“Saya berharap mereka tak menemukan
apa-apa. Semoga lewat Bancah Limbat hujan turun malam tadi. Dan jejak terhapus
sama sekali…..”
Dan memang itulah yang terjadi. Malam
tadi hujan meski tak lebat, tapi turun dibahagian hutan lewat rawa yang bernama
Bancah Limbat sampai Kutik. Dan semuanya melenyapkan jejak kemaren.
Belanda meneliti tiap jengkal yang mereka
lewati dalam usahanya mencari jejak patroli yang lenyap itu. Tak lama kemudian
mereka berhenti disebuah sungai kecil yang melintasi jalan.
Sungai itu jernih sekali airnya. Jernih
dan sejuk dengan pasir putih didasarnya. Mayor Antonius menyuruh berhenti jeep
komandonya. Dia tegak dibangku. Memandang dengan teropong kependakian
diseberang sungai dangkal itu. Tak ada apa-apa yang mencurigakan.
Dia turun. Mencuci muka disungai kecil yang
sejuk itu. Meminum airnya yang juga terasa sejuk. Sementara dia mencuci muka
dan minum itu, pasukannya siap dikedua sisi jalan dengan senjata siaga.
“Kita kembali!” perintanya. Dan semua
kendaraan itu, satu persatu berputar disungai kecil tersebut. Daerah dibawah
pendakian itu memang cukup lebar untuk berputar. Kendaraan berputar disana
sambil menambah air untuk kendaraan mereka.
Dan putusan Mayor itu termasuk hal yang
menyelamatkan penduduk kampung Kutik, Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan!.
Sebab, kalau saja Mayor itu meneruskan
langkahnya agak dua puluh meter lagi kepertengahan pendakian dari sungai kecil
dimana dia mencuci muka dan minum, maka dia pasti akan menemukan jejak
pertempuran kemaren yang terkikis oleh hujan, dan tak terlenyapkan oleh penduduk
Kutik.
Jejak itu berupa lobang-lobang bekas
terkaman peluru 12,7 yang dimuntahkan oleh Suman! Di pertengahan pendakian itu
ada lebih dari selusin jejak peluru. Kemaren memang ditimbun baik oleh Suman
maupun penduduk Kutik. Tapi hujan yang turun malam tadi membuat timbunanitu
melorot ke dalam. Dan jejak itu justru muncul lagi. Tapi untunglah, Tuhan masih
melindungi mereka semua!
Dan sebelum petang datang, pasukan
Belanda itu cepat-cepat menuju ke markas kembali. Mereka memang tak berani
berada didaerah Republik itu dimalam hari meski dengan kekuatan persenjataan
yang tak tanggung-tanggung.
Mereka hanya berani berpatroli disiang
hari. Dan begitu malam akan turun mereka cepat-cepat menarik diri ke markas.
Besoknya pencarian dilanjutkan lagi.
Namun jejak yang mereka cari semakin lenyap. Dan akhirnya pencaharian itu
dihentikan sama sekali. Sebab setelah itu, Belanda disibukkan oleh
peperangan-peperangan dengan tentara Indonesia.
--00000---
Di Buluh Cina.
Rumah-rumah kampung itu semuanya adalah
rumah panggung dengan tiang-tiang tingg. Kampung itu terletak di seberang
sungai Kampar, kalau datang dari arah Pekanbaru. Sungai itu senantiasa
menghanyutkan airnya yang berwarna jernih ke hilir.
Hanya ada sekitar seratus rumah di
kampung itu. Memanjang ditepian sungai Kampar dari Barat ke Timur. Di bagian
tengah kampung ada sebuah mesjid. Di bagian agak ke hulu ada pandam pekuburan
kampung.
Kampung dipenuhi oleh rumpun kelapa. Di
bawah bayang-bayang dau kelapa ini rumah-rumah penduduk didirikan. Rumah dibuat
tinggi dari tanah dengan dua maksud. Pertama menghindarkan banjir dari sungai
Kampar yang selalu datang melanda. Kedua menghindarkan diri dari serangan
harimau yang sering mengganas di kampung itu.
Mata pencaharian penduduk tak ada yang
tetap. Itu bukan berarti disana banyak sekali mata pencahariannya. Tidak.
