“Nama saya Mei-mei ..” katanya sambil
tersenyum.
Ketika Mei-mei melihat kusir itu
menatapnya, dia segera mendatanginya. Kemudian dengan sikap hormat menyalami
orang tua itu.
“Terima kasih atas bantuan Bapak
kepada kami ..” katanya.
Kusir tua itu tersenyum.
“Nama saya Datuk Penghulu Basa. Kau
boleh panggil saya dengan sebutan bapak atau pak Datuk. Tinggallah di sini buat
sementara. Menjelang kokomu sehat. Saya rasa rusuknya ada yang patah. Berbahaya
kalau dia berada di kota dalam keadaan seperti itu. Teman teman Datuk yang dia
pancung semalam dan juga Kempetai pasti mencari. Siapa nama kokomu itu?”
“Bungsu. Kami baru datang dari Payakumbuh..”
“Bungsu. Kami baru datang dari Payakumbuh..”
“Ya. Saya ada di depan penginapan
itu ketika kalian turun dari bus ..”
Datuk Penghulu Basa lalu
menceritakan tentang siapa yang dibunuh oleh si Bungsu di penginapan itu.
Tentang kawanan penyamun yang bermarkas di rimba buluh di lembah Tambuo itu.
“Hei, kenalkan, muridku si Salim
…..”
Datuk Penghulu memperkenalkan anak
muda yang tadi berlatih dengannya kepada Mei-mei. Gadis itu menyambut salam
tersebut. Salim merasakan hatinya berdebar ketika menyalami tangan gadis
Tionghoa yang cantik itu. Hari hari setelah itu si Bungsu dirawat oleh Datuk
Penghulu di rumahnya. Dia terpaksa berbaring selama tiga puluh hari di tempat
tidur. Rusuknya patah tidak hanya dua buah. Melainkan ada tiga yang kupak
dimakan kaki Datuk penyamun dan anak buahnya itu.
Selama itu pula Mei-mei juga tinggal
di sana. Dia sebilik dengan upik. Tiap hari Datuk Penghulu Basa tetap mencari
nafkah dengan bendinya. Dia menceritakan pada Mei-mei dan si Bungsu. Jepang
sebenarnya berterima kasih pada orang yang tak dikenal yang telah membunuh
kawanan penyamun itu. Namun selain berterima kasih Jepang juga tetap mencari si
Bungsu. Sebab betapapun jua, si pembunuh harus didengar keterangannya tentang
peristiwa itu. Datuk kepala penyamun yang buntung tangan dan kakinya itu
dirawat di rumah sakit. Dia masih tetap hidup. Kempetai berhasil mengorek
keterangan dari mulut kepala penyamun ini tentang markas mereka di Tambuo.
Jepang lalu menggerebek markas mereka dalam rimba bambu itu. Tujuh orang lagi
berhasil diringkus dari sana.
Kini, orang tak merasa khawatir lagi
lewat di penurunan Tambuo seperti masa masa sebelumnya. Kalau dulu, untuk ke
Bukittinggi dari Tigobaleh dan sekitarnya, orang harus memutar jalan ke Simpang
Limau. Atau berputar ke Banu Hampu terus ke Jambu Air. Mereka tak pernah aman
lewat di penurunan Tambuo itu. Tak jarang orang menemui mayat di Batang Tambuo
yang berair deras itu. Tapi kini masa seperti itu sudah lewat. Suatu hari
ketika si Bungsu merasa agak baik, dia coba untuk berdiri. Sudah berlalu masa
dua puluh hari sejak dia dibawa ke rumah ini.
Tiga tulang rusuknya yang patah
sudah agak terasa nyaman, itu karena rawatan datuk itu anak beranak. Mei-mei
dengan tambahan ramuan kering yang dia bawa dari gunung Sago. Pagi itu dia
terbangun karena kicau burung dan suara bentakan bentakan di luar rumah. Dia
buka jendela dan menghirup udara pagi segar yang menerobos masuk. Dilihatnya
kopi sudah terletak di atas meja kecil di dalam kamar itu. Dalam sebuah gelas
terletak beberapa bunga bunga kobra bunga mawar.
Pastilah Mei-mei yang meletakkannya.
Seperti kebiasaan gadis itu setiap pagi selama di rumah ini. Datuk Penghulu
pasti belum kembali. Sebab malam tadi dia berkata, bahwa malam ini mereka ada
perlu. Kabarnya ada pertemuan pejuang di Bukit Ambacang. Datuk itu termasuk
salah seorang dari pejuang itu. Ketika dia menoleh ke arah belakang, dia
tertegun. Di lapangan kecil di belakang rumah itu, dilihatnya orang sedang
bersilat. Yang satu pastilah si Salim. Kemenakan Datuk Penghulu. Dia kenal
pemuda itu selama berada d i rumah ini. Pemuda baik dan rendah hati dan
berbudi.
Yang dia hampir hampir tak percaya
atas penglihatannya adalah lawan si Salim bersilat itu. Lawannya adalah seorang
perempuan. Seorang gadis. Berpakaian serba hitam dan rambutnya yang panjang
diikat tinggi tinggi. Pakaian yang hitam sangat kontras dengan kulitnya kuning
bersih. Jurus silat yang dia bawakan amat berlawanan dengan tubuhnya yang lemah
lembut, dan wajahnya yang cantik. Mei-mei. Mei-mei belajar silat Ini benar
benar suatu yang luar biasa.
Di tepi lapangan, si Upik anak Datuk
Penghulu Basa melihat dengan penuh perhatian. Sesekali gadis kecil itu bersorak
bila tendangan atau pukulan Mei-mei mengenai tubuh Salim. Atau sesekali gadis
itu berseru berang bila kebetulan pemuda itu mengenai tubuh Mei-mei. Si Bungsu
benar benar terpesona. Dia tak mengerti silat. Tapi melihat gerakan Mei-mei,
dia yakin gadis itu sudah mulai cepat dengan kaki dan tangannya. Padahal baru
dua puluh hari dia belajar.
