Tugas Suman adalah menghilangkan mayat
dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan kaki ke Buluh Cina. Semua
senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti….” Dan tanpa menunggu jawab, Bilal
segera saja memangku tubuh anak muda itu ke atas jeep di puncak pendakian.
Kemudian dibantu kedua temannya mereka
manikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke atas jeep. Maya Bidin maarif
juga, sebab mayat itu harus dikubur baik-baik.
Jeep itu segera saja dilarikan oleh
Bilal. Jalannya tak menentu. Dia memang
pernah membawa truk dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka
jalannya melompat-lompat.
Mereka menatap jeep itu menghilang
ditikungan diantara belantara di jalan kecil itu.
“Kau pulanglah ke Marpuyan Liyas…” Suman
berkata.
“Ya, saya akan pergi. Merdekaa!!”
“Merdekaa!!”
Liyas kemudian bergegas kembali ke arah
darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal sendirian lalu menaikkan
masyat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu.
Kemudian membersihkan bekas-bekas
perkelahian disana. Setelah itu dia menarik nafas panjang. Nah, kini tugasnya
adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan raya. Dia memandang
sekeliling. Dia kenal sangat dengan daerah ini. Sebab dia juga adalah penduduk
kampung Buluh Cina.
Dahulu sebelum masuknya tentara Jepang,
dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh ikan diboncengan
belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian dari rumahnya.
Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan
Kapten Nurdin di Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan berjuang melawan
fasis Jepang. Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.
Dia adalah bekas sopir ketika mula-mula
Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa power wagon itu. Dia mendaki
terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang Dunia ke II di Pasifik itu ke
daerah yang bernama Kelok Petai.
Disini dia membelokkan truk itu kedalam
semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar. Sebab hanya ditumbuhi oleh
Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada jalan sama sekali. Dia masuk
menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi rumah.
Dengan terseok-seok dia meneruskan
perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya dia sampai ke sebuah sungai.
Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga meter dan dalamnya sekitar dua
atau tiga meter pula.
Sungai ini merupakan bahagian hilir dari
sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih tadi. Dan kedalam
sungai kecil ditengah belantara ilalang inilah dia membuangkan mayat-mayat
Belanda itu.
Dia tahu dengan persis, bahwa dari sini
sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau jalan kecil. Sungai ini
menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak kaki manusia. Dan
puluhan kilometer dari tempatnya sekarang sungai ini akan bermuara di Batang
Kampar. Yaitu jauh dihilir kampung yang bernama Langgam. Dan dengan demikian,
bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia.
Sebab sebelum mencapai sungai Kampar,
mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan dan cacing disepanjang sungai
dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai muara, maka mayat ini akan
menjadi santapan buaya-buaya besar yang sarangnya memang dimuara sungai ini di
Batang Kampar sana.
Nah, dengan mengusap peluh, akhirnya
mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu masuk ke sungai! Kemudian
dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja ditepi sungai dibawah pohon yang
sangat rimbun.
Sepanjang jalan menuju keluar, dia
membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi dilindas truk itu.
Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan. Nah, kini selesailah
bahagian tugasnya.
Dia yakin, Belanda takkan pernah
menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan dalam sejarah
perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat kalang kabut
oleh lenyapnya secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka itu.
Dan sampai penyerahan kedaulatan secara
penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.
-000-
Suman kini menuju ke arah Buluh Cina.
Menjelang menuruni hutan ditepi Batang Kampar, dia tiba di kampung Kutik.
Kampung kecil ini adalah persimpangan ke Pangkalan dan ke Buluh Cina. Ke
Pangkalan jalan ke kiri dan Buluh Cina ke kanan.
Penghulu kampung itu segera menemuinya
ketika melihat dia datang. Dan suman lalu menceritakan apa yang telah mereka
alami.
“Ya. Baru sebentar ini kami melihat Bilal
lewat. Nampaknya sangat terburu. Hingga kami tak sempat bertanya…”
“Kini tugas kita menghilangkan jejak jeep
itu…” Suman berkata.
“Kau teruslah ke Buluh Cina, tentang
jejak jeep ini serahkan pada kami disini. Jangan khawatir”
Suman jadi lega. Dia lalu melanjutkan
perjalanan ke Buluh Cina. Dari desa Kutik itu dia harus meliwati hutan
belantara sejauh dua kilometer. Baru kemudian tiba dikampung Bontu yang
terletak ditepi Batang Kampar.
Dari kampung ini dia dapat kabar bahwa
Bilal sudah diantar menyebrang ke Buluh Cina bersama anak muda yang luka itu.
