Begitu habis ucapannya, tiba-tiba Datuk
itu memekik. Tubuhnya melenting dan tiba-tiba bergulung lenyap kedalam palunan
semak empat depa sebelah kanan Si Bungsu mengikuti. Dengan mempergunakan lompat
tupai yang sangat mahir, tubuhnya bergulingan ke belakang. Dan lenyap ke balik
pohon buluh. Saat itu pulalah enam senjata meledak. Tapi tembakan itu menemui
tempat kosong. Terdengar makian dalam bahasa Jepang.
Tentara Jepang itu, setelah sampai ke markasnya rupanya segera diperintahkan lagi oleh komandannya untuk kembali.
Tentara Jepang itu, setelah sampai ke markasnya rupanya segera diperintahkan lagi oleh komandannya untuk kembali.
“Mereka pasti pulang. Dan tangkap Datuk
itu atau anak muda yang bernama si Bungsu keparat itu. Dia baru saja membunuh
dua orang Kempetai di pasar sebentar ini …” Ujar komandan Kempetai itu berang.
Enam orang Kempetai segera kembali ke
Tarok. Dan memang benar, mereka datang persis ketika Datuk Penghulu itu sampai
di sana. Mereka lalu mengendap-endap mendekati kedua orang itu. Maksudnya untuk
menyergap mereka setelah dekat. Ternyata kedatangan mereka diketahui kedua
orang itu.
“Datuk. Menyerahlah ..” seorang Kempetai
berpangkat syo cho (sersan mayor) berteriak.
Namun yang menyahut hanyalah sepi. Dia memberi isyarat. Dan enam bedil di tangan mereka kembali menyalak. Tiga ke arah semak dimana Datuk Penghulu tadi lenyap. Tiga lagi kearah lenyapnya si Bungsu. Kedua tempat itu dirobek-robek peluru. Namun tak ada suara apa apa. Kempetai itu nampaknya sudah bertekad untuk membunuh saja kedua orang ini.
Namun yang menyahut hanyalah sepi. Dia memberi isyarat. Dan enam bedil di tangan mereka kembali menyalak. Tiga ke arah semak dimana Datuk Penghulu tadi lenyap. Tiga lagi kearah lenyapnya si Bungsu. Kedua tempat itu dirobek-robek peluru. Namun tak ada suara apa apa. Kempetai itu nampaknya sudah bertekad untuk membunuh saja kedua orang ini.
“Jahanam …” Sersan itu menyumpah.
Tetapi saat itu pula dari arah kiri
mereka sebuah bayangan berkelebat. Datuk Penghulu menghambur. Seorang Hei-cho
(Kopral) yang tegak paling belakang tiba-tiba melihat kehadiran Datuk itu di
depannya. Dia mengangkat bedil. Namun kaki Datuk itu bekerja cepat sekali
tendangan pertama mendarat di kerampang Jepang itu. Jepang itu memekik. Namun
sebelum pekikannya habis tendangan kedua menghantam lehernya disusul sebuah tusukan
jari tangan yang amat cepat dan amat kuat. Terdengar Jepang itu meraung.
Kedua biji matanya tercukil keluar. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sehingga ketika kelima Kempetai yang lain menoleh, yang kelihatan hanyalah bayangan tubuh Datuk itu lenyap ke dalam palunan semak. Kembali lima senjata menyalak kearah semak itu. Namun sepi. Kempetai yang satu itu meraung, matanya buta seketika. Namun raungnya tiba-tiba terhenti. Kedua tendangan Datuk itu ternyata mengakhiri penderitaannya. Sersan Mayor tadi memerintahkan untuk membuat lingkaran dengan membelakangi satu sama lain. Dengan demikian tak ada kemungkinan diserang dari belakang.
Krosaakk…!!
