“Setelah Mei-mei meninggal, saya diminta
Datuk mencari orang untuk menguburkannya. Tapi di rumah saya, telah menanti
enam orang serdadu tuan. Saya disiksa untuk mengatakan dimana kedua orang itu
bersembunyi. Ketika saya tak mau mengatakan, anak saya akan diperkosa. Akhirnya
saya katakan juga bahwa kedua orang itu bersembunyi di loteng surau. Saya
katakan setelah Letnan itu berjanji takkan mengganggu anak dan isteri saya.
Tapi begitu anak buahnya pergi ke surau itu, dia menendang saya hingga rubuh
kemudian menyeret anak saya ke kamar. Dan . . .saya tak tahu lagi sampai si
Bungsu dan Datuk itu membunuh mereka semua. . . .”
Komandan tertinggi balatentara Jepang itu
menjadi merah mukanya. Dia memanggil komandan Intelejen. Kemudian memerintahkan
untuk membebaskan Imam anak beranak. Diiringi dengan perintah untuk jangan
mengganggu Imam itu. Dan dengan marah pula dia memerintahkan untuk menangkap
komandan Kempetai
kota itu. Komandan Kempetai itu
berpangkat syo sha (Mayor) bernama Akiwara.
“Telah saya katakan bahwa engkau harus mengawasi dengan ketat tingkah laku tentara Jepang yang ada di kota ini. Tentara tidak untuk ditakuti rakyat. Tentara harus dihormati dan disegani. Dan rakyat tak akan menyegani dan menghormati tentara kalau tentara itu sendiri kelakuannya tidak terhormat. Saya sudah mendapat laporan tentang banyak perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tentara dalam wilayah Garnizun yang engkau bawahi. Bahkan Kempetai sendiri yang seharusnya menjaga disiplin itu, berkelakuan demikian pula. Dan saya mendengar pula tentang banyaknya korban jatuh dipihak tentara Jepang karena tak mampu menangkap hanya dua orang penduduk pribumi. Untuk itu semua, engkau saya penjarakan enam bulan, dan kedudukanmu digantikan oleh Tai-i (Kapten) Imamura dari Padang Panjang”
“Telah saya katakan bahwa engkau harus mengawasi dengan ketat tingkah laku tentara Jepang yang ada di kota ini. Tentara tidak untuk ditakuti rakyat. Tentara harus dihormati dan disegani. Dan rakyat tak akan menyegani dan menghormati tentara kalau tentara itu sendiri kelakuannya tidak terhormat. Saya sudah mendapat laporan tentang banyak perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tentara dalam wilayah Garnizun yang engkau bawahi. Bahkan Kempetai sendiri yang seharusnya menjaga disiplin itu, berkelakuan demikian pula. Dan saya mendengar pula tentang banyaknya korban jatuh dipihak tentara Jepang karena tak mampu menangkap hanya dua orang penduduk pribumi. Untuk itu semua, engkau saya penjarakan enam bulan, dan kedudukanmu digantikan oleh Tai-i (Kapten) Imamura dari Padang Panjang”
Tak ada kata yang bisa di ucapkan oleh
Syo Sha Akiwara mendengar putusan komandan tertingginya itu. Dia hanya tegak
dengan sikap sempurna. Kemudian di akhir perintah komandannya itu dia
membungkuk dan berseru “Haik”. Namun akhirnya, Mayor Jenderal Fujiyama itu
tersingkir juga dari jabatannya sebagai komandan Tertinggi Balatentara
Kekaisaran Jepang di Sumatera.
Disiplin dan Hati Bersih dalam ketentaraan
yang dia anut, yaitu sikap yang dia terima tatkala mula pertama balatentara
Kekaisaran Tenno Heika didirikan, bersumber pada ajaran-ajaran Budha, dianggap
tak cocok untuk tentara pendudukan. Tak cocok bagi kebanyakan perwira-perwira
bawahannya.
Memang ada beberapa perwira tinggi yang
sependapat dengan dia. Tetapi sebagaimana jamaknya dalam tubuh ketentaraan,
perwira-perwira senior selalu dianggap makin lama makin tak mengikuti jaman.
Tak mengikuti perkembangan dan tak sesuai lagi untuk hal-hal yang praktis.
Dengan segala cara mereka disingkirkan. Dengan halus maupun kasar. Itulah yang
dialami olehJenderal Fujiyama. Namun satu hal yang pasti, dia dianggap sebagai
prototip tentara sejati. Yang melandaskan setiap tindakan pada sikap satria.
