Pukulan tangan kanannya mendarat di perut
Kempetai yang tengah membidikkan bedilnya itu. Kedua tubuh mereka terjatuh ke
atas kap depan. Kempetai itu duluan tegak. Tapi kaki Datuk Penghulu menghajar
pusarnya dari bawah. Dia terlambung ke tanah persis di depan truk. Ketika akan
bangkit, saat itu pula tubuh Datuk Penghulu terjun. Kakinya mendarat di tengkuk
si Jepang. Terdengar tulang patah. Dan Kempetai itu mati Pada saat yang sama,
si Bungsu menyelesaikan tugasnya di belakang. Kempetai kesepuluh mati dengan
leher putus. Demikian cepatnya keadaan itu berlangsung.
Sehingga, dari saat truk itu berhenti,
sampai pada Kempetai yang kesepuluh orang itu mati, waktunya barangkali hanya tiga
menit. Memang terlalu fantastis. Namun begitulah yang terjadi. Si Bungsu
pembenci Jepang nomor satu. Dalam usahanya mencari Kapten Saburo Matsuyama
untuk membalaskan dendam keluarganya, dia menyapu habis set iap Jepang yang
menghalanginya. Dan pagi ini, kembali samurainya bekerja terlalu cepat bagi
Jepang-Jepang tersebut. Sedangkan Datuk penghulu, yang selama ini terlalu sabar
dengan menyimpan-nyimpan ilmunya, kini setelah anak dan istrinya mati ternista
di tangan Jepang, membalaskan dendamnya dengan segenap kebencian.
Empat orang Kempetai mati kena makan
tangan dan kakinya pagi itu. Dan saat itulah chu-I (Letnan satu) yang memimpin
regu penyergapan itu menyadari bahaya yang mengancamnya. Sejak tadi dia duduk
di sebelah sopir. Dia hanya mendengar suara hingar bingar di belakangnya. Dan
tiba-tiba di kap di depannya ada tubuh yang jatuh. Tubuh itu tak lain tubuh
Datuk Penghulu dengan seorang prajurit. Ketika prajurit itu mati, dia baru
menyadari bahaya mengancam. Segera saja dia mengeluarkan pistolnya. Kemudian
dari tempat duduknya dia membidik ke arah kepala Datuk Penghulu di luar sana.
Dia bermaksud menembak Datuk itu melalui kaca depan.
Namun subuh itu memang merupakan subuh
berlumur darah bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi. Sebab, melalui kaca yang membatasi
ruangan sopir dengan bahagian belakang truk si Bungsu yang tegak di bahagian
belakang sekali dari truk itu, melihat pistol yang sedang dibidikkan kearah
Datuk Penghulu di depan sana.
Untuk berlari mengejar tak mungkin lagi.
Maka satu-satunya jalan tercepat adalah dengan melemparkan samurai di
tangannya. Dengan mengumpulkan segenap tenaga anak muda ini tiba-tiba
melemparkan samurainya. Samurai itu terbang seperti kilat. Ujungnya menghantam
kaca belakang truk. Menembusnya, dan sedetik sebelum pistol di tangan chu-I itu
meledak, samurai tersebut menghujam di tengkuknya.
Pistolnya meledak juga. Pelurunya memecah
kaca depan, tapi arahnya sudah tak menentu. Datuk Penghulu terkejut, dia
menoleh, dan melihat chu-I itu terkulai mati. sopir truk itu menjadi kecut. Dia
menghidupkan mesin truk dan menginjak gas. Namun Datuk Penghulu lebih cepat
lagi. Dia membuka pintu truk tersebut dan menyeret sopirnya turun. Truk itu
terhenti tiba-tiba. Saat itu si Bungsu sampai ke depan.
“Jangan bunuh dia.” si Bungsu berseru
ketika Datuk itu sudah siap mengirimkan pukulan kejantung Jepang tersebut.
“Dimana Sho-i Atto yang memimpin
penyergapan malam tadi “? Suara si Bungsu mendesis tajam.