Terdengar semak berisik di sebelah kiri mereka. segera saja senjata mereka terarah dan memuntahkan peluru ke arah itu. Tapi begitu senjata mereka menyalak dan mereka memandang ke arah semak itu, tubuh Datuk Penghulu kembali muncul di sebelah kanan. Kini sebilah keris di tangannya. Tanpa memberi ampun, kerisnya beraksi. seorang Kempetai berpangkat Nitto-Hei (Prajurit dua) pertama-tama jadi sasaran. Dia akan memalingkan kepala melihat Datuk yang muncul tiba-tiba itu, tapi itulah gerakannya yang terakhir. Karena setelah itu lehernya hampir putus ditebas Datuk Penghulu. Sasaran berikutnya adalah prajurit di kanannya. Sebuah tendangan mematahkan rusuknya. Ketika ia melenguh, sebuah cuek belakang menghantam jantungnya. Sesuai cuek itu tubuh si Datuk melompat dan lenyap ke dalam gelapan kedua Jepang itu mati.
Kedua biji matanya tercukil keluar. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sehingga ketika kelima Kempetai yang lain menoleh, yang kelihatan hanyalah bayangan tubuh Datuk itu lenyap ke dalam palunan semak. Kembali lima senjata menyalak kearah semak itu. Namun sepi. Kempetai yang satu itu meraung, matanya buta seketika. Namun raungnya tiba-tiba terhenti. Kedua tendangan Datuk itu ternyata mengakhiri penderitaannya. Sersan Mayor tadi memerintahkan untuk membuat lingkaran dengan membelakangi satu sama lain. Dengan demikian tak ada kemungkinan diserang dari belakang.
Krosaakk…!!
Terdengar semak berisik di sebelah kiri mereka. segera saja senjata mereka terarah dan memuntahkan peluru ke arah itu. Tapi begitu senjata mereka menyalak dan mereka memandang ke arah semak itu, tubuh Datuk Penghulu kembali muncul di sebelah kanan. Kini sebilah keris di tangannya. Tanpa memberi ampun, kerisnya beraksi. seorang Kempetai berpangkat Nitto-Hei (Prajurit dua) pertama-tama jadi sasaran. Dia akan memalingkan kepala melihat Datuk yang muncul tiba-tiba itu, tapi itulah gerakannya yang terakhir. Karena setelah itu lehernya hampir putus ditebas Datuk Penghulu. Sasaran berikutnya adalah prajurit di kanannya. Sebuah tendangan mematahkan rusuknya. Ketika ia melenguh, sebuah cuek belakang menghantam jantungnya. Sesuai cuek itu tubuh si Datuk melompat dan lenyap ke dalam gelapan kedua Jepang itu mati.
“Bageroooo…!! si sersan mayor berteriak
berang.
Dalam waktu hanya sepuluh hitungan, tiga
orang anak buahnya mati. Kini mereka jadi gugup dan tegang. Sersan mayor itu
berniat untuk menarik regunya. Untuk melanjutkan menyerang membabi buta tak
mungkin. Mereka memang punya bedil tapi daerah ini bukan daerah mereka, cuaca
sangat gelap, satu-satunya cahaya penerangan hanyalah cahaya api bekas rumah
Datuk yang terbakar itu. Itupun cahayanya sangat sedikit.
Mereka bisa saja menembak tak menentu.
Tapi kedua orang itu bisa menghindar sebelum bedil meledak. Sebab mereka berada
dalam kegelapan. Lagipula mereka mengenal setiap jengkal semak dan hutan bambu
di kampung itu.
“Kami akan kemari lagi. Kami akan
menangkap kalian. Awaslah..!!”
Seru si sersan menggertak. Lalu dia
memberi isyarat pada kedua temannya untuk mengundurkan diri. Mereka mulai
melangkah langkah demi langkah dengan senjata siap ditembakkan. Dari semak
persembunyiannya, Datuk Penghulu melihat mereka dengan penuh dendam dan
kebencian.
“Giliranmu, Bungsu..!”
Dia berseru dari tempat persembunyiannya.
Begitu suaranya terdengar, begitu ketiga Kempetai itu menembaki tempat gelap
tersebut. Namun Datuk ini sudah pindah tempat. Dia bergerak amat cepat. Kembali
Kempetai itu menembaki tempat kosong.
Akan halnya si Bungsu, sejak tadi
menonton saja dari persembunyiannya bagaimana Datuk itu membantai ketiga Jepang
tersebut. Dia kagum pada gerakan silat Datuk Penghulu itu. Dan kini dia
mendengar Datuk itu meminta dia bertindak. Ketiga Kempetai itu mundur terus.
