Datuk Penghulu masih saja terheran-heran.
Yang berbaju kuning, yaitu yang membawahi sektor Pasaman bicara pula, “Kita
semua memerlukan anak muda seperti dia. Coba bayangkan hasil yang akan kita
capai kalau ada sepuluh orang seperti dia. Sepuluh orang pemuda dengan
kemahiran seperti itu. Ah …” lelaki itu tak menyudahi ucapannya.
“Jadi saya dipanggil kemari hanya untuk
memperlihatkan pada tuan-tuan betapa kepandaian anak muda itu mempergunakan
samurainya ?”
“Ya. Tapi kalau kami beritahu pada Datuk
maka kami yakin dia takkan datang.”
“Kalau begitu, saya menyesal tidak
menyuruh dia menyiksa kalian tadi. . . .”
“Apa maksud Datuk. ..”
“Kalau saja saya tahu, saya hasut dia
sehingga ada diantara kalian yang akan dia cencang menjadi potongan-potongan
sate” Lelaki yang putus buah bajunya itu nyengir mendengar olok-olokan Datuk
ini.
“Nah kita tak punya waktu lagi. Mari kita
semua susun rencana berikutnya.” Yang memimpin rapat itu bicara lagi.
“Satuan tugas yang dikirim menyelidiki
kegiatan Jepang dalam sebulan ini mendapat informasi, banyak amunisi yang
datang dari Medan dan langsung lenyap setibanya di lapangan Gadut. Setelah
diteliti, ternyata dari lapangan itu ada terowongan. Diduga terowongan itu
menuju ke bawah kota Bukittinggi. Terowongan-terowongan itu dibuat untuk
menyimpan peralatan perang serta sekaligus untuk perlindungan bila mereka nanti
terdesak oleh tentara Sekutu. Jepang sudah mensinyalir bahwa ada dua bahaya
yang akan mengancam mereka di Indonesia ini. Pertama gerakan Kemerdekaan dari
pemuda-pemuda Indonesia dan kedua kembalinya Belanda merebut bekas jajahannya.
Belanda diduga akan ikut membonceng bersama tentara Sekutu. Kini tugas kita
adalah merebut persenjataan sebanyak mungkin. Atau kalau itu tak bisa, maka
kita harus meruntuhkan terowongan yang mereka buat. Dengan demikian kita
berarti melumpuhkan jalur suplai mereka….”
Dan rapat itu berlangsung terus. Kontak-kontak telah di buka dan disampaikan melalui radio rahasia antara pejuang-pejuang di Sumatera Utara, Jawa dan Sumatera Barat. Saat peristiwa ini terjadi, hari proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 45 hanya menunggu saatnya saja. Waktu itu tanggal telah memasuki awal Agustus 45.
Dan rapat itu berlangsung terus. Kontak-kontak telah di buka dan disampaikan melalui radio rahasia antara pejuang-pejuang di Sumatera Utara, Jawa dan Sumatera Barat. Saat peristiwa ini terjadi, hari proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 45 hanya menunggu saatnya saja. Waktu itu tanggal telah memasuki awal Agustus 45.
Di luar, si Bungsu bosan menanti. Dia
pergi ke kedai kopi. Memesan secangkir kopi dan memakan ketan dengan pisang
goreng. Dia termasuk yang beruntung berada di kedai kopi itu. Sebab tengah ia
makan itu, tiba-tiba saja sebuah truk militer berhenti. Delapan orang Kempetai
berloncatan turun mengepung rumah tersebut. Demikian cepatnya gerakan mereka.
Tak diketahui siapa yang telah membocorkan rahasia rapat itu ke pihak kempetai.
Enam lelaki berpakaian preman yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan di luar rumah itu, jadi tak berdaya ketika tiba-tiba dari balik beberapa rumah, selusin Kempetai muncul melecuti mereka. Beberapa orang ada juga yang berusaha memberikan perlawanan. Tapi dengan jurus-jurus karate dan judo yang amat mahir, dengan mudah Kempetai kempetai itu melumpuhkan mereka. Seorang lelaki ingin berteriak, tetapi sebuah tusukan bayonet menghentikan suaranya.
Enam lelaki berpakaian preman yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan di luar rumah itu, jadi tak berdaya ketika tiba-tiba dari balik beberapa rumah, selusin Kempetai muncul melecuti mereka. Beberapa orang ada juga yang berusaha memberikan perlawanan. Tapi dengan jurus-jurus karate dan judo yang amat mahir, dengan mudah Kempetai kempetai itu melumpuhkan mereka. Seorang lelaki ingin berteriak, tetapi sebuah tusukan bayonet menghentikan suaranya.
