Hannako tengah mengurus bunga di taman
depan rumahnya di jalan Uchibori ketika sebuah mobil berhenti diseberang sana.
Dia tak tahu ada mobil berhenti. Seorang
lelaki tua, tapi gagah turun dari mobil. Dua orang lelaki lainnya menanti tegak
di sisi mobil.
Lelaki tua itu berjalan menyebrangi
jalan. Masuk ke pintu taman.
“Gomenkudasai…” kata orang tua itu
perlahan. Hannako menoleh. Melihat lelaki tua gagah itu. Dan jauh dibelakangnya
dia lihat sebuah mobil dan dua orang lelaki berdiri.
“Hai..ogenki desu ka…” (Ya, apa kabar?
Jawab Hannako sambil berdiri, dan membungkuk memberi hormat. Lelaki tua itu
juga memberi hormat.
“Apakah nona bernama Hannako?”
“Ya, saya Hanako. Ada apa?” tanya Hannako
gugup.
“Jangan gugup. Saya hanya menyampaikan
pesan seseorang. Apakah ada Kenji di rumah?”
“Tidak. Dia pergi ke Budokan. Latihan
karate”
“Oh ya…”
“Apa kabar? Mari silahkan masuk…”
“Tidak. Terimakasih…”
Lelaki tua itu menatap pada Hannako
dengan matanya yang lembut. Kegugupan Hannako lenyap melihat wajah lelaki tua
yang kelihatannya penyayang itu.
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari
balik kimononya.
“Saya diminta seseorang untuk
menyampaikan kiriman ini pada nona…” katanya sambil melangkah mendekati
Hannako.
Hanako ragu. Dia tak segera menerima
amplop besar yang diulurkan lelaki itu.
“Apa ini, dan dari siapa?” tanyanya.
“Ambillah….” Lelaki itu mengangsurkan
amplop tersebut. Mau tak mau Hannako mengambilnya. Melihat alamatnya. Dan
tiba-tiba dia tertegun.
“Dari Bungsu-san…”katanya kaget.
“Ya. Dari dia…..” jawab lelaki itu.
Hannako segera membuka amplop tersebut.
Menyangka kalau di dalamnya ada surat. Namun dia kegt. Di dalamnya hanya ada
uang dalam jumlah yang sangat besar.
Dia tersurut. Matanya menatap lelaki itu.
“Ya. Dia yang mengirimkannya untuk nona
dan saudara-saudara nona. Dia tak sempat datang kemari…”
“Bu…bukankah dia di penjara?”
“Sekarang tidak lagi nona…”
Hannako tak mengerti. Dia menatap lelaki
itu.
“Dia sudah bebas dua hari yang lalu. Dan
dia sudah pergi entah kemana. Dia hanya menitipkan ini untuk nona…”
Tubuh Hannako gemetar.
“Oh, tidak….! Tidak mungkin. Dia pasti
kemari kalau keluar dari penjara. Dia tak mungkin sudah bebas. Perkaranya belum
diputus…”
Hannako menangis. Dan dia berniat berlari
ke rumah. Namun ucapan lelaki tua gagah itu menghentikannya.
“Percayalah padaku nak. Dia memang telah
bebas…”
“Tapi….kenapa dia tak kemari?”
“Ada sesuatu yang sangat penting, yang
akan dia urus. Barangkali sekarang dia tak di kota ini lagi…”
“Tuan siapa, dan bagaimana saya bisa
mempercayai ucapan tuan…”
Lelaki tua itu menarik nafas. Namun
Hannako jadi terkejut takkala matanya tertatap pada jari-jari tangan kiri
lelaki tua itu.
Kelingking kiri lelaki tua itu tak ada!
Hannako kaget menatapnya.
“Tuan…”
Lelaki itu menatap pula ke kelingking
kirinya.
“Ya, saya Tokugawa…” katanya perlahan.
Mata Hannako membelalak. Lelaki ini tokoh
Jakuza di kota ini. Lelaki inilah yang telah menjamin keselamatan dirinya dan
saudara-saudaranya dengan sebuah sumpah memutus jari di hadapan si Bungsu.
Hannako membungkuk memberi hormat.
Lelaki itu memang Tokugawa, juga
membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan Hannako.
“Kapan Bungsu-san bebas?” tanya Hannako.
“Dua hari yang lalu…”
“Kenapa kami tak diberi tahu?”
“Kebebasannya memang dirahasiakan.
Betapapun juga. Amerika tak mau menanggung malu terlalu besar. Tapi mereka juga
tak berani menghukumnya. Sebab anak muda itu berada di pihak yang amat benar…”
“Bapak ada disana waktu dia bebas?”
“Ya. Saya disana…”
“Apakah….apakah dia sehat? Maksud saya.
Apakah dia tak kurang satu apapun?”
“Tidak. Dia benar-benar sehat. Dia hanya
minta saya menyampaikan kiriman ini padamu. Dan dia menyampaikan, bahwa dia
sangat menyayangi kalian…”
“Tidak. Dia tak menyayangi kami…”
“Kenapa tidak?”
