Saat leutenant tersebut masih mencekal
rambut dikepalanya. Dengan sebuah tendangan yang penuh kebencian, lututnya
menghantam perut leutenant itu. Leutenant itu mendelik matanya menahan sakit.
Cekalannya pada rambut Bilal lepas. Kedua tangannya segera saja memegang perut
yang dimakan lutu pejuang itu.
Dan Bilal tak berhenti sampai disana, dia
segera mencekik leher leutenant itu dari belakang. Kemudian sebilah pisau yang
dia simpan dibalik pinggang celananya segera saja keluar dan ditekankannya
kuat-kuat ke dada sebelah kiri si Belanda .
“Keubunuh anjing ini kalau kalian
bergerak!!” dia berteriak mengancam tentara Belanda yang lain. Yang semuanya
masih tertegun kaget.
Seorang sersan mayor coba mengokang
bedil. Namun saat berikutnya dia terhenti bersamaan dengan pekik si leutenant.
Bilal rupanya memang tak sekedar menggertak.
Begitu dia lihat sersan itu mengokang
bedil, pisau beracunnya dia tekankan. Demikian kuatnya, hingga menembus baju
loreng si Letnan dan menembus dadanya. Meski pisau itu hanya menembus kira-kira
sejari, tapi sakit dan kagetnya leutenant itu bukan alang kepalang.
Kejadian tiba-tiba jadi tegang. Semua
pada terdiam. Bilal sendiri tak tahu apa lagi yang akan dia perbuat. Dan si
Bungsu segera menangkap keraguan ini. Dia bangkit dan melangkah. Namun
gerakannya justru melindungi seorang kopral dari tatapan mata Bilal.
Kopral itu menyambar seorang anak
perempuan berusia sepuluh tahun. Dan persis seperti yang diperbuat Bilal,
Kopral KNIL ini menodongkan bedilnya persis ke pelipis gadis kecil itu.
“Lepaskan leutenant itu, atau anak ini
saya hancurkan benaknya!” kopral itu ganti menggertak. Bilal membalik dan baru
saja akan balas bicara ketika tiba-tiba ibu anak tersebut memekik dan
menghambur ke arah anaknya.
“Biarkan dia, jangan dekati…..!” Bilal
coba mengingatkan perempuan itu. Namun perempuan itu mana mau anaknya terancam
bahaya. Sambil memekik dia terus memburu kopral itu.
“Jangan dekati kesanaaa!!” Bilal
berteriak lagi sementara tangannya tetap mengunci leher leutenant itu. Tapi
perempuan itu tak peduli. Dia memegang tangan anaknya. Dan kini dia saling
tarik dengan kopral KNIL itu.
“Lepaskan anakku! Lepaskan anakkuuu!!”
pekiknya sambil menolong-nolong.
“Anjing pigi kowe! Pigi kowe sana!!”
kopral itu membentak.
Dan suatu saat, kakainya terangkat.
Sepatu larasnya yang berpaku menerjang perempuan tersebut. Perempuan itu
tercanpak. Dadanya kena hantam. Dia muntah darah. Dan tergolek diam ditanah!
Keadaan kembali tegang. Empat serdadu
Belanda yang lain tetap saja tak bisa berbuat apa-apa. Sebab mereka melihat
betapa ujung pisau Bilal tetap saja menancap di dada komandan mereka.
“Ayola lepaskan Leutenant!!” kopral KNIL
itu membentak lagi.
Namun Bilal segera dapat menguasai
kekagetannya.
“Kau perintahkan semuanya melemparkan
bedil letnant!” Dia mendesis dipangkal telinga leutenant itu. Dan ketika letnan
itu masih berdiam diri, dia menekankan lagi ujung pisaunya.
“Perintahkan mereka melemparkan
senjatanya!!”.
Namun tiba-tiba saja tanpa disengaja
sedikitpun, mungkin karena gugup, senjata ditangan kopral yang mengancam gadis
kecil itu meledak.
Dan bencana tak dapat dihindarkan. Kepala
gadis itu rengkah dan dia mati tanpa memekik sedikitpun. Semua jadi kaget.
Semua seperti dipakukan ke tanah. Bilal lah yang pertama mengadakan reaksi.
“Anjiiing! Kubunuh kalian!!
Kubunuuuuuuh!” dan dia memang membuktikan ucapannya. Dia memang tak main-main.
Dia memang sia dengan segala kemungkinan. Dia memang kental hatinya. Kental
darah pejuangnya.
Dia menekankan pisaunya hingga membenam
seluruh ke dada leutenant itu. Seluruhnya terbenam. Leutenant itu memekik dan
meronta-ronta mengelak dari renggutan maut. Namun pisau beracun itu sebenarnya
sudah sejak tadi beraksi ditubuhnya.
Pisau itu begitu ditekankan begitu
menghujam ke jantungnya. Dan dengan mata mendelik, dia tercampak di tanah.
Kembali semua orang jadi tertegun. Kaget dan ngeri. Tentara-tentara Belanda
yang lima orang itu juga ternganga. Tertegak kaget. Tertegak ngeri.