Sopir truk tak segera menjawab. Si Bungsu merenggutkan samurai dari tengkuk cho-I yang telah mati di sebelah sopir tadi. Di sepanjang mata samurai itu masih meleleh darah. Sopir itu tiba-tiba menjadi ngeri bukan main. Dia telah mendengar dari bisik-bisik temannya, bahwa ada seorang anak muda yang sangat mahir dan sangat cepat dalam mempergunakan samurai. Kini anak muda itu ada di depannya. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya jadi menggigil.
“Sebutkan dimana Atto sekarang . . .,” suara si Bungsu mendesis lagi.
Sopir truk tak segera menjawab. Si Bungsu merenggutkan samurai dari tengkuk cho-I yang telah mati di sebelah sopir tadi. Di sepanjang mata samurai itu masih meleleh darah. Sopir itu tiba-tiba menjadi ngeri bukan main. Dia telah mendengar dari bisik-bisik temannya, bahwa ada seorang anak muda yang sangat mahir dan sangat cepat dalam mempergunakan samurai. Kini anak muda itu ada di depannya. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya jadi menggigil.
“Sebutkan dimana Atto sekarang . . .,” suara si Bungsu mendesis lagi.
“A. . . .apakah saya akan tuan bebaskan,
kalau saya sebutkan di mana dia?” Jepang itu coba mencari jalan selamat dari
lobang jarum ini.
Namun tiba-tiba Datuk Penghulu
menamparnya. Tamparan Datuk yang tengah berang ini bukan main dahsyatnya. Gigi
sopir itu copot dua buah.
“Sebutkan dimana Atto atau kami bunuh
waang sekarang …..” suara Datuk itu mengancam.
“Ya . Ya Tapi berjanjilah bahwa kalian
akan membebaskan saya. . . .”
Suaranya terputus. Karena kaki Datuk
Penghulu terangkat. Lututnya menghantam selangkang Jepang itu. Mata Jepang itu
terbeliak. Dan Datuk Penghulu melepaskan pegangannya. Tubuh Jepang itu jatuh ke
tanah.
Dia memang sudah mendapatkan yang dia
inginkan. Suatu kebebasan. Datuk itu berkata perlahan melihat tubuh Jepang yang
tak berkutik itu.
“Atto yang engkau tanyakan itu pasti
berada di markasnya buyung. Dan kita akan mendapatkan dia. Dia harus membayar
hutangnya. Hutang darah dibayar darah. Hutang nyawa harus dia bayar dengan
nyawanya. Nah, cepat kita menghindarkan dari sini ….”
Sambil berkata begitu, Datuk Penghulu
mengangkat tubuh sopir tersebut. Kemudian melemparkannya ke atas truk bahagian
belakang. Si Bungsu mengangkat tubuh sersan yang mati kena hantam di depan
truk. Juga meletakkannya di bak belakang bersama sebelas mayat lainnya. Datuk
Penghulu mengambil jerigen berisi minyak yang terikat di luar truk itu.
Kemudian menyerakkannya pada mayat-mayat di belakang. Si Bungsu membuka kap
truk itu. Memecah karburatornya. Bensin meleleh keluar.
Datuk Penghulu menyulut korek api.
Kemudian melemparkannya ke mayat yang telah disiram bensin tersebut. Api segera
saja menyala dengan marak. Melalap bangkai-bangkai Jepang itu. Kemudian mereka
menghilang ke dalam palunan hutan bambu. Meninggalkan truk dan bangkai-bangkai
Jepang itu dimakan api. Tak berapa lama kemudian, subuh buta itu dipecahkan
oleh dentuman dahsyat data truk itu meledak berkeping-keping. Menghancurkan dan
menghamburkan bangkai hangus menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Hari itu
pecah kabar di kota Bukittinggi tentang pembantaian tentara Jepang tersebut.
Kempetai dan pasukan-pasukan Jepang memeriksa dan memasuki seluruh hutan bambu
di Tarok dan Padang Gamuak.
Mereka mencari tempat persembunyian Datuk
Penghulu dan si Bungsu. Sampai sore seluruh rimba bambu itu mereka periksa
dengan lebih dari lima puluh tentara dan tiga ekor anjing pelacak. Namun kedua
orang yang mereka cari tak kelihatan batang hidungnya. Bahkan dekat rumah Datuk
Penghulu yang terbakar itu pun tak kelihatan ada bekas kuburan. Syo-iAtto yang
pada malamnya memimpin penyergapan dan memperkosa perempuan-perempuan itu
menjadi penunjuk jalan.
