Datuk Penghulu tegak dengan kaki
terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping mayor itu
tergeletak samurainya. Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa
perkasanya Datuk itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat
yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap tegak tanpa bergerak ketika
Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba
tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya.
Dan lambat-lambat dia jatuh di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar,
menghadap pada si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan terkejut, sesaat
sebelum jatuh pingsan, si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek
mengalirkan darah perlahan ke bawah. Mereka bertatapan. Mulut Datuk itu
bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun, meskipun tak ada suara, si
Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,
“Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah
untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu, nak.”
Sepertinya kalimat itulah yang akan diucapkan
Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi si Bungsu dapat membaca kalimat itu
lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.
“Pak. . .” suara si Bungsu bergetar
perlahan.
Namun setelah itu dia sendiri jatuh
pingsan. Hantaman jari-jari tangan mayor itu amat menderanya. Luka di dadanya
robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah
saat terakhir dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati
menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia menendang Mayor itu, samurai si mayor
sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si mayor Jepang
itu membabatkan.
Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat
membabat perut Datuk Penghulu Dan babatannya sebagai seorang samurai andalan,
berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih
bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya
saja. saat si Bungsu jatuh pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya
kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu kepalanya terkulai bersama
tubuhnya.
Tergeletak mencium bumi. Nyawanya
dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di bumi Semua tentara
Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun.
Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.
Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.
Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.
Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah
dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa
sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya
terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih
menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan
jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah
membuka kelopak matanya.
Terasa berat. Tapi dia paksakan juga.
Penglihatannya berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warna-warni tak menentu
bermain dan berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan
pendengarannya yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak
terdengar apapun, kini lambat-lambat kembali dia buka matanya. Dan menarik
nafas. Menatap ruangan di mana dia kini berada.
“Pak Datuk ….” Himbaunya tatkala melihat
sesosok tubuh terikat empat depa di depannya. Tak ada jawaban.
“Pak Datuk . . .” Himbaunya lagi dengan
suara pecah.
Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat
kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera mengenalinya sebagai
salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal
siapa namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu
lelaki ini hanya berdiam diri.
“Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu
….” ujar lelaki itu mulai bicara.
“Meninggal …..?” Ujar si Bungsu. Tapi
suaranya hilang di tenggorokan.
“Ya, dia meninggal ketika mula pertama
kalian ditangkap di Kota Baru.
. . .”
“Meninggal? Datuk Penghulu meninggal?”
Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia akan apa yang dia
dengar.
“Mustahil, mustahil Datuk Penghulu
meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan perkasanya setelah
menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?”
“Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan
anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak jasanya bagi persiapan
perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain
yang mengenali perjuangannya. orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak
lebih. Dan kami, telah kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang
mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu tinggi. Hanya ada
seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama
Mei-mei. Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang
lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . . .”
Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya
lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang Datuk
Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang
diri Mei-mei yang sebenarnya adalah tunangannya.
“Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo
dahulu. Siapakah bapak?”
“Nama saya Kari Basa . . .” Ucapan lelaki
itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.
“Nah, sejak saat ini, kita saling tak
mengenal.”
Lelaki itu masih sempat berkata perlahan
sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala lak-laki itui terkulai lagi,
pura-pura pingsan. Si Bungsu buat pertama kalinya menyadari, bahwa dirinya
terikat kuat. Tangannya digantung ke atas. Kakinya diikat ke lantai. Buat
pertama kalinya pula dia menyadari, dia kini berada di dalam sebuah gua. Dalam
gua.
Tadi dia tak menyadari hal itu karena
terpukau akan berita kematian Datuk Penghulu. Dan kini dalam guha itu telah
tegak tiga orang Kempetai. Gua itu diterangi oleh lampu listrik. Si Bungsu bisa
menebak. bahwa dia berada di salah satu terowongan yang digali Jepang di bawah
kota Bukittinggi.