Sumber kehidupan mereka hanya tigal hal. Satu karet, kedua ikan dan ketiga
berladang.
Karet dan ikan merupakan mata pencaharian
yang agak tetap. Sementara hasil ladang hanya vukup untuk keperluan anak
beranank. Mereka masih menerapkan sistim berladang kaum Nomaden. Hari ini
berladang disuatu tempat yang subur. Kalau akan membuka ladang, terlebih dahulu
harus menebas hutan belantara. Kemudian dibiarkan kering. Lalu dibakar. Dan
setelah itu bekas bakar dibersihkan ala kadarnya.
Kemudian langsung ditanami jagung dan
padi. Selama proses ini tak kenal penggunaan cangkul atau alat-alat pertanian
lainnya. Untuk menanam padi atau jagung lobang dibuat dengan menghujamkan
tugak, yaitu sepotong kayu sebesar lengan yang diruncingkan ujungnya kebawah
dan dihentakkan ke tanah. Ke lobang itu benih jagung atau padi dimasukkan.
Dan hanya proses waktu dan alam saja yang
mereka tunggu selanjutnya untuk menumbuhkan, membesarkan dan membuat padi dan
jagung itu panen. Tapi begitu panen sudah dipetik, maka ladang itu mereka
tinggalkan. Tahun depan mereka merambah hutan yang lain pula untuk berladang.
Begitu terus.
Ini menyebabkan mereka tak pernah
mempunyai ladang yang tetap. Tak pernah berladang dimana tumbuh tanaman keras.
Mereka pindah terus dari satu hutan ke hutan lain untuk berladang meski ladang
terdahulu tanahnya masih tetap subur untuk beberapa tahun lagi.
Kebun karet mereka umunya tak terurus.
Ditumbuhi semak belukar dan dijalari rotan. Bahagian yang baik hanyalah sedikit
disekitar pohon yang akan ditakik saja. Tak heran kalau kebun karet yang mereka
sebut dengan kebun para itu menjadi sarang harimau. Dan tak heran pula banyak
penakik-penakik getah itu menjadi mangsa raja hutan tersebut.
Mata pencaharian yang ketiga adalah ikan.
Mereka menangkapi ikan di sepanjang batang Kampar atau didua danau kecil yang
terdapat dibalik kampung itu.
Karet dan ikan inilah mata pencaharian
mereka yang agak memadai. Memadai dalam arti sekedar cukup untuk menyambung
hidup dari hari ke hari. Sebab baik memotong karet maupun menangkap ikan mereka
lakukan secara tradisionil. Bila hujan turun karet tak dapat ditakik, mereka
menangkap ikan. Bila air besar dan hujan turun pula, dimana getah dan ikan tak
dapat ditangkap, mereka hanya berdiam dirumah.
Demikian kehidupan penduduk dikampung itu
musim ke musim. Kampung itu merupakan salah satu dari sekian kampung
disekitarnya yang mempunyai struktur ganda. Maksudnya, dalam hal adat istiadat
mereka berkiblat ke Minangkabau. Sebab dari sanalah nenek moyang mereka berasal.
Karenanya dikamoung itu dikenal juga
dengan sistim Suku dan gelar seperti jamaknya dikenal di Minangkabau. Dan
sistim keluarga yang dianut juga sistim ibu sebagaimana jamaknya di
Minangkabau.Namun dalam segi pemerintahan, mereka tunduk ke Riau.
Sebagaimana jamaknya di Minangkabau,
dikampung ini pemuda-pemudanya juga belajar silat. Silat yang berkembang disini
adalah silat aliran Pangian. Yaitu silat yang berasal dari negeri Pangian di
Kabupaten 50 Kota dekat Lintau.
Silat merupakan kebanggaan tua dan muda.
-00-
Hari itu adalah hari jumat. Yaitu setiap
Jumat dimana pedagang-pedagang bersampan dan berkapal kecil-kecil singgah dalam
perjalanan mereka menuju Teratak Buluh dihulu dari Langgam di hilir.
Penduduk kampung berdekatan seperti Bontu
diseberang agak ke hilir, dan penduduk dari kampung Kutik diseberang agak ke
darat sudah berdatangan. Hari sekitar jam sepuluh pagi ketika tiba-tiba dari
hulu terlihat orang berlarian.