Selangkah, dua, tiga, empat, lima. Tak terlihat ada gerakan dari si Bungsu.
Datuk Penghulu menatap terus. Dia yakin anak muda itu akan bertindak. Kempetai
itu makin jauh.
“Siap-siaplah untuk lari. Kampung ini
kampung setan,”
Bisik si sersan mayor pada kedua
temannya. Teman-temannya dengan mata sipit yang dibesar-besarkan coba menembus
kegelapan malam untuk melihat kalau-kalau kedua orang yang bersembunyi itu
muncul.
“Nah sekarang lariii…!” sersan mayor itu
berseru.
Kedua temannya segera balik kanan dan
mulai melangkah lebar. Namun saat itu pula sedepa di depan mereka pohon-pohon
bambu pada bertumbangan kejalan yang bakal mereka lalui. Tidak hanya dua tiga
batang. Pohon bambu itu tumbang dalam jumlah puluhan batang. Kempetai itu jadi
kalang kabut. Ada yang tertelungkup kesandung, ada yang takapere mencoba
mengelak dari bambu yang rubuh seperti hujan lebat dalam gelap itu. Datuk
penghulu menatap kejadian itu dengan tersenyum tipis. Si Bungsu mulai beraksi.
Ternyata dia yang membabat rumpun bambu di pinggir jalan yang akan dilalui sebagai tempat lari oleh para Kempetai.
Ternyata dia yang membabat rumpun bambu di pinggir jalan yang akan dilalui sebagai tempat lari oleh para Kempetai.
“Bagero. Bagerooo. Bageroo. Ute Utee Utee
(tembak)”
Sersan mayor itu menghardik, memerintah
dan bercarut bungkang memerintahkan agar kedua anak buahnya menembak, kearah
mana saja dan apa saja. Pokoknya bedil meletus. Terdengar tiga bedil menyalak.
Tapi tembakan mereka tak menentu. Ada yang menghadap ke atas. Ada yang ke
tanah. Sebab pada waktu menembak mereka juga harus menghindarkan diri agar tak
tertimpa pohon-pohon bambo yang runtuh seperti hujan. Lalu tiba-tiba sepi.
Pohon bambu tak ada lagi yang runtuh.
Ketiga Jepang itu tegak terengah-engah.
Mereka tegak dalam reruntuhan pohon bambu. Yang kelihatan kini sebatas leher ke
atas. Sebatas leher ke bawah ditimbuni oleh pohon bambu. Suatu saat mereka
melihat sesosok tubuh di arah pangkal pohon bambu itu, tapi karena gelap tak
jelas wajahnya.
“Siapa di sana!!” si sersan membentak
sambil berusaha mengangkat bedilnya yang terhalang oleh pohon bambu. Kedua
temannya menoleh pula ke sana.
“Saya si Bungsu. Siapa diantara kalian
bernama Atto, dan berpangkat Syo-I (Letnan dua) ?” ujar si Bungsu.
Nama yang dia tanyakan itu adalah nama
pimpinan regu yang senja tadi memperkosa Mei-Mei, si Upik dan Tek Ani.
“Hei Bungsu Lebih baik kau menyerah.
Kalau tidak. kau bisa ditembak..,” sersan mayor itu kembali menggertak.
“Jawab pertanyaanku. Ada diantara kalian
yang bernama Atto?”
Suara si Bungsu terdengar dingin,
menegakkan bulu roma yang mendengar. Jepang-Jepang ini tak mengetahui siapa si
Bungsu. Tak ada cerita mengenai diri anak muda itu yang nampaknya hanya
bersenjatakan sebuah tongkat itu.
Si sersan mayor itu berusaha mencampakkan
bambu yang menghalanginya. Kemudian bergegas ke arah si Bungsu untuk
menantangnya dengan jurus karate. Namun si Bungsu sudah sampai pada puncak
sabarnya. Dia melangkah dua langkah di atas pohon bambu yang rubuh setinggi
pinggang itu. Kemudian membabat bambu yang menghalangi sersan mayor tersebut.
Kini sersan mayor itu bebas. Dia mengangkat bedilnya. Namun saat itulah samurai
ditangan si Bungsu bekerja. Tangan Kempetai yang memegang badil itu potong keduanya.