Dia terkulai, dan tubuhnya dicampakkan ke
atas truk. Penduduk segera berlarian. Menutup pintu dan bersembunyi. Dalam
waktu singkat, kampung Birugo
Puhun itu seperti dikalahkan garuda. Sepi. Bahkan anjing pun tak ada yang
kelihatan di luar. Mereka yang ada di kedai kopi pada terdiam. Dan selama
mereka berdiam diri, mereka nampaknya tak digubris oleh Kempetai-kempetai itu.
Dalam kedai kopi itu ada empat lelaki.
Keempatnya, termasuk si Bungsu, pada tertegun kaget dan tak tahu harus berbuat apa. Rumah di mana tengah berlangsung rapat rahasia itu telah dikepung dengan senjata dan bayonet terhunus. Cahaya sore mengirim sinarnya yang panas ke pintu rumah. Seorang Syo Sha (Mayor) maju ke depan. Di antara sekian tentara Jepang yang ada, hanya dia yang tak menghunuskan senjatanya. Sebuah pistol tergantung dipinggangnya sebelah kiri. Hulunya menghadap kedepan. Sedangkan sebuah samurai tergantung di pinggang kanan.
Keempatnya, termasuk si Bungsu, pada tertegun kaget dan tak tahu harus berbuat apa. Rumah di mana tengah berlangsung rapat rahasia itu telah dikepung dengan senjata dan bayonet terhunus. Cahaya sore mengirim sinarnya yang panas ke pintu rumah. Seorang Syo Sha (Mayor) maju ke depan. Di antara sekian tentara Jepang yang ada, hanya dia yang tak menghunuskan senjatanya. Sebuah pistol tergantung dipinggangnya sebelah kiri. Hulunya menghadap kedepan. Sedangkan sebuah samurai tergantung di pinggang kanan.
Dari caranya menggantungkan kedua senjata
ini, orang segera dapat menebak, bahwa Kapten ini mahir bermain samurai dengan
tangan kiri. Sementara pistol dipergunakan dengan tangan kanan. Hanya saja
letak pistol itu terbalik dari umumnya orang-orang yang kidal. Di belakang
syo-Sha itu tegak seorang ajudan yang berpangkat Letnan. Mayor itu lalu berseru
dengan suara lantang.
“Datuk
Penghulu, Datuk Putih NanSati, Sutan Baheramsyah, atas nama Kaisar Tenno Heika, kalian
saya perintahkan untuk menyerahkan diri. Kalian kami tangkap dengan tuduhan
berkomplot ingin mencuri senjata, meledakkan rumah-rumah perwira, menculik dan
membunuh perwira-perwira Jepang. Dokumen kalian telah kami temukan. Kini
menyerahlah. . .”
Tak ada sahutan. Rumah itu tiba-tiba jadi
sepi. Suara Mayor itu bergema jelas. Bahkan dapat didengar oleh penduduk yang
rumahnya berdekatan dengan rumah dimana rapat itu sedang berlangsung. Angin
bertiup perlahan. Semua menanti dengan tegang.
“Saya hitung sampai sepuluh Jika kalian tak menyerah, kami akan meledakkan rumah ini dengan dinamit. Kalian boleh pilih, menyerah untuk diadili, atau mati berkeping-keping dalam rumah ini….””
“Saya hitung sampai sepuluh Jika kalian tak menyerah, kami akan meledakkan rumah ini dengan dinamit. Kalian boleh pilih, menyerah untuk diadili, atau mati berkeping-keping dalam rumah ini….””
Syo sha itu mulai menghitung. Di dalam
rumah, Datuk Penghulu dan semua lelaki yang tadi namanya disebutkan oleh Syo
Sha tersebut pada tertegak diam. Mereka memang tak membawa senjata apapun.
Meski mereka pimpinan gerilya, namun membawa senjata siang hari sangat
berbahaya. Tapi mereka tak menyangka sedikitpun akan terperangkap hari ini.
“Pasti ada yang berkhianat.” Datuk
Penghulu berkata.
Pejuang yang lain masih terdiam. Hitungan
di luar sudah mencapai angka empat. Lelaki yang tadi punah buah bajunya dimakan
samurai si Bungsu, perlahanlahan bergerak ke tepi dinding. Dari sebuah lubang
kecil dia mengintai. Kemudian menghadap kepada teman-temannya yang memandang
kepadanya dengan tegang.
“Semua petugas yang ada di luar sudah
diringkus. Ada seorang nampaknya terluka. Kini dia terbaring di atas truk
berlumur darah. . . Mana anak muda tadi?”
