Ketika pertanyaan begitu berkecamuk dalam
fikiran si Bungsu, Kari Basa sekilas menatap padanya. Dan dari cahaya mata
lelaki tua itu, dia dapat menangkap. Bahwa Kari Basa hanya membuat siasat.
Namun kelegaan hatinya segera lenyap
ketika letnan itu berkata :
“He..he tak ada sangkut paut kalian?
Kalian saling tak mengenal? He. .he Bukankah kalian sama-sama hadir ketika
rapat di Birugo dahulu? Bukankah kau punya hubungan dengan Datuk Penghulu? Nah,
dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa kalian punya hubungan. Jangan kami
pula hendak kalian bohongi.” Dan kali ini penyiksaan dilakukan berbarengan.
Si prajurit mengerjakan tubuh si Bungsu,
si sersan mengerjakan Kari Basa. Kedua serdadu sadis ini lihai dalam
pekerjaannya. Meskipun korbannya sudah remuk redam, sudah cabik-cabik tapi
mereka jaga agar si korban tak segera mati.
Mereka amat ahli dalam hal ini. Bagaimana
menyiksa tawanan sampai separoh mampus, bahkan terkadang sampai tiga perempat
mampus, tapi tetap saja tak sampai mampus. Dan itulah penderitaan yang
ditanggung oleh kedua orang itu.
Si Bungsu sudah hampir mampus ketika dia
dengar suara letusan.
Letusan sekali. Dua kali. Tiga kali!
Dia merasa dirinya amat luluh. Dirinyakah
yang kena tembak? Kari Basa kah? Dia tak merasakan sakit karena seluruh
tubuhnya adalah sakit itu sendiri. Dia tak merasa menderita karena tembakan itu
karena dirinya adalah puncak dari penderitaan itu sendiri.
Dan diapun terkulai. Sampai disini
ajalku…..bisiknya. Dan dia juga yakin, bahwa bersama ajalnya, orang tua yang
bernama Kari Basa itupun tamat pulalah riwayat hidupnya.
Namun tak demikian terjadi.
Teman-teman Datuk Penghulu dan Kari Basa
mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu. Perintah langsung dari Engku
Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah “pasukan khusus” yang beruniform
beranggotakan sebelas orang segera diberangkatkan. Mereka mempergunakan
beberapa bedil dan pistol yang selama ini secara dia,-diam dicuri atau dibeli
dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa bedil peninggalan Belanda.
Tugas untuk mengetahui dimana kedua orang
ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan Djambek. Namun untuk menemui
Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang telah mencium adanya gerakan
pribumi yang akan menentang penjajahan.
Karena itu setiap Anggota Gyugun, mulai
dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan ketat. Hanya dengan sangat
susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa berhubungan dengan teman-temannya.
Namun setelah dua hari berusaha, Dakhlan Djambek masih belum berhasil
mengetahui dimana kedua orang itu ditawan.
Para pimpinan tentara Jepang nampaknya
memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan kakinya di Indonesia.
Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari penduduk-penduduk
setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul.
Karena itu para Gyugun yang berasal dari
pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di proyek-proyek militer yang
vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah ditugaskan di bawah kota yang
sedang digali itu.
Yang bertugas mengawasi pekerjaan atau
mengawasi pemasukan amunisi hanyalah balatentara Jepang asli. Karena itu
Dakhlan Djambek dan kawan-kawannya para Gyugun yang lain tak pernah mengetahui
secara mendetail tentang situasi terowongan itu.
Dia berusaha keras untuk mengetahui
ruangan-ruangannya, tapi akhirnya dia menyerah. Tak mungkin untuk mengetahui
secara terperinci, apalagi dengan pengawasan yang ketat dari Kempetai terhadap
Gyugun. Pada hari kedua, yaitu pada batas waktu yang diberikan, Kapten ini
memberikan laporan akhir tentang penyelidikannya.
Isi laporan itu:
“Tak mungkin untuk menyelediki terowongan
itu dengan cara intelijen. Tapi saya yakin, kedua mereka ditawan dalam salah
satu kamar di dalam terowongan tersebut. Sebab beberapa tawanan sekutu juga
dibawa kesana. Untuk mengetahui dimana mereka ditahan, satu-satunya jalan
adalah menangkap dan memaksa salah seorang Kempetai yang pernah membawa tawanan
kesana. Saya akan mengatur jebakan. Sediakan orang yang akan menanyainya.” Dan
surat yang disampaikan melalui kurir beranting itu akhirnya dilaksanakan.
Seorang sersan Kempetai dengan cara yang sangat halus berhasil dijebak di
Kampung Cina ketika sedang minum-minum sake dan memeluk seorang perempuan.
