Langsung ke konten utama

Tikam Samurai (15)

“Kopi pahit satu …” Katanya sambil menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara si Bungsu menghirup kopinya. Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru. Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
“Dia sudah dipensiunkan …”
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu bertanya.
“Dimana dia kini ?”
“Sudah pulang ke Jepang …”
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu? Dia seharusnya tak menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki yang tetap saja menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
“Pulang ke Jepang ?”
“Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk pensiun dan memaksanya untuk pulang ke Jepang”
“Tapi buktinya masih banyak pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang ..”
“Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang diputuskan atasan, belum tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk membuat pasukannya agar tak menjadi iblis. Hanya saja bawahannya tak semua mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah dinaikkan pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal)..”
“Kenaikan dua tingkat ?”
“Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari Kolonel langsung ke Mayor Jenderal …”
“Sudah berapa lama Saburo pulang ke Jepang ?”
“Tiga bulan yang lalu ..”
“Tiga bulan yang lalu ?”
“Ya ..”
“Sebelum itu dia berada di kota ini ?”
“Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh, dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi chu-Tei cho (Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia ..” ucapan lelaki itu terhenti ketika mereka mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada seorang lelaki. Jelas lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini mereka duduk.
“Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia …saya harus pergi”
Lelaki itu beranjak cepat. Namun bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu. Karena hari malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai itu meledak. Lelaki itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai itu berlarian dengan samurai terhunus.
“Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah terakhir ..”
Lelaki itu bicara sambil tetap berguling seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu menunduk membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh si Bungsu siapa namanya. Begitu Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak. Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya menancap di leher Kempetai itu. Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu juga tertegak diam.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, set iap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direngutkan. Kalau begitu ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Daripada menyerah dalam tahanan, menyerah dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu merasa lebih baik mati dalam perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si Baribeh dan siJuling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia yakin lelaki itu pastilah orang Minang jug a. Dia melihat hal itu pada gaya dan pakaiannya. Kedua Kempetai dan lelaki tukang tunjuk itu berhenti tiga depa di belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang. Lalu sebuah suara serak.
“Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat tanganmu tinggi-tinggi . . .”
Pemilik lepau itu menatap dengan tenang pada si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki itu. Lambat lambat tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, si Bungsu melihat keris di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja si Bungsu dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang kurir atau mata mata pihak pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera menyadari bahaya besar kalau sampai pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya kebelakang, ke arah Kempetai itu.
Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya d ia jatuhkan ke belakang. Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba sebuah gelas berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya, namun tetap saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang duduk si sebelah kurir yang telah mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu si Bungsu sampai di dekat mereka dengan cara bergulingan di tanah. Dan …
Sret … sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai Kedua Kempetai itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anakmuda itu bertindak.
Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu melihatnya, demikian pula si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi menghayunkan tangan. Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian pula si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati pada si Minang yang sampai hati menghianati bangsanya.
Tangannya bergerak pula. Samurai panjangnya melesat dalam kegelapan malam. Lelaki itu tiba tiba terhenti larinya. Matanya mendelik, lalu rubuh. Dalam cahaya listrik yang remang remang, orang melihat sebuah keris menancap hampir seluruhnya di tengkuk lelaki itu. Sementara sebuah samurai tegak di punggungnya. Persis di bahagian jantung. Menembus sampai ke dada. Lelaki itu tertelungkup.
Jam Gadang yang tak jauh dari tempat lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas yang telah dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam Jumat diakhir bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota dimana Markas Besar Balatentara Jepang se Sumatera berkedudukan.
“Kemari, ikuti saya …” tiba tiba si Bungsu mendengar suara.