Dia sudah banyak mendengar cerita tentang
gua di kota itu. cerita dari bisik ke bisik. Sebab tak ada cerita yang pasti
tentang penggalian terowongan itu. Para lelaki yang menggali adalah romusha
yang diambil dari Tentara Sekutu yang ditawan setelah dilucuti, ditambah dengan
ribuan lelaki bangsa Indonesia dari segala penjuru tanah air. Termasuk di
dalamnya puluhan laki-laki dari kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya di Minangkabau.
Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan- setiap romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati Si Bungsu telah mendengar cerita itu semua. Semuanya. Termasuk cerita yang mengatakan bahwa gua itu dibuat Jepang untuk melawan ekspansi balatentara Sekutu yang akan menuntut balas atas kekalahan mereka di Pilipina dan di Samudera pasifik, Di Pearl Harbour, di daratan cina, di Malaysia, dan di Indonesia Kini ketiga Kempetai itu melangkah masuk ke ruangan dimana mereka tertahan.
Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan- setiap romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati Si Bungsu telah mendengar cerita itu semua. Semuanya. Termasuk cerita yang mengatakan bahwa gua itu dibuat Jepang untuk melawan ekspansi balatentara Sekutu yang akan menuntut balas atas kekalahan mereka di Pilipina dan di Samudera pasifik, Di Pearl Harbour, di daratan cina, di Malaysia, dan di Indonesia Kini ketiga Kempetai itu melangkah masuk ke ruangan dimana mereka tertahan.
“Hmmm, kamu orang sudah sadar he Bungsu
?”
Seorang dari mereka yang berpangkat Syo-I
(Letda) bersuara. si Bungsu menatapnya dengan diam. Syo-I menyeringai
menatapnya. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa mereka sesamanya.
Lalu menatap kepada Kari Basa yang masih
terikat. Yang berpangkat prajurit segera mengambil air dari sebuah tong besar
yang terletak di sudut ruangan. Tempat dia ditahan nampaknya merupakan sebuah
kamar penyiksaan. Sebab beberapa alat pemukul, bedil, samurai dan alat-alat
penyiksa bergantungan di sebuah kayu yang dipakukan ke dinding.
Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri.
Sebuah tendangan yang dihunjamkan melompat, dan amat tangguh. Kari Basa segera saja melenguh dan muntah. Ketiga Kempetai itu menyengir. Lambat-lambat, wajah si Bungsu menegang melihat penyiksaan tersebut.
Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri.
Sebuah tendangan yang dihunjamkan melompat, dan amat tangguh. Kari Basa segera saja melenguh dan muntah. Ketiga Kempetai itu menyengir. Lambat-lambat, wajah si Bungsu menegang melihat penyiksaan tersebut.
“Nah, Kari, atau siapapun namamu. Sebelum
pagi datang, kau harus sudah mengatakan dimana saja markas kalian. Kemudian
siapa-siapa saja yang melibatkan diri dalam gerakan melawan Balatentara Teno Haika. Baik dari
kalangan penduduk maupun dari kalangan Gyugun.
Jangan kalian kira bahwa kami tak tahu, bahwa di antara Gyugun ada yang
terlibat. Hehe. Beberapa orang diantara mereka telah kami tangkap. Kini kami
inginkan kepastian. Nah, katakanlah. . . Bicaralah. Lebih baik bicara sebelum
disakiti, daripada terlanjur disakiti dan akhirnya bicara juga. . .”
Syo-i itu bicara perlahan dari atas kursi
kayu tua yang dia pergunakan sebagai tempat duduk. Namun Kari Basa tak membuka
mata sedikit pun. Syo-i itu memberi isyarat kepada si kopral yang tadi
melancarkan tendangan Mae Tubigeri. Kopral bertubuh bulat ini nyengir. Sambil
memandang dengan tatapan licik pada si Bungsu, dia melangkah ke dinding.