Dia meraung-raung .
“Jawab pertanyaanku. Dimana Atto!!”
Namun sersan itu bukan menjawab, dia
memaki dan memerintah anak buahnya untuk menembak.
“Bageroo uteeee (tembak)” pekiknya.
“Bageroo uteeee (tembak)” pekiknya.
Namun tak ada letusan sebuahpun. Sebab
yang seorang senjatanya telah tercampak entah kemana ketika dia berusaha
menghindarkan runtuhnya pohon bambu tadi. Yang satu lagi bedil memang masih di
tangannya. Tapi untuk mengangkatnya ke atas untuk menembak tak mungkin. Sebab
terhalang oleh pohon bambu yang menjepit tubuhnya. Saat berikutnya, suara
sersan terhenti. Kepalanya belah di makan samurai si Bungsu. Perlahan si Bungsu
menoleh pada kedua Kempetai yang masih tinggal.
“Kini katakan. Siapa di antara kalian
yang bernama Atto?”
Dan kedua Kempetai ini ternyata juga
manusia biasa, yang punya sikap amat takut mati. Begitu melihat komandannya
mati dengan kepala terbelah, dan melihat mereka tak bisa selamat dari anak muda
luar biasa hebat, tubuh mereka pada menggigil, yang satu malah menangis.
“Sho-I Atto ada di markas. Dialah yang memperkosa istri tet..tuan. Kami tet..tak ikut. Ampunkan kami. . .”
“Sho-I Atto ada di markas. Dialah yang memperkosa istri tet..tuan. Kami tet..tak ikut. Ampunkan kami. . .”
Si Bungsu merasa jijik pada tentara yang
meminta belas kasihan itu. Dia tahu, mereka ikut dalam memperkosa keluarga
Datuk Penghulu dan Mei-mei malam tadi. Dia ingin membunuhnya saat ini. Namun kedua
orang itu dalam keadaan tak berdaya. Terhimpit dan terkalang oleh kedua bambu.
Dan dia tak mau membunuh orang yang tak dapat melawan.
Samurainya berkelebat. Kedua Kempetai itu terpekikpekik. Tapi mereka segera menjadi malu. Ternyata samurai di tangan anak muda itu hanya membabat rumpun bambu yang menghimpit tubuh mereka. Dan tiba-tiba mereka bebas. Yang masih memegang bedil, segera menikamkan sangkur di ujung bedilnya ke perut si Bungsu yang jaraknya hanya sedepa. Namun si Bungsu lebih cepat. Dia menunduk dalam-dalam. Kemudian…
Srep..!!
Samurainya menikam jantung si Kempetai hingga tembus ke belakang. Kempetai yang satu lagi, yang bedilnya sudah tercampak entah kemana segera mengambil langkah seribu.
Samurainya berkelebat. Kedua Kempetai itu terpekikpekik. Tapi mereka segera menjadi malu. Ternyata samurai di tangan anak muda itu hanya membabat rumpun bambu yang menghimpit tubuh mereka. Dan tiba-tiba mereka bebas. Yang masih memegang bedil, segera menikamkan sangkur di ujung bedilnya ke perut si Bungsu yang jaraknya hanya sedepa. Namun si Bungsu lebih cepat. Dia menunduk dalam-dalam. Kemudian…
Srep..!!
Samurainya menikam jantung si Kempetai hingga tembus ke belakang. Kempetai yang satu lagi, yang bedilnya sudah tercampak entah kemana segera mengambil langkah seribu.
Lari…
Tapi malang, dalam paniknya d ia ternyata
lari ke arah rumah Datuk Penghulu yang sudah menjadi abu. Dan dia terhenti,
ketika di depannya tegak sesosok tubuh. Datuk Penghulu. Dari panik, dia menjadi
nekad. Dia memasang ancang-ancang karate, dan menyerang Datuk itu dengan
serangan bernama reng-geri. Yaitu serangan dua kali tendangan yang amat cepat.
Yang pertama mengarah ke dada yang kedua ke perut.
