Fujiyama adalah penjajahan di bidang politik, ekonomi dan
pertahanan. Menurut doktrin tentara, rakyat negara yang terjajah, tetap saja
sebagai manusia yang harus dihormati. Kalau ada permusuhan, maka yang
bermusuhan adalah tentara dan pemimpin kedua negara. Bukan tentara dengan
rakyat. Kecuali rakyat yang mengorganisir perlawanan. Kalau hanya rakyat biasa,
maka hak mereka harus dihormati. Inilah perbedaan yang sangat menyolok antara
komandan divisi yang berkedudukan di Bukitinggi ini dengan sebagian besar
perwiranya.
Kini dialah yang menanyai langsung Imam
itu. Imam itu menceritakan seluruh peristiwa itu. Dimulai dari dimintanya dia
untuk menikahkan Mei-mei dengan si Bungsu. Kemudian diceritakannya pula bahwa
gadis itu meninggal sesaat sebelum membacakan ijab kabul.
“Kenapa dia meninggal. . . ?” Fujiyama
memotong.
“Ditembak dan diperkosa bergantian oleh…”
Ucapan Imam itu berhenti, dia tak berani melanjutkan bicaranya.
“Siapa yang menembak dan memperkosanya.
Katakan, jangan takut. . . .”
“Kabarnya. . . .kabarnya anggota pasukan
tuan yang datang ke rumah Datuk Penghulu itu untuk menangkap Datuk itu. Tapi
yang mereka temui hanyalah isteri Datuk itu, si Upik anaknya dan Mei-mei. . ..”
“Siapa itu Mei-mei . . . ?”
“Gadis yang akan menikah dengan si Bungsu
itu. . .”
“Namanya seperti nama cina. ..”
“Benar. Dia memang anak cina. Tapi dia
telah masuk Islam. Hidupnya penuh penderitaan. Dia ditolong oleh si Bungsu dan
diakui anak oleh Datuk Penghulu….”
Fujiyama mengangguk-angguk. “Teruskan
ceritamu pak Imam. . ..”
Bersambung ke.... Tikam Samurai (20)
Komentar
Posting Komentar