Saat itu, ketika Salim berniat
menangkap pukulan tangan Mei-mei, gadis itu membiarkannya. Ketika Salim berniat
menguasai tangan tersebut, di luar dugaan, kaki kiri Mei-mei yang berada di
belakang kaki kanannya, menendang kedepan dengan kuat dan cepat sekali.
Tendangan itu demikian telaknya. Salim baru menyadari bahaya tendangan itu
ketika sudah terlambat.
Tendangan itu masuk keperutnya Tak ada
ampun. Tubuhnya terlipat dan terguling ketanah. Si Upik bersorak gembira.
Mei-mei tertegun melihat akibat tendangannya. Salim meringis dan merangkak
bangun. Mei-mei membantunya tegak dengan wajah penuh penyesalan.
“Maaf… maafkan saya tak sengaja …” Salim
tegak tapi tersenyum.
“Benar benar jurus cuek Sadapo yang
sempurna. Saya tak pernah berhasil sebaik itu dalam mempergunakan jurus
tersebut…”
Salim berkata jujur sambil menghapus
peluhnya. Mereka terkejut tatkala mendengar tepuk tangan dari rumah. Ketika
mereka menoleh, mereka melihat si Bungsu tegak dengan senyum di dekat jendela.
Mei-mei menghambur gembira melihat anak muda itu sudah bisa berdiri.
“Koko ..” serunya tersendat.
“Moy-moy. Selamatlah. Engkau telah
menjadi seorang pesilat..” suara si Bungsu terdengar bernada gembira dan
bangga.
Mei-mei menatap anak muda itu. Dan tiba
tiba dia memeluk anak muda itu dengan isak tertahan. Gadis ini sangat
merisaukan kesehatan si Bungsu, itu sebabnya ketika kini dia melihatnya telah
mampu berdiri, hatinya sangat bersyukur. Dia menangis karena bahagia. Hanya si
Bungsu yang jadi terheran heran, tatkala mengetahui
“Mei-mei menangis. Hei, ada apa Mei-mei
..?”
“Saya bahagia, koko telah sembuh. Saya
sangat khawatir koko tak sembuh sembuh. Saya sangat hawatir …..”
“Orang kalau gembira pasti tertawa. Ini
gembira kok menangis. Hei Salim, bagaimana ini. Pesilat tak boleh menangis
bukan ?” Salim hanya tersenyum, si Upik berlari pada Mei-mei.
“Jangan menagis, Uni…” katanya.
Mei-mei melepaskan pelukannya dari si
Bungsu, kemudian menghapus air matanya. Kemudian menatap pada si Bungsu. Si
Bungsu tersenyum.
“Teruslah berlatih. Saya bangga melihatmu
jadi seorang pesilat ..”
“Kami sudah selesai. Hanya tinggal
menutup dengan pernafasan ..” terdengar suara Salim.
“Ayolah kita tutup latihan ini Uni.
Kesehatan bisa rusak bila tak diakhiri dengan latihan pernafasan itu ..” Ujar
Upik membujuk Mei-mei. Gadis itu kemudian melangkah lagi ke lapangan kecil di
belakang rumah tersebut. Lalu mengatur pernafasan sebagai penutup latihan.
Si Bungsu mengenal latihan ini.
Pernafasan mempertajam pendengaran dan mengatur tenaga yang telah terpaksa.
Latihan begitu tiap hari dia lakukan ketika di gunung Sago dahulu. Mei-mei
memang telah mulai latihan silat sejak dua hari kedatangannya kerumah Datuk
Penghulu ini. Dia tertarik melihat si Upik berlatih.
Karena itu ketika Datuk Penghulu Basa
menawarkan untuk ikut, tanpa malu malu diapun ikut. Dengan cepat ternyata dia
bisa menguasai pelajaran yang diberikan. Sebenarnya Datuk Penghulu bukan
sekedar menawarkan latihan saja pada Mei-mei. Dia punya alasan yang kuat.
sebagai guru gadang aliran Silek Tuo yang berasal dari Pariangan Padangpanjang,
yaitu aliran silat yang merupakan induk dari silat silat yang ada di
Minangkabau, seperti silat Lintau, Kumango, Pangian dan lain lain, dia dapat
melihat tulang seorang pesilat pada tubuh orang. Mula pertama melihat Mei-mei,
hatinya berdetak keras. Susunan tulang Mei-mei merupakan susunan yang hampir
hampir sempurna bagi seorang pesilat. Dia yakin gadis ini mempunyai bakat silat
yang luar biasa.
Itulah sebabnya dia menawarkan gadis itu
untuk belajar. Dan ketajaman penglihatannya itu segera saja terbukti. Ketika
dalam waktu tak sampai satu bulan, Mei-mei telah melalap dan memahami dengan
baik pelajaran pelajaran pokok dan kunci kunci serangan yang diberikan Datuk
Penghulu Basa. Tak seorangpun yang mengetahui, bahkan Mei-mei sendiri, bahwa
gadis itu sebenarnya adalah turunan seorang pesilat tangguh. Ayah dari kakek
Mei-mei berasal dari Tinggoan di daratan Tlongkok sana.
Dan ayah kakeknya ini adalah seorang
Tiang Bujin, atau dedengkot silat aliran Siau Lim Pay yang sangat tersohor.
Ayah dari kakeknya bergelar Bu Beng Tay Hiap. Si Pendekar Pedang Tak Bernama.
Setiap pesilat di daratan tlongkok pasti menaruh segan pada pendekar itu. Dan
ternyata bakat dan susunan tulangnya menurun pada buyutnya yang dilahirkan di
Indonesia, yaitu Mei-mei. Tak seorangpun yang mengetahui hal ini. Dan itu
pulalah sebabnya, kenapa ketika ditawarkan untuk belajar silat oleh Datuk
Penghulu gadis itu menerima dengan rasa gembira. Tentu saja dia gembira, sebab
darah pesilat di dalam tubuhnya mendorong-dorong. Hanya saja selama ini tak
pernah mendapat penyaluran Pelajaran silat yang diberikan padanya, segera saja
dapat dia terima secara sempurna. Di samping merasa bangga dan gembira, Datuk
Penghulu juga merasa kaget pada kemajuan yang dicapai gadis itu. Si Upik yang
telah setahun belajar, kini justru diajar oleh Mei-mei. Dan kini kalau Datuk
itu tak di rumah, Salimlah yang membimbing Mei-mei.