Mengambil sebuah kayu sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya dua depa. Dia tegak sedepa dari Kari Basa. Kemudian dengan sebuah ayunan kuat sekali, kayu itu dihantamkan keperut Kari Basa. Tubuh Kari Basa seperti akan terlipat dua. Tapi ikatan pada tangan dan kakinya membuat tubuhnya terguncang kuat. Dan sekali lagi . . .
Mengambil sebuah kayu sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya dua depa. Dia tegak sedepa dari Kari Basa. Kemudian dengan sebuah ayunan kuat sekali, kayu itu dihantamkan keperut Kari Basa. Tubuh Kari Basa seperti akan terlipat dua. Tapi ikatan pada tangan dan kakinya membuat tubuhnya terguncang kuat. Dan sekali lagi . . .
Kari Basa melenguh. Ludahnya berbuih di
mulut. Seluruh bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat hal ini.
“Nah, Kari. Kini jawab pertanyaanku. Kau
kenal anak muda ini bukan ?”
Letnan dua itu bertanya sambil menunjuk
pada si Bungsu. Kari Basa berusaha mengangkat kepala. Menatap Letnan itu. Namun
kepalanya terkulai lagi, tapi kemudian perlahan dia menggeleng.
“Tak Kenal, ya?”
“Tak Kenal, ya?”
Seiring pertanyaan itu, letnan tersebut
memberi isyarat pada si Kopral. Kayu sebesar lengan itu kembali dihantamkan
keperut Kari Basa. Kari Basa itu tak menjerit. Hanya suara lenguhannya
terdengar menyayat hati si Bungsu.
“Jawablah, kau kenal padanya bukan?”
Kari Basa dalam keadaan terkulai kembali
menggeleng perlahan. Letnan itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya.
“Baiklah…baiklah. Kalau kau tak kenal
dengan mereka. Kini kau cukup mengangguk saja. Akan kubacakan beberapa nama
anggota Gyugun yang kami ketahui terlibat dalam gerakkan kalian ini. Kalau ada
di antara mereka yang kau kenali, kau cukup mengangguk saja. Jika ada satu
orang saja yang kau kenali, maka malam ini juga kau kami bebaskan.”
Usai bicara si letnan lalu memberi isyarat pada si Kopral. Kopral tersebut membuka ransel. Mengeluarkan sebuah buku hitam. Mengambil sehelai kertas dan memberikannya pada si Letnan.
“Nah, Kari Basa dengarkanlah baik-baik. Saya akan mulai dari yang berpangkat Nito Hei (Prajurit Dua)” ujarnya.
Usai bicara si letnan lalu memberi isyarat pada si Kopral. Kopral tersebut membuka ransel. Mengeluarkan sebuah buku hitam. Mengambil sehelai kertas dan memberikannya pada si Letnan.
“Nah, Kari Basa dengarkanlah baik-baik. Saya akan mulai dari yang berpangkat Nito Hei (Prajurit Dua)” ujarnya.
Lalu dia mulai membaca daftar yang
terdiri dari tak kurang enam puluh nama dengan mengeja perlahan. Namun sampai
akhir enam puluh nama itu dibacakan kepala Kari Basa tetap menggeleng. Muka
Letnan yang sejak tadi tersenyum-senyum dan nyengir-nyengir kuda, kini berobah
jadi keras. Dia memberi isyarat pada si kopral. Kopral itu berjalan ke dinding.
Dari sana dia mengambil sebuah sebuah tang.
“Kau memang tak mengenali salah seorang
pun dari mereka?” Letnan itu bertanya. Kari Basa menggeleng. Letnan itu
menggertakkan gigi.
“Selain tak mengenali mereka, tapi kamu
orang ikut dalam gerakkan melawan Jepang, apakah juga kamu tak mengenali mereka
sebagai orang kampungmu?”
