“Kopi pahit satu …” Katanya sambil
menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara si Bungsu menghirup kopinya.
Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru.
Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
“Dia sudah dipensiunkan …”
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu
bertanya.
“Dimana dia kini ?”
“Sudah pulang ke Jepang …”
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di
tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu? Dia seharusnya tak
menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki
yang tetap saja menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
“Pulang ke Jepang ?”
“Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang
bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk pensiun dan memaksanya
untuk pulang ke Jepang”
“Tapi buktinya masih banyak pembunuhan
dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang ..”
“Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga
Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang diputuskan atasan, belum
tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai
pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk
membuat pasukannya agar tak menjadi iblis. Hanya saja bawahannya tak semua
mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah dinaikkan
pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal)..”
“Kenaikan dua tingkat ?”
“Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam
ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari Kolonel langsung
ke Mayor Jenderal …”
“Sudah berapa lama Saburo pulang ke
Jepang ?”
“Tiga bulan yang lalu ..”
“Tiga bulan yang lalu ?”
“Ya ..”
“Sebelum itu dia berada di kota ini ?”
“Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh,
dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi chu-Tei cho
(Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia ..” ucapan lelaki itu terhenti
ketika mereka mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai
kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada seorang lelaki. Jelas
lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini
mereka duduk.
“Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah
menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia …saya harus pergi”
Lelaki itu beranjak cepat. Namun
bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu. Karena hari
malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai
itu meledak. Lelaki itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai
itu berlarian dengan samurai terhunus.
“Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk
saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah terakhir ..”
Lelaki itu bicara sambil tetap berguling
seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu menunduk
membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh si Bungsu
siapa namanya. Begitu Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak.
Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya menancap di leher Kempetai itu.
Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk
ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu
juga tertegak diam.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup
bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam
penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si
Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu
tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang
sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai
mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, set iap
pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan
siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direngutkan. Kalau begitu
ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi
soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi
menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu
demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan
tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Daripada menyerah dalam tahanan, menyerah
dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu merasa lebih baik mati dalam
perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di
pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang pejuang yang telah
mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si
Baribeh dan siJuling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang
jadi tukang tunjuk tadi. Dia yakin lelaki itu pastilah orang Minang jug a. Dia
melihat hal itu pada gaya dan pakaiannya. Kedua Kempetai dan lelaki tukang
tunjuk itu berhenti tiga depa di belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang.
Lalu sebuah suara serak.
“Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai
baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat tanganmu tinggi-tinggi . .
.”
Pemilik lepau itu menatap dengan tenang
pada si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki itu. Lambat lambat
tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, si Bungsu
melihat keris di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja si Bungsu
dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang kurir atau mata mata pihak
pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh
dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera
menyadari bahaya besar kalau sampai pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu,
gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap dengan bedil
terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia
tak bisa memberi ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah si
Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya kebelakang, ke arah Kempetai
itu.
Serentak dengan itu tangannya menyambar
samurai di pahanya. Tubuhnya d ia jatuhkan ke belakang. Tiga kali bergulingan
cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis
melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil
begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba sebuah gelas
berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya,
namun tetap saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa
melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang duduk si sebelah kurir yang telah
mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu si Bungsu sampai di dekat mereka
dengan cara bergulingan di tanah. Dan …
Sret … sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian
sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai Kedua Kempetai itu mati di tempat.
Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah
berkerumun di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat
dia cabut dari sarungnya, kini masih terpegang di tangannya. Dia masih belum
beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan perlawanan, tapi musuh
yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anakmuda itu
bertindak.
Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk
melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu melihatnya,
demikian pula si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi
menghayunkan tangan. Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian
pula si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati pada si Minang yang sampai hati
menghianati bangsanya.
Tangannya bergerak pula. Samurai
panjangnya melesat dalam kegelapan malam. Lelaki itu tiba tiba terhenti
larinya. Matanya mendelik, lalu rubuh. Dalam cahaya listrik yang remang remang,
orang melihat sebuah keris menancap hampir seluruhnya di tengkuk lelaki itu.