Salim memberikan pelajaran yang telah dia
terima selama tiga tahun ini. Baik pelajaran yang telah dia kuasai. Maupun
pelajaran dalam taraf dilatih. Ternyata pelajaran Mei-mei maju dengan sangat
cepat. Malah kini dia sangat sukar menundukkan gadis itu. Dalam rimba
persilatan, memang terdapat apa yang disebut anak anak ajaib. Di Tiongkok,
yaitu tempat asal muasal silat yang ada di seluruh dunia, anak ajaib di
kalangan persilatan ini lahir satu atau dua orang dalam seratus tahun.
Itupun sangat sulit menemukannya. Kalau
ada, maka sejak lahirnya anak itu senantiasa menjadi rebutan kalangan
persilatan. Sebab bisa diduga, siapa saja yang berhasil menjadikannya murid,
pastilah perguruannya akan menjadi perguruan yang disegani. itu pulalah yang
terjadi pada ayah dari kakek Mei-mei. Bu Beng Kiam Hiap dari Tinggoan yang
terkenal itu. Ayah kakeknya ini, lahir di biara Budha. Biara itu milik
perguruan Bu Tong Pay. Kala itu Biksu Bu Tong Pay yang melihat pertama kalinya
sangat terkejut. Diam diam dia memelihara anak itu. Namun Biksu itu membuat
suatu kesalahan. Dalam rangka mengamankan anak itu agar tak sampai jatuh ke
tangan perguruan lain, dia sampai sampai tak membenarkan ayah ibunya menemui si
anak.
Ini sudah keterlaluan- Suatu malam anak
itu diculik oleh ayahnya sendiri. Dan si ayah hampir mati di tangan si Biksu.
Namun saat itu muncul seorang pendekar dari perguruan Siaw Lim Pay, yang
menolong ayah dan ibu anak itu dari kematian. Membawa ketiga beranak itu ke
perguruannya. Dan tentu kehadiran anak itu disambut dengan kaget dan gembira
oleh guru guru besar perguruan tersebut. Akhirnya ayah kakek Mei-mei menjadi
pesilat yang kesohor. Kesohor karena dia selalu muncul di saat saat genting.
Dimana ada penindasan dari yang kuat pada
yang lemah, di sana dia muncul dan turun tangan menolong. Siapa sangka, cucu
buyutnya yang lahir di Indonesia juga mempunyai susunan tulang seperti dia. Dan
kini menjadi murid dari Perguruan Silat Tuc di Minangkabau. Datuk Penghulu tak
memiliki banyak murid. Bukannya tak ada orang yang ingin berguru padanya. Cukup
banyak orang yang datang. Tapi dia selalu menolak dengan halus. Kini muridnya
hanya tiga orang. Si Upik anaknya, Salim kemenakannya dan Mei-mei. Hanya tiga
orang. Namun dia merasa puas dengan ketiga muridnya ini. Salim dan Mei-mei
menjadi dua sahabat. Kehadiran Mei-mei di rumah Datuk Penghulu tak banyak
diketahui orang. Pertama karena rumah Datuk itu terletak di tengah kebun yang
luas, selain itu dikelilingi pula oleh hutan bambu di daerah Padang Gamuak. Di
daerah itu hanya ada beberapa rumah.
Mei-mei juga sangat menyayangi Upik.
Gadis kecil ini tak punya abang dan tak punya kakak. Itulah kenapa dia
memanggil Mei-mei dengan sebutan Uni. Mei-mei senang punya adik seperti dia.
Baik Datuk Penghulu maupun istrinya, sangat menyayangi Mei-mei. Gadis itu
sangat pandai membawa diri. Dia sudah bisa bertanak dan menggulai. Pandai
merendang dan membuat dendeng.
Mei-mei gadis yang tak segan bekerja
keras membantu istri Datuk Penghulu. Hari ini, selesai latihan Salim mengawani
si Bungsu. Dia ingin membawa anak muda itu berjalan jalan keliling rumah untuk
melatih kakinya. Mereka berjalan di bawah pohon bambu. Kemudian tengah hari
mereka kembali kerumah. Si Bungsu duduk di bawah pohon jambu di depan rumah
tersebut, dikawani oleh Salim. Salim menceritakan kemajuan kemajuan yang
dicapai oleh Mei-mei dalam latihan silat.
“Saya dengar mak Datuk bercerita tentang
perkelahian engkau dengan penyamun penyamun di Penginapan itu ..” Salim berkata
setelah dia bercerita tentang kemajuan Mei-mei dalam silat.
“Oh ya ..?”
“Ya. Saya ingin sekali belajar
mempergunakan samurai itu. Apakah sulit belajarnya ..?” Si Bungsu tersenyum.
“Ilmu silatmu cukup tinggi. Saya pernah
mencoba belajar. Namun tak pernah bisa. Saya memang tak ada jodoh untuk jadi
pesilat. Mempergunakan samurai inipun hanya karena takdir saja. Kekerasan tekad
untuk membalas dendam”.
Dia lalu menceritakan nasib keluarganya.
Nasib yang menimpa diri mereka. cerita itu pernah dia Ceritakan pada Datuk
Penghulu Basa dan istrinya ketika lima belas hari dia terbaring. Dia juga
menceritakan nasib yang menimpa diri Mei-mei kepada kedua suami istri itu.
Itulah sebabnya kenapa suami istri kusir bendi itu merasa sayang pada Mei-mei.
Mereka menganggap Mei-mei sebagai kakak si Upik. Dan kini si Bungsu
menceritakan perihal dirinya pada Salim.
“Saya tak menyangka demikian pahitnya
hidupmu Bungsu ..” kata Salim, setelah si Bungsu selesai bercerita.