Namun hanya sebentar. Dan setelah itu
mautpun menyeringai serta merenggut nyawa disekitar pasar itu. Yang pertama
berakasi adalah sergeant. Bedil ditangannya menyalak. Yang dia tuju adalah
Bilal. Tapi pesilat itu sudah lebih dahulu arif. Dia cepat bergulingan di
tanah. Dia terhindar dari terkaman maut.
Tapi orang yang berada dibelakangnya,
yaitu seorang lelaki petani justru jadi korban. Lelaki itu terpekik dan
terpental lalu roboh dan mati.
Dan setelah itu tak lagi diketahui
siapa-siapa yang terkena tembak. Sebab letusan telah membahana. Si Bungsu hanya
bisa bergerak menurut firasatnya saja.
Tubuhnya bergulingan, dan begitu tegak,
samurainya bekerja. Kopral yang menembak mati gadis kecil itu jadi korban
pertama mata samurainya. Tangan kopral yang memegang bedil itu putus hingga
lengan dekat bahu.
Kemudian samurai si Bungsu berkelabat
lagi. Dan kaki Belanda itu putus. Cukup sekian. Si Bungsu membiarkan Belanda
itu memekik-mekik tanpa tangan kanan dan tanpa kaki kiri!
Sebuah desingan dan rasa panas menyambar
pelipisnya. Dia menjatuhkan diri. Bergulingan kekanan menurut arah peluru tadi
datang. Kemudian sambil bangkit, samurainya bekerja.
Sergeant yang tadi menembak, terkena
makan mata samurainya. Perut sergeant itu belah. Dan tubuhnya
menggelepar-gelepar lalu diam. Lalu mati! Dan suasana tiba-tiba juga diam! Si
Bungsu menyisipkan samurainya. Memandang keliling.
Keenam serdadu Belanda itu telah tergeletak.
Lima diantaranya mati! Dua orang mati ditangan si Bungsu. Yang lain disudahi
oleh Bilal dan enam orang lelaki yang menyerang memakai pisau, parang dan
golok!
Tiba-tiba semua mata memandang pada tubuh
kopral KNIL yang masih tergolek dan meraung-raung itu.
Mereka beranjak dari tempat
masing-masing. Mendekati tubuh kopral itu. Membuat lingkaran mengitarinya.
Dan tiba-tiba seorang lelaki menyeruak.
Dia masuk ke tengah memangku mayat gadis kecil yang tadi ditembak si Kopral.
Dia adalah ayah gadis itu.
Semua pada diam menatapnya. Dia tidak
anggota fisabilillah. Dia hanya seorang petani biasa. Tapi tadi dia telah ikut
menghujamkan pisaunya ke dada dua orang Belanda.
Dan kini dia tegak dengan kaki
terkangkang memangku mayat anaknya. Menatap pada tentara Belanda yang telah
membunuh putrinya itu.
KNIL itu tiba-tiba terdiam pula dari
raung kesakitannya. Dia menatap dengan mata terbuka lebar pada lelaki yang
memangku gaduis kecil itu. Dia segera mengenali gadis berambut hitam lebat itu.
Gadis yang dia bunuh tadi.
“Mengapa kau bunuh dia?” lelaki itu
bertanya.
Suaranya perlahan. Aneh. Pertanyaan yang
jujur dari seorang lelalki jujur dan bodoh. Lelaki kampung yang tak tahu menahu
dengan peperangan atau politik.
“Mengapa kau bunuh anakku, padahal dia
tak pernah menyakitimu? Kami tak pernah menyakiti kalian. Kenapa kau bunuh
anakku, kau sakiti istriku?”
Suara lelaki itu terdengar serak. Dia
tatap tentara KNIL itu tepat-tepat. Dan KNIL itu tiba-tiba seperti kehilangan
seluruh rasa sakit dilengan dan dikakinya yang putus.
Dia merasa heran, merasa takjub dan
sekaligus juga merasa luluh atas pertanyaan yang lugu dan polos itu. Dan isteri
lelaki itu, yang tadi kena tendang berdiri disamping suaminya. Menangis melihat
mayat anaknya.
Dan tiba-tiba lelaki itu melangkah lewat disisi
KNIL itu, melangkah terus memangku anaknya.
“Ampunkan saya…amupunkan saya pak…” KNIL
itu bermohon. Sementara air mata penyesalan mengalir dipipinya. Namun lelaki
itu seperti tak mendengar ucapannya. Dia melangkah terus bersama istrinya.
Membawa mayat anaknya.
“Ampunkan saya…” KNIL itu bermohon. Dia
benar-benar merasa amat berdosa. Dan dia merasa tersiksa atas perlakuan lelaki
pribumi yang tak mau membalas sakit hatinya. Kenapa lelaki itu hanya bertanya,
kemudian pergi? Kenapa dia tak menikamnya saja?
Dan akhirnya KNIL itu menangis
terisak-isak.
“Bunuhlah saya… bunuhlah saya. Saya tak
layak untuk diampuni. Bunuhlah saya…bunuhlah saya….!” Dia bermohon pada
penduduk yang mengitarinya. Namun semua penduduk hanya menatapnya dengan
tatapan kosong.