Si Bungsu dan Datuk Penghulu lenyap tak
berbekas. Meski Komandan Kempetai untuk Garnizun
Bukittinggi ditahan dan dicopot, namun Fujiyama tetap memerintahkan
untuk mencari dan menangkap kedua orang pelarian itu. Mata-mata disebar. Tidak
hanya mata-mata dari kalangan militer Jepang. juga mata-mata dari kalangan
pribumi yang bersedia bekerja untuk fasis tersebut. Perintah itu telah membuat
penjagaan diperketat dimana-mana. Dan itu menyebabkan beberapa rencana yang
telah disusun oleh para pejuang bawah tanah Indonesia jadi berobah. Dirobah
sebab kewaspadaan yang sangat ditingkatkan oleh Jepang.
Hal ini membuat beberapa pemimpin
perjuangan bawah tanah Indonesia menjadi tidak senang. Datuk Penghulu dan si
Bungsu dipanggil ke sebuah markas yang tersembunyi di Birugo, mereka seperti
diadili. Datuk Penghulu duduk bersebelahan dengan si Bungsu. Sementara di depan
mereka, duduk enam orang lelaki. Di luar, di tempat yang tak kelihatan tak
kurang setengah lusin lelaki saling berjaga-jaga terhadap sergapan serdadu
Jepang. sebab yang ada di dalam rumah itu beberapa orang diantaranya adalah
pucuk pimpinan pergerakan kemerdekaan Indonesia di sumatera Barat.
“Datuk sengaja kami panggil beserta si Bungsu. . . .” yang duduk
di tengah memakai baju putih mulai bicara.
Datuk Penghulu hanya diam.
“Adapun yang ingin kami bicarakan adalah
sepak terjang Datuk dan si Bungsu bulan ini. Kegaduhan dan pembunuhan yang
Datuk lakukan bersama si Bungsu telah menyebabkan rencana kita gagal. Dan itu
sangat merugikan perjuangan kita. Kami ingin meminta pertanggungjawaban Datuk.
Kenapa Datuk sampai melanggar perjanjian yang telah kita buat.” Semua terdiam
menanti jawaban Datuk Penghulu.
“Jawablah Datuk.” Seorang lelaki yang
pakai baju kuning bicara. Suara lelaki itu perlahan saja. Tapi di dalamnya
jelas tergambar adanya nada tekanan. Datuk Penghulu menatap mereka. “Apa yang
harus kujawab untuk kalian . . . ,” katanya datar.
Dengan menyebut kata kalian jelas ada
nada menentang dari datuk itu. Hal itu menyebabkan suasana kurang enak diantara
yang hadir.
“Yang harus Datuk jawab adalah, kenapa
Datuk bertindak sendiri-sendiri. Datuk telah mulai menyerang Jepang sebelum ada
perintah. Dan itu mengacaukan rencana yang telah kita susun berbulan-bulan . .
..”
“Saya rasa tak pernah ada larangan atau
ketentuan untuk tak melakukan serangan..”
“Secara tertulis memang tidak. Tapi dalam kemiliteran, segala tindakan harus dengan satu komando. Sebagai perwira Intelejen, Datuk telah melanggar ketentuan itu.”
“Apakah saya harus membiarkan anak istri saya diperkosa kemudian dibunuh tanpa membalas?”
“Datuk harus berpikir secara NasionaL Kita berjuang bukan untuk membela kepentingan keluarga atau pribadi. Kita berjuang untuk Negara dan Bangsa.”
“Secara tertulis memang tidak. Tapi dalam kemiliteran, segala tindakan harus dengan satu komando. Sebagai perwira Intelejen, Datuk telah melanggar ketentuan itu.”
“Apakah saya harus membiarkan anak istri saya diperkosa kemudian dibunuh tanpa membalas?”
“Datuk harus berpikir secara NasionaL Kita berjuang bukan untuk membela kepentingan keluarga atau pribadi. Kita berjuang untuk Negara dan Bangsa.”
“Ya, tuan-tuan bisa berkata begitu karena
tuan-tuan belum merasakan apa yang saya rasakan…..” Datuk itu mulai meninggikan
suaranya.
“Apakah hanya karena emosi pribadi Datuk
bersedia mengorbankan tujuan yang besar?”
“Tuan-tuan harus memisahkan mana yang pribadi, mana yang tujuan bersama. . . .”
“Tuan-tuan harus memisahkan mana yang pribadi, mana yang tujuan bersama. . . .”
“Bukan kami yang harus memisahkan, tapi
Datuk”
Suara mereka terputus ketika si Bungsu
tiba-tiba tegak. Dia melangkah keluar.
“Bungsu. . .”
“Bungsu. . .”
Lelaki yang tadi membuka rapat itu
memanggil. Si Bungsu membalikkan badan. Dia menunggu orang itu bicara. Tapi
karena lelaki itu tak juga bicara, dia berbalik lagi. Tapi kembali terhenti
ketika lelaki itu berkata
“Tunggu.”