Si Bungsu menarik nafas panjang, ketika
Salim permisi sembahyang ke Mesjid di tepi jalan besar di luar hutan bambu ini,
si Bungsu tegak dan berjalan perlahan dengan dibantu sebuah tongkat kerumah. Di
ruang tengah dia melewati istri Datuk Penghulu yang tengah sembahyang. Dia
ingat belum sembahyang lohor. Tapi dalam keadaan sakit begini apakah dia
mungkin untuk sujud? Sembahyang duduk sajakah? Dia mencari kain sarungnya.
Mungkin dijemur. Dia kembali lewat di ruang tengah. Akan ke belakang mencari
Mei-mei untuk mengambil sarungnya. Namun di pintu ruang tengah dia tertegak seperti
patung.
Dia tertegak diam melihat pada perempuan
sembahyang yang tadi dia sangka istri Datuk Penghulu itu. Perempuan itu
nampaknya baru selesai sembahyang. Kini dia tengah menampungkan tangannya
membaca doa. Dan ketika dia benar benar melesai sembahyang, dia menoleh pada si
Bungsu. Si Bungsu benar-benar terkesima. Dia ingin bicara, namun lidahnya
terasa kelu.
“Koko ..” akhirnya perempuan itulah yang
bicara perlahan.
Masih dalam keadaan terpukau, si Bungsu
melangkah kembali ke ruang tengah. Perlahan dia duduk di depan perempuan itu.
Perempuan yang baru saja selesai sembahyang itu tak lain daripada Mei-mei.
“Koko .. sebentar ini aku berdoa untuk
arwah ibu dan ayahku. Dan aku berdoa untukmu. Untuk kesembuhanmu. Untuk
keselamatanmu ..”
“Mei-mei kau ..?” hanya itu kalimat yang
terucap si Bungsu.
Ada perasaan yang amat luar biasa
menyelusup ke hatinya melihat gadis itu sembahyang Lohor.
“Ya, koko. Telah saya pikirkan. Dan saya
memilih islam sebagai agama saya ..”
“Tapi …”
“Saya merasa tentram dan damai setelah
sholat. Bukankah koko yang mengatakan itu dipenginapan dulu?” si Bungsu masih
tak kuasa bicara.
“Masih ingatkah koko waktu saya bertanya,
apakah tak meletihkan sembahyang lima kali sehari semalam? Koko katakan, bahwa
diri koko merasa tentram dan damai set iap selesai sembahyang. Diri koko merasa
mendapatkan tenaga dan semangat baru setiap selesai sholat. Itulah yang
mendorongku untuk masuk Islam. Tak ada yang membujuk. Tak ada yang memaksaku.
Di rumah ini kulihat mereka sembahyang semua. Dan mereka bahagia, damai, sabar.
Meskipun mereka miskin. Bukankah kedamaian dan kebahagian itu yang dicari
orang? Kusampaikan niatku itu pada Pak Datuk. Kusampaikan pada istrinya Mak
Ani. Mereka membawaku ke Mesjid. Mak Ani memandikanku. Dan Imam yang ada di
mesjid itu membacakan dua Kalimah Shahadat, dan kuikuti. Pak Datuk dan Salim
serta Mak Ani sebagai saksi. Sejak hari itu, dua pekan yang lalu, aku telah
menjadi seorang muslimah. Dan aku memang mendapatkan kedamaian, ketentraman,
semangat baru set iap selesai sholat .. aku bahagia memilih Islam menjadi
agamaku …”
Tanpa dapat ditahan, mata si Bungsi jadi
basah. Mei-mei menatap matanya yang basah. Dan pelan pelan, mata gadis itu ikut
basah. Dan tiba tiba mereka berpelukan.
“Koko, engkau sedih aku masuk Islam ?”
“Tidak Moy-moy. Tidak. Aku hanya akan
sedih kalau kau masuk Islam hanya karena ing in menyenangkan hatiku.
Percayalah, tanpa masuk Islam pun engkau, aku tetap kusayang padamu. Engkau
tetap adikku ..”
“Tidak koko. Aku masuk Islam bukan karena
engkau. Aku masuk Islam karena takdir Tuhan. Bukankah takdir manusia di tangan
Tuhan Yang Satu? Tuhan mentakdirkan aku bertemu denganmu. Tuhan pula yang
mentakdirkan aku masuk Islam. Aku bahagia menerima takdir itu koko. Sama
seperti aku juga bahagia berada di dekatmu…”
“Terima kasih Moy-moy. Terima kasih
adikku ..”
Peristiwa itu dilihat oleh Datuk Penghulu
yang baru pulang. juga dilihat dan didengar oleh Mak Ani, ibu si Upik yang
tegak di ruang tengah. Karenanya mereka pada mengusap matanya yang basah.
Terharu melihat persaudaraan kedua anak muda yang berlainan bangsa ini. Yang
satu kehilangan seluruh familinya di tangan Jepang. Yang satu kehilangan
kehormatannya di tangan Jepang. Nasib mempertemukan mereka. Persis seperti
diucapkan oleh Mei-mei sebentar ini. Bahwa mereka dipertemukan oleh Takdir yang
telah diatur oleh Yang Satu.
-000-
Tanpa terasa setahun telah berlalu.
Selama setahun itu Mei-mei dan si Bungsu tetap tinggal di rumah Datuk Penghulu
di kampung Padang Gamuak Tarok. Mereka seperti tinggal di rumah orangtua
sendiri. Datuk Penghulu dan istrinya menerima mereka dengan tangan terbuka.
Datuk Penghulu ternyata seorang pejuang yang menghubungi anggota Gyugun, yaitu
tentara Jepang yang berasal dari pemuda pemuda Indonesia. Dia menginventarisir
senjata yang berhasil dicuri, juga logistik, dikumpulkan untuk mempersiapkan
bila terjadi perang kelak. Dia juga mencatat nama nama para anggota Gyugun yang
bersedia menjadi tentara Peta yaitu pasukan Pembela Tanah Air. Kesibukan Datuk
Penghulu akhir akhir ini memang makin meningkat.
