“Dahulu, dari seorang pedagang yang
datang dari kampung, kami dengar Kak Reno akan menikah. Tunangannya seorang
anak muda gagah tapi pejudi. Kabarnya ayah tak menyukai pertunangan itu. Tapi
Kak Reno sendiri kabarnya mencintai anak muda itu sepenuh hatinya… hanya itu
yang sempat saya dengar di Pinang. Apakah tak mungkin dia telah menikah dengan
tunangannya itu…?”
Perempuan muda itu menatap pada si
Bungsu. Si Bungsu jadi pucat.
Tapi dia yakin perempuan itu memamng bertanya
dengan jujur. Tidak mempunyai prasangka apa-apa. Makanya dia mencoba menguasai
diri.
“Tidak. Saya rasa mereka tak jadi
menikah…” jawab si Bungsu cepat. Perempuan itu kembali menarik nafas.
Darimana Abang tahu bahwa mereka tak
menikah. Apakah Abang mengenali tunangan Kak Reno?” si Bungsu kembali jadi
pucat. Namun sebisa-bisanya dia menjawab juga.
“Ya. Ya. Saya kenal padanya. Kami
sama-sama pejudi. Dan teman saya itu seingat saya belum pernah menikah…”
“Dimana tunangannya itu kini, apa
kerjanya…?”
“Ah, tunangannya itu memang seorang
lelaki pejudi. Mujur Renobulan tak jadi menikah dengannya. Kini dia kabarnya
jadi luntang-lantung diburu-buru karena pernah membunuh orang….”
Si Bungsu menjawab pasti dengan mimik
muka ikut membenci “tunangan” Renobulan itu.
“Kasihan kak Reno. Kabarnya mereka
sama-sama mencintai. Dan yang pasti, kabarnya ka Renolah yang sangat mencintai
tunangannya itu.” Si Bungsu menghirup kopinya. Kopi manis itu tiba-tiba terasa
pahit ditenggorokkannya.
Diluar stokar truk itu memperbaiki terus
per yang patah dan membuka ban yang bocor. Memberikannya ke tukang tambal.
Jalan Payakumbuh ke Pakan Baru adalah jalan parah. Jalan menembus hutan rimba.
Mendaki gunung dan menuruni lembah. Itulah jalan yang akan mereka tempuh
sebentar lagi.
--00000—
Kota Pekan Baru yang disebut-sebut
sebagai dagang baru yang ramai disinggahi pedagang dari Minangkabau itu
ternyata hanya sebuah kampung yang tak lebih besar dari Payakumbuh.
Malah dalam beberapa hal Payakumbuh lebih
bagus. Jalannya sudah diaspal. Sementara Pekanbaru umumnya jalannya masih
tanah. Di Payakumbuh sudah banyak rumah-rumah gedung yang bagus. Sementara di
Pekan Baru hanya rumah papan.
Yang ramai hanyalah sekitar Pasar Bawah
dan dekat Sungai Siak dimana terdapat sebuah pelabuhan kecil. Karena pelabuhan
inilah rupanya kota kecil itu jadi ramai.
Orang banyak berdagang ke Kepulauan Riau
yang mata uangnya sama dengan mata uang Malaya dan Singapura. Yaitu mata uang
dolar. Sebahagian besar dari kampung yang disebut kota itu terdiri dari kebun
getah dan rawa-rawa. Dibahagian kehulu pelabuhan ada sebuah mesjid yang indah.
Mesjid Raya yang dibangun Sultan Siak Sri Indrapura. Di sekitar mesjid ini
kampungnya bolehlah sedikit. Bersih dan teratur.
Tapi jauh dari situ, didalam hutan-hutan
karet yang terurus itu, masih sering orang diterkam harimau. Jauh arah ke
barat, ada sebuah lapangan terbang darurat yang dulu dibangun oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Lapangan itu tak bernama. Terletak di kampung kecil yang
berpenduduk sekitar seratus orang. Kampung itu bernama Simpang Tiga.
Tak ada yang baru di kota itu nampaknya.
Tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi anehnya, orang-orang dari Luhak nan Tigo,
yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh banyak yang pindah kemari.
Mereka membuat rumah-rumah papan
disepanjang pinggir jalan di Pasar Bawah. Pasar itu makin lama makin lebar ke
barat. Akhirnya berdiri pula sederetan toko darurat di bahagian atas dari Pasar
Bawah di dekat pelabuhan itu.
Orang-orang menyebutnya dengan Pasar
Tengah. Disinilah pedagang-pedagang itu membuka toko. Menjual beras,
sayur-sayuran dan menukarnya dengan karet.
Karet mereka jual pada kapal-kapal yang
berlayar ke Kepulauan Riau untuk kemudian dijual ke Malaya dan Singapura. Kota
ini udaranya terasa panas. Apalagi si Bungsu yang baru saja datang dari Bukittinggi.
Perbedaan udara terasa sekali. Namun dia
merasa tenteram di kota ini. Disini tak ada orang yang mengenalnya. Dia bebas
kemana-mana. Perjalanannya dengan truk dari Payakumbuh dahulu ternyata tak
semudah dan secepatnya yang dia bayangkan. Disangkanya bisa dalam dua
hari.Ternyata dia baru sampai setelah menelan waktu sepekan!.
Bayangkan, untuk menempuh jarak yang
lebih kurang 200 km dari Payakumbuh itu dibutuhkan waktu sepekan! Berkali-kali
truk gaek itu patah per. Berkali-kali bannya pecah. Berkali-kali truk itu
terpuruk kedalam lobang jalan yang dalamnya sedalam Ngarai Sianok! Bah!
Benar-benar perjalanan kalera!.
Dan ketika sampai ke Pekan Baru, semua
sayur yang dibawa pedagang sudah jadi bubur. Yang selamat hanyalah beras dan
bawang. Lain daripada itu luluh lantak semua.
Dan karena terlambat itu, si Bungsu telah
ketinggalan kapal.
“Sudah lama berangkat kapal itu?”
tanyanya pada seorang tua di pelabuhan.
“Maksudmu Kapal Suto Maru ke Singapura?”
orang tua itu balik bertanya.
“Ya. Suto Maru itu..”
“Baru kemaren. Seharusnya lima hari yang
lalu. Tapi karena kerusakan mesin, baru kemaren sore dia berangkat…’ Si Bungsu
terterangah.
“Kemaren sore…”
“Ya. Kemaren..”
“Jam berapa?”
“Kalau tidak salah jam lima…”
Si Bungsu mengucap-ngucap kecil dalam
hatinya. Kemaren sore jam tiga dia sudah sampai di Simpang Tiga. Celakanya truk
tua itu rusak lagi disana. Tali kipasnya putus. Kaburatornya bocor. Dan mereka
menanti sampai malam. Baru malam tadi dia masuk kota. Padahal jaraknya antara
Simpang Tiga dengan kota ini hanya sembilan kilometer! Memang belum nasibnya
untuk bisa berangkat.
Tapi kalaupun dia datang sore kemaren,
dia akan susah jua. Sebab dia tak punya paspor. Nah, hari-hari tak ada kapal
ini dia pergunakan untuk mengurus paspor. Dengan memberikan uang lebih banyak,
paspornya cepat saja keluar.
Dalam keterangan dalam paspor itu
disebutkan bahwa dia anak kapal. Dan pemberian paspor saat itu tak
bertele-tele. Tak banyak berbelit-belit.
Untuk memudahkan mengetahui bila ada
kapal ke Singapura atau ke Jepang yang datang, dia lalu menginap di sebuah
penginapan kecil dekat pelabuhan itu.
Penginapan itu dua tingkat. Bangunannya
terbuat dari papan. Bahagian atas untuk penginapan. Bahagian bawah rumah makan.
Kalau akan mandi cukup menyebrangi jalan kecil di depan penginapan itu maka
akan sampailah di Sungai Siak. Mandi mencebur saja di sungai itu.
Sungai itu airnya berwarna merah, airnya
bagus untuk memasak atau diminum. Dan mencuci kain tak ada pengaruhnya. Artinya
kain tak ikut menjadi merah karena warna air tersebut.
Sebagaimana jamaknya sebuah pelabuhan,
kota itu menjadi persinggahan banyak orang. Tempat pertemuan banyak suku
bangsa. Di penginapan kecil tempat si Bungsu menginap itujuga menginap berbagai
suku.
Di kamar sebelahnya menginap dua orang
Tapanuli. Di kamar depannya menginap orang Jawa. Dan bahkan di kamar depan
sekali, yaitu kamar besar yang menghadap ke Sungai Siak, menginap dua orang
asing. Mungkin orang Amerika. Yang satu lelaki, yang satu perempuan. Mereka
kabarnya akan terus ke Kerajaan Siak Sri Indrapura jauh di hilir kota Pekanbaru
ini. Mereka akan mengadakan penelitian sejarah.
Keduanya belum begitu berumur. Mungkin
sekitar tiga puluh lima umurnya. Tapi yang perempuan bertubuh menggiurkan dan
berwajah cantik. Kemana-mana mereka membawa alat pemotret.
Yang orang Tapanuli kabarnya beberapa
kali kerja di kapal. Kini mereka tengah menunggu kapal lain untuk melamar
pekerjaan. Mereka sudah bosan bekerja di kapal kecil yang ke Kepulauan Riau.