Kari Basa menggeleng. Si letnan memberi
isyarat lagi. Kopral yang memegang tang itu maju. Dia membungkuk. sebelum si
Bungsu sadar apa yang akan dilakukan Jepang itu, terdengar Kari Basa memekik.
Dan dengan terkejut si Bungsu melihat betapa di mulut tang itu terjepit
sesuatu. Kuku Yah Tuhan, kuku empu kaki Kari Basa dicabut dengan tang Darah
meleleh diempu kakinya itu.
“Jawablah Kau mengenali salah satu dari
mereka ?”
Kari Basa menggeleng dengan gerakan
keras.
“Baik. Kini saya baca yang berpangkat
Itto-f Hei. (Prajurit Satu).”
Karena disetiap akhir mendengar nama yang
dibacakan Kari Basa tetap menggeleng, maka dia memekik lagi karena sebuah
kukunya dicabut lagi. Dan. Lagi. Lagi Nama-nama Gyugun itu disebut terus setelah
Nitto f Hei, ftto f Hei, Tjo f
Hei, Hei cho, Go cho, Go-n syo, Syo cho, Djun-I, Syo-I, dan sampai
ke Tai-I (Kapten) yang berpangkat tertinggi bagi para Gyugun yang berasal dari
putera Indonesia waktu itu.
Entah berapa kali Kari Basa memekik.
Pingsan, Memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Menggeleng, memekik,
pingsan. Disiram air. Begitu terus berulang-ulang. Yang tak kurang menderitanya
adalah si Bungsu. Tubuhnya bersimbah peluh. Beberapa kali dia memejamkan mata.
Ia menggigit bibir. Menahan pendengaran agar tak tertangkap suara pekik Kari
Basayang hanya beberapa depa di depannya. Namun bagaimana dia akan menahan
pendengarannya? Tiap pekik Kari Basa menyebabkan hatinya seperti tertikam.
Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu. Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.
Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu. Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.
“Jahannam..” Letnan itu bersuara lagi.
Kopral dan prajurit bawahannya mengambil
ember besar berisi air. Kemudian menyiramkan pada Kari Basa. Kari Basa membuka
mata, mengangkat kepala perlahan, kemudian terkulai lagi. Letnan itu
meninggalkan kursinya. Berjalan mendekati Kari Basa. Dengan kasar dia mencekal
rambut Kari Basa. Menyentakkan hingga kepalanya tertegak. Bicaralah Letnan itu
mengeram.
Tapi di wajah Kari Basa hanya tergurat kebencian, dan tangan
Letnan itupun bergerak. Sebuah pukulan karate jarak dekat menghajar mulut Kari
Basa. Terdengar bunyi tak sedap ketika pukulannya beradu dengan bibir Kari
Basa.
“Nah, bicaralah syetan” Letnan itu
berkata lagi sambil menegakkan kepala Kari Basa. Dan tiba-tiba…Tuih!!!! Kari
Basa meludahi muka Letnan yang berjarak sejengkal di hadapannya itu. Ludahnya
bercampur darah dan gigi. Ya, pukulan tidak hanya memecahkan bibirnya. Tapi
juga merontokkan empat buah gigi depannya. Letnan itu menyumpah-nyumpah dan
muntah kena ludahnya. Dan tiba-tiba dia berbalik.
Menghantam Kari Basa dengan tendangan,
pukulan-Tendangan-Pukul Tendang Pukul Lalu terhenti terengah-engah. Tubuh Kari
Basa tergantung tak bergerak. Dan mata si Bungsu berkunang-kunang. Tubuhnya
basah oleh peluh. Dia jadi malu pada dirinya. Teringat olehnya betapa cepatnya
dia menyerah ketika di Koto
Baru itu. Kenapa dia turuti perintah Mayor itu untuk menyerah
membuang samurai? Kenapa ? Bukankah dia bisa melawan? Secepat itukah dia harus
menyerah? Kini lihatlah Kari Basa ini. Tak segeming pun dia beranjak dari
pendiriannya.
Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dan
dia mengagumi lelaki yang barangkali usianya telah melampaui empat puluh lima
ini. Dia tatap tubuh lelaki yang terkulai dalam ikatannya itu. Kelihatannya
lemah dan tak berdaya. Tapi di dalam tubuhnya yang kini tak berdaya itu,
alangkah besarnya kehormatan yang dia miliki. Alangkah mulia pribadinya.
Alangkah banyaknya. pejuang-pejuang lainnya berhutang nyawa padanya. Sekali
saja dia buka mulut, mengatakan salah seorang di antara Gyugun itu ikut dalam
gerakkan mereka, bisa dipastikan bahwa Gyugun
yang lain akan bisa digulung dan dihukum tembak Si Bungsu berani bertaruh,
jarang satu diantara seratus ribu bangsanya yang akan tahan menutup rahasia
jika telah disiksa seperti Kari Basa ini. Kini dia melihat betapa teguhnya
lelaki tua ini memegang rahasia. Betapa teguhnya. Tak tergoyahkan oleh pukulan
kayu. Tak tercabikkan meski oleh cabutan kuku. Dan tak beranjak meski bibir dan
giginya rontok.
“Hari sudah pagi. Mari kita tinggalkan dia …..” letnan itu berkata. Mereka bersiap untuk pergi. Letnan itu berhenti, kemudian menoleh pada si Bungsu.
“Hari sudah pagi. Mari kita tinggalkan dia …..” letnan itu berkata. Mereka bersiap untuk pergi. Letnan itu berhenti, kemudian menoleh pada si Bungsu.
“Beberapa saat lagi giliranmu Bungsu.
Engkau telah banyak menimbulkan korban diantara balatentara Tenno Heika. Apa yang akan
kau terima jauh lebih nikmat daripada yang diterima Kari Basa. Nah, bersiaplah
menjelang kami datang. . . he . .he. . .he”
Dan Kempetai itu kembali lenyap di balik
pintu kayu betulang besi dan berbingkai beton diujung kamar tersebut.
Tinggallah kini si Bungsu dan Kari Basa Sunyi cahaya lampu listrik yang
menggantung tinggi di langit-langit terowongan bersinar suram. Menerangi kamar
tahanan mereka yang berukuran empat kali meter tersebut. Si Bungsu meneliti
ruangan itu. Meneliti kalau-kalau dia bisa menyelamatkan diri. Ya, inilah
saatnya untuk berusaha lepas. Sementara Kempetai-kempetai keparat itu pergi.
Kalau saja dia lepas, dan di dinding sana ada dua bilah samurai, oh alangkah
akan jahanamnya Jepang-Jepang itu dia perbuat. Dan matanya meneliti.
Kamar itu sengaja dibuat untuk kamar
penyiksaan tawanan itu terlihat dari gelang-gelang perantai kaki dan perantai
tangan yang tersebar di lantai dan di langit-langit. Kemudian perkakas
penyiksaan. Bau ruangan ini juga pengap. amis. Tak syak lagi, disini telah
cukup banyak darah tertumpah. Telah cukup banyak nyawa direnggutkan. Kini
bagaimana dia harus membebaskan diri ? Dia tengok tangannya. Keduanya terantai
ke atas.
Dia coba merenggut rantai itu. Tapi
terlalu kukuh. Nampaknya rantai itu ditanamkan dan dicor dengan semen ke loteng
Goa yang terbuat dari batu itu. Tangannya tak mungkin lepas. Kecuali kalau
dipotong sebatas pergelangan. Dia mau saja memotongnya sebatas pergelangan asal
bebas. Tapi tanpa jari-jemari, apakah artinya lagi? Dan kalau dia ingin bebas,
dia harus memotong kedua pergelangan tangannya. Lantas dengan apa lagi dia
harus membalas ? Dia teringat pada bayangan tatkala Datuk Penghulu akan rubuh.