Sementara itu, kemahiran Mei-mei dalam
persilatan setahun ini maju dengan amat pesat. Salim yang selama ini bertindak
sebagai pembantu Datuk Penghulu untuk mengajar Mei-mei, kini sudah tercecer
jauh sekali. Bahkan dalam beberapa kali latihan, Mei-mei berhasil mengalahkan
Datuk Penghulu. Datuk Penghulu jadi sangat bangga dan bahagia mempunyai murid
seperti dia. Berbeda dengan guru guru silat pada umumnya, yang merasa terhina
bila muridnya berhasil mengalahkannya. Datuk Penghulu justru merasa karena tak
ada lagi ilmu yang bisa dia turunkan kepada Mei-mei.
Sedangkan si Bungsu juga melatih
samurainya. Dia tak ikut belajar silat. Meskipun Datuk Penghulu pernah
menawarkan padanya untuk ikut namun dia merasa sudah terlambat. Keinginannya
kini hanya satu, membalaskan dendam keluarganya membunuh Saburo dengan
samurainya. Ayahnya telah bersumpah sesaat sebelum mati, bahwa dia akan
menuntut balas membunuh Saburo dengan samurai. Dia saksi langsung saat sumpah
itu diucapkan. Adalah kewajibannya untuk melaksanakan. Karena itu, selama
setahun di rumah Datuk dia melatih kecepatan samurainya dalam hutan bambu yang
ada di sana.
Dia mengulangi lagi cara latihannya
seperti di gunung Sago dahulu. Mencabut dan memasukkan samurai secepat yang
mampu dia laksanakan. Memancungkannya keempat penjuru. Berkali kali hal serupa
itu dia ulangi. setelah kecepatannya kembali normal, lalu dia memejamkan mata,
memusatkan konsentrasi. Mengerahkan tenaga untuk mendengarkan geseran yang
paling halus sekalipun ketika angin berhembus.
Beberapa daun bambu jatuh. Dia menanti,
ketika daun bambu itu tinggal sedepa dari permukaan tanah dia mencabut
samurainya, secepat kilat. Kemudian dengan masih tetap memejamkan mata, dia
bergerak dua langkah kekanan. Menyabetkan samurainya dua kali. Dua helai daun
bambu terbelah.
Kemudian berguling cepat kekiri,
menyabetkan samurainya dua kali, sehelai daun bambu belah dua. Dan sehelai lagi
luput dari tebasan samurainya. Dia mengulangi latihan begitu terus menerus.
Hingga akhirnya kecepatan dan kemahirannya bertambah dari yang sudah sudah.
Selama setahun itu mereka tetap tinggal bersama Datuk Penghulu dan Tek Ani.
Dengan uang yang mereka bawa dari Payakumbuh, ditambah perhiasan yang mereka
peroleh dari rumah Babah gemuk pimpinan komunis itu, Mei-mei dan si Bungsu
dapat membantu kehidupan Datuk itu. Bahkan Mei-mei menyuruh si Upik sekolah
terus dengan biayanya. Malam itu, ketika Datuk Penghulu dan si Bungsu tak di
rumah, Mei-mei tengah membaca Al Quran, Tek Ani dan Upik menyimaknya. Suaranya
yang halus lembut seperti membelah hutan bambu. Menyelusup di antara pohon
pohon dan daunnya yang hijau. Di rumah Datuk itu hanya mereka bertiga kini.
Datuk Penghulu entah berada dimana.
Kegiatannya sangat memuncak. Sebab waktu itu adalah penghujung bulan Juli 1945.
Yaitu dua pekan lagi sebelum Proklamasi dibacakan di Pengangsaan Timur Jakarta
Pejuang pejuang Indonesia saling mengadakan kontak dengan tokoh tokoh
pergerakan. Datuk Penghulu pimpinan dari delapan kurir utama kaum pejuang yang
berpusat di Bukittinggi. Dialah yang menghubungkan kontak antara Mayor Dakhlan
Jambek yang saat itu bertugas dalam Gyugun dan bermarkas di Pasaman dengan
Mayor Makkimuddin di Payakumbuh.
Kepada mereka disampaikan pesan pesan
dari Engku Syafei. Tokoh pejoang di bawah tanah yang bermarkas di Kayu Tanam.
Kontak itu juga menghubungkan mereka dengan encik Rahmah El Yunussiyah. Seorang
pejuang wanita yang mendirikan sekolah Diniyah Puteri di Padangpanjang.
Menjelang hari Proklamasi, kesibukan para pejuang sangat meningkat. sebaliknya,
Kempetai yang merupakan Polisi Militer Jepang, memperketat pula pengawasan
mereka.
Sudah tentu anggota anggota Gyugun yang
berasal dari pemuda Indonesia berada dalam pengawasan utama dan sangat ketat.
Gerak gerik mereka diawasi secara rahasia. Dari pengawasan dan penyelidikan
itulah bocor rahasia tentang diri Datuk Penghulu ayah si Upik di Padang Gamuak
itu. Dari penyelidikan diketahui bahwa kusir bendi hanya dibuat sebagai kedok
saja dari tugas mata matanya. Kempetai menyiapkan suatu penyerangan ke
rumahnya.
Dan malam itu lima orang Kempetai pilihan
datang kerumah mereka. Namun seperti telah diutarakan di atas, saat itu Datuk
tersebut tak ada di rumah. Yang ada hanyalah istri Datuk itu, Mei-mei dan si
Upik. Perempuan ketiganya. Si Bungsu sendiripun tak ada di rumah tersebut. Dia
tengah menggantikan tugas Datuk Penghulu membawa bendinya. Ada berita penting
yang sedang dia nanti di kota. Yaitu tentang diri Saburo. Untuk itu dia
menyamar sebagai kusir untuk menemui kurir di kota. Tek Ani, si Upik dan
Mei-mei kaget dan terhenti mengaji tatkala pintu didobrak oleh Kempetai.
“Mana Datuk Penghulu ..”
Seorang Kempetai bertanya dengan senjata
terhunus. Sementara yang seorang lagi mengawasi set iap sudut rumah. Mata
mereka merah dan nyalang. Waspada terhadap segala kemungkinan. Ketika
pernyataan itu diulangi, barulah tek Ani menjawab, bahwa suaminya memang tak
ada. orang yang menggeledah itu kemudian berbisik bisik dengan Komandannya yang
berpangkat Djun-i (Pembantu Letnan) yang memimpin penggerebekan itu. Djun-i itu
menatap Mei-mei dengan mata berkilat. Ketika dia mengangguk, yang berbisik tadi
lalu keluar. Lalu terdengar suaranya menyuruh jaga sekitar rumah itu. Dari
jawaban di luar, Mei-mei segera tahu bahwa di luar ada tiga orang lagi tentara
Jepang.