Mereka ingin bekerja di Kapal Besar yang trayeknya ke luar negeri.
Sementara yang orang Jawa kabarnya adalah
mantri kebun kelapa sawit. Mereka datang kemari untuk mengadakan penelitian
terhadap peremajaan kebun-kebun kelapa sawit. Hanya malangnya tak diketahui
kenapa mereka sampai ke Pekanbaru.
Di kota ini yang mereka jumpai hanya
kebun karet. Tak sepohonpun kelapa sawit. Kabarnya mereka menanti kapal untuk
membawa mereka kehilir. Menurut kabarnya pula di hilir kota ini, yaitu di Okura
ada perkebunan kelapa sawit. Kesanalah mereka akan pergi.
Yang tak habis dimengerti oleh si Bungsu
adalah, kenapa mereka bisa berangkat dengan meraba-raba begitu. Kalau mereka
pegawai negeri, kenapa tak ada petunjuk yang pasti?
Tapi itu urusan mereka, pikirnya.
Sementara penginap-penginap lainnya
umumnya orang Minang, pekerjaan mereka berbagai ragam. Siang hari dia lihat ada
yang berjalan hilir mudik. Mencari barang yang patut dibeli dengan harga murah.
Kemudian dijual dengan harga mahal. Tak peduli apa barangnya.
Ada juga pedagang-pedagang yang menanti
kapal untuk berlayar ke Kepulauan Riau. Pedagang-pedagang ini sudah mempunyai
bekal yang cukup. Ada yang membawa tembaga, aluminium, ada pula yang membawa
kain batik. Kabarnya barang-barang seperti itu amat laris di Kepulauan Riau
atau di Malaya.
Sementara ada pula yang malam-malam hari
menggelar tikar dihalaman penginapan. Memasang lampu, kemudian meniup salung.
Yang satu lagi berdendang. Nah, kegiatan mereka inilah yang banyak menarik
peminat. Hampir tiap malam halaman penginapan itu penuh oleh pengunjung yang
ingin mendengarkan Saluang tersebut. Sudah tentu semuanya orang Minang.
Mereka pada melemparkan uang keatas tikar
meinta lagu-lagu yang mereka sukai. Malam itu terang bulan. Di bawah kelihatan
ramai sekali. Si Bungsu tak ikut turun. Dia hanya melihat dari jendela kamarnya
yang kebetulan menghadap ke jalan.
Pada akhir bait-bait pantun selalu
terdengar pekik sorak orang. Dan dari jendela si Bungsu melihat orang Amerika
itu asik memotret-motret dengan tustelnya. Lampu pijarnya menyala-nyala. Setiap
kali habis memotret, dia menukar lampunya yang telah hangus itu dengan yang
baru.
Tapi si Bungsu hanya melihat yang lelaki.
Sementara perempuannya yang bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik itu tak
kelihatan.
---000---
Anak muda ini sudah berniat untuk takkan
menjatuhkan tangan kejam kepada orang. Sejak dia meninggalkan rumah Kari Basa
di Bukittinggi, dia telah berniat demikian.
Ketika terjadi peristiwa dengan Datuk
Hitam di Kedai dekat stasiun kereta api Payakumbuh itupun sebenarnya dia tak
berniat untuk mencari huru hara.
Apalagi saat itu dia merasa berada di
kampung halamannya. Dia tak sampai hati mencelakakan orang kampungnya sendiri.
Namun ada pendapat orang-orang tua, bahwa
bagi seorang pemelihara “orang halus” meskipun dia telah berniat untuk tak lagi
berhubungan, akan tetap ada kekuatan lain yang suatu saat memaksanya untuk
berhubungan lagi dengan peliharaannya.
Hal yang sama juga terjadi pada
orang-orang yang mempunyai “harimau” untuk menjaga dirinya. Hal-hal seperti ini
banyak terjadi di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan si Bungsu. Meskipun
dia telah berniat untuk tidak terlibat dalam perkelahian, tapi “himbauan”
samurai itu mempunyai kekuatan sendiri.
Kekuatan itu terkadang datangnya tanpa
dapat dicegah. Jika tidak dikehendaki oleh pemiliknya maka orang lainlah yang
menghendaki.
Dalam hal peristiwa Datuk Hitam di
Payakumbuh, yang memaksa dia untuk mepergunakan samurai itu justru Datukitu
sendiri. Betapapun susahnya si Bungsu untuk menahan diri agar tak tersinggung,
namun Datuk itu seperti “memaksa” agar dia mempergunakan samurainya.