Kemudian satu demi satu mengurusi maya
teman-temannya yang mati kena tembakan tadi. Yang perempuan menangisi suaminya
yang mati. Demikian pula kanak-kanak menangisi mayat ayahnya atau ibunya.
Dalam perkelahian yang singkat itu,
selain kelima tentara Belanda yang mati itu, ternyata ada enam penduduk yang
meninggal. Empat orang lelaki dewasa, seorang perempuan dan seorang anak-anak.
Kemudian satu demi satu mayat-mayat itu
mereka angkut ke rumah masing-masing. Dan kini dilapangan bekas Pasar Jumat itu
hanya ada enam tubuh tentara Belanda.
Lima diantaranya sudah jadi mayat, yang
satu lagi menatap kesekitarnya dengan perasaan tak menentu. Dia adalah tentara
KNIL yang menembak anak ibu yang tangan dan kakiknya dibabat si Bungsu.
Dia menoleh keliling. Dan matanya
berpapasan dengan tatapan mata si Bungsu. Dia menatap pada samurai di tangan
anak muda itu.
“Tolonglah saya. Bunuhlah saya. Jangan
biarkan saya menderita seperti ini…” mohonya.
Si Bungsu menatapnya dengan tenang. Dia
teringat pada nasib seorang Datuk penyamun yang nasibnya juga sama dengan KNIL
ini.
Yaitu ketika Datuk itu bersama temannya
datang ke Penginapan kecil di Aur Tajungkang untuk membalas dendam padanya.
Kemudian menista Mei-mei. Datuk itu dia babat kedua tangan dan kedua kakinya.
Kemudian dia tinggalkan berguling
mengerang dan memohon-mohon untuk dibunuh di lantai penginapan dan demikian
pulalah yang dialami KNIL ini. Dia lebih suka mati daripada menanggung malu tak
bertangan dan tak berkaki.
Si Bungsu sebenarnya memang ingin
membunuh KNIL jahanam ini. Tapi dia ingin memberi pelajaran atas pembunuhan
yang telah berkali-kali dilakukan si KNIL tersebut.
“Tolong bunuhlah saya…” KNIL itu memohon
lagi.
“Bukan urusan saya. Orang kampung ini
akan menentukan nasibmu. Engkau datang ke kampung ini membawa bedil, membunuh
kanak-kanak. Menembaki perempuan dan lelaki yang tak berdosa. Bukankah penduduk
di kampung ini tak pernah menyakiti kalian? Kenapa hari ini kalian datang
membunuhi mereka”
KNIL itu tak bisa bicara.
Sementara itu, pedagang-pedagang selesai
mengumpulkan jualan yang terlambat ditepian batang Kampar itu. Lalu tanpa
bicara ba atau bu, mereka segera membuka tambatan sampan.
“Harap jangan terdengar oleh Belanda di
Teratak Buluh atas peristiwa yang terjadi disini. Katakan saja bahwa kalian tak
pernah bertemu dengan Belanda di kampung ini…”
Bilal berseru dari tebing kepada
pedagang-pedagang itu. Sebab kalau sempat saj peristiwa ini bocor, maka dia
sudah bisa meramalkan bahwa akan ke kampung ini seluruh pasukan Belanda untuk
membunuhi mereka. Para pedagang itu tak ada yang menyahut.
“Kalau ternyata peristiwa ini bocor, maka
ingatlah, kami akan mencegat kalian bila hilir ke Langgam. Dan kita akan
bermusuhan sepanjang zaman….!” Bilal berseru lagi.
Sumpahnya ini membuat bulu tengkuk
pedagang-pedagang yang akan berkayuh itu pada merinding. Kalau penduduk kampung
ini memang bermusuhan dengan mereka sepanjang zaman itu berarti sepanjang zaman
pula mereka tak dapat melayari sungai ini!
Dan itu berarti mereka kehabisan mata
pencaharian pula. Sebab satu-satunya tempat berjualan yang menghasilkan uang
adalah ke Teratak Buluh. Dan bila dagangan disana habis, mereka bisa jalan
darat membeli dagangan baru ke Pekanbaru.
“Percayalah Bilal, dari kami takkan
pernah terbuka rahasia ini. Kami bangga pada kalian, yang telah berani melawan
dan membunuhi penjajah…” Pimpinan dari pedagang-pedagang itu berseru pula.
Dan mereka lalu berkayuh ke hulu satu
demi satu. Ada dua belas sampan dan tongkang pedagang itu. Bergerak seperti
siput merangkak pada arus sungai Kampar ke arah hulu.
Bilal menatap sampan itu bergerak.
Setelah jauh, dia membalik. Menghadap pada kopral KNIL yang masih terbaring
itu. Sementara penduduk kampung yang lain, atas petunjuk Suman mengangkati
mayat-mayat Belanda yang lain ke arah perkampungan.
Bilal melangkah mendekati KNIL itu.
“Kami takkan membunuhmu. Kematian
merupakