Kyoto. Pada tahun-tahun sehabis perang
Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang. Lebih besar dari Tokyo yang
kini jadi Ibukota.
Kyoto adalah kota tua dari zaman dinasti
Tokugawa. Karenanya dalam kota kelihatan bangunan-bangunan peninggalan zaman
tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto terdapat
di banyak tempat dalam kota.
Kota itu sendiri di belah-belah oleh
beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar yang membelah kota itu adalah
dua buah sungai yang bergabung jadi satu.
Kedua sungai itu adalah sungai Kamo dan
sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari utara bergabung jadi satu
agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung kota.
Stasiun Kereta Api Kyoto terletak di
kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus. Stasiun ini ramai
sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim dingin.
Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam
kota dibuat jalan raya yang diteduhi pohon-pohonan sakura.
Si Bungsu menginap di sebuah hotel di
persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai dengan jalan Karawamachi
yang searah memanjang jalan.
Dia berpisah dengan Michiko di depan
hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto. Istana ini memiliki
kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu Dinasti Tokugawa
memerintah.
Dia setaksi dengan Michiko yang juga
searah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta api mereka menyelusuri
jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan jembatan Kamo Odhasi
dimana letak hotel Kamo dia turun.
“Saya akan datang kemari, boleh?” tanya
Michiko.
“Dengan segala senang hati…” jawabnya.
Benar saja, esoknya Michiko datang membawa makanan. Mereka duduk di teras
belakang hotel itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas.
“Ayah ingin bertemu denganmu. Dia
menyampaikan salam…” kata Michiko.
“Terimakasih. Ibumu ada sehat-sehat?”
“Ibu sudah lama meninggal…”
“Oh, maafkan…”
“Selama ini saya hidup dengan ayah. Dan
saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari beliau. Kapan Bungsu-san dapat
datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh dari sini…”
“Suatu saat saya pasti datang. Bila saya
telah bertemu dengan teman yang saya cari…”
“Hei, dari kemaren Bungsu-san bercerita
akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi Bungsu-san tak pernah mengatakan
apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman wanita barangkali?”
Si Bungsu tersenyum.
“Seorang teman istimewa ya Bungsu-san?”
Michiko memancing.
“Tidak Michiko-san. Saya mencari teman
lama. Seorang lelaki…” kata si Bungsu. perasaan Michiko jadi tenteram. Dan
pembicaraan lalu berkisar pada soal lain. Dan setelah sama-sama makan siang di
restoran hotel, Michiko lalu pulang.
Si Bungsu jadi lega begitu Michiko
pulang. Sebab dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke
kamarnya. Disana, dia membuka samurai. Kemudian berlatih beberapa saat.
Dia melatih pernafasan. Melatih indera
dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam turun. Dan malam itu dia
tidur dengan lelap sekali.
**000**
Subuh. Ini adalah hari ke tiga dia di
Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya” itu. Teman yang telah lama
tak bersua, Saburo Matsuyama!
Dia membuka peta kecil yang dia beli
ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama.
Mempelajari letak sebuah kuil. Kuil
Shimogamo. Kuil tersebut terletak di daerah Shimogamo. Terletak antara jalan
Shomogamo Higasi dan jalan Shimogamo Hon. Kuil itu juga terletak antara sungai
Takano di sebelah kanannya dan sungai Kamodi di sebelah kirinya.
Dia harus menempuh jalan Shimogamo Hon
dari hotelnya ini. Kemudian melintas di jembatan Aoi yang terletak di atas
sungai Kamo.
Kesanalah dia kini pergi! Di Tokyo,
ketika dalam penjara dia mendapat alamat dimana Saburo berada. Keterangan itu
diperolehnya lewat seorang tentara Amerika bahagian dokumentasi. Dia tahu
dimana bekas-bekas tentara Jepang berada.
Hari masih pagi ketika dia melintas di
jembatan Aoi itu. Udara dalam musim dingin itu berkabut. Dia berjalan santai.
Di pinggangnya tergantung samurai yang beberapa tahun yang lalu telah merenggut
nyawa ibu, ayah dan kakaknya!
Kini dengan pakaian Kimono berwarna hitam
bertuliskan aksara (huruf) Kanji, yaitu aksara yang dipakai dalam bahasa
Jepang, dengan samurai di pinggang kiri maka dia tak ada obahnya seperti
orang-orang Jepang.
Beberapa orang Jepang yang berpapasan
jalan dengannya membungkuk memberi hormat. Dia juga melakukan hal yang sama.
Di kota ini, keakraban dan basa basi
masih tinggi terasa.
Dari mulutnya sambil berjalan itu
berkumandang dengan lembut lagu yang diajarkan Kenji ketika mereka di kapal
dulu :
“Ame ga futtemo ikimasu
Nakanaide kuda-sai
Watashi o wasurenaide kudasai…
sayonaraaaa”
(Meskipun turun hujan
saya tetap akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupan saya
Selamat tinggal…!”)