Senjata ditinggalkan disebuah rumah pejuang anggota fisabilillah di Bontu
tersebut.
Dan dengan sampan, Suman diantar pula ke
kampungnya. Ke Buluh Cina. Tugas utama mereka semua, yaitu menyampaikan berita
pada keluarga Pak Rajab, bahwa dia selamat, kini bertambah tugas lain. Yaitu
lari dari kejaran Belanda dan menyelamatkan nyawa si Bungsu.
Dan sepeninggalnya, penghulu kampung
segera mengumpulkan penduduk yang jumlahnya hanya puluhan orang. Kepada mereka
dia ceritakan perjuangan yang telah
dilakukan pejuang-pejuang dari Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan itu.
Dan dengan semangat perjuangan yang
tebal, penduduk ini segera turun tangan. Menghilangkan jejak jeep yang tadi
dibawa oleh Bilal. Mereka bekerja sepanjang siang, sore dan malam. Dan
menjelang Isya pekerjaan itu selesai. Mereka pulang dengan perasaan tenteram.
Kesibukan tentara Belanda segera saja
meningkat karena kehilangan sebuah power wagon dengan enam belas tentaranya
itu.
Malam itu juga sepasukan tentara yang
terdiri sebuah truk penuh dan dua buah jeep bermitraliyur mendatangi Perhentian
Marpuyan. Penduduk segera saja diinterogasi. Ditanya apakah mereka melihat jeep
dan power wagon itu.
Penduduk Marpuyan yang jumlahnya tak
sampai seratus orang itu telah “diatur” oleh pemilik kedai yang juga adalah
Imam di kampung itu.
Dan semua penduduk dengan suara pasti
menjawab bahwa mereka memang melihat jeep dan power wagon itu. Jeep yang
pertama setelah menurunkan gadis dan ibunya itu terus ke arah Taratak Buluh.
Tak lama kemudian datang power wagon dengan selusin tentara diatasnya.
Power wagon itu juga terys ke arah
Teratak Buluh. Tentara Belanda itu meneruskan jalannya ke Teratak Buluh dalam
usaha mencari jejak patroli yang tak kembali itu. Namun mereka dibuat kaget.
Sebab di Teratak Buluh, tak satupun orang yang pernah melihat kedua kendaraan
itu muncul!.
Mereka lalu kembali lagi ke Simpang Tiga.
Yaitu ke Pos penjagaan terjauh dari kota Pekanbaru. Mereka hanya berani
bergerak malam dengan kekuatan besar. Dan malam itu hanya sampai disana
penyelidikan mereka. Mereka tak berani bergerak dimalam hari lebih lanjut.
Takut akan serangan para pejuang.
Mereka menanti hari siang untuk
melanjutkan pencaharian.
Dan begitu hari siang, pasukan segera
ditambah dari Pekanbaru. Kini dengan enam buah kendaraan yang terdiri dari dua
buah jeep bermitraliyur, dua buah kendaraan lapis baja, dan dua buah power
wagon yang semuanya berkekuatan sempat puluh pasukan berpakaian loreng mulai
bergerak meninggalkan Simpang Tiga. Tujuan mereka hanya satu, Perhentian
Marpuyan.
Hari masih subuh, ketika kampung kecil
itu sudah dikepung oleh tentara Belanda tersebut.
Semua penduduk dikumpulkan dilapangan
dekat sebuah sekolah. Anak-anak, lelaki perempuan, tua muda, tak ada yang
tersisa satupun. Termasuk didalamnya Liyas yang kemaren bersama si Bungsu
menyikat Belanda di pendakian Pasir Putih itu.
Mereka dikumpulkan dilapangan dengan
dikurung oleh panser dan jeep bermitraliyur yang dihadapkan pada mereka.
Seorang KNIL segera maju. Kemudian mengajukan pertanyaan.
“Kalu kalian tak menjawab, maka kalian
akan ditembak…” KNIL itu menggertak. Tak ada yang menjawab. Karena kanak-kanak
malah mendekat panser dan jeep bersenjata berat. Mereka terheran-heran melihat
kendaraan itu.
“He, kowe lihat jeep dan truk lewat
disini?” seorang KNIL bertanya pada seorang anak yang mendekati pansernya. Anak
itu melihat dengan heran.
“Kowe lihat jeep lewat sini? Nanti kowe
saya kasi bon-bon..” KNIL itu bertanya lagi dengan bujukan sambil mengambil
gula-gula dari kantongnya.