“Hei, kamu sini ikut. Saya mau periksa
..” Ujar Djun-i itu kepada Mei-mei.
Si Upik mulai menangis. Tapi dia terdiam
begitu dibentak oleh Kempetai yang seorang lagi. Perlahan Mei-mei bangkit.
Mei-mei itu menelan ludahnya melihat tubuh montok gadis cina itu. Segera saja
dia menyeret tangan Mei-mei ke bilik yang biasanya ditempati si Bungsu.
Kemudian pintu dia tutup, Si Upik memeluk
ibunya dengan wajah pucat. Sementara serdadu yang satu lagi menatap mereka
dengan seringai buruk. Dari dalam kamar terdengar suara gelosokposoh tak
menentu. Dan Kempetai yang di ruang tengah itu menelan ludahnya beberapa kali.
Membayangkan kenikmatan yang sedang dikenyam oleh komandannya di dalam bilik
itu bersama gadis montok tadi. Dia jadi tak sabaran menunggu giliran, cukup
lama dia menanti, dan tiba tiba pintu kamar terbuka. Mei-mei muncul dengan
senyum di bibir. Dia memberi isyarat pada Kempetai yang ada di ruang tengah
itu. Kempetai itu bergegas.
Tak peduli komandannya tadi belum keluar,
yang jelas dia harus cepat mendapat giliran. Dia masuk kamar itu. Didapatinya
komandannya masih terbaring dalam pakaian lengkap. Tapi yang menjadikannya
heran adalah karena komandannya itu terbaring tidak di tempat tidur. Melainkan
di lantai. Pertanyaan belum menjawab, ketika dia berpaling pada gadis itu,
tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Pukulan dengan sisi tangannya mendarat
di tengkuk Kempetai itu. Kempetai tersebut bukanlah orang lemah. Sebagai
seorang Kempetai, dia belajar karate dan Yudo. Pukulan pertama dia tangkis
dengan tangannya. Namun meleset. Pukulan gadis itu amat cepat. Tapi pukulan itu
belum merubuhkannya. Dalam keadaan heran dan kaget Kempetai itu coba memeluk
gadis tersebut.
Itulah kesalahannya. Mei-mei membiarkan
Kempetai itu memeluknya, disaat tubuh mereka merapat, Mei-mei menghantamkan
lututnya keatas. Mendarat persis di selangkang Jepang itu. Jepang itu hampir
saja terpekik. Mei-mei bertindak cepat. Tangannya segera menutup mulut Jepang
itu. Kalau teriakannya sampai kedengaran oleh tiga temannya di luar, bisa
berbahaya. Dan Kempetai itu melosoh turun. Kentang kentangnya pecah. Mei-mei
hari ini bukan lagi Mei-mei setahun yang lalu.
Bukan lagi Mei-mei yang lemah yang tak
dapat berbuat apa apa ketika tubuhnya digumuli oleh perwira perwira Jepang di
Payakumbuh dulu. Mei-mei hari ini adalah gadis yang telah berisi. Dia membuktikan
hal itu dengan merubuhkan kedua Kempetai ini dengan mudah. Kempetai yang
berpangkat Djun-i yang masuk pertama kali tadi juga mendapatkan perlakuan yang
sama. Begitu masuk dan menutup pintu, dia segera memeluk dan berusaha mencium
gadis itu.
Mei-mei seperti akan membalas pelukannya.
Namun kedua tangannya memegang leher Djun-i itu. Begitu terpegang lehernya,
sementara Jepang itu masih asik menciumi mukanya, Mei-mei menghantam lututnya
keselangkang Jepang itu. Ketika Jepang itu tersentak kaget dan amat sakit,
kedua tangannya memegang leher Jepang itu bergerak pula. Yang satu mencengkram
rambut di belakang kepala Kempetai itu. Tangan yang satu lagi menghantam
dagunya. Rambut Jepang itu dia tarik sekuat kuatnya arak kekanan. Sementara
dagunya dipukul arah kekiri.
Akibatnya kepala Jepang itu terputar
denganpaksa amat kuat. Terdengar suara tulang berderak. Leher Jepang itu patah
tulangnya. Dia mati tanpa sempat berteriak. Itulah yang dialami oleh Djun-i
yang masuk pertama kali. Kini sudah dua orang selesai oleh Mei-mei. Benci dan
dendam yang telah lama menyala dalam dada gadis ini kepada Jepang yang telah
melaknati tubuhnya, kini mendapat tempat pelampiasannya. Diam diam dia mengunci
pintu kamar. Kemudian mengambil samurai yang panjangnya dua jengkal yang tersisip
di pinggang Djun-i yang telah mati itu. Lalu perlahan dia membuka jendela dan
berjingkat dia keluar. Masuk kedalam malam yang gelap.
Tadi dia mendengar ada tiga Jepang lagi
menjaga di luar rumah. Dia ingin menyudahi ketiga Jepang jahanan itu. Perlahan
lahan dia menuju ke depan. Tiba tiba langkahnya terhenti. Dari depan seorang
Kempetai rupanya menaruh curiga akan situasi rumah yang sepi itu. Dengan bedil
terhunus dia mengitari rumah tersebut. Dan dia melihat sesosok bayangan tegak
mematung dekat dinding.
“Siapa itu..!” Jepang itu membentak
sambil mengacungkan bedil yang siap memuntahkan peluru.
“Malaikat maut..” Jawab Mei-mei dengan
suara mendesis tajam. Dan seiring dengan itu tubuhnya bergulingan di tanah.
Dalam tiga kali bergulingan yang amat cepat, dari posisi berbaring menyamping
di tanah, kaki kanannya menghantam keatas. Terdengar seruan terkejut dan
kesakitan dari mulut Jepang itu ketika sisi kaki Mei-mei yang terlatih mendarat
di perutnya. Namun Jepang itu tak rubuh. Dia hanya terjajar kebelakang.