Lagu itu dia ulangi beberapa kali.
Beberapa lelaki Jepang yang berpapasan dengannya mengangguk. Dia juga
mengangguk sambil tetap menggumankan nyanyi itu.
Dan tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil
Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa membeku. Tapi juga panas dan menggigil.
Kuil itu terletak di ujung sebuah taman
yang cukup luas. Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon.
Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun. Seratus meter
berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo!
Dan dia terhenti di ujung altar.
Puluhan pendeta berkepala botak kelihatan
sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan pentungan kayu sepanjang
satu setengah depa.
Ada yang berlatih karate. Ada yang
berlatih samurai. Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini.
Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya
memang diajarkan berbagai jenis beladiri.
Hal ini sudah menjadi tradisi bagi
kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi
musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.
Menyebarkan agam, seperti halnya di
Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di Indonesia para malin,
terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat tangguh, maka di Jepang
mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang tangguh pula.
Hanya saja kini kegunaan pelajaran
beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi musuh. Tapi untuk
kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!
“Maafkan, bisa saya bantu?” sebuah suara
ramah menyadarkan si Bungsu yang masih tegak diam diujung altar kuil itu.
Kuil itu besar, bersih dan anggun.
Dia menoleh. Seorang pendeta berjubah
merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak disisinya.
“Apa yang bisa saya bantu?” ulang pendeta
itu lembut.
“Oh..ya…. saya ingin bertemu dengan
Obosan….dapatkah dia menerima kedatangan saya?
Obosan adalah kepala pendeta.
Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata
yang lembut. Dia tak bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan
apa kedatangannya. Itu adalah urusan pribdai. Dan kuil tak ada hak mencampuri
urusan pribadi orang.
Lagipula setiap orang yang berkunjung ke
kuil haruslah dihormati.
“Akan saya sampaikan. Mari ikut saya….”
Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Kemudian mereka berjalan lewat
pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu kuil Shimogamo
tersebut.
Dari altar, mereka menaiki anak tangga
yang jumlahnya sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih
dari marmar. Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar.
Ada sepuluh meter persegi luasnya.
Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi. Tapi bersihnya bukan main.
“Haraplah menanti disini…” kata pendeta
itu. Si Bungsu mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai.
Pendeta tadi menuju ke ruang tengah yang
pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara berguman perlahan. Pastilah
tengah berlangsung upacara agam di ruang sebelah itu.
Dari luar sayupsayup terdengar
suara-suara orang latihan beladiri.
Seorang gadis lewat di samping si Bungsu.
melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa jauh dari tempat si Bungsu
berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia menaruh sebuah keranjang yang
nampak berisi makanan di sisinya.
Sepintas si Bungsu menoleh padanya. Gadis
itu kebetulan juga tengah menoleh padanya.
“Bungsu-san…” seru gadis itu. Wajahnya
berseri.
“Michiko….” Kata si Bungsu tertahan. Ya,
gadis itu adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan
bunga-bunga sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu.
Di punggungnya dia memakai Obi, semacam stagen.
Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia memakai Kanzashi berbunga. Yaitu
semacam sanggul khas Jepang.
Gadis itu segera saja bangkit. Membawa
keranjan kecilnya dan sengan wajah berseri duduk berjongkok di sebelah kiri
sisi si Bungsu.
“Aaa, saya hampir-hampir tak mengenal
Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis seperti seorang samurai yang
siap bertempur. Gagah dan perkasa”
Michiko berkata sambil menatap si Bungsu
yang memegang samurai itu.
Si Bungsu juga balas menatap kagum pada
gadis cantik itu.
“Engkau benar-benar gadis yang cantik
Michiko-san…” katanya perlahan. Wajah Michiko bersemu merah. Matanya bersinar
menatap si Bungsu.
“Ada keperluan apa Bungsu-san kemari?”
tanyanya. Dan pertanyaan itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta
tadi terbuka.
“Dengan segala senang hati, Obosan
menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu.
“Bungsu-san….engkau akan bertemu dengan
Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran.
“Ya, maafkan saya harus pergi….” Jawabnya
sambil berdiri.
“Nona Michiko….” Pendeta yang menyilahkan
si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan gembira.
“Selamat pagi pak…” sapa Michiko ramah.
Sementara itu pintu ruangan terbuka
lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu.
Dan dalam ruangan upacara itu, tegak
sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala botak. Tegak berbaris di
dua sisi.
Persis di ujung kedua barisan itu, dekat
altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam
jubah merah.
Dia tegak menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu tegak mengangkang di pintu
menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah itu.
“selamat datang di kuil Shimogamo, anak
muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan masuk….” Obosan (kepala
pendeta) itu berkata dengan ramah.
Di telinga si Bungsu, suaranya yang ramah
itu seperti datang dari liang lahat. Seperti suara cangkul menggali pusara.