Malang Kempetai ini. Lawannya adalah
Datuk Penghulu. Hanya dengan sedikit memiringkan tubuh, kedua tendangan itu
mengenai tempat kosong. Namun Kempetai itu, yang memiliki sabuk coklat karate,
segera menyerang lagi dengan tiga pukulan yang amat cepat. Yaitu pukulan
Sam-Hong Tsuki yang mengarah ke kening dan dua pukulan kejantung.
Tapi Datuk Penghulu adalah guru gadang silat Kumango. Pukulan itu tidak dia tangkis, melainkan dia biarkan lewat di sisinya. Lalu dengan suatu gerakan menyamping yang amat cepat, sikunya masuk ke rusuk si Jepang. Terdengar suara berderak dari dalam. Jepang itu terhenti nafas, tapi kembali terpekik. Rusuknya mengirimkan rasa sakit yang membuat celananya basah, rusuknya patah dua buah Kemudian kaki Datuk itu menghantam lipatan lutut si Jepang. Jepang itu jatuh berlutut.
Tapi Datuk Penghulu adalah guru gadang silat Kumango. Pukulan itu tidak dia tangkis, melainkan dia biarkan lewat di sisinya. Lalu dengan suatu gerakan menyamping yang amat cepat, sikunya masuk ke rusuk si Jepang. Terdengar suara berderak dari dalam. Jepang itu terhenti nafas, tapi kembali terpekik. Rusuknya mengirimkan rasa sakit yang membuat celananya basah, rusuknya patah dua buah Kemudian kaki Datuk itu menghantam lipatan lutut si Jepang. Jepang itu jatuh berlutut.
“Ini untuk laknat yang engkau berikan
kepada anak dan istriku. . .” berkata begitu, kaki datuk itu menerpa tengkuk si
Jepang.
Kembali terdengar suara berderak. Leher
Jepang itu seperti dihantam besi. Patah…. Tubuhnya terhantar di sana. Mati… Si
Bungsu yang tegak tak jauh dari sana, menjadi ngeri melihat makan tangan dan
makan kaki Datuk ini. Dia menjadi ngeri melihat bagaimana Datuk ini murka.
“Ini adalah permulaan. Sudah terlalu lama
saya menahan diri untuk tidak memulai perkelahian dengan penjajah jahanam ini.
Tapi mulai malam ini, saya akan membunuh mereka sebanyak mungkin. Hutang nyawa
harus mereka bayar dengan nyawa Demi Allah, saya akan melakukannya” Suara Datuk
itu bersipongang dalam hutan bambu yang lebat itu.
Angin berembus menggeser batang-batang buluh. Menimbulkan bunyi seperti nyanyian malam. Seperti menjadi saksi atas sumpah Datuk itu. Dan sumpahnya dia buktikan. Hari-hari setelah itu, adalah hari-hari yang penuh teror bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Angin berembus menggeser batang-batang buluh. Menimbulkan bunyi seperti nyanyian malam. Seperti menjadi saksi atas sumpah Datuk itu. Dan sumpahnya dia buktikan. Hari-hari setelah itu, adalah hari-hari yang penuh teror bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Hari sudah pagi ketika perwira piket di
markas Besar balatentara Jepang di Panorama merasa curiga, sebab enam orang
pasukan Kempetai yang dikirim malam tadi ke tempat Datuk Penghulu belum
kembali. Perwira piket itu berpangkat Tai-i (kapten) bernama Akira. Sebelum
para perwira masuk kantor dia cepat-cepat mengumpulkan regu cadangan. Kemudian
memerintahkan seorang chu-I (Letnan satu) memimpin dua belas Kempetai menyusul
ke tempat Datuk Penghulu.
“Saya rasa regu malam tadi dalam bahaya.
Kepung tempat itu dan tangkap beberapa penduduk untuk menunjukkan dimana Datuk
Penghulu . . .,” demikian isi perintahnya.
Dan chu-I itu berangkat ke Tarok menaiki sebuah
truk. Truk berisi dua belas orang Kempetai itu melaju mengoyak udara pagi
dengan suara menggeram-geram. Di atasnya tegak dengan kukuh kedua belas
Kempetai itu. Di tangan mereka tergenggam senjata yang lengkap dengan sangkur
terhunus. Truk itu mula-mula menuju ke arah stasiun keret a api. Kemudian
berbelok ke arah tangsi militer. Lalu berbelok lagi kejembatan besi. Meluncur
terus ke arah Tarok.