Tiba-tiba yang buah bajunya putus itu,
yang rupanya bernama Datuk Putih Nan Sati yang dipanggil Syo sha tadi bertanya.
Sebagai jawabannya dia mengintip lagi dari lubang kecil itu. Matanya coba
mengintip ke luar. Menatap apakah di antara petugas yang tertangkap dan kini
ditegakkan dekat truk itu ada si Bungsu atau tidak. Letih dia mencari anak muda
itu tetap tak kelihatan.
“Dia tidak termasuk di antara yang
ditangkap” katanya
“Apakah. . apakah tidak mungkin dia yang
memberitahukan pada Jepang bahwa kita rapat disini,” salah seorang bertanya. Mereka
saling pandang.
“Tak mungkin. Saya berani mempertaruhkan
nyawa saya untuk itu . . .” Datuk Penghulu membantah, lalu mereka sama-sama
terdiam.
Di luar hitungan sudah mencapai delapan
Akhirnya si lelaki yang berbaju kuning, yang tak lain dari Sutan Baheramsyah
yang menjadi pimpinan di antara seluruh mereka yang ada di rumah itu, tegak.
Melangkah ke tengah ruangan.
“Apakah mereka memang bermaksud
meledakkan kita dengan dinamit ?” tanyanya.
“Saya lihat memang begitu. …..” Datuk
Putih Nan Sati yang kembali mengintai dari lobang kecil itu menyahut.
“Nah, kita kali ini kebobolan. Tapi
daripada mati percuma, lebih baik menyerah. Saya yakin, dipenjara masih ada
kesempatan untuk melarikan diri. Kalau kita menyerah, ada kesempatan bagi
teman-teman yang lain untuk membebaskan kita. Mari kita keluar. .”
Sehabis berkata Sutan Baheramsyah
melangkah ke depan. Yang lain tak dapat membantah. Sebab hitungan Syo Sha yang
di luar sudah menyebutkan angka sepuluh Syo Sha itu sudah akan memberi isyarat
untuk membakar sumbu dinamit, ketika pintu rumah itu terbuka. Lalu kelihatan
Sutan Baheramsyah, Datuk Penghulu, Datuk Putih Nan Sati melangkah keluar
bersama-sama teman-temanya yang lain.
Mereka berhenti dan tegak berjejer di
depan rumah itu. Tegak berhadapan dalam jarak sepuluh depa dengan Syo Sha
tersebut. Tak sedikitpun di wajah mereka tergambar rasa takut. Mereka menatap
kepada Jepang-Jepang itu dengan kepala terangkat dan pandangan yang lurus.
“Silahkan tuan naik ke atas truk. …..”
Syo Sha itu berkata. Dari bilik pintu dan jendela penduduk pada mengintip
kejadian itu dengan perasaan tegang.
“Kami adalah para perwira. Menurut
perjanjian militer kami harus pula diperlakukan seperti perwira ….” Sutan
Baheramsyah berkata dengan nada datar.
“Tak ada tanda-tanda kepangkatan yang menandakan
tuan seorang perwira, dan kami tak dapat memperlakukan tuan sebagai perwira
karena tak ada tanda-tanda tersebut. . . .” Syo sha itu menjawab dengan nada
tegas kemudian memberi perintah pada anak buahnya. Keenam lelaki itu digiring
dengan bayonet terhunus ke atas truk yang telah menanti. Di atas truk, beberapa
orang cepat membantu petugas yang tadi terluka kena tusukan bayonet. Namun
dengan terkejut mereka mendapatkan pejuang itu sudah menghembuskan nafas yang
terakhir.
“Jahanam. . benar-benar jahannam ..”
Datuk Putih Nan Sati memaki.
Semua mereka sudah dinaikkan ke atas
truk. Syo Sha itu melangkah mendekati jipnya yang terletak tak jauh dari truk
itu. Dia melangkah dengan wajah angkuh dan lewat di depan kedai kopi dimana
beberapa lelaki sedang terdiam. Syo Sha itu seorang perwira yang punya firasat
tajam. Ketika lewat kedai kopi itu dia menyadari membuat Suatu kekeliruan
kecil. Yaitu tidak memeriksa dan menangkapi lelaki yang ada dalam kedai kopi
itu.