Sementara sebuah samurai tegak di punggungnya. Persis di bahagian jantung.
Menembus sampai ke dada. Lelaki itu tertelungkup.
Jam Gadang yang tak jauh dari tempat
lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas yang telah
dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam
Jumat diakhir bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak
Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota dimana Markas Besar Balatentara Jepang se
Sumatera berkedudukan.
“Kemari, ikuti saya …” tiba tiba si
Bungsu mendengar suara.
Dia lihat lelaki pemilik lepau itu
mencabut keris dari tengkuk si lelaki. Dan berlari arah ke arah Pasar Teleng.
Si Bungsu menuruti lelaki tersebut mencabut samurainya dari tubuh penghianat
itu. Kemudian memangku tubuh kurir yang tadi menyampaikan berita tentang
Saburo. Dan dengan cepat dia mengikuti lelaki pemilik lepau itu. Dari kejauhan
mereka mendengar suara peluit dan bentakkan tentara Jepang. Suara derap sepatu
terdengar memburu. Namun saat itu mereka telah aman. Sebuah toko terbuka ketika
lelaki pemilik lepau itu lewat. Lelaki itu masuk kesana dan si Bungsu ikut.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan
cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama setelah itu derap sepatu
berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari
hantu yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu
membawa mereka keruang bawah tokonya.
“Jangan khawatir. Di sini aman. Suara
takkan terdengar ke atas sana. Letakkan mayat itu di pembaringan …” kata
pemilik toko tersebut. Si Bungsu meletakkan mayat kurir itu di tikar.
“Hmm, Sutan Pangeran rupanya ..” kata
pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada si Bungsu.
“Bapak mengenalnya ?” tanya si Bungsu.
Lelaki itu menarik nafas.
“Saya mengenal hampir setiap lelaki di
kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa pejuang dan siapa
penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah
Sutan Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti
Datuk Penghulu …”
Si Bungsu menarik nafas lega mendengar
penuturan lelaki itu. Dia lega berada diantara para pejuang bangsanya.
“Apa yang harus saya lakukan dengan mayat
ini ?” tanyanya.
“Biarkan di sini. ini urusan saya.
Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak benar dan cepat
dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini,
maka keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa
engkau lebih baik cepat cepat pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di
rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama Engku Syafei dan Etek
Rahmah El Yutnusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu.
Sedang diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun.
Makanya engkau saya suruh pulang, tadi saya mendapat informasi bahwa ada
pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi ingat anak
isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama
Mei-mei. Saya hawatir dengan nasib mereka …”
Si Bungsu tertegun. Hatinya berdebar
aneh. Ada perasaan tak sedap menyelusup di hatinya.
“Berapa orang Jepang kesana ?” tanyanya
perlahan.
“Antara empat atau lima orang. Semuanya
Kempetai …”
“Kempetai …?”
“Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau
selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu ..”
Si Bungsu tak banyak bicara lagi. Kalau
dapat saat itu juga dia ingin berada di Padang Gamuak.
“Bagaimana tentang bendi pak Datuk? Bendi
itu saya tinggalkan tak jauh dari lepau kopi itu …”
“Jangan khawatir. Telah ada yang
mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang mengantarmu lewat jalan
memintas melalui rel kereta api …”
Lalu si Bungsu diantar melalui jalan
memintas ke Padang Gamuak.
“Anak muda yang benar benar luar biasa …”
kata pemilik lepau kopi itu setelah si Bungsu pergi.
“Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang,
barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya. Sementara pejuang pejuang baru
dalam taraf rencana saja. Kita harus malu padanya …” pemilik toko bertingkat
itu berkata perlahan.
“Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada
yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda yang membunuhi Jepang
dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat,
bahkan tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan
saya merasa malu karena dulu tak
yakin …” pemilik lepau kopi itu berkata
lagi.
Si Bungsu tertegak di pematang sawah.
Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih sekitar lima ratus
meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api.
cahaya api itu jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah
api yang berkobar itu bukan dari rumah Datuk Penghulu. Dengan berdoa terus
begitu, dia mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit, kayu
kayu dan bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang
terbakar. Kini telah runtuh. Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa
puingnya.
“Mei-meiiii….!!: dia berteriak dengan
tubuh menggigil. Sepi…..
Yang menyahut hanya gemertak api memakan
sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
“Tek Aniiii…”
Sepi…..
Anjingpun tak ada yang melolong. Gemertak
api memakan puing makin perlahan.
“Upiiiik… Mei-meiii….: Matanya mulai
basah.
“Ya Tuhan, selamatkanlah mereka.
Selamatkanlah mereka ya Allah …” katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah
yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
“Nauzubilah …” bulu tengkuknya berdiri.
Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok
tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu adalah Tek Ani, isteri
Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan
berumur empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia
dibunuh Jepang. Pakaiannya tak menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh
perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.
Tiba tiba dia dengar keluhan. Dia segera
bangkit dan menoleh. Si Upik… Gadis berumur tiga belas tahun itu juga habis
diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.
“Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa
kalian dik …”
Ujar si Bungsu sambil mengangkat tubuh
gadis itu, sementara air matanya telah memabasahi pipi. Si Upik menggeleng. Dia
pegang tangan si Bungsu, kemudian berkata perlahan :
“Uda … Uda … dimana amak ?”
Si Bungsu menggigit bibir agar tak
menangis. Dia segera teringat nasib dirinya. Betapa dahulu ibu, ayah dan
kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa
ibunya telah terbunuh? Bagaimana?
“Tolong carikan amak. Uda. Tadi dia
diseret Jepang kebelakang. Uni Mei-mei berada di pondok di tengah rumpun bambu
itu, di tempat uda latihan ….”
Gadis kecil itu terkulai kepalanya di
tangan si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merengut nyawanya.
Si Bungsu menegadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu dan..
menangis.
“Maafkan saya Upik, Maafkan saya
terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam ini ?”
Mayat itu dia baringkan di dekat mayat
ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang dia menuju
kepondok kecil itu. Tapi lagi lagi d ia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh
seperti diobrak abrik setan.
“Mei-mei ..” dia ingin berteriak
memanggil.
Tapi saking cemasnya, yang keluar dari
mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan diantara mata yang basah.
“Koko …” sebuah rintihan halus dekat
rumpun bambu.
Rintihan itu sudah cukup bagi si Bungsu
untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat kesana. Hari sangat
gelap. namun dia mendapatkan tubuh Mei-mei tersandar kepohon bambu.
“Mei-mei …”
“Koko ..” dia peluk gadis itu.
Mei-mei ingin membalas pelukannya. Namun
tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga membalas pelukan anak
muda itu, di dalam hati. Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu ke bekas rumah
Datuk Penghulu. Kemudian membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api
wajah Mei-mei kelihatan sangat pucat.
“Moy- moy …”
“Koko …”
Dengan suara putus putus Mei-mei
menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia membunuh kelima
Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua
belas Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.
“Engkau tahu siapa yang telah memperkosa
mu ?”
Mei-mei memejamkan mata. Seperti
mengumpulkan ingatannya.
“Saya tidak melihat wajah mereka koko. Di
pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah mereka. Dua belas. Mereka
melaknati saya bergantian. Dan kalau tak salah, mereka memanggil komandan
mereka dengan sebutan syo-i Atto … Koko .. aku ingin membahagiakan engkau.
Sayang malam ini Tuhan memisahkan kita …”
“Jangan berkata begitu Moy-moy …”
“Dengarlah koko, jangan potong bicaraku.
Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku memang tak bisa
berharap lebih dari itu bukan? Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu.
Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku
padamu, rasa ingin selalu berada di dekatmu, rasa gelisah bila engkau
tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa cintaku
padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang
takkan tercuci, tak layak mendapat apa apa darimu ..koko..”