Dia lihat lelaki pemilik lepau itu mencabut keris dari tengkuk si lelaki. Dan berlari arah ke arah Pasar Teleng. Si Bungsu menuruti lelaki tersebut mencabut samurainya dari tubuh penghianat itu. Kemudian memangku tubuh kurir yang tadi menyampaikan berita tentang Saburo. Dan dengan cepat dia mengikuti lelaki pemilik lepau itu. Dari kejauhan mereka mendengar suara peluit dan bentakkan tentara Jepang. Suara derap sepatu terdengar memburu. Namun saat itu mereka telah aman. Sebuah toko terbuka ketika lelaki pemilik lepau itu lewat. Lelaki itu masuk kesana dan si Bungsu ikut.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama setelah itu derap sepatu berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari hantu yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu membawa mereka keruang bawah tokonya.
“Jangan khawatir. Di sini aman. Suara takkan terdengar ke atas sana. Letakkan mayat itu di pembaringan …” kata pemilik toko tersebut. Si Bungsu meletakkan mayat kurir itu di tikar.
“Hmm, Sutan Pangeran rupanya ..” kata pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada si Bungsu.
“Bapak mengenalnya ?” tanya si Bungsu. Lelaki itu menarik nafas.
“Saya mengenal hampir setiap lelaki di kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa pejuang dan siapa penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah Sutan Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti Datuk Penghulu …”
Si Bungsu menarik nafas lega mendengar penuturan lelaki itu. Dia lega berada diantara para pejuang bangsanya.
“Apa yang harus saya lakukan dengan mayat ini ?” tanyanya.
“Biarkan di sini. ini urusan saya. Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak benar dan cepat dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini, maka keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa engkau lebih baik cepat cepat pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama Engku Syafei dan Etek Rahmah El Yutnusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu. Sedang diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun. Makanya engkau saya suruh pulang, tadi saya mendapat informasi bahwa ada pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi ingat anak isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama Mei-mei. Saya hawatir dengan nasib mereka …”
Si Bungsu tertegun. Hatinya berdebar aneh. Ada perasaan tak sedap menyelusup di hatinya.
“Berapa orang Jepang kesana ?” tanyanya perlahan.
“Antara empat atau lima orang. Semuanya Kempetai …”
“Kempetai …?”
“Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu ..”
Si Bungsu tak banyak bicara lagi. Kalau dapat saat itu juga dia ingin berada di Padang Gamuak.
“Bagaimana tentang bendi pak Datuk? Bendi itu saya tinggalkan tak jauh dari lepau kopi itu …”
“Jangan khawatir. Telah ada yang mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang mengantarmu lewat jalan memintas melalui rel kereta api …”
Lalu si Bungsu diantar melalui jalan memintas ke Padang Gamuak.
“Anak muda yang benar benar luar biasa …” kata pemilik lepau kopi itu setelah si Bungsu pergi.
“Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang, barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya. Sementara pejuang pejuang baru dalam taraf rencana saja. Kita harus malu padanya …” pemilik toko bertingkat itu berkata perlahan.
“Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda yang membunuhi Jepang dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat, bahkan tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan saya merasa malu karena dulu tak
yakin …” pemilik lepau kopi itu berkata lagi.
Si Bungsu tertegak di pematang sawah. Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih sekitar lima ratus meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api. cahaya api itu jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah api yang berkobar itu bukan dari rumah Datuk Penghulu. Dengan berdoa terus begitu, dia mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit, kayu kayu dan bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang terbakar. Kini telah runtuh. Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa puingnya.
“Mei-meiiii….!!: dia berteriak dengan tubuh menggigil. Sepi…..
Yang menyahut hanya gemertak api memakan sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
“Tek Aniiii…”
Sepi…..
Anjingpun tak ada yang melolong. Gemertak api memakan puing makin perlahan.
“Upiiiik… Mei-meiii….: Matanya mulai basah.
“Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah …” katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
“Nauzubilah …” bulu tengkuknya berdiri.
Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu adalah Tek Ani, isteri Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh Jepang. Pakaiannya tak menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.
Tiba tiba dia dengar keluhan. Dia segera bangkit dan menoleh. Si Upik… Gadis berumur tiga belas tahun itu juga habis diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.
“Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa kalian dik …”
Ujar si Bungsu sambil mengangkat tubuh gadis itu, sementara air matanya telah memabasahi pipi. Si Upik menggeleng. Dia pegang tangan si Bungsu, kemudian berkata perlahan :
“Uda … Uda … dimana amak ?”
Si Bungsu menggigit bibir agar tak menangis. Dia segera teringat nasib dirinya. Betapa dahulu ibu, ayah dan kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa ibunya telah terbunuh? Bagaimana?
“Tolong carikan amak. Uda. Tadi dia diseret Jepang kebelakang. Uni Mei-mei berada di pondok di tengah rumpun bambu itu, di tempat uda latihan ….”
Gadis kecil itu terkulai kepalanya di tangan si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merengut nyawanya. Si Bungsu menegadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu dan.. menangis.
“Maafkan saya Upik, Maafkan saya terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam ini ?”
Mayat itu dia baringkan di dekat mayat ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang dia menuju kepondok kecil itu. Tapi lagi lagi d ia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh seperti diobrak abrik setan.
“Mei-mei ..” dia ingin berteriak memanggil.
Tapi saking cemasnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan diantara mata yang basah.
“Koko …” sebuah rintihan halus dekat rumpun bambu.
Rintihan itu sudah cukup bagi si Bungsu untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat kesana. Hari sangat gelap. namun dia mendapatkan tubuh Mei-mei tersandar kepohon bambu.
“Mei-mei …”
“Koko ..” dia peluk gadis itu.
Mei-mei ingin membalas pelukannya. Namun tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga membalas pelukan anak muda itu, di dalam hati. Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu ke bekas rumah Datuk Penghulu. Kemudian membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api wajah Mei-mei kelihatan sangat pucat.
“Moy- moy …”
“Koko …”
Dengan suara putus putus Mei-mei menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia membunuh kelima Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua belas Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.
“Engkau tahu siapa yang telah memperkosa mu ?”
Mei-mei memejamkan mata. Seperti mengumpulkan ingatannya.
“Saya tidak melihat wajah mereka koko. Di pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah mereka. Dua belas. Mereka melaknati saya bergantian. Dan kalau tak salah, mereka memanggil komandan mereka dengan sebutan syo-i Atto … Koko .. aku ingin membahagiakan engkau. Sayang malam ini Tuhan memisahkan kita …”
“Jangan berkata begitu Moy-moy …”
“Dengarlah koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan? Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada di dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang takkan tercuci, tak layak mendapat apa apa darimu ..koko..”
“Mei-mei …”
“Dengarlah koko … satu satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya kehormatan. Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu padamu koko …”
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
“Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu. Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak. Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu. Ah. Itulah satu satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu koko? … hanya mimpi. Dan malam ini mimpiku itu terbakar hangus, jadi abu …”
Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat erat. Kemudian berbisik diantara air matanya yang turun.
“Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga mencintaimu. Mei-mei dengarilah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku? Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mei-mei …” Mata gadis itu terpejam.
“Mei-mei ..” Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. “Mei-mei kau dengar aku sayang ? Aku mencintaimu, kita akan segera menikah…”
Mei-mei membuka matanya. Perlahan sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya bergerak. Namun tak ada suara.
“Mei-mei … Mei-meiii..”
“Ko … koko. Benarkah itu.. ?”
“Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah ..”
“Koko … ciumlah aku …”
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak senyum. Namun kaki dan tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air mata mengalir dipipinya.
“Koko sayang …” desahnya amat pelan.
Mei-mei tidak menjawab. si Bungsu menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak mengeluarkan darah. Dia jatuh pingsan.
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
“Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan …” dia berdoa diantara matanya yang basah.
“Bungsu ..” tiba tiba ada suara memanggilnya.
Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya yang rata dengan tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja sampai ada di sini?
-000-
Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang panjang. Di Diniyah Putri tengah berlangsung rapat perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab, encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat disegani oleh balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi sekolahnya. Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang menjajah.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
“Saya lihat engku Datuk tidak tenang. Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?” Encik Rahmah yang bermata amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
“Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada yang terjadi atas anak istri saya …” katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal menimpa diri Datuk itu.
“Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang bernama si Bungsu …”
Engku Syafei dan encik Rahmah saling pandang lagi begitu nama si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu sudah demikian terkenal.
“Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?”
“Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya tak sedap …”
“Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu. Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil kecil saja. Besok saya kirim kurir untuk menyampaikan putusan …” ujar Engku Syafei.
“Baiklah. saya berharap bisa sampai malam nanti di rumah …”
Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu. Kini dia telah berada dirumahnya. Tapi telah terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Sisanya marak dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api dia lihat si Bungsu memeluk tubuh Mei-mei.
“Mana etek dan adikmu Bungsu …?”
Datuk itu bertanya dari tempat tegaknya. Pertanyaan perlahan. Bungsu meletakkan tubuh Mei-mei. Kemudian menghadap pada Datuk itu.
“Maafkan saya pak … mereka …”
Bungsu tak dapat melanjutkan ucapannya. Bagaimana dia akan berkata. Bagaimana dia akan menyampaikan musibah itu? Dia memang tak perlu menyampaikannya.
Begitu mula datang tadi, Datuk ini sudah dapat menduga apa yang terjadi. Dia sudah menduga bahwa istri dan anaknya telah binasa. Matanya menyapu sekitar tempat itu. Di balik unggun rumahnya yang telah runtuh, dia lihat sesosok tubuh terbujur ditutupi kain. Dekat batang pisang, dia lihat tubuh si Upik, anaknya.
Lelaki tua itu, yang sehari hari adalah kusir bendi, tapi dalam jiwanya berkobar semangat perjuangan untuk kemerdekaan bagi bangsanya itu, tertegak dengan diam. Matanya bergantian menatap kedua mayat anak dan istrinya. Perlahan di pipinya yang tua kelihatan air mata mengalir. Si Bungsu jadi kagum melihat ketabahan orangtua ini. Dia sudah melihat jenazah anak dan istrinya. Namun setapakpun dia tak beranjak dari tempatnya.
“Kalian menjadi orang pertama yang meninggal sebagai korban perang kemerdekaan di kota ini. Semoga Tuhan menerima kalian …” dia berkata perlahan pada anak dan istrinya.
Ya, kedua anak beranak itu, korban korban pertama di kota Jam Gadang itu dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Mereka memang tak terlibat langsung dalam peperangan itu. Sebab perang kemerdekaan belum lagi dimulai. Sementara di Payakumbuh, ayah si Bungsu dan teman temannya yang mati di tangan Kempetai lebih dari setahun yang lalu, merupakan tumbal pertama pula bagi perang kemerdekaan yang akan meletus itu. Datuk Penghulu masih tertegak melihat mayat anak dan istrinya dari jauh. Melihat api menjilat sisa rumahnya. Si Bungsu yang tadi heran melihat kenapa Datuk itu tak mau mendekat mayat istri dan anaknya, tiba tiba merasa tegang.
Diantara gemertak suara api memakan sisa rumah, di antara kesepian yang mencekap di hutan bambu Kampung Tarok itu nalurinya menangkap sesuatu. Naluri yang dia bawa turun dari gunung Sago. Setahun dia hidup di rimba belantara itu. Hidup dan bersaing dengan kekerasan dan keganasan alam. Hidup dan belajar untuk tetap bertahan tak mati dari keganasan binatang buas.
Naluri yang sudah tertempa. Karena dia manusia, maka nalurinya melebihi naluri hewan buas di hutan. Kini, dia menangkap sesuatu yang mengancam jiwa. Ancaman itu datang dari sekitar tempat mereka kini tegak. Datang dari arah kegelapan hutan bambu yang tegak seperti iblis mengelilingi mereka. Ketinggian pohon pohon bambu di kampung Padang Gamuak Tarok itu seperti tangan elmaut yang siap mencekik leher mereka.