Siapa tahu di antara mereka ada pejuang-pejuang bawah tanah Indonesia. Siapa tahu di dalam kedai ada penembak tersembunyi. Menyadari kekeliruan kecil ini. Mayor itu segera menoleh ke belakang untuk memerintahkan pada bawahannya guna memeriksa lelaki yang ada dalam kedai tersebut. Namun instingnya terlambat. Firasatnya sebagai perwira intelejen ternyata tak menolong. Karena begitu dia berhenti untuk menoleh ke belakang, seorang lelaki tiba-tiba muncul di dekat jip yang dia naiki. Tak jauh dari sana, seorang kempetai yang tegak dengan bedil terhunus segera mengenali lelaki yang muncul itu adalah si Bungsu.
Siapa tahu di antara mereka ada pejuang-pejuang bawah tanah Indonesia. Siapa tahu di dalam kedai ada penembak tersembunyi. Menyadari kekeliruan kecil ini. Mayor itu segera menoleh ke belakang untuk memerintahkan pada bawahannya guna memeriksa lelaki yang ada dalam kedai tersebut. Namun instingnya terlambat. Firasatnya sebagai perwira intelejen ternyata tak menolong. Karena begitu dia berhenti untuk menoleh ke belakang, seorang lelaki tiba-tiba muncul di dekat jip yang dia naiki. Tak jauh dari sana, seorang kempetai yang tegak dengan bedil terhunus segera mengenali lelaki yang muncul itu adalah si Bungsu.
Kempetai itu mengangkat bedilnya dan
menembak. Sebab sudah sejak sepekan yang lalu anak muda itu dicari dengan
perintah Tangkap hidup atau mati. Kini dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan
itu. Bukankah pangkatnya akan naik kalau d ia berhasil menembak mati anak muda
yang telah membunuh banyak tentara Jepang itu? Dan impiannya itu sebenarnya
bisa terwujud, yaitu kalau saja anak muda itu bukan si Bungsu Begitu mengangkat
bedil, naluri si Bungsu yang amat tajam itu segera menyadari bahaya
mengancamnya.
Lompat Tapai Tabuhnya segera berguling ke depan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Dan letusan itu mengejutkan si Mayor. Begitu dia menoleh, begitu sesosok bayangan tegak di depannya. Mayor ini secara naluriah mengetahui bahaya yang mengancam. Dia segera mencabut samurai dengan tangan kiri. Tapi begitu samurai itu keluar dari sarungnya, begitu sebuah babatan menghantam samurainya tersebut.
Lompat Tapai Tabuhnya segera berguling ke depan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Dan letusan itu mengejutkan si Mayor. Begitu dia menoleh, begitu sesosok bayangan tegak di depannya. Mayor ini secara naluriah mengetahui bahaya yang mengancam. Dia segera mencabut samurai dengan tangan kiri. Tapi begitu samurai itu keluar dari sarungnya, begitu sebuah babatan menghantam samurainya tersebut.
Tangannya rasa kesemutan. Begitu kuat
hantaman samurai itu. Tanpa dapat dia tahan samuarainya terpenta. Jatuh ke
tanah. Dan saat itulah orang yang belum dia lihat wajahnya itu berputar ke
belakang dan sebuah benda dingin, tajam, tipis dan menakutkan, menempel di
lehernya. Anak muda itu tegak di belakangnya sambil memegang kepala si Mayor.
Kepala Mayor itu dia buat tertengadah dan mata samurainya itu dia tekankan ke
lehernya.
“Perintahkan semua anak buahmu melemparkan senjata mereka ke tanah, Mayor” Suara si Bungsu mendesis tajam. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sebahagian besar Serdadu Jepang itu masih tegak terpana. Dan kini menatap dengan mulut ternganga pada komandan mereka yang terancam itu.
“Perintahkan semua anak buahmu melemparkan senjata mereka ke tanah, Mayor” Suara si Bungsu mendesis tajam. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sebahagian besar Serdadu Jepang itu masih tegak terpana. Dan kini menatap dengan mulut ternganga pada komandan mereka yang terancam itu.
Mayor itu sendiri hampir-hampir tak
percaya kejadian yang dia alami ini. Dia tak yakin ada manusia yang dapat
bergerak demikian cepatnya. cepat dalam bergerak. Dan cepat dalam memainkan
samurainya.
“Si Bungsu . . .” akhirnya mayor itu
bersuara perlahan.
Nama anak muda itu sudah menjadi buah
bibir di antara para perwira di Markas besar mereka. Anak muda yang mahir
dengan samurai.
“Ya. Sayalah si Bungsu Mayor. Dan saya
tidak main-main dengan samurai saya ini. Sudah banyak bangsa saya yang terbunuh
oleh samurai kalian ini. Dan dengan samurai ini pula, sudah puluhan Jepang yang
saya bunuh. Dengan segala senang hati hari ini saya akan menambah jumlah itu
dengan diri tuan. Yaitu kalau tuan tidak memerintahkan anak buah tuan
melemparkan senjata mereka. . .”