“Mei-mei …”
“Dengarlah koko … satu satunya milikku
yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya kehormatan.
Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali.
Namun cintaku tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina
menerimanya, kuberikan cintaku itu padamu koko …”
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
“Koko, aku mencintaimu. Aku belajar
bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu. Aku selalu
mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak.
Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit
sesenang denganmu. Ah. Itulah satu satunya impianku yang paling indah. Engkau
tak marah aku bermimpi seperti itu koko? … hanya mimpi. Dan malam ini mimpiku
itu terbakar hangus, jadi abu …”
Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan
akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat erat. Kemudian berbisik
diantara air matanya yang turun.
“Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak
bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga mencintaimu. Mei-mei
dengarilah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku? Aku mencintaimu dengan
seluruh jiwaku. Mei-mei …” Mata gadis itu terpejam.
“Mei-mei ..” Si Bungsu memanggil.
Memanggil di antara tangisnya. “Mei-mei kau dengar aku sayang ? Aku mencintaimu,
kita akan segera menikah…”
Mei-mei membuka matanya. Perlahan sekali.
Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya bergerak. Namun tak ada
suara.
“Mei-mei … Mei-meiii..”
“Ko … koko. Benarkah itu.. ?”
“Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan
saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah ..”
“Koko … ciumlah aku …”
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah
Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak senyum. Namun kaki dan
tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian
mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air
mata mengalir dipipinya.
“Koko sayang …” desahnya amat pelan.
Mei-mei tidak menjawab. si Bungsu
menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak mengeluarkan darah. Dia jatuh
pingsan.
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis
itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
“Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia.
Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan …” dia berdoa diantara matanya yang
basah.
“Bungsu ..” tiba tiba ada suara
memanggilnya.
Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak
Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya yang rata dengan
tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja
sampai ada di sini?
-000-
Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang panjang. Di Diniyah Putri tengah
berlangsung rapat perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat
yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan belakang sekolah Diniyah Puteri
itu. Sebab, encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat disegani
oleh balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan
bagi sekolahnya. Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak
bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang menjajah.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
“Saya lihat engku Datuk tidak tenang.
Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?” Encik Rahmah yang bermata
amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak
mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja.
Seperti ada yang tak selesai rasanya.
“Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada
yang terjadi atas anak istri saya …” katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku
Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang orang ini adalah
orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah
yang bakal menimpa diri Datuk itu.
“Saya sebenarnya tidak begitu khawatir.
Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang
bernama si Bungsu …”
Engku Syafei dan encik Rahmah saling
pandang lagi begitu nama si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu sudah demikian
terkenal.
“Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?”
“Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak
memberitahukannya pada encik dan pak syafei”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Ya. Karena ada dialah, saya berani
datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya
tak sedap …”
“Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu.
Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil kecil saja. Besok saya kirim
kurir untuk menyampaikan putusan …” ujar Engku Syafei.
“Baiklah. saya berharap bisa sampai malam
nanti di rumah …”
Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan
rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu. Kini dia telah
berada dirumahnya. Tapi telah terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah.
Sisanya marak dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api dia lihat si
Bungsu memeluk tubuh Mei-mei.
“Mana etek dan adikmu Bungsu …?”
Datuk itu bertanya dari tempat tegaknya.
Pertanyaan perlahan. Bungsu meletakkan tubuh Mei-mei. Kemudian menghadap pada
Datuk itu.
“Maafkan saya pak … mereka …”
Bungsu tak dapat melanjutkan ucapannya.
Bagaimana dia akan berkata. Bagaimana dia akan menyampaikan musibah itu? Dia
memang tak perlu menyampaikannya.
Begitu mula datang tadi, Datuk ini sudah
dapat menduga apa yang terjadi. Dia sudah menduga bahwa istri dan anaknya telah
binasa. Matanya menyapu sekitar tempat itu. Di balik unggun rumahnya yang telah
runtuh, dia lihat sesosok tubuh terbujur ditutupi kain. Dekat batang pisang,
dia lihat tubuh si Upik, anaknya.