Tubuhnya jadi tegang. Telinganya yang amat tajam, yang terlatih selama dua tahun di rimba gunung sago, menangkap bunyi-bunyi halus di belakangnya. Dia melihat Datuk Penghulu itu masih tegak diam. Jarak antara dia dan Datuk itu sekitar dua depa.
“Ada orang datang pak Datuk …” Katanya perlahan sekali. Tapi suaranya yang perlahan itu terdengar oleh Datuk tersebut.
“Ya. Tapi berbuatlah seperti kita tak tahu. Mereka enam orang berbedil dan mereka adalah Kempetai …”
Ujar si Datuk perlahan. Si Bungsu jadi kaget. Dia hanya baru taraf mengetahui bahwa ada orang datang. Tapi Datuk itu telah mengetahui jumlahnya. Dan mengetahui bahwa yang datang itu adalah serdadu Jepang. Dia telah menjalani latihan setahun penuh. Belajar dari binatang buas di gunung Sago. Kepandaiannya dalam mendengarkan sesuatu yang jauh sangat tajam. Tapi Datuk Penghulu ternyata punya firasat lebih tajam lagi. Bayangkan betapa tingginya ilmu Datuk itu. Diam diam si Bungsu memuji ketinggian ilmu orang tua ini.
“Biarkan tubuh Mei-mei di sana. Mereka pasti menyangka gadis itu telah mati. Hitung enam hitungan setelah ini. Kemudian melompatlah. Kita balas kejahanaman mereka,” ujar Datuk perlahan.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (16)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENDIRIAN BENGKEL AA CEMPAKA AUTO SERVICE

Sejarah Singkat pendirian Usaha perbengkelan AA CEMPAKA Auto Service yang berlokasi dijalan By Pass KM 9 Simpang Taruko 1 Kalumbuk Padang   merupakan suatu perusahaan jasa yang bergerak dibidang perbengkelan dan penjualan yaitu memperbaiki kendaraan penumpang roda empat dan juga menjual spare part, pelumas (Engine Oil) maupun peralatan lainnya. Bengkel AA CEMPAKA Auto Service didirikan pada tanggal 01 Juni 2015, oleh ASRUL ARMISKA beliau adalah mantan karyawan disebuah perusahaan otomotif terbesar yang merupakan pemegang merek kendaraan terkenal di Indonesia dan bekerja sama dengan beberapa pihak pemodal perorangan. Bengkel ini pada awalnya didirikan hanya untuk melayani service ringan dengan menyewa tempat berupa kios sederhana dan hingga kini sudah beberapa kali mengalami perpindahan lokasi usaha, seiring dengan jumlah pelanggan yang terus bertambah dimana beberapa bulan kemudian melihat banyaknya pelanggan yang meminta perbaikan-perbaikan pada kendaraan milik m

Mesin Avanza tidak bisa hidup sehabis bongkar Mesin

Ilmu itu sayang jika hanya disimpan maka pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang kasus Mesin avanza dan yang sejenis tidak bisa hidup setelah bongkar mesin atau setelah ganti rantai timing (timing chain)..Dan disini saya tidak bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar dari agan-agan sekalian hanya berharap semoga ada yang bisa mengambil manfaat terutama bagi mekanik-mekanik pemula. Kasus ini sudah beberapa kali saya dapatkan setelah beberapa rekan-rekan mekanik meminta pertolongan untuk mencari titik permasalahan kenapa mesin tidak bisa hidup. Seperti biasa sebelum kita melangkah ke step yang lebih jauh, sebaiknya kita harus mengembalikan pola analisa kita kedasar, dimana kita harus memulai dari langkah-langkah yang paling sederhana yaitu bahwa mesin akan bekerja apabila terpenuhinya tiga syarat utama berikut ini : Kompresi yang tinggi (sesuai standar) Loncatan bunga api Busi yang kuat (Mesin Bensin) Perbandingan campuran Udara dan bahan bakar yang tepat Dalam mas

Tikam Samurai (53)

Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar. “Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu. Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur. “Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya. “Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu. “Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mere