Para pedagang yang sudah keluar pagi itu,
pada menepi cepat-cepat begitu melihat truk dengan lampu yang dihidupkan itu
lewat. Truk dengan kap terbuka dan Serdadu Jepang tegak dengan wajah keras. Tak
lama kemudian mereka sampai ke daerah kampung Tarok. Mereka membelok ke sebuah
jalan kecil di antara pohon bambu yang rimbun menuju ke Padang Gamuak. Sekitar
dua puluh meter masuk kepalunan bambu itu, tiba-tiba di depan sebuah gerobak
yang dipenuhi batang ubi kelihatan tegak. Truk tak bisa terus. Sopirnya
menyumpah-nyumpah.
Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak. Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayangan tiba-tiba melesat dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua bayang-bayang itu adalah si Bungsu dan Datuk Penghulu. Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi batang ubi untuk menghalang jalan truk. Kini mereka berada diatas truk itu. Diantara sebelas serdadu Jepang yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.
Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak. Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayangan tiba-tiba melesat dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua bayang-bayang itu adalah si Bungsu dan Datuk Penghulu. Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi batang ubi untuk menghalang jalan truk. Kini mereka berada diatas truk itu. Diantara sebelas serdadu Jepang yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.
“Penjajah jahanam kalian terima
pembalasan kami..”
Berkata begini, Datuk Penghulu yang baru
menghambur ke atas truk itu menghantam kekiri dan ke kanan. Kempetai-kempetai
yang ada di truk itu kaget melihat kehadiran kedua orang itu di atas truk
mereka. Tendangan Datuk itu yang pertama mendarat di perut seorang prajurit.
Tubuh prajurit itu terlipat. Matanya mendelik, mulutnya berbuih. Bukan main
melinukkannya cuek itu. Teman yang di sebelahnya masih terheranheran, ketika
pukulan tangan Datuk itu mendarat di hulu hatinya. Tubuhnya terhumbalang.
Temannya yang berada di sisi lain dari truk itu menghunjamkan bayonetnya ke
punggung Datuk Penghulu. Tapi samurai di tangan si Bungsu memutus kedua
tangannya. Dia meraung.
Saat berikutnya samurai si Bungsu
bekerja. Terlalu cepat untuk diikuti mata. Terlalu cepat untuk disadari oleh
Kempetai-kempetai yang ada di atas truk itu. Dan pagi itu, terjadilah sebuah
pembantaian yang tak mengenal ampun, sebelas orang Kempetai yang berdiri tegak
diatas truk terbuka itu, tak sempat sekalipun menembakkan bedil mereka. Truk
yang hanya muat untuk tempat tegak itu, tak bisa memberi keleluasaan pada para
kempetai itu untuk mempergunakan bedil.
Delapan orang telah mati terbantai
samurai atau kena pukulan tangan dan kaki Datuk Penghulu. Sersan yang tegak di
depan sekali melompat ke atas kap truk. Dari atas dia mengangkat bedilnya. Dia
bermaksud menembak si Bungsu. Tapi gerakannya dilihat oleh Datuk Penghulu yang
tengah menghantam seorang kopral dengan siku tepat di tenggorokan.
Sebelum pelatuk bedil sempat dia tarik, tubuh Datuk Penghulu tiba-tiba melambung didahului pekik menyeramkan. Jarak antara dia dengan Jepang yang ada di atas atap truk itu sekitar empat depa. Dan jarak empat depa itu dia lewati dalam loncatan panjang tak lebih dari tiga detik. Yang duluan tiba adalah pukulannya.
Sebelum pelatuk bedil sempat dia tarik, tubuh Datuk Penghulu tiba-tiba melambung didahului pekik menyeramkan. Jarak antara dia dengan Jepang yang ada di atas atap truk itu sekitar empat depa. Dan jarak empat depa itu dia lewati dalam loncatan panjang tak lebih dari tiga detik. Yang duluan tiba adalah pukulannya.
Bersambung ke..... Tikam Samurai (17)
Komentar
Posting Komentar