Tanpa dapat ditahan Mayor itu merasakan
seluruh bulu di tubuhnya pada merinding. Dia sudah berperang selam puluhan
tahun. Mulai dari daratan Mongolia sampai ke daratan cina. Menembus rawa-rawa
maut di sungai Yang Tse Kiang. Dia sudah menghadapi berbagai macam bentuk
manusia yang siap merenggut nyawanya.
Dia sudah berhadapan dengan tentara
Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa gentar. Tapi sore
ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak
hanya mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya
tiba-tiba menggigil.
“Perintahkan Mayor Atau perlu kuhitung
sampai sepuluh seperti engkau menghitung tadi ?”
Bulu tengkuk mayor ini tambah merinding. Dia sudah banyak mendengar, bahkan melihat sendiri betapa mayat-mayat tentara Jepang ketika akan menangkap anak muda ini di Tarok, terputus-putus seperti dijagai kena samurai.
Bulu tengkuk mayor ini tambah merinding. Dia sudah banyak mendengar, bahkan melihat sendiri betapa mayat-mayat tentara Jepang ketika akan menangkap anak muda ini di Tarok, terputus-putus seperti dijagai kena samurai.
“Lemparkan seluruh senjata kalian ke
tanah . .” suara mayor itu terdengar serak.
Satu demi satu anak buahnya melemparkan
senjata. Si Bungsu
menyeret tubuh mayor itu hingga tersandar ke dinding rumah yang tadi hampir
saja diledakkan dengan dinamit. Dengan meletakkan tubuh mayor itu tetap di
depannya, maka si Bungsu dapat mengawasi seluruh pasukan Jepang itu.
“Suruh mereka berkumpul di dekat truk.
Semuanya ..”
Anak muda itu berkata lagi sambil memberi
isyarat pada Datuk Penghulu
dan kawan-kawannya yang berada di atas truk untuk turun. Mereka segera turun
dan bergabung dengan di Bungsu di tepi dinding rumah.
“Cepat suruh mereka berkumpul dekat truk
itu mayor….” si Bungsu kembali mengancam.
“Syo-i Atto. Perintahkan semuanya
berbaring dekat truk. Lekasss..!!”
Mayor itu berteriak lagi dengan suara
seraknya. Syo- I (Letnan dua ) itu segera melaksanakan perintah mayor tersebut.
Sebaliknya tubuh si Bungsu menegang tiba-tiba begitu mendengar nama Atto
disebut si Mayor. Demikian juga halnya dengan Datuk Penghulu. Mereka saling
tatap. Mata si Bungsu menatap tajam dan membersitkan amarah yang hebat.
Atto Nama itu mengiang di telinganya. Dia
teringat pada saat-saat menjelang kematian
Mei-mei. Gadis itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu
Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan mereka. Gadis itu
mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto
itu siap melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar
delapan belas orang itu.
Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Mereka menyangka anak muda ini sudah
menyembelih pimpinan mereka. Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu.
“Ambillah bedil yang ada di tanah itu.
Dan juga pistol mayor ini. Awasi dia. Saya akan buat perhitungan . .”
Datuk Penghulu segera mengetahui maksud
anak muda itu. Dia mengambil pistol mayor itu dari pinggangnya. Yang lain pada
memungut bedil di tanah. Kemudian mereka ganti menodong Jepang-Jepang itu. Dari
balik pintu, dari balik jendela, penduduk tetap mengintai dengan diam.
Mengintai dengan takut.
Barangkali ada rasa gembira dan bangga di
hati mereka melihat betapa pejuang-pejuang itu berbalik menguasai tentara
Jepang yang mereka benci. Namun sebagaimana umumnya rakyat sipil dari sebuah
negara yang sedang dilanda perang, dimanapun negara itu berada, bangsa manapun
dia, ketakutan terhadap militer selalu saja menghantui mereka. Di setiap negara
yang dilanda perang, apalagi negara yang dijajah, maka penduduk sipil selalu
saja menjadi korban tak berdosa dari keganasan militer. Saat itupun, penduduk
di Birugo itu selain merasa bangga, sekaligus juga merasa takut. Bangga karena
bangsa mereka ternyata sudah mulai unjuk gigi dalam melawan penjajah. Ngeri
karena mengingat pembalasan yang akan datang dari Jepang.