Seperti suara gonggong anjing di tengah malam.
Dia tak beranjak dari tempatnya tegak.
“Silahkan masuk, kuil ini terbuka buat
semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya Obosan itu. Suaranya masih
ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.
“Terimakasih. Saya mencari seorang
lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo Matsuyama. Ada lelaki itu
disini?”
Suara si Bungsu bergema. Semua orang jadi
terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu. Seperti suara yang datang
dari guha yang sunyi.
Mengandung misteri dan mengandung suara
bahaya.
Dia menatap kepala pendeta itu
tepat-tepat dalam jarak dua puluh depa dari tempatnya tegak.
“Siapa anda, anak muda?” Obosan itu.
Masih ramah dan lembut suaranya.
“Saya orang Indonesia…” jawabnya dingin.
“Saya banyak mengenal banyak teman-teman
dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta itu masih bicara perlahan
dari tempatnya tegak.
“Anda banyak teman, yaitu penghianat di
negeri kami kami. Anda masih kenal saya, Saburo?”
Pertanyaan itu saja sudah membuat kaget
sluruh pendeta yang ada disana.
Michiko yang juga kaget luar biasa atas
percakapan itu melangkah, dan tegak tiga depa di belakang si Bungsu.
“Maafkan, terlalu lama zaman saya lalui.
Sehingga saya tak bisa mengingat semua teman dan kenalan…” suar Obosan itu
terdengar lagi.
Si Bungsu membuka kimononya. Dan pinggang
ke atas tiba-tiba terbuka.
Michiko yang ada di belakang terpekik
melihat beberapa sayatan memanjang di punggung anak muda itu. Sementara yang
tegak di depannya yaitu para pendeta itu, juga tertegun melihat bekas-bekas
sayatan di dada anak muda asing ini.
Si Bungsu membelakang. Memperlihatkan
punggungnya pada Saburo.
“Suatu hari di Minangkabau, di desa
Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago Kabupaten 50 Kota, anda membunuh
seorang lelaki bernama Datuk Berbangsa. Membunuh isterinya. Memperkosa anak
gadisnya. Dan melukai anak lelakinya.
Mereka adalah ayah, ibu dan kakakku! Dan
anak lelaki yang engkau kira mati oleh samuraimu itu, kini ada dihadapnmu!”
Kalau saja ada petir menyambar,
barangkali kepala pendeta itu, terlebih lagi para pendeta dan Michiko, mungkinn
takkan terkejut mendengarnya.
Namun ucapan anak muda ini melebihi
seribu petir di pagi itu. Michiko terpekik!
“Ayaah….!” Katanya. Dan dia jatuh
berlutut di atas lantai!
Si Bungsu kaget dan menoleh ke belakang.
Obosan itu juga kaget. Dan barulah kini dia melihat bahwa di belakang anak muda
itu ada Michiko, anaknya!
“Michiko…..”
Kepala pendeta yang tak lain dari Saburo
Matsuyama itu berseru. Suaranya terdengar getir. Dan di ujung sana, Michiko
terduduk, dia menangis.
Saburo jelas sekali terpukul bathinnya.
Bertahun-tahun dia menyembunyikan diri dari kekejamannya selama perang. Dia
selalu bercerita yang baik-baik pada anak gadisnya.
“Kenapa ayah berhenti jadi tentara?”
begitu Michiko bertanya ketika dia pulang setelah dipecat dari dinas
ketentaraan oleh Jenderal Fujiyama di Bukittinggi dulu.
“Perang sangat kejam nak. Ayah tak bisa
membunuh orang terus-terusan. Ayah berhenti di Filipina…” katanya berbohong.
Ya, dia hanya setahun di Indonesia. Dia
tak ingin pengalaman pahitnya di Indonesia diungkit. Dia mengatakan pada
anaknya bahwa dia hanya bertugas di Filipina.
Dan Saburo Matsuyama ternyata memang
menyesali segala perbuatannya selama perang. Dia memtutuskan untuk jadi
pendeta.
Siapa nyana… ternyata ada orang yang
mencarinya kembali untuk urusan balas dendam.
Yang tak kalah kagetnya adalah si Bungsu.
dia heran kepada siapa Michiko memanggil ayah tadi? Dan begitu Saburo menyebut
Michiko… maka tahulah dia, ayah si gadis itu adalah Saburo! Ya Tuhan, alangkah
banyaknya hal yang tak bisa terduga oleh manusia!
Dan tiba-tiba saja semua dikejutkan oleh
perbuatan Michiko. Tangan gadis itu cepat menjangkau ke dalam keranjang kecil
yang dia bawa. Dari dalamnya dia menghunus sebilah samurai kecil.
Dan samurai itu dia hunjamkan ke
jantungnya!!
Bersambung ......... ke Tikam Samurai (65)
Komentar
Posting Komentar