Dari dia komandan Garnizun Jepang di
Bukittinggi mendapatkan kabar bahwa setidak-tidaknya ada dua orang yang mati
malam sebelumnya. Yaitu istri dan anak Datuk Penghulu.Setelah tak berhasil
mencari jejak Datuk penghulu, kini Kempetai mulai memeriksa seluruh tanah
perkuburan kaum di kota itu. Mereka mencari kuburan yang baru digali. Kalau ada
yang baru maka diselidiki, kuburan siapa itu.
Mereka berharap menemukan kuburan anak
dan istri Datuk Penghulu. Dengan menemukan kuburan itu, mereka berharap dapat
mencium jejak kedua orang tersebut. Penjagaan dan pemeriksaan di seluruh tempat
dalam kota dilakukan dengan ketat dan keras. Setiap kendaraan, motor, pedati,
bendi, gerobak dan tempattempat yang mencurigakan diperiksa dengan cermat.
Tapi kedua orang itu lenyap seperti embun
di siang hari. Tapi kemanakah lenyapnya kedua orang itu ? Dan kemana pula
mayat-mayat si Upik dan ibunya mereka sembunyikan? Ternyata kedua orang itu tak
pergi jauh. Mereka bersembunyi di sebuah surau kecil di kampung Tarok itu juga.
Entah karena apa, surau itu ternyata tak diperhatikan oleh Jepang. Padahal
belasan tentara Jepang lalu lalang di depannya.
Mungkin karena surau itu letaknya di
pinggir jalan. Atau mungkin karena Tuhan memang melindungi mereka, surau itu
tak sempat diperiksa. Dibahagian belakang surau itu ada pekuburan yang
terlindung di balik pohon pisang. Subuh tadi kedua mayat anak dan istri Datuk
Penghulu telah mereka kuburkan di belakang surau itu. Mereka dibantu oleh garin
di surau tersebut.
Ketika balatentara Jepang memeriksa
seluruh isi kota, kedua orang itu naik ke loteng surau itu. Di atas loteng itu
pula Mei-Mei terbaring. Loteng surau itu cukup lebar untuk menampung enam orang
dewasa. Jalan naik dan turunnya dari belakang. Yaitu dari arah kuburan. Di
balik tanah perkuburan kecil itu terdapat hutan bambu. Dan di hutan bambu itu
sejak tadi puluhan tentara Jepang telah mondar-mandir bersama anjing
pelacaknya.
Kedua mereka mendengarkan pencarian itu dengan tegang dari atas pagu di surau itu. Si Bungsu tiba-tiba mendengar suara Mei-mei memanggil. Gadis itu dibaringkan di atas sehelai tikar dan diselimuti dengan kain panjang. Dia telah diberi obat-obatan yang dibuat oleh si Bungsu.
Kedua mereka mendengarkan pencarian itu dengan tegang dari atas pagu di surau itu. Si Bungsu tiba-tiba mendengar suara Mei-mei memanggil. Gadis itu dibaringkan di atas sehelai tikar dan diselimuti dengan kain panjang. Dia telah diberi obat-obatan yang dibuat oleh si Bungsu.
“Uda. . . .”
“Mei-mei. . . ,” si Bungsu mendekat dan
memegang tangan gadis itu dengan lembut.
“Uda. . .”
“Ya sayang. . .”
“Mana Bapak. . .?”
Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu,
kemudian mengangguk perlahan. Datuk itu mendekati mereka.
“Saya disini nak. . .”
“Pak, . . . maafkan saya. Saya tidak bisa
membantu ibu dan Upik. . .”
“Tenanglah nak. Jangan menyesali dirimu.
Memang janjian mereka sudah begitu…”
“Tapi. . . harusnya saya bisa membantu
mereka.”
“Jangan dipikirkan juga nak. . .”,
Mei-mei menangis.
“Terima kasih atas budi bapak selama ini.