Perempuan itu dia bawa ke hotel. Di
tangga hotel yang teram-temaram keduanya dipukul hingga pingsan. Si perempuan
yang berkulit hitam manis dibiarkan tergolek di sana. Si sersan dibawa dengan
sebuah truk ke sebuah tempat.
Dari mulut sersan inilah diketahui detail
kamar tawanan tersebut. Semula si sersan tak mau mengaku, tapi ketika sebuah
jari tangannya dipatahkan meniru kekejaman Kempetai, sersan itu menyerah. Lalu
membuka rahasia kamar tawanan itu.
Dan ketika pengakuannya selesai, dia
terkejut takkala melihat seorang perwira Gyugun masuk rumah itu. Dia segera
tegak dan memberi hormat dengan sikap sempurna. Dia jadi gembira, karena denga
kehadiran perwiranya itu berarti kebebasan baginya dari tangkapan ekstrimis
ini.
Namun dia segara terkejut takkala melihat
perwira itu menatapnya. Orang yang mematahkan jarinya itu mengambil sebilah
samurai. Memberikan kepada sersan itu. Sersan itu terheran-heran. Rasa herannya
berobah jadi rasa terkejut ketika perwira Gyugun itu berkata dengan nada
memerintah:
“Harakiri….!”
Sersan Kempetai itu melongo.
“Harakiri..!!” lagi-lagi perintah perwira
itu bergema. Dan kini sama-sama jadi jelas soalnya oleh si sersan. Dia
diperintahkan harakiri (bunuh diri) pastilah salah satu sari dua sebab. Pertama
karena dia telah membocorkan rahasia militer. Kedua karena perwiranya ini
berada dipihak orang yang menangkap dan mematahkan jari tangannya. Dan dia
menduga , bahwa sebab kedualah yang paling besar kemungkinannya.
“Tai-i……..?” katanya lagi.
“Saya orang Indonesia. Jepang sudah
terlalu banyak membunuh bangsa saya. Kini kau harakiri atau gunakan samurai itu
untuk melawan…membebaskan diri….,” Perintah Tai-I yang tak lain daripada
Dakhlan Djambek itu membuat tubuh si sersan menggigil.
Dia sudah tentu memilih yang kedua. Yaitu mempergunakan
samurai itu untuk melawan. Sebab baginya tak ada harapan untuk hidup. Demikian
putusan Dakhlan Djambek. Kalau Jepang ini tak dibunuh, maka rahasia
penangkapannya akan bocor. Dan kebocoran itu membahayakan perjuangan.
Sersan itu menebaskan samurainya. Orang
pertama yang dia serang dengan samurainya adalah orang yang paling dekat
dengannya. Orang itu adalah Tai-I Dakhlan Djambek. Tebasan samurainya amat
cepat mengarah pada leher Kapten itu.
Namun Dakhlan Djambek adalah seorang
perwira yang dididik dengan kekerasan disiplin militer Jepang. Karena dia
perwira, maka kepadanya juga diajarkan cara menggunakan samurai. Dan
kemana-mana, perwira Jepang umumnya membawa samurai. Demikian juga dengan
Kapten ini.
Begitu sabetan samurai si sersan terayun,
sesuai dengan latihan dasar yang diterima, dia mundur dengan cepat dua langkah
ke belakang. Kemudian ketika serangan berikutnya datang, dia menggeser tegak
dua langkah. Dan si sersan lewat disampingnya.
Dengan cepat sersan itu memutar tegak dan
kembali mengayunkan samurainya. Namun saat itu pula samurai di pinggang Tai-I
Dakhlan Djambek keluar dari sarungnya. Putaran tubuh si sersan di silang oleh
tebasan samurai Dakhlan Djambek. Bahu kanan sersan itu hampir putus. Sabetan kedua
membuat kepalanya hampir putus. Dia jatuh. Tapi kematian datang sebelum
tubuhnya mencapai lantai rumah. Perlahan-lahan Kapten itu memasukkan samurainya
kesarangnya setelah melapnya ke baju sersan yang rubuh itu
“Kuburkan dia malam ini. Dan malam ini
juga kedua kawan-kawan itu harus dibebaskan. Mulai hari ini kontak antara
teman-teman dengan kami para Gyugun harus diputuskan buat sementara waktu.
Situasi tambah panas. Kabarnya di Jakarta telah terjadi sesuatu. Saya yakin
saatnya untuk kemerdekaan sudah dekat. Karena itu, tunggu perkembangan
selanjutnya. Salam saya untuk para pimpinan yang lain. Juga buat kedua
teman-teman yang ditawan itu….” Dan kapten ini lenyap ke dalam gelapnya malam.
Bersambung ke..... Tikam Samurai (25)
Komentar
Posting Komentar