“Tuan bicara pada saya?” tanyanya.
“Tuan bicara pada saya?” tanyanya.
“Ya, saya bicara padamu. . . .”
“Nama saya Bungsu. Bukan Tunggu. Ada apa
maka saya tuan cegah keluar . . . ?”
“Persoalan ini juga menyangkut diri
Saudara. . ..”
“Diri saya?” si Bungsu merasa heran.
“Ya, sepak terjang Saudara merugikan
rencana kami…”
“Rencana yang mana?”
“Rencana penyergapan kami terhadap
beberapa markas Jepang. . .”
Si Bungsu tersenyum tipis. Kemudian
berbalik menghadap tepat-tepat pada keenam lelaki itu. Dan ketika dia bicara,
suaranya terdengar mendesis tajam.
“Saya tidak punya sangkut paut dengan
rencana tuan-tuan. Saya tak punya sangkut paut dengan kemerdekaan atau
kebebasan yang tuan inginkan. Saya bukan pejuang. Dan saya berhak berbuat
sekehendak saya. . .”
Dia berhenti bicara. Menatap keenam
lelaki itu dengan tajam. Sejak mereka mengata-ngatai Datuk Penghulu tadi dia
sudah merasa mual. Karenanya dia merasa lebih baik berada di luar ruangan itu
daripada mendengar pembicaraan yang menyesakkan dadanya ini. Lelaki yang
berbaju kuning berdiri.
“Kau tak bisa berbuat sekehendakmu
buyung. Daerah ini daerah perjuangan. Kami telah membaginya dalam
sektor-sektor. Tiap sektor berada dalam satu tangan komando. Dan kau berada di
dalam sektorku. Karenanya engkau harus tunduk di bawah perintahku.”
“Baik. Apa perintah Tuan pada saya. .
.?.”
“Buat sementara, untuk menghindarkan
kekacauan pada rencana induk yang telah disusun, kau serahkan samuraimu. Ini
hanya untuk sementara. Sampai saat yang memungkinkan. Harap dimengerti. . .”
Datuk Penghulu sampai tegak mendengar
kata-kata ini. Tapi sebelum dia buka suara, si
Bungsu telah menyahut,
“Baik. Datanglah kemari, dan ambil
sendiri samurai ini….”
Dia mengulurkan tangan kirinya yang
memegang samurai. Sikapnya menentang sekali. Semua orang yang ada di sana pada
tertegun.
“Ambillah. Tapi untuk tuan mengerti,
sebelum tuan, sudah ada lebih dari empat puluh Jepang yang ingin mengambilnya
dari saya. Dan saya telah bersumpah, jika ada yang berniat mengambil samurai
ini, maka hanya satu di antara dua pilihan. Saya atau orang itu yang mati. Dan
selama ini, saya masih bisa bertahan hidup, Barangkali hari ini keadaan jadi
lain, silahkan saja Tuan coba mengambilnya. . ..”
Keenam lelaki itu mengerti, ucapan anak
muda ini tidak hanya sekedar gertak sambal. Dari beberapa orang, mereka sudah
mendengar kehebatan anak muda tersebut. Namun beberapa orang diantara mereka
memang belum pernah tahu tentang si Bungsu. Kini mendengar betapa dalam rapat
khusus ini ada anak muda yang seperti takabur dan menantang pimpinan gerilya,
salah seorang di antara mereka tegak.
“Baik, saya ingin mencoba mengambil
samuraimu buyung. Dan jangan menangis kalau dapat merampasnya. . .”
Sehabis berkata ini lelaki itu
meninggalkan tempat duduknya. Namun dia di cegat oleh Datuk Penghulu.
“Sabarlah. Sebagai pimpinan saudara harus
banyak sabar. Anak muda itu tak bergurau dengan menyebutkan bahwa sudah puluhan
Jepang mati di mata samurainya. Kau akan sia-sia merebut samurainya itu. .”
Datuk Penghulu sebenarnya bermaksud baik.
Ingin menyabarkan dan menghindarkan pertumpahan darah di antara sesama awak.
Tapi larangannya itu justru dianggap sebagai gertak oleh lelaki itu. Dia
menyentakkan tangannya yang tengah dipegang oleh Datuk Penghulu. Datuk Penghulu
tahu, demikian juga lelaki yang lain dalam ruangan itu, bahwa lelaki yang satu
ini cukup berisi. Dia juga seorang guru silat dan guru ilmu batin. Kini dia
tegak dua depa di depan si Bungsu.
“Nah buyung, kau serahkan baik-baik
samurai celakamu itu atau kurampas dari tanganmu. Mana yang kau pilih. . .?”
Semua yang hadir menatap dengan tegang.
Datuk Penghulu sendiri jadi serba salah. Dia menatap saja tepat-tepat pada si
Bungsu.