Menompangkan diri saya, mengajarkan saya silat. Memberikan saya kasih sayang, seperti
bapak menyayangi si Upik. Kasih sayang yang tak pernah saya terima dari ibu
bapak saya. . .”
“Tenanglah nak. . .jangan itu dipikirkan
. .”
“Saya memikirkannya karena saya orang
cina. Selama ini orang cina selalu disisihkan oleh orang Melayu.”
“Mei-mei, jangan begitu sayang. . .” si Bungsu berkata perlahan.
Mei-mei memegang tangan si Bungsu.
“Uda. . . benarkah uda mencintai saya. .
. .?”
“Kenapa tidak. Saya seorang lelaki, dan
saya tak pernah berbohong dengan ucapan saya.”
“Uda, tidak menyesal dengan keputusan uda
?”
“Uda, saya tak kuat lagi. Maut sudah
menjangkaukan tangannya pada saya. . .”
“Mei-mei, tenanglah…” tapi meskipun dia
berkata begitu, si Bungsu merasakan bulu tengkuknya tetap saja merinding
mendengar kata-kata gadis itu.
“Dengarlah uda. Dengarlah. . .jangan
dipotong dulu bicara saya.” Gadis itu berhenti. nampaknya seperti mengumpulkan
sisa tenaganya.
Si Bungsu jadi gugup, Dia menoleh pada
Datuk Penghulu, kemudian berbisik. Datuk Penghulu bergegas turun dari loteng
surau itu. Kini mereka tinggal berdua.
“Uda. . . masih ingat Kempetai Atto, yang
menistai diriku. . . ?”
“Saya akan selalu mengingatnya Mei-mei
Saya akan mencarinya. Akan saya cencang tubuhnya. . . akan saya . . . ,”
Mei-mei menggeleng. Ia memegang tangan si
Bungsu.
Menariknya. si Bungsu menunduk.
Mendekatkan wajahnya pada wajah Mei-mei.
“Tidak Uda, tidak Itulah yang sangat saya
takutkan. Jika engkau mencarinya, berarti engkau mencari bahaya. Seperti hari
ini. Kalian diancam bahaya. Lupakanlah dendammu itu. Lupakanlah apa yang dia perbuat
pada diriku. Saya tak ingin Uda terancam bahaya. Apa yang telah terjadi pada
diriku tak lagi bisa diperbaiki. saya tak ing in Uda terancam bahaya.
Kematian Atto takkan mencuci noda yang kuterima. Jangan engkau cari dia Uda. Jangan engkau libatkan dirimu dalam bahaya. . .jangan . . saya tak mau Uda binasa. . ., U.. uda. . .”
Kematian Atto takkan mencuci noda yang kuterima. Jangan engkau cari dia Uda. Jangan engkau libatkan dirimu dalam bahaya. . .jangan . . saya tak mau Uda binasa. . ., U.. uda. . .”
“Mei-mei . . .”
Saat itu Datuk Penghulu naik lagi dia
bersama dengan seorang imam yang ditemuinya surau ketika akan sembahyang Ashar.
Mereka mendekat kepada kedua anak muda itu. Mata Mei-mei terpejam.
“Mei-mei. …. .dengarlah. Ini pak Imam.
Kita akan menikah disini. . .”
Si Bungsu berkata perlahan ke telinga
gadis itu. Mei-mei tersenyum sebelum matanya terbuka. Senyumnya senyum lelah.
Senyumnya senyum yang amat letih dan kalah. Dimatanya tergenang manik-manik air
yang lambat-lambat meleleh turun.
“Benarkah . . .benarkah Uda mau mengambil
saya jadi istri? Setulus hati menikahi anak cina yang sepanjang hidupnya
dilumuri dosa ini? Benarkah uda. . . .?”
“Demi Allah yang kusembah, aku mencintaimu
sayang. . . .”
“Uda...saya bahagia. . .engkau menjadi
suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. .”
Mata gadis itu terpejam. Si Bungsu
menoleh pada Imam dan Datuk Penghulu, kemudian mengangguk. Imam itu
mengingsutkan duduknya.
“Jawab pertanyaan saya ini anak muda.