Si Bungsu barangkali takkan marah kalau
yang dihina Datuk itu dirinya saja. Tapi begitu Datuk itu memaksa perempuan
muda itu untuk melakukan hal-hal yang tidak-tidak, amarahnya segera bangkit.
Dan terjadilah peristiwa itu.
Di Pekanbaru ini, sejak mula untuk menghindarkan
dirinya terlibat dalam perkelahian, dia sengaja meninggalkan samurainya di
penginapan.
Berhari-hari dia berjalan di pelosok kota
tanpa samurainya. Namun suatu hari, yaitu di hari ke enam dia berada di kota
itu, entah apa sebabnya, tahu-tahu dia mendapatkan dirinya berada ditengah kota
dengan samurai itu ditangannya.
Dia benar-benar jadi sadar ketika duduk
minum kopi di sebuah lepau cina. Ketika akan duduk, dia meletakkan samurai itu
di atas meja.
“Jangan disini tongkatmu diletakkan
sanak, sandarkan saja dibawah….’ Kata orang yang duduk diseberang tempatnya.
Ditatapnya “tongkat” yang melintang diatas meja itu.
“Samurai…” bisik hatinya. Kenapa sampai
kubawa hari ini? Pikirnya lagi. Dia coba mengingat apa sebabnya ketika akan
meninggalkan bilik penginapan tadi pagi dia membawa samurai ini.
Tak ada sebab yang luar biasa. Rasanya
setelah berpakaian, dia lalu bersisir. Kemudian membetulkan kasur. Dan di bawah bantal dia terpegang pada
samurainya. Tanpa sadar sepenuhnya, dia meletakkan samurai yang biasanya dia
simpan di bawah bantal itu ke atas meja.
Selsai membetulkan kasur dan bantal, dia
memakai sandal. Lalu sambil melangkah keluar, tangannya mengambil samurai di
atas meja itu. Dan lupa untuk menyimpannya lagi ke bawah bantal. Lalu kini
samurai itu terletak diatas meja.
“Ambil tongkatmu itu bung!!” dia
dikagetkan oleh suara lelaki itu kembali. Dengan gugup dia mengambil
tongkatnya.
“Ya. Maaf, maaf….” Katanya sambil
berjalan. Lebih baik dia mencari meja lain saja daripada duduk semeja dengan
lelaki itu. Perasaannya mulai tak sedap. Kalu dia duduk saja disana, mungkin
bisa terjadi perkelahian yang tak diingini.
Makanya diambil tempat di sudut ruangan.
Memesan segelas kopi es dan sepiring sate Pariaman. Ketika akan memakan sate,
matanya melirik lagi kepada lelaki yang tadi neghardiknya. Lelaki itu kelihatan
gelisah. Sebentar-sebentar matanya memandang ke jalan raya.
Si Bungsu menjadi maklum, lelaki itu jadi
pemberang karena ada sesuatu yang menyebabkan dirinya gelisah. Ketidak
seimbangan pikiran membuat dia mudah tersinggung. Si Bungsu lalu makan satenya.
Ketika dia akan meminum kopi esnya, seorang lelaki lain datang ke dekat lelaki
yang menghardiknya tadi.
Mereka berbisik. Dan lelaki yang
membentak si Bungsu tadi bergegas teka. Nampaknya dia ingin melangkah ke arah
si Bungsu. Namun deru kendaraan bermotor di luar membuat dia menghentikan
langkahnyanya. Tapi tak urung dia menoleh dan berkata tajam:
“Mata-mata jahanam! Kau jual negerimu
pada Belanda. Mampuslah kau!” dan seiring dengan ucapan ini, tangannya bergerak
sangat cepat kepinggang. Lalu tersenyum. Hanya naluri si Bungsu yang amat tajam
itu sajalh yang menyelamatkan dirinya dari celaka.
Firasatnya merasa bahwa ada bahaya yang
meluncur ke arahnya bersamaan gerak tangan lelaki itu. Dengan gerak reflek, dia
menyambar dan mencabut samurai di atas meja. Dan dua kali samurainya berkelabat
dengan amat cepat. Dan dengan sangat tepat sekali samurainya menghantam dua
buah pisau kecil yang mengarah pada leher dan jantungnya.
Kedua pisau itu terpental dan menancap di
loteng. Si Bungsu kaget. Kaget bukan atas serangan pisaunya, tapi kaget dengan
tuduhan bahwa dia mata-mata Belanda. Dia ingin bicara, tapi kedua lelaki itu
telah keluar dengan cepat. Namun diluar sudah berhenti mobil tadi. Dan dari
atas sebuah Jeep Militer yang dicat loreng-loreng, berhamburan serdadu-serdadu
Belanda!
Bersambung ke….. Tikam Samurai (36)
Komentar
Posting Komentar