Karena betapapun jua, pejuang Indonesia
itu pastilah sebentar berada di kota. Setelah itu mereka akan lenyap
bersembunyi. Karena seluruh jengkal tanah di bumi Indonesia saat itu dikuasai o
leh Jepang. Penduduk dapat membayangkah setelah sore hari ini, maka akan ada
ratusan tentara jepang yang akan memeriksa seluruh rumah di Birugo ini. Dan
mereka ada yang akan ditangkap. Ada yang diperkosa. Begitu selalu. Dan dari
balik p intu, dari balik jendela, mereka melihat anak muda yang tadi meringkus
mayor itu berjalan ke depan.
Mayor itu kini berada d i bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
Mayor itu kini berada d i bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
“Ambil samuraimu yang tergelak di tanah
itu Atto . . .” Tiba-tiba dia dengar anak muda ini bersuara. Dia tertegun.
Kaget dan tak percaya pada pendengarannya.
“Ambillah samuraimu. Engkau yang bernama Atto, yang memimpim
penangkapan dan pembakaran rumah di Tarok dua puluh hari yang lalu bukan ?”
Tanpa dia sadari, letnan itu mengangguk.
“Nah, sayalah suami dari gadis yang
bernama Mei-mei yang engkau perkosa ketika dia dalam luka parah di pondok dalam
hutan bambu di Tarok malam itu, masih ingat?” Seperti orang dungu, letnan itu
kembali mengangguk.
“Dia sudah mati. Mati karena menderita.
Menderita kalian perkosa bersama-sama. Namun sebelum dia meninggal, saya telah
bersumpah untuk membunuhmu. Kini ambillah samurai itu. Atau kau akan saya
bantai tanpa membela diri. Bagi saya sama saja. Saya hitung sampai tiga. Kalau kau
tetap tak mau mengambil samuraimu, kau akan saya bunuh seperti membunuh seekor
anjing. Satu…..!”
Suara si Bungsu bergema. Dia sudah mulai
menghitung. Tidak hanya Atto dan prajurit-prajurit Jepang yang banyak itu,
Datuk-Datuk yang berada di pihak si Bungsu yang kini tegak dekat Datuk
Penghulu, juga merasa ngeri mendengar ancaman anak muda itu. Dan Atto,
sebagaimana jamaknya samurai-samurai dari Jepang, merasa harga dirinya di
injak-injak mendengar penghinaan anak muda itu. Dia segera memungut samurainya.
Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk meneruskan perbuatannya.
Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk meneruskan perbuatannya.
Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Kini dengan bahu kiri luka lebar, darah
membanjir, si Bungsu tegak dengan waspada empat depa di depan Atto. Si Bungsu
yakin, jika lama dia tegak begini tubuhnya akan jatuh sendiri karena kehabisan
darah Maka dia segera memancing agar Atto menyerang. Tubuhnya sempoyongan.
Meliuk ke kiri. Ke kanan. Dan saat itu dengan cepat sekali Atto menyerang
dengan tiga kali bacokan cepat terarah.
Datuk Penghulu sudah bertekad untuk
menembak saja Jepang laknat itu. Tapi maksudnya belum kesampaian, ketika
tiba-tiba tubuh si Bungsu jatuh ke tanah di atas lututnya. Dan tahu-tahu sebuah
sinar yang amat cepat berkelebat. Pada sabetan yang pertama samurai di tangan
Atto seperti dihantam martil besar. Samurainya terpental. Pada bacokan kedua,
tangan perwira muda itu putus di atas bahu. Dia memekik. samurai di tangan si
Bungsu bekerja lagi. Kedua lutut letnan itu putus.
Tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa lengan
tanpa kaki. Persis seperti nasib penyamun yang kena babat di penginapan kecil
ketika mula-mula dia datang ke kota ini bersama Mei-mei.
Tapi Atto masih beruntung. Dia tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya tergolek di tanah, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Tapi Atto masih beruntung. Dia tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya tergolek di tanah, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Dan kali terakhir kepalanya putus Semua
yang hadir di sana memalingkan kepala .Tak sanggup melihat kejadian itu. Si
Bungsu benar-benar menjadi amat buas. Dia seperti bukan manusia lagi. Dia
seperti sudah menjelma menjadi
tukang jagal yang tidak punya perikemanusiaan.
“Bungsu . . .”
“Bungsu . . .”
Datuk Penghululah yang berteriak itu.