Apakah engkau bersedia menerima Mei-mei menjadi istrimu, menjaga dan membelanya
dalam sakit dan senang. Akan membahagiakannya dan tidak akan berbuat aniaya
padanya. . . .?”
“Saya menerimanya dengan setulus hati
saya.” Jawab si Bungsu.
Imam itu menoleh Mei-mei. Kemudian
berkata :
“Apakah engkau bersedia menerima pemuda
ini menjadi suamimu dan berjanji akan mengabdikan dirimu padanya, dalam sakit
dan senang dan akan tabah menerima setiap cobaan?” Gadis itu tak menjawab.
Matanya masih terpejam. Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
“Jawablah sayang..” Mei-mei tak menjawab.
“Jawablah dengan mengangguk kalau engkau
setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju..”
Imam itu berkata perlahan. Namun Mei-mei tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu berdetak hatinya. Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
Imam itu berkata perlahan. Namun Mei-mei tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu berdetak hatinya. Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
“Innalillahi wa Inalillahi rojiun”,
desisnya perlahan.
Si Bungsu terpana. Terpaku. Kemudian
suaranya seperti berbisik-bisik memanggil nama Mei-mei.
“Mei-mei….. Mei-mei…”
“Mei-mei….. Mei-mei…”
Tapi gadis itu memang sudah berpulang ke
Khaliknya. Seulas senyum masih membayang di bibirnya. Datuk Penghulu menghapus
air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapapun jua, dia sangat
menyayangi gadis ini. Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya. Yang
sepermainan dan sayang menyayangi dengan si Upik anaknya.
Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia mencurahkan sayang, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Mei-mei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu. seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia mencurahkan sayang, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Mei-mei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu. seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
“Uda saya… bahagia engkau suamiku.. dan
aku mengabdikan diriku menjadi istrimu,”
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan memanggilnya. Kiranya Tuhan pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tiba-tiba si Bungsu berdiri.
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan memanggilnya. Kiranya Tuhan pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tiba-tiba si Bungsu berdiri.
“Jepang jahanam. Kubunuh kalian. Demi
Allah, saya akan membunuh kalian sebanyak yang bisa saya lakukan”
Habis berkata dia menyambar samurainya
yang terletak di lantai. Kemudian bergegas turun. Namun Datuk Penghulu
mencegahnya.
“Jangan memperlihatkan diri saat ini
Buyung. Dijalanan berkeliaran ratusan serdadu Jepang..”
“Persetan . .saya akan membunuh mereka…”
Dia berbalik untuk turun. Tapi saat itu
pula tangan Datuk Penghulu menghantam tengkuknya. Anak muda itu terkulai, dia
berusaha memutar wajah menatap Datuk Penghulu, sinar matanya memancarkan rasa
sakit dan heran, kenapa Datuk itu sampai berbuat demikian. Kemudian dia jatuh
pingsan. Imam yang ada di sana itu juga menatap heran bercampur terkejut atas
sikap Datuk Penghulu.
“Kenapa Datuk pukul dia?”
Datuk Penghulu menarik nafas panjang
sebelum menjawab.
“Sudah terlalu banyak saya kehilangan Pak
Imam. Malam tadi anak dan istri saya. Sebentar ini gadis ini pula. Gadis yang
telah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kini, kalau saya biarkan dia
mengamuk diluar sana, mungkin dia akan bisa membunuh sepuluh atau dua puluh
Jepang dengan kemahirannya mempergunakan samurai. Tapi setelah itu, betapapun
jua peluru jauh lebih unggul dan lebih ampuh dari samurai di tangannnya.
Bagaimana hebatnya sekalipun, Saya tak mau kehilangan dirinya. Dia sudah banyak
berjasa pada bangsanya. Telah banyak membunuh Jepang yang merampok dan
memperkosa rakyat. Meskipun dia tak menyadari jasanya itu, karena dia berbuat
itu hanya untuk membela diri dan membalaskan dendam keluarganya. Tapi Indonesia
banyak berhutang padanya. Saya tak mau dia mati terlalu cepat. Masih banyak
hal-hal besar yang bisa dia lakukan daripada harus mati cepat-cepat dia pelindung
orang yang lemah…”
Bersambung ke............ Tikam Samurai (18)
Komentar
Posting Komentar