“Karena dia tak pulang kemari…” Hannako
berkata dengan suara lirih. Tokugawa merasa sayang pada gadis ini. Dia tahu,
gadis ini menaruh hati pada pemuda Indonesia itu.
Dan sebagai orang tua, Tokugawa juga tahu
bahwa si Bungsu jatuh pada Hannako. Hanya tugas besar yang belum selesailah
yang menyebabkan dia tak mau datang ke mari.
Itu pertanda bahwa anak muda itu lebih
mementingkan tugasnya daripada soal-soal pribadinya.
“Dia menyayangimu nak…percayalah….”
Tokugawa berkata perlahan.
“Darimana dia dapat uang sebanyak ini?”
“Uang itu dikumpulkan oleh suatu Yayasan
untuk membelanya. Ternyata pembelanya tak mau menerima uang tersebut.
Pembelanya merasa sebagai suatu kewajiban membela anak muda itu. Maka uang ini
diserahkan padanya. Dan dia ingin agar disampaikan padamu Hannako.
Hannako terharu. Dia bahagia. Si Bungsu
ternyata masih mengingatnya. Airmata mengenang di sudut matanya.
“Kalau bapak jumpa dengannya, katakan
bahwa kami mengucapkan terimakasih yang amat besar. Dan katakan bahwa ada
seorang gadis yang sudah berkali-kali ternoda kehormatannya, tapi hatinya masih
suci, yang selalu setia menantinya di rumah ini…. Bapak sampaikan itu padanya…”
Tokugawa ikut terharu bersama kesedihan
gadis itu. Gadis itu merasa terasing karena dinodai oleh Kawabata dan anak
buahnya. Diam-diam dia merasa ikut berdosa. Sebab Kawabata yang mati ditangan
si Bungsu itu adalah anak buahnya.
Diam-diam dia bersumpah akan membatu
gadis ini dan saudara-saudaranya setiap saat.
“Jangan sedih nak…” hanya itu yang bisa
dia ucapkan. Hatinya yang luluh menyebabkan tak ada lagi kalimat yang bisa dia
ucapkan. Haripun berangkat sore.
***0***
Namun sebenarnya si Bungsu masih tetap di
Tokyo. Hanya nasib yang tak mempertemukan Hannako dengan anak muda itu. Si
Bungsu tetap menjalankan latihannya yang sangat ketat.
Saat itu di Jepang, apara samurai telah
menggantung samurai mereka di dinding rumah.
Yang masih tetap belajar samurai adalah
kaum penjahat komplot Jakuza. Selain itu, samurai hanya dipelajari oleh para
pesilat samurai di kaki gunung di kampung yang jauh di pelosok.
Namun akalu ada seorang manusia yang
berlatih samurai sangat tekun di seluruh Jepang saat itu, mungkin orangnya
adalah si Bungsu. melebihi ketekunan para samurai Jepang manapun di sana.
Dan hampir dua bulan setelah dia
dibebaskan, dia berada dalam kereta api cepat menuju Kyoto!
Kyoto adalah ibu negara Jepang zaman
Dinasti tokugawa. Yaitu dinasti raja-raja yang melahirkan pendekar samurai yang
tersohor ke segenap penjuru dunia.
Dinasti Tokugawa adalah pengganti dinasti
Edo. Pada zaman dinasti edo, ibunegara Jepang berada di kota Nara. Tokugawalah
yang memindahkan Ibunegara Jepang ke Kyoto.
Namun disaat dinasti Tokugawa digantikan
oleh dinasti Meiji, yaitu dinasti yang memerintah saat ini, dinasti leluhur
Tenno Heika, Ibunegara dipindahkan pula ke Tokyo.
Ke Kyoto lah si Bungsu kini menuju. Dia
meninggalkan Tokyo dengan menekan kuat-kuat keinginan hatinya untuk datang
pamitan ke rumah Hannako dan Kenji.
Tapi dia kawatir pertemuan itu justru
akan menggundahkan hatinya dan hati Hannako. Gadis itu terlalu baik padanya.
Dia tak mau perpisahan itu diantar oleh tangis Hannako.
Jarak antara Tokyo dengan Kyoto sekitar
500 km. dengan kereta api saat itu, jarak tersebut akan ditempuh selama 24 jam.
Sehari semalam.
Untuk mencapai Kyoto dari Tokyo naik
kereta api ada tiga jalur yang bisa ditempuh.
Pertama jalur pantai barat. Ajlur ini
sangat jauh. Menempuh kota-kota Takasaki, Nagano, Naoetsu, Toyama, Kanazawa,
Fukui terus ke Kyoto.
Jalur kedua adalah jalur tengah. Menempuh
kota-kota Kofu, Shiojiri, Nagoya, Gifu, Otsu dan Kyoto. Jalur ketiga adalah
jalur pantai timur lmelewati kota-kota Matsudo, Shizuoka, Nagoya, Gifu, Otsu
dan Kyoto. Jalur inilah yang terdekat yang ditempuh si Bungsu.
Kereta api yang dia naiki berwarna merah.
Saat itu menarik gerbong 20 buah yang panjang keseluruhannya tak kurang dari
200 meter. Mendengus dan menggelinding di atas rel baja.