Datuk itu sendiri merasa ngeri dan merasa bahwa perbuatan si Bungsu itu sudah
melampaui batas. Si Bungsu tertegak diam. Dia segera menyadari kebuasannya
sebentar ini. cepat sekali samurainya sudah masuk ke sarungnya. Dia menatap
pada belasan Serdadu Jepang
yang tegak terpaku dekat truk. Dan semua mereka pada merinding ketakutan
ditatap anak muda itu. Kemudian dia berbalik menatap pada mayor tadi. Mayor itu
tersurut. Dia seperti melihat malaikat maut. Kecepatan dan kehebatan anak muda
itu mempergunakan samurainya hampir-hampir tak masuk akalnya.
“Nah, sekarang terserah pada Datuk apa
langkah selanjutnya. . .”
Akhirnya si Bungsu berkata pada Datuk
Penghulu. Datuk itu menatap pada teman-temannya. Nampaknya mereka sudah punya
rencana. Semua tentara Jepang itu mereka giring ke sebuah tebat. Dan setelah
disuruh telanjang bulat, mereka disuruh masuk ke dalam tebat yang banyak taik
itu.
“Tetap saja berendam di dalam tabek itu,
mayor. Jika ada yang keluar, akan kami bunuh….” kata Datuk Penghulu.
Dan mayor itu bersama belasan anak
buahnya terpaksa tegak diam dalam tebat tersebut. Berendam dalam air setinggi
leher dalam keadaan bugil. oo, tak pernah mereka dipermalukan begini. Tidak
pernah, seumur hidup mereka Dengan cepat Datuk Penghulu dan teman-temannya
mengumpulkan semua senjata. Melemparkannya ke atas jip milik Kempetai yang
sudah mereka rampas.
Kemudian mereka naik. Sebelum berangkat
mereka terlebih dahulu merusak truk di dekat itu agar tak bisa digunakan
memburu mereka. Lalu Datuk
Putih Nan Sati menjalankan jip itu kearah Padang Luar melarikan
diri. Tak seorang pun yang tahu ke mana arah mereka. Begitu terdengar mesin jip
dihidupkan, mayor tadi melompat naik ke atas. Tapi ketika lanciriknya yang tak
bertutup itu sudah ada di tebing tebat, sementara betis ke bawah masih di dalam
air, seorang anak buahnya yang masih di tebat berkata:
“Awas, Yor. Anak muda bersamurai itu
mungkin masih ada di atas”
Mayor itu tertegun. Kemudian cepat
tubuhnya meluncur kembali ke dalam tebat. Ya, kalau kepadanya diingatkan bahwa
yang masih ada di sekitar tebat itu awas, beberapa orang berbedil masih
mengawasi, barangkali mayor itu takkan merasa gentar. Ia akan tetap naik,
berpakaian dan kembali kemaerkas untuk menyusun pembalasan. Tapi karena
peringatan itu berbunyi anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas,
maka gacarnya timbul. Saking gacarnya, dia tak dapat menahan kentutnya.
Berantai dan kuat seperti bunyi mercon pula tu.
Prep..prep..thoot…Thootthoot..pohh..pooh..!!
Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar
ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu menyebabkan air tebat
tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa gelembung
udara memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat
busuk itu tiba-tiba terbagi menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena
amat kedinginan- Sebagian juga kedinginan, tapi tak berani tertawa. Mereka
hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busu, tak dapat
menahan rasa gelinya. Suara kentut si mayor akibat ketakutan itu benar-benar
menjadi hiburan langka, karenanya merekapun tertawa “Huhu.. hihi..hehe..”
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan
tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik ke darat. Seperti
terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda
bersamurai itu muncul. Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher
Atto tadi.
Hiii…!
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si mayor
bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang masih di dalam
tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti
perintahnya, yang tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin si
Bungsu masih ada, yang menyebabkan kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh
ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan sepenuh berang dia
tampar prajurit bego itu.
“Bagerooo Waang takut-takuti saya yaa”
Puak. . . .puak. . . .plak. . plak.!
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di
lampang si mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu. Tidak hanya yang
satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika
kentutnya tabosek tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna.
Untunglah tak lama setelah mereka kena tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
Untunglah tak lama setelah mereka kena tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
“Jangan melongo” saja Mayor itu
membentak. Si Kapten segera sadar.
“Saya diperintahkan untuk mencari pak
Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira mendapat kesulitan.
. .”
“Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang
lomba renang di sini?” Mayor itu membentak lagi sambil bergegas naik ke atas
jeep. Pasukan yang lain melompat keatas truk. Dan kendaraan itu bergerak menuju
ke Panorama. Malam itu juga dikerahkan tak benar dua kurang dari seratus
tentara Jepang untuk mencari jejak pejuang-pejuang tersebut. Dan benar juga
dugaan penduduk Birugo Puhun. Semua rumah digeledah sepanjang malam itu. Hampir
seribu penduduk diinterogasi.