Bedil masih terpegang ditangannya. Dan
justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu, telunjuknya menarik
pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut
kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih. “Aku kena,”
bisik hatinya. Namun dia tak menyerah. Masih dia ingat betapa jahanam ini
ketika di Payakumbuh dulu melanyau dirinya. Mungkin memang tidak mereka. Tapi
komandan komandan mereka. Namun apa bedanya. Tubuhnya segera bangkit. Sebelum
kedua Kempetai yang ada di depan sampai ketempat itu, sebuah tendangan lagi
menghantam kerampang Jepang itu. Kali ini bedilnya jatuh. Kedua tangannya
menggigil memegang tempat yang baru saja kena tendangan. Terdengar keluhan yang
menegakkan bulu tengkuk.
Dia segera saja jatuh di kedua lututnya.
Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia terjatuh di atas
kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya.
Riwayat Kempetai itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada
di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya terduduk. Yang paling depan
mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terialu dekat. Bedilnya
direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan.
Sebuah tinju menyongsong mulutnya. Tangan
Mei-mei terasa ngilu. Buku jarinya mendarat dengan telak di bibir Jepang itu.
Tapi kalau buku buku jarinya ngilu, maka Jepang itu merasa mulutnya bengkak.
Dan hampir saja dia menelan giginya yang copot tiga buah. Kempetai ini tak
melihat dengan jelas siapa lawannya. Namun dia tahu, orang ini pastilah
pesilat. Dan mereka sudah mengetahui, bahwa silat di Minangkabau tak dapat
dianggap enteng. Bedilnya sudah sejak tadi lepas. Yaitu sejak mulutnya kena
bogem mentah. Tapi kini dengan cepat kakinya melayang kedepan. Mengirimkan
sebuah tendangan karate bernama maei-geri yang telak.
Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu.
Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti tendangan itu. Sebuah
tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang
datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir
bersilat, tapi baru kali ini berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan
nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang ampuh untuk menangkis
tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai
sepatu. Lagipula tangkisannya agak teriambat. Tak ampun lagi, tulang
tangannyalah yang kena tendang. Mei-mei terpekik. Tangannya segera saja jadi
bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa lawannya ini
adalah seorang perempuan.
“Onaaa …” serunya.
“Onaa ?” (perempuan) tanya kawan di
belakangnya.
“Haik…” jawabnya.
Dengan jawaban begitu, Kempetai itu maju
ingin memeluk Mei Mei. Ingin menangkap dan meringkusnya hidup hidup, Namun
disinilah kesalahan tentara Jepang itu. Disini pula kebanyakan kesalahan setiap
lelaki dalam menghadapi perempuan. Selalu mendahului nafsu. Begitu dia
mendekat, Mei-mei yang sudah bertekad untuk membunuh atau dibunuh itu segera
menghunus samurai pendek yang tadi dia ambil dari pinggang Kempetai yang mati
dalam bilik.
Ketika tangan Kempetai ini terjulur,
tangannya juga terulur….. crep samurai tajam dan tipis itu masuk persis ke
jantungnya. Kempetai itu terbelalak menyeringai sakit. Suaranya seperti suara
kerbau disembelih. Gadis itu tak mau tanggung tanggung. Samurai itu dia
renggutkan dengan kuat ke kanan. Merobek dada Jepang itu selebar satujengkal.
Lalu samurai itu dia cabut dengan cepat dan dia tikamkan keleher Jepang itu Demikian
cepat peristiwa itu. Demikian lihai gadis ini menjadi pembunuh orang yang dia
benci. Kehidupan keras yang dialami selama tahun tahun yang hitam di
Payakumbuh, membuat hatinya tak mudah terguncang melihat kematian.
Umurnya masih sangat muda. Belum cukup
delapan belas tahun. Tapi lihatlah, Kempetai yang satu lagi benar benar
tertegun melihat perkelahian itu. Tak pernah dia sangka seorang wanita bisa
berbuat begitu. Tapi dia sadar wanita ini amat berbahaya. Dengan kesadaran
demikian, dia menghantamkan pangkal bedilnya ke tengkuk Mei-mei. Mei Mei merasa
ada gerakan angin di belakangnya. Dengan cepat dia menjatuhkan diri. Kedua
tangannya bertelekan di tanah. Namun tangan kirinya terasa lumpuh. Kelumpuhan
akibat tembakkan dan tendangan tadi. Dengan tangan kanan bertelekan dia
menghujamkan kakinya kebelakang. sebuah cuek belakang yang telak. Jepang itu
tersurut selangkah ketika kena hantam pahanya. Terasa sakit kena hantam tumit
gadis itu.
Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan
moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat itu pula Mei-mei berputar
sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula. Samurai
itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai.
Begitu samurai pendek itu lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi
dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat dia sudah dua kali dia
bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh
Kempetai itu.
Mei-mei tersandar ke dinding rumah.
Nafasnya memburu. Suasana sepi. Salak anjing yang biasanya riuh di malam
begini, kini pada terdiam mendengar suara dua kali letusan itu. Mereka
menyurutkan diri ke dalam semak atau ke bawah rumah. Sebab sudah beberapa kali
Jepang memburu anjing. Memburunya masuk kampung keluar kampung. Menurut Jepang,
anjing itu harus dibunuhi. Sebab dia memakan makanan yang harusnya jadi makanan
manusia. Tambahan lagi, yang paling parah, anjing anjing itu sedang dijangkiti
penyakit rabies.
Penyakit yang biasanya menulari anjing
bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan. Dewasa itu pula,
penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan
Rasisme Jepang ? Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu
tragedi sebenarnya. Tapi begitulah sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang
mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu, akan tetap
mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan
di ruangan tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini
menanti dengan tegang.
“Unii. Uni Uni Mei-mei…” si Upik
memanggil di antara tangisnya.
Memanggil uninya yang tak kunjung keluar
dan tak kunjung terdengar suaranya dari dalam bilik yang tadi dimasuki dua
orang Kempetai itu. Tak ada jawaban dari dalam.