Saat itu bulan Desember. Musim dingin
telah datang pula. Si Bungsu memakai baju tebal. Persediaan keuangannya masih
cukup meski dalam ukuran sederhana.
Di bawah tempat duduknya dia letakkan
ransel lusuhnya. Sementara samurainya dia simpan di balik baju tebalnya.
Melekat ke dirinya. Dia merasa aman senjata itu di sana. Sewaktu-waktu bisa dia
pergunakan.
Kerata api itu sebenarnya cukup baik.
Tapi setelah perang dunia ke II semua angkutan memang jadi semrawut. Penumpang
berjubel. Demikian juga dengan kereta api ini.
Meski dia duduk di gerbong kelas I tapi
tak urung penumpang dari kelas dua dan kelas ekonomi nyelonong kesana.
Saat itu sudah mencapai kota kecil Gamagori. Kota ini terletak di tepi teluk
Atsumi. Perjalanan itu sudah jauh meninggalkan Tokyo.sudah melewati kota-kota
Shizuoka dan Toyohashi. Kini kereta mereka akan menuju Nagoya. Sudah lebih
separoh perjalanan.
Dua orang lelaki, berpakaian kimono hitam
naik di stasiun Gamagori. Mereka naik di gerbong kelas dua. Terus menyelusur
arah ke depan. Ke gerbong kelas satu.
Pintu gerbong kelas satu didorong.
Kondektur yang berpakaian coklat tebal yang semula merasa berang ada orang
masuk tanpa izin, begitu melihat siapa yang masuk cepat-cepat menghindar dari
jalan dan membungkuk meberi hormat.
Kedua lelaki itu tak mengacuhkan hormat
si kondektur. Mereka terus ke depan. Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong
yang lain. Seperti ada yang mereka cari.matanya plarak-plirik ke kiri dan ke
kanan.
Di gerbong nomor tiga dari depan, mereka
berhenti. Seorang gadis cantik kelihatan duduk dekat jendela dengan diam. Satu
bangku dengan gadis itu sebenarnya ada dua orang lagi. Seorang perempuan tua
dan seorang lagi lelaki dewasa. Tapi saat itu kedua mereka sedang pergi ke WC.
Kedua lelaki itu saling pandang. Lalu
tersenyum. Senyumnya lebih tepat dikatakan menyeringai.
“Maaf, tempat ini kosong bukan?” yang
seorang bertubuh ceking tinggi seperti tengkorak hidupo berkata dengan suara
mirip burung gagak.
Gadis itu terkejut. Menoleh. Dan dia
lebih terkejut lagi melihat kedua lelaki bertambang seram itu. Sebelum dia
sempat menjelaskan, kedua lelaki itu telah menghenyakkan pantatnya di sisinya.
Bau minuman sake segera tercium begitu
mereka duduk.
“Tempat ini ada orangnya….” Gadis itu
coba menjelaskan dengan ramah.
“Ya, kami orangnya bukan?” jawab yang
pendek dengan suara seperti bebek, sambil tangannya melewati tubuh si jangkung
kurus mencowel pipi gadis itu.
Gadis itu cepat mengelak dengan wajah
berang. Dan kedua lelaki itu tertawa. Tawanya menyeramkan. Yang satu seperti
burung gagak. Mengakak memperlihatkan gigi yang kuning. Yang satu
mendesah-desah seperti suara bebek. Air ludahnya menyembur-nyembur.
Gadis itu segera bangkit akan pindah
tempat. Meskipundia tahu semua tempat sudah penuh, tapi daripada berdekatan
dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke tujuan. Namun yang jangkung
menarik tangannya. Menyentakkannya.
Gadis itu terhenyak duduk kepangkuannya.
Dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa. Para penumpang lain hanya
melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu.
Mereka segara tahu, sikap demikian hanya
dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah ini, ada dua kelompok penjahat yang
berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi (Beruang Gunung).
Keduanya sama-sama berbahaya untuk
dicampuri urusannya. Karena itu, para penompang lebih suka berdiam diri. Dengan
jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu
terpekik.
Saat itulah kedua penompang yang duduk
disebelah gadis itu muncul dari WC.
Melihat ada orang duduk di tempat mereka,
yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata :” Maaf Bung, ini tempat saya
dan ibu ini”
Kedua lelaki itu, yang tengah tertawa
cekikina terhenti. Menatap pada lelaki tersebut.
“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?”
Si gemuk pendek balik bertanya. Lelaki itu mengeluarkan karcisnya. Perempuan
itu juga. Si gemuk dan si jangkung mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya
ke dalam jubahnya.
“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?”
si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.
Lelaki itu segera mengetahui bahwa orang
ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini
ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini pastilah anggota bandit-bandit
Jakuza atau Kumagaigumi.
Tapi harga dirinya sebagai seorang
pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh, maka dia tetap protes.
“Jangan main-main. Saudara bisa saya
laporkan pada kondektur…” katanya. Kedua lelaki itu tertawa. Kondektur lewat.
Lelaki itu menyampaikan persoalannya.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (62)
Komentar
Posting Komentar