Beberapa orang ditangkap. Jepang tak
peduli, bahwa rumah yang dipergunakan untuk rapat itu sebenarnya rumah yang
sudah lama tak berpenghuni. Pemiliknya sudah pindah ke Bandung sejak lima tahun
yang lalu. Jepang tak perduli itu. Yang jelas perusuh-perusuh itu rapat di
wilayah Birugo Puhun. Tentu penduduk kampung itu merestui pertemuan itu. Maka
penghuni lima buah rumah yang berdekatan dengan rumah tempat rapat itu
ditangkap.
Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat.
Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yamg lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat.
Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yamg lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Siang itu si Bungsu sedang berada di
rumah seorang tabib, untuk mengobati luka di bahunya akibat perkelahian dengan
Syo-I Atto di Birugo tempo hari. Saat menunggu tabib meramu obat itulah
tiba-tiba saja rumah itu telah dikepung oleh dua puluh tentara Jepang. Dia
sudah dianggap demikian berbahayanya. Sehingga Jepang mengerahkan hampir
seluruh intelejennya yang ada di Sumatera Barat untuk mencium jejak
pelariannya.
Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
“Bungsu, keluarlah. Rumah ini telah
dikepung. Kalau kalian tak keluar dalam lima hitungan, rumah ini akan saya ledakkan
dengan dinamit”
Dia seperti mengulangi lagi kalimat
berbentuk ancaman yang dia ucapkan saat dia dan pasukannya mengepung rumah
tempat para pejuang rapat di Birugo Puhun, sepekan yang lalu. Kali ini
kemujuran serta nasib baik nampaknya tidak berpihak pada si Bungsu. Luka di
dadanya mengalami infeksi. Ramuan obat yang dia ramu saat di Gunung Sago dan
selalu dia bawa kemanapun pergi, telah habis.
Ketika dia ingin kembali meramu
obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan
pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang
mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai
sebagai ramuan. Di kaki gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis
kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah empat lima orang mencarinya
selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut
ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir
bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran itu terbukti. Datuk
Penghulu yang selalui berada bersama si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si
tabib. Si Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah,
wajahnya pucat karen sudah dua hari demam dengan panas amat tinggi. Di luar
sana terdengan suara si mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap Datuk
Penghulu itu sendiri jadi pucat.
“Saya tidak mengkhianati tuan-tuan. Demi
Allah, saya tidak mengkhianati tuan-tuan” ujar tabib itu. Datuk Penghulu masih
menatapnya. Demikian pula si Bungsu.
“Tidak. Kami tahu bapak tidak
mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. . .jangan
takut ….” si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
Bersama Datuk Penghulu dia membuka pintu
tatkala hitungan mencapai empat. Semua tentara Jepang yang mengepung rumah itu
mengacungkan bedil mereka. Mayor itu sendiri tegak dengan pistol di tangan.
Nampaknya dia tak mau menanggung resiko. Pengalaman di Birugo Puhun dulu
menyebabkan dia amat berhati-hati.
“Lemparkan samuraimu Bungsu. Lemparkan ke
tanah. Kemudian kalian berdua berjalan kemari dengan tangan ke atas dan
bergerak mundur. cepat. . . .”
Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan
melemparkan samurainya ke tanah. Kemudian samurai itu dipungut oleh seorang
sersan. Mayor yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa hari yang
lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai si Bungsu sudah dipungut
anak buahnya.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak
peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam itu kini dia
muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan si Bungsu. Menatap anak muda itu
dengan pandangan seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya
bergerak. cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Datuk penghulu sendiri tak
melihat bagaimana cara mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu terdengar
memekik.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan
samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan keempat jari
pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu si Bungsu jebol, amblas ke
dalam luka tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan mayor tersebut
masuk hampir sepertiganya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan
oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu tingkatan
keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar
biasa dari mulut si Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya
tersentak.
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat
itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena kasihan dan
sayangnya pada si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya
melayang di udara. Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi,
tendangannya mendarat di kepala Syo Sha tersebut. Mayor itu terpelanting dua
depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Namun Datuk yang sudah kalap itu
bergulingan di Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam kerampang prajurit
yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga
meledak kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam
kecepatan yang hanya dimiliki oleh pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat
setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat Mayor yang kini
sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya
demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi
saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula
samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah
merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka
membiru.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (22)
Komentar
Posting Komentar