Liyas yang pejuang itu hanya melihat
dengan tenang dari kejauahn. Dia tak usah khawatir bahwa rahasia akan
terbongkar dari mulut anak-anak itu.
Soalnya bukan karena anak-anak itu
seorang patriot. Tidak. Tapi sebabnya adalah karena hal lain. Dan hal lain itu
segera terbukti, takkala anak yang ditanya dan disodorkan gula-gula itu
menghadap pada teman sebayanya disampingnya tegak dan bertanya.
“Apo nyie bowuok go ang..?”Apa kata
monyet ini? Temannya segera menjawab :
“Inyo maagie ang gulo-gulo”(Dia memberi
engkau gula-gula)
Anak itu tertawa. Mengambil gula-gula
itu.
“Mokasi yo wuok” (makasih nyet)
Kemudian membuka bungkusnya dan
memakannya. Lalu pergi dari sana ke arah kumpulan orang banyak, tanpa
mengacuhkan pertanyaan KNIL itu. Soalnya anak-anak dikampung itu seperti
umumnya anak-anak dikampung lain diseluruh Indonesia, tak pandai berbahasa
Indonesia.
Bahasa mereka adalah bahasa kampung
mereka sendiri. Saat itu belum berapa orang jumlah yang mengecap bangku
sekolah. Dan yang tak berapa orang itu, semuanya adalah anak-anak yang berdiam
di kota. Bukan di kampung.
KNIL yang gula-gula diambil itu hanya
bisa garuk-garuk kepala. Dan dari mereka, serta dari penduduk, tak ada
keterangan yang diperdapat. Jawaban tetap seperti kemaren. Yaitu kedua
kendaraan itu menuju ke Teratak Buluh.
Tak lama kemudian, dua belas pencari
jejak yang disebar kembali melapor pada Mayor yang memimpin operasi pencaharian
itu. Kedua belas orangnya melaporkan tak menemukan jejak apapun! Rupanya Liyas
dan penduduk Marpuyan telah bekerja dengan sempurna. Jejak kedua kendaraan itu
memang berhasil dihapus seperti yang dikatakan si Bungsu. Demikian sempurnanya,
sehingga tentara Belanda yang dalam perang Dunia ke II yang baru lalu tugas
khususnya adalah mencari jejak kini tak menemukan apa-apa.
Liyas yang menanti kembalinya pencari
jejak itu dengan perasaan tenang jadi merasa lega takkala dia lihat kedua belas
pencari jejak itu melapor dengan perasaan kecewa.
Akhirnya penduduk dibubarkan dengan
ancaman-ancaman. Mayor yang memimpin itu adalah Mayor Antonius. Dalam perang
Dunia ke II melawan Jepang di Pasifik dia memimpin Kompi Gerak Cepat bersama
sepasukan tentara Amerika di Pulau Guam.
Dan kali ini, firasat Myor itu mengatakan
bahwa jeep dan power yang lenyap misterius itu pastilah melewati jalan kecil
menuju Buluh Cina ini kemaren.
Tapi dia merasa heran, kenapa pencari
jejak yang tangguh itu tak menemukan apa-apa?
Dia memerintahkan untuk menyelusuri jalan
kecil itu terus ke pedalaman. Enam kendaraan yang siap perang itu segera
merayap mengikuti jalan yang kemaren memang ditempuh si Bungsu dan
teman-temannya.
Liyas dan pejuang-pejuang lainnya menjadi
tegang takkala melihat bahwa Belanda itu meneruskan jalan ke Buluh cina.
“Bagaimana sekarang?” seorang pejuang
bertanya pada Liyas.
“Kita hanya bisa berserah diri pada
Tuhan…” jawab Liyas.
“Kita bisa ke Buluh Cina lewat Teratak
Buluh”
“Tak mungkin lagi. Untuk kesana
dibutuhkan satu jam pakai sepeda. Kemudian dengan sampan enam jam ke buluh
Cina. Sedangkan mereka dalam waktu satu jam sudah akan sampai…” Suman berkata
perlahan sambil menatap kendaraan itu lenyap di tikungan.
“Bagaimana kalau ketahuan?”
“Ada dua kemungkina. Pertama semua kita
mereka tembak dan Buluh Cina mereka gempur. Kedua mereka kita cegat ketika
kembali”.
“Itu berarti bunuh diri. Kita tak punya
kekuatan apa-apa. Disini kita hanya ada sebelas orang dengan empat pucuk
senjata api, selebihnya hanya memakai kelewang, parang, pisau dan bambu
runcing!”
“Bagaimana putusan kita?”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (44)
Komentar
Posting Komentar