“Belanda! Tentara Belanda datang!”
pekiknya. Suasana ditengah pasar itu mula-mula terbengong-benging saja. Tapi
begitu tembakan pertama terdengar, suasana panik segara menjalar. Penduduk
berlarian bertemperasan. Pedagang-pedagang berusaha menyelamatkan jualannya.
Mereka berteriak meminta uang pada
pembeli yang begitu panik menjalar segera saja angkat kaki. Lupa membayar
barang yang telah dia ambil.
Namun penduduk yang berlarian itu tak
lama kemudian kembali lagi ke pasar
darurat tersebut. Mereka dihalau kesana oleh tentara Belanda yang rupanya telah
mengepung kampung itu dari hulu dan dari hilir.
Tentara yang datang tak berapa orang.
Hanya enam orang. Tapi enam orang tentara Belanda dengan senjata lengkap memang
sudah cukup membuat penduduk jadi terkencing-kencing.
“Ayo kumpul semua!” bentakan terdengar dari
mulut seorang Leutenant. Dan kembali serentetan tembakan dari sten menyalak.
Anak-anak pada bertangisan. Perempuan
pada terpekik dan mereka digiring ke lapangan kecil dimana tadi seorang
pedagang berjual obat.
Kaum lelaki dan perempuan segera saja
dipisahkan. Ada sekitar tiga puluh orang lelaki yang terjaring. Mereka semua
disuruh duduk berjongkok di tanah.
“Periksa!” Leutenant itu memberi
perintah. Dan tiga orang serdadu yang terdiri dari seorang sersan, seorangh
kopral dan seorang soldaat segera menghampiri para lelaki yang duduk mencangkung
itu.
“Bagaimana, kita lawan mereka?” si Bungsu
yang terdapat diantara para lelaki itu berbisik pada Bilal yang
dudukdisebelahnya.
“Tunggu dulu. Nampaknya mereka bukan
mencari kita” Bilal menjawab. Dan karenanya si Bungsu hanya diam menanti. Hari
itu adalah bulan ketiga dia berada di kampung Buluh Cina ini semenjak peristiwa
penyergapan di pendakian Pasir putih itu.
Tiga peluru yang menghajar tubuhnya,
ternyata tak cukup kuat untuk merenggut nyawanya. Atau katakanlah, bahwa Bilal telah
menolong nyawanya dari renggutan maut. Lelaki itu melarikan tubuh si Bungsu
yang luka parah di Buluh Cina. Kemudian di kampung itu si Bungsu ditolong
dengan obat-obatan kampung.
Lukanya diobat dengan berbagai ramuan.
Diantaranya dengan bubuk yang dibuat dari kikisan tempurung kelapa. Pedih dan
sakitnya bukan main.
Namun Tuhan masih memanjangkan umurnya.
Buktinya dia berangsur sembuh. Sementara itu senjata yang berhasil mereka
rampas dari Belanda-Belanda di pendakian Pasir Putih telah dikirim ke
Pekanbaru. Kepada anggota-anggota fisabilillah dan tentara Indonesia.
Dan di kampung ini hanya ada dua pucuk
bedil. Satu pada Bilal, yaitu sebuah sten, kemudian sebuah lagi pada Badu.
Yaitu sebuah jungle. Namun keini kedua bedil itu berada dirumah mereka. Dan
kini Bilal, Badu dan si Bungsu terperangkap di Pasar Jumat tersebut.
Dengan perasaan tegang mereka menanti
ketiga serdadu Belanda itu menggeledah mereka. Satu demi satu mereka diperiksa.
Diraba pinggang celana dan kantong-kantong mereka.
“Apa yang mereka cari?” si Bungsu berbisik.
“Entahlah…!” jawab Bilal perlahan.
Dan akhirnya penggeledahan itu selesai.
Tak seorangpun nampaknya yang dicari oleh tentara Belanda tersebut. Si Bungsu
menarik nafas panjang.
Ketiga serdadu yang memeriksa itu
berjalan ketempat Leutenat yang memimpin mereka. Melaporkan hasil pemeriksaan.