Ya, dia ingat kini. Ekspresi dan sinar mata orang tua itu seakanakan berkata :
“Jaga dirimu baik-baik nak. Tetaplah
bertahan untuk hidup.Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu. . .”
Itulah ucapan yang tak terucapkan, tapi
sempat dia baca dari wajah orang tua itu. Tetaplah bertahan untuk hidup. Jangan
menyerah . .
Kalimat ini seperti sebuah sumpah yang
dipegang teguh oleh pejuang-pejuang ini. Matanya melirik pada Kari Basa. Ke
tubuhnya yang terkulai. Tapi jelas dadanya beralun perlahan. Dia masih hidup.
Sekurang-kurangnya dia kini tengah bertahan untuk tetap hidup.
Dan dia tak menyerah pada penjajah. Betapapun siksaan yang dia terima. Dia tak menyerah Ya, betapapun penderitaannya, namun Kari Basa tak pernah menyerah untuk membuka rahasia. Dan dia juga tengah bertahan untuk hidup, Perlahan-lahan, semangat untuk takkan menyerah, semangat untuk berusaha agar tetap hidup muncul menguat pada dirinya. Berhasil atau tidak dia melepaskan diri dari belenggu ini, batapapun jua dia harus bertahan untuk tetap hidup. Harus…
Dan dia tak menyerah pada penjajah. Betapapun siksaan yang dia terima. Dia tak menyerah Ya, betapapun penderitaannya, namun Kari Basa tak pernah menyerah untuk membuka rahasia. Dan dia juga tengah bertahan untuk hidup, Perlahan-lahan, semangat untuk takkan menyerah, semangat untuk berusaha agar tetap hidup muncul menguat pada dirinya. Berhasil atau tidak dia melepaskan diri dari belenggu ini, batapapun jua dia harus bertahan untuk tetap hidup. Harus…
Tapi di samping itu dia juga harus
berusaha untuk membebaskan diri. Harus. Dia tak boleh menyerah. Tak boleh
menanti sampai Jepang-jepang itu datang menyiksa dirinya. Dia harus bergerak.
Dia menatap kekakinya. Kakinya dimasukkan ke sebuah gelang yang dikunci.
Gelang itu dihubungkan dengan dua buah mata rantai yang kukuh, ditanamkan ke lantai yang juga dicor dengan beton. Dia menarik nafas. Menggoyangkan kaki. Menggoyangkan tangan. Tak ada harapan pikirnya.
Gelang itu dihubungkan dengan dua buah mata rantai yang kukuh, ditanamkan ke lantai yang juga dicor dengan beton. Dia menarik nafas. Menggoyangkan kaki. Menggoyangkan tangan. Tak ada harapan pikirnya.
“Ya. Tak ada harapan …..”
Sebuah suara yang amat perlahan
mengejutkannya. Dia menoleh pada Kari Basa. Tapi lelaki itu masih terkulai.
Diakah yang bicara? Tak ada harapan untuk dapat melepaskan diri …..
“Kembali ada suara, dan suara itu jelas
suara Kari Basa.
“Pak Kari . .” katanya heran.
“Ya. Sayalah yang bersuara Bungsu. Saya
memang tak melihat engkau, mata saya kabur. Bahkan untuk bernafas pun saya
susah. Namun telinga saya dapat menangkap bunyi gemerincing rantai karena
engkau goyang. Dan saya bisa menduga, engkau pastilah tengah mencari-cari jalan
untuk membebaskan diri. Saya tahu itu dengan pasti, sebab saya juga telah
melakukan sebelum engkau dimasukkan kemari. Dan seperti yang engkau lihat,
usaha saya sia-sia .. .” Kari Basa terdiam. Si Bungsu juga terdiam. Dia terdiam
karena kekagumannya pada daya tahan lelaki di depannya itu.
“Rantai ini terlalu besar Bungsu. Dan
ditanamkan dalam-dalam di lantai serta di loteng. Sebelum dicor dengan semen,
diberi bertulang besi. Tak ada harapan memang .. “ Kari Basa bicara lagi.