“Saya rasa tak ada salahnya Tuan
mengambil samurai celaka ini . .” si Bungsu berkata sambil tanganya bergerak.
Suatu gerakan yang alangkah cepatnya. Lelaki itu, dan lelaki-lelaki yang ada
dalam ruangan rapat khusus itu, hanya melihat secarik cahaya putih. Muncul dari
dalam sarung samurai dan masuk lagi ke sarung samurai itu. Lamanya hanya
sekitar empat detik. Ketika terdengar bunyi ‘trak’ maka samurai itu sudah masuk
lagi ke sarungnya.
“Ambillah. . .,” kata si Bungsu menyambung ucapannya.
“Ambillah. . .,” kata si Bungsu menyambung ucapannya.
Tapi lelaki itu tegak dengan kaget.
Mukanya berobah jadi pucat pasi. Dia memakai baju kemeja. Empat buah kancing
baju kemeja itu sudah putus dan jatuh ke lantai. Tidak hanya sampai disitu,
persis tentang jantungnya kemeja itu potong dua dari kanan ke kiri dan dua dari
kiri ke kanan. Namun tak segores pun kulitnya tersentuh oleh ujung samurai.
Demikian cepatnya, demikian telitinya, dan demikian terlatihnya gerakan anak
muda itu.
Lelaki itu jadi pucat pasi. Karena kalau saja anak muda itu mau, maka tubuhnya pasti sudah putus beberapa potong. Dia menjilat bibirnya yang serta merta jadi kering. Si Bungsu tersenyum tipis. Wajahnya jadi keras. Matanya berkilat.
Lelaki itu jadi pucat pasi. Karena kalau saja anak muda itu mau, maka tubuhnya pasti sudah putus beberapa potong. Dia menjilat bibirnya yang serta merta jadi kering. Si Bungsu tersenyum tipis. Wajahnya jadi keras. Matanya berkilat.
“Sudah kukatakan, kita tak punya sangkut
paut. Ingatlah itu baik-baik. Saya tak mencampuri urusan perjuangan kalian.
Karena itu jangan campuri urusan pribadi saya. . . .” Ujar si Bungsu perlahan.
Kemudian dia menoleh pada Datuk Penghulu.
“Saya tunggu Pak Datuk di luar. Saya rasa
rapat ini bukan untuk orang seperti saya,”
Dia lalu mengangguk memberi hormat pada
semua orang. Lalu berbalik dan melangkah dengan tenang keluar. Beberapa lelaki
yang masih duduk di kursinya tiba-tiba bernafas lega. Mereka pada mengusap
peluh yang entah kenapa mengalir saja di wajah mereka. Luar biasa, benar-benar
luar biasa Lelaki yang tadi memimpim rapat berkata perlahan. Akan halnya lelaki
yang buah bajunya dan bajunya tercabik-cabik putus itu, lambat-lambat kembali
ke tempat duduknya.
“Ya… dia sangat hebat. Saya beruntung
dapat mengetahuinya dengan pasti. . .,” katanya sambil duduk.
“Tapi percobaan itu sangat berbahaya. . .
.,” yang berbaju kuning berkata.
“Habis yang lain tak ada yang mau
melaksanakan rencana itu. . . .,” dia membela diri.
“Saya sendiri yakin anak muda itu akan
mampu mengontrol dirinya. Tapi tetap saja peluh membasahi tubuh saya. . . .,”
Ujar yang seorang lagi.
Datuk Penghulu terheran-heran mendengar
pembicaraan teman-temannya ini. Dan yang memimpin rapat tadi mengetahui
keheranannya itu. Dia lantas berkata:
“Ini semua sebuah sandiwara. Datuk dan
anak muda itu sengaja kami undang kemari untuk sebuah pembuktian. Sudah
tersebar dari mulut ke mulut, dari bisik ke bisik, bahwa ada seorang anak muda
yang perkasa, anak Minang yang bangkit menuntut balas kematian keluarganya
justru mempergunakan samurai sebagai senjatanya. Pimpinan tertinggi menyuruh
kami mencek kebenaran itu. Dan sampailah akhirnya berita bahwa anak dan istri
Datuk binasa dilaknati Kempetai.
Kami berduka atas peristiwa itu. Hari
ini, kami ingin menyampaikan duka cita itu. Tapi harap maafkan, kami tak bisa
menahan hati untuk tak membuktikan sampai dimana kehebatan anak muda itu
mempergunakan samurainya. Kami menyangka hebat, sehebat yang diceritakan orang.
Ternyata hari ini kami buktikan bahwa kehebatannya jauh melampaui yang
diceritakan orang banyak. . . .”
Bersambung ke..... Tikam Samurai (21)
Komentar
Posting Komentar