Namun mata Leutenat itu menatap tepat-tepat pada Bilal. Bilal yang tahu bahwa
dia sedang diperhatikan mencoba untuk tak acuh. Mencoba menatap ke bawah.
Si Bungsu juga melihat kelainan tatapan
mata Leutenant tersebut. Dan tiba-tiba saja Leutenant itu melangkah mendekati
mereka.
“Dia kemari…!” si Bungsu berbisik.
“Ya, mau apa dia?” balas Bilal sambil
menoleh ke tempat lain acuh tak acuh. Padahal hatinya berdebar keras.
“Apakah bapak dia kenali?” Bungsu
bertanya.
“Saya tak tahu….” Jawab Bilal.
Pembicaraan itu terhenti takkala
tiba-tiba saja tangan Leutenant itu menjambak rambut Bilal. Menyentakkan ke
atas sehingga kepalanya tertengadah.
Hampir saja Bilal menghantam kerampang
Leutenant itu dengan lutut karena berangnya. Tapi untung dia dapat menahan
emosi. Dia sadar, akalu berbuat yang tidak-tidak, banyak penduduk yang akan
jadi korban sia-sia. Dia menahan amarahnya sambil mengikuti sentakan pada
rambutnya hingga dia berdiri.
Mata Leutenant itu menatap wajahnya
dengan teliti.
“Hei, bukankah ini orang yang lewat di
Simpang Tiga beberapa bulan yang lalu?” Leutenant itu berseru pada anak
buahnya.
Anak buahnya menatap pada si Bilal. Dan
si Bilal segera ingat pada saat mereka diperiksa di penjagaan Simpang Tiga.
Yaitu ketika dia dengan si Bungsu dan Suman. Disaat dimana dia diludahi oleh
seorang tentara KNIL.
Lelaki yang lain pada berkuak.
Tentara Belanda ini sebenarnya datang ke
Buluh Cina bukannya mencari Bilal atau si Bungsu. Peristiwa lenyapnya tentara
Belanda dengan sebuah Jeep dan sebuah Power Wagon tiga bulan yang lalu tak ada
sangkut pautnya dengan kedatangan mereka kini.
Mereka datang kemari dalam rangka memburu
seorang pembunuh. Seorang lelaki pribumi telah membunuh seorang pedagang di
teratak Buluh. Pedagang itu orang asli Teratak Buluh yang terletak tiga jam
bermotor tempel di hulu Teratak Buluh.
Dan Belanda memburunya sampai kemari
bukan tanpa alasan. Ada dua alasan kenapa tentara Belanda memburu pembunuh yang
menghiliri sunagi Kampar itu. Pertama, pedagang yang dibunuh itu adalah
mata-mata Belanda. Kedua memang menegakkan hukum dengan baik meski ditanah
jajahannya.
Mereka menyangka bahwa pembunuh itu
berada di Pasar Jumat ini. Makanya mereka menghentikan motor tempel mereka
dihulu. Kemudian dengan jalan kaki mengepung Pasar jumat ini. Tapi Leutenant
yang memimpin pemburuan itu ternyata mengenali Bilal.
Dan karena dia mengenal Bilal, dia segera
ingat kembali akan lenyapnya teman-temannya tiga bulan yang lalu. Yaitu persis
setelah lewatnya Bilal dengan kedua temannya di Simpang Tiga!
“Benar, dialah yang kita periksa dulu.
Saya ingat benar, dia saya ludahi waktu dalam pos pemeriksaan…”
“Kalau begitu dia punya hubungan dengan
lenyapnya teman-teman kita tigabulan yang lalu. Cari temannya yang lain!”
perintah leutenant itu menggelegar. Si Bungsu kaget mendengar perintah itu. Dia
ingin bertindak, namun tindakannya tinggal beberapa detik dari tindakan yang
diambil oleh Bilal.
Bilal yang pesilat itu, merupakan salah
seorang pejuang dari pasukan Fisabilillah, segera menyadari bahwa bahaya yang
hebat mengancam mereka bila dia tertangkap. Makanya begitu leutenant itu
memerintahkan untuk mencari temannya yang lain, yang tak lain dari si Bungsu
dan Suman, Bilal segera bertindak.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (45)
Komentar
Posting Komentar