Si Bungsu tak bicara. Sebenarnya banyak
yang ingin dia katakan. Tapi dia tak mau mengatakannya. Dia tak mau melawan
Kari Basa bicara. Dia ingin agar orang tua itu istirahat.
Dia sangat mengasihani lelaki tersebut. Dan Kari Basa akhirnya memang terkulai diam. Pingsan lagi. Penderitaannya benar-benar sempurna. Kakinya berlumur darah setelah sepuluh kuku jarinya dicabuti. Dia muntah beberapa kali setelah perutnya dihantam dengan potongan kayu sebesar lengan. Dan mulutnya berdarah, giginya copot dihantam pukulan karate. Namun pejuang yang tak banyak dikenal ini, alangkah teguhnya pada pendiriannya.
Dia sangat mengasihani lelaki tersebut. Dan Kari Basa akhirnya memang terkulai diam. Pingsan lagi. Penderitaannya benar-benar sempurna. Kakinya berlumur darah setelah sepuluh kuku jarinya dicabuti. Dia muntah beberapa kali setelah perutnya dihantam dengan potongan kayu sebesar lengan. Dan mulutnya berdarah, giginya copot dihantam pukulan karate. Namun pejuang yang tak banyak dikenal ini, alangkah teguhnya pada pendiriannya.
Dan memang tak ada jalan untuk melepaskan
diri dari belenggu dikaki dan ditangan si Bungsu. Kari Basa memang berkata
benar. Meski segala usaha telah dia jalankan, namun itu hanya menambah
penderitaannya saja. Pergelangan tangannya lecet dan berdarah karena usahanya
itu.
Dan ketika ketiga Kempetai yang menyiksa
Kari Basa itu muncul lagi dengan menyeringai si Letnan berkata.
“HHmmmmm ….. .ingin lari ya. He. .hee.
.ingin lari he.. he . .” Seringainya amat buruk. Tapi yang lebih buruk lagi
adalah perlakuan setelah itu. Si Bungsu, seperti halnya Kari Basa, dipaksa
untuk mengatakan siapa-siapa saja yang diketahuinya mengorganisir perlawanan
terhadap Jepang.
Siapa saja teman Datuk Penghulu. Siapa
saja yang telah dihubungi mereka dalam Gyugun. Apakah Engku Syafei di Kayu Tanam, Encik Rahman El Yunussiyah di Padang
Panjang termasuk ke dalam orang-orang yang menyusun kekuatan ini.
Kemudian kepadanya dibacakan pula sederet
nama Gyugun seperti
yang dibacakan pada Kari Basa. Berlain dengan
Kari Basa yang selalu menggeleng, maka si Bungsu hanya menatap
dengan pandangan dingin pada ketiga Kempetai itu. Tak pernah menggeleng
sekalipun. Tak pernah mengangguk sedikitpun.
Dan ketiga Kempetai itu mengerjakannya
dengan sempurna pula. Ketiga mereka nampaknya dilatih untuk menjadi orang-orang
yang tak mepunyai kemanusiaan. Dalam ketentaraan nampaknya memang dididik
orang-orang seperti mereka. Gunanya untuk bahagian interogasi.
Dan
ketiganya spesialis penyiksaan ini sambil tertawa gembira, sambil menyeringai
buruk, mempermak tubuh si Bungsu. Tahap pertama, si Kopral mempergunakan tubuh
si Bungsu yang terikat itu sebagai sebuah karung latihan. Yaitu karung yang
diikatkan dan diisi dengan pasir. Bagi siswa-siswa beladiri, karung seperti ini
dinamakan sansak dakam dunia tinju atau makiwara dalam dunia karate, dipergunakan untuk
melatih tendangan dan pukulan.
Bersambung ke.........Tikam Samurai (23)
Komentar
Posting Komentar