Nah, itulah kini fungsi tubuh si Bungsu.
Kopral itu beberapa kali melambung yang diakhiri dengan mendaratnya
tendangannya di perut dan didada si Bungsu. Letnan itu mepergunakan buku
tangannya untuk menghajar wajah anak muda tersebut. Si Bungsu berusaha untuk
tak memekik. Kendati terpaksa mengeluh beberapa kali saking amat sakitnya.
Kemudian muntah. Isi perutnya keluar bersama darah kental. Tubuhnya kemudian
diguyur dengan air. Ketika sadar, dia lihat Letnan itu sudah memegang samurai.
“He .. he kau kabarnya mahir dengan
samurai. Kini kau lihat pula permainan samuraiku”.
Sehabis ucapannya, samurai itu berkelebat
cepat. Si Bungsu menggigit bibir agar tak memekik kesakitan. Pakaiannya segera
saja cabik-cabik disambar ujung samurai si letnan. Dan bersamaan dengan itu,
dadanya. Wajahnya, perutnya robek-robek. Darah mengalir dengan deras dari bekas
lukanya.
“Siram..!” perintah si Letnan.
Kopral yang sama-sama sadisnya dengan si
letnan itu mengambil air bekas pengacau semen. Kemudian menyiramkannya pada
tubuh si Bungsu yang penuh luka itu. Ya, Tuhan, benar-benar Tuhan saja yang
mengetahui betapa menderitanya anak muda tersebut.
Bayangkan, tubuh yang penuh luka di siram
dengan air pengacau semen Pedih dan sakit sekali. Sakitnya mencucuk-cucuk ke
hulujantung yang paling dalam. Menyelusup ke seluruh pembuluh darah. Ke seluruh
sumsum.
Namun siksaan itu berlanjut terus,
menyebabkan si Bungsu harus menggigit bibir sampai berdarah. Dia tak ingin
menjerit. Tak ingin. Ada dua hal yang dia jaga. Pertama dia tak mau Kari Basa
sampai terbangun dari pingsannya mendengar jeritannya. Dia ingin memberi
istirahat pada orang tua yang dia hormati itu.
Dan sebab kedua kenapa dia tak mau
menjerit adalah karena malu pada Kari Basa. Kalau orang tua itu sendiri tak
menyerah, kenapa dia harus menunjukkan kelemahannya dengan menjerit? Meskipun
dengan siksa yang dia terima sebenarnya dia ingin menjerit setinggi langit,
namun dia paksa untuk menahannya. Padahal setiap orang tahu, jika kesakitan,
maka tangis pekik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi sakit dan
derita yang ditanggung.
Rasa sakit dan derita itu berkurang bukan
dari segi fisiknya. Melainkan dari segi psikologisnya. Rasa sakit tetap sama.
Menjerit atau tak menjerit. Tetapi secara ilmu kejiwaan, menjerit atau menangis
bagi seorang penderita merupakan penyaluran. Dan sebuah penyaluran merupakan
pengurangan bagi penderitaan. Itu teorinya. Tetapi si Bungsu tak mau memakai
teori ini. Baginya lebih baik dan lebih terhormat untuk tetap diam. Meskipun
bibirnya berdarah dia gigit dalam usahanya menahan sakit yang tak
tertanggungkan itu.
Selesai upacara penyayatan dengan samurai
itu, maka letnan tersebut istirahat sejenak. Namun itu bukan berarti istirahat
pula bagi penderitaan si Bungsu. Sebab begitu si Letnan duduk. si prajurit
tegak. Dengan tang di tangan, dia maju melangkah mendekati si Bungsu.
“Katakan siapa-siapa yang ikut dalam
gerakkan kalian Siapa pula diantara Gyugun yang terlibat . .?” Ujar si Letnan
dari tempat duduknya.
Si Bungsu tetap diam. Dia tengah
membayangkan kesakitan yang akan dia derita. Dia tahu, tang ditangan prajurit
sadis itu akan dipakai untuk mencabut kuku-kukunya seperti yang telah dilakukan
pada Kari Basa. Karena dia diam, Letnan itu memberi isyarat.
Si Prajurit meraih sebuah tong. Meletakkan
disisi kiri si Bungsu.
Kemudian dia naik ke atas. Sebelum si
Bungsu sadar apa yang akan terjadi Jepang itu menjepit telunjuk si Bungsu
dengan tangnya. Letnan itu mengangguk. Dan si Bungsu kali ini tak bisa menahan
pekik kesakitannya. Tak bisa! Betapa dia akan mampu menahan rasa sakit, kalau
tulang telunjuknya itu dipatahkan dengan jepitan tang?
“ Mengakulah . .!”
si Bungsu hanya mengerang kecil. Dan kali
ini jari tengahnya dapat giliran dipatahkan. Dan kembali dia memekik.
“Mengakulah . .!”
Si Bungsu hanya mengeluh dan mengerang.
Air matanya membasahi pipinya. Dan jari manisnya mendapat giliran. Dia kembali
memekik. Pada pekik yang ketiga ini. Kari Basa mengangkat kepala. Dan dia
melihat betapa tubuh anak muda itu berlumur darah. Pakaian dan sebahagian
dagingnya robek-robek. Persis kerbau yang selesai dikerjakan di rumah jagal.
“Mengakulah..!”
Si Bungsu tetap bungkam. Dan kembali
kelingkingnya dipatahkan. si
Bungsu memekik. Namun dia tetap diam, tak mau membuka rahasia.
“Tahan . .” tiba-tiba ada suara. Dan yang
bersuara tak lain daripada Kari Basa. Letnan itu menoleh padanya.
“Kau mau mengaku?”
“Baik saya mengaku, tapi lepaskan anak
muda itu. Dia tak bersalah . . .”
“Ooo. Kau kenal padanya ya … ?”
“Justru karena saya tak kenallah makanya
dia harus dibebaskan. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perjuangan kami. Kami
tak mengenalnya.” Si Bungsu menatap Kari Basa. Apakah ini semacam
penyingkirannya dari kalangan pejuang-pejuang ini? Apakah Kari Basa berkata
begitu karena si Bungsu juga pernah berkata begitu ketika rapat di Birugo
dahulu?
Bersambung ke .................Tikam Samurai (24)
Komentar
Posting Komentar