Lelaki tua itu, yang sehari hari adalah
kusir bendi, tapi dalam jiwanya berkobar semangat perjuangan untuk kemerdekaan
bagi bangsanya itu, tertegak dengan diam. Matanya bergantian menatap kedua
mayat anak dan istrinya. Perlahan di pipinya yang tua kelihatan air mata
mengalir. Si Bungsu jadi kagum melihat ketabahan orangtua ini. Dia sudah
melihat jenazah anak dan istrinya. Namun setapakpun dia tak beranjak dari
tempatnya.
“Kalian menjadi orang pertama yang
meninggal sebagai korban perang kemerdekaan di kota ini. Semoga Tuhan menerima
kalian …” dia berkata perlahan pada anak dan istrinya.
Ya, kedua anak beranak itu, korban korban
pertama di kota Jam Gadang itu dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan. Mereka memang tak terlibat langsung dalam peperangan itu. Sebab
perang kemerdekaan belum lagi dimulai. Sementara di Payakumbuh, ayah si Bungsu dan teman
temannya yang mati di tangan Kempetai lebih dari setahun yang lalu, merupakan
tumbal pertama pula bagi perang kemerdekaan yang akan meletus itu. Datuk
Penghulu masih tertegak melihat mayat anak dan istrinya dari jauh. Melihat api
menjilat sisa rumahnya. Si Bungsu yang tadi heran melihat kenapa Datuk itu tak
mau mendekat mayat istri dan anaknya, tiba tiba merasa tegang.
Diantara gemertak suara api memakan sisa
rumah, di antara kesepian yang mencekap di hutan bambu Kampung Tarok itu
nalurinya menangkap sesuatu. Naluri yang dia bawa turun dari gunung Sago.
Setahun dia hidup di rimba belantara itu. Hidup dan bersaing dengan kekerasan
dan keganasan alam. Hidup dan belajar untuk tetap bertahan tak mati dari
keganasan binatang buas.
Naluri yang sudah tertempa. Karena dia
manusia, maka nalurinya melebihi naluri hewan buas di hutan. Kini, dia
menangkap sesuatu yang mengancam jiwa. Ancaman itu datang dari sekitar tempat
mereka kini tegak. Datang dari arah kegelapan hutan bambu yang tegak seperti
iblis mengelilingi mereka. Ketinggian pohon pohon bambu di kampung Padang
Gamuak Tarok itu seperti tangan elmaut yang siap mencekik leher mereka.
Tubuhnya jadi tegang. Telinganya yang
amat tajam, yang terlatih selama dua tahun di rimba gunung sago, menangkap
bunyi-bunyi halus di belakangnya. Dia melihat Datuk Penghulu itu masih tegak
diam. Jarak antara dia dan Datuk itu sekitar dua depa.
“Ada orang datang pak Datuk …” Katanya
perlahan sekali. Tapi suaranya yang perlahan itu terdengar oleh Datuk tersebut.
“Ya. Tapi berbuatlah seperti kita tak
tahu. Mereka enam orang berbedil dan mereka adalah Kempetai …”
Ujar si Datuk perlahan. Si Bungsu jadi
kaget. Dia hanya baru taraf mengetahui bahwa ada orang datang. Tapi Datuk itu
telah mengetahui jumlahnya. Dan mengetahui bahwa yang datang itu adalah serdadu
Jepang. Dia telah menjalani latihan setahun penuh. Belajar dari binatang buas
di gunung Sago. Kepandaiannya dalam mendengarkan sesuatu yang jauh sangat
tajam. Tapi Datuk Penghulu ternyata punya firasat lebih tajam lagi. Bayangkan
betapa tingginya ilmu Datuk itu. Diam diam si Bungsu memuji ketinggian ilmu
orang tua ini.“Biarkan tubuh Mei-mei di sana. Mereka pasti menyangka gadis itu telah mati. Hitung enam hitungan setelah ini. Kemudian melompatlah. Kita balas kejahanaman mereka,” ujar Datuk perlahan.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (16)
Komentar
Posting Komentar