“Uni Mei Mei ..” si Upik mulai menangis.
Dia berdiri menuju kepintu bilik.
“Uni … buka pintu uni ..”
Tak ada jawaban. Sepi…!!
Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus.
Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
“Upik … , Etek …”
Suara itu terdengar lagi. Seperti suara
Mei-mei. Istri Datuk itu tegak. Dia seperti mendengar suara itu dari luar.
Kenapa dari luar ?
“Etek .. tolong saya. Saya di luar ..”
Ujar suara itu periahan, seperti orang kehabisan tenaga. Si Upik mendengar pula
suara itu. ibunya mengambil lampu dinding. Kemudian perlahan membuka pintu
Melangkah kesamping pintu. Mereka tertegak kaku melihat tiga tubuh Kempetai
yang telah jadi mayat. Lalu mereka melihat tubuh Mei-mei tersandar di dinding
rumah. Dari bahu kirinya darah mengalir. Kepala gadis itu terkulai. Dan matanya
menatap sayu.
“Mei-mei…”
“Etek …” himbau gadis itu lirih.
Upik menangis memeluk uninya itu. Istri
Datuk berusaha menolong Mei-mei untuk bangkit dan memapahnya ke dalam. Tapi
gadis itu menolak.
“Mayat mayat ini harus disembunyikan
etek. Komandan mereka yang menugaskan mencari pak Datuk kemari pasti akan
curiga kalau mereka tak kembali pada waktunya. Mereka akan mengirimkan pasukan
lagi kemari. Bukankah di belakang rumah ada lobang besar tempat membakar sampah
? Seretlah mayat ini kesana. Nampaknya etek terpaksa bekerja dengan upik. Saya
tak dapat membantu. Bahu saya tertembak. Di dalam kamar masih ada dua mayat
lagi. Seretlah etek… kemudian timbun dengan apa saja. Asal mayat mereka tak
kelihatan”
Istri Datuk itu memang tak melihat jalan
lain yang lebih baik selain mengikuti petunjuk Mei-mei. Dengan mengerahkan
semua tenaganya, dengan bantuan si Upik,
dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke
lobang pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari
tempatnya bersandar. cukup lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai
istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun Mei-mei menggeleng.
“Tidak etek. Berbahaya kalau saya masuk
kerumah.
Kalau Kempetai datang dan ternyata teman
temannya tak ada, mereka akan memaksa kita. Barangkali mereka juga berniat
memperkosa saya. Dan mereka akan melihat dan mengetahui luka saya ini adalah
luka bekas tembakan. Mereka akan curiga. Kematian kelima teman mereka akan
segera mereka ketahui. Sembunyikan saja saya ke tempat lain. Bawa saya kepondok
kecil di tengah rumpun bambu di samping sana. Biarlah saya di sana menjelang
koko pulang …”
“Saya akan ikut dengan uni …” si Upik
berkata sambil menangis.
“Tidak Upik. Upik harus tetap bersama
etek di rumah. Tolong ambilkan obat di kamar uni. obat ramuan yang dulu
diberikan koko kepada kita. Ingat ?”
Upik mengangguk. Kemudian cepat masuk.
Mengambil obat, kain dan beberapa potong kue yang mereka beli siang tadi.
Kemudian sebuah bantal dan tikar. Dengan suluh mereka segera menuju kepondok
kecil di tengah hutan bambu itu. Pondok itu dibuat oleh si Bungsu untuk
istirahat jika selesai latihan. Sesampai d i pondok Mei-mei minta tolong
menaburkan obat ramuan itu di lukanya.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata
menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di belakang tiga kali
selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak
keluar. Setelah ramuan obat yang dibawa si Bungsu dari gunung Sago itu
ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
“Pulanglah etek, Upik. Kalau koko datang,
katakan aku di sini …”
“Tidak. Upik tidak pulang. Upik di sini
mengawani uni …”
Si Upik tak tahan untuk tak menangis
melihat penderitaan Mei-mei. Mei-mei jadi terharu. Dia belai kepala adiknya
itu.
“Tidak Upik. Upik harus menemani amak di
rumah.
Bagaimana kalau Jepang datang, dan dia
menganggu amak …?”
“Amak juga di sini. Amak jangan pulang.
Kita di sini saja bersama uni ya mak?” si Upik membujuk ibunya diantara
tangisnya.
“Tidak Upik. Kalau Upik dan amak di sini,
Jepang pasti curiga. Mereka akan membakar rumah dan mencari kita sampai dapat.
upik dan amak harus di rumah. Menjawab pertanyaan Jepang yang datang.
Mei-mei berusaha meyakinkan gadis kecil
itu. Akhirnya Upik pulang juga bersama ibunya. Mei-mei tinggal sendiri. Dia tak
berani menghidupkan lampu togok yang ada di pondok itu. Tidak juga menghidupkan
api unggun untuk menghalau nyamuk. Dia khawatir kalau api yang dia pasang akan
kelihatan oleh Jepang. Gadis ini memang mempunyai firasat yang tajam. Sebab tak
lama setelah Upik dan ibunya sampai di rumah, sepasukan tentara Jepang sampai
pula di sana.
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di
pasar atas, si Bungsu telah menantikan kedatangan seorang lelaki. Bendinya
tegak tak jauh dari kedai kopi. Kegiatan Jepang nampaknya makin sibuk menjelang
awal Agustus itu. Perang melawan Sekutu di Samudra Pasifik mengirimkan berita
tak menyenangkan Jepang ke seluruh tanah jajahannya. Tiba tiba si Bungsu
melihat lelaki yang dia nanti itu muncul dari arah Jam Gadang.
Lelaki itu adalah kurir dari Datuk
Penghulu Basa. Dari dia d iharapkan berita tentang dimana kini Kapten Saburo
Matsuyama berada. Sampai saat ini, si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang
telah naik pangkat jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke
Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak tergesa. Si Bungsu hanya
menoleh sebentar. Kemudian membelakangi le laki itu, menghadap kopi dan pisang
gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
Bersambung ke........ Tikam Samurai (15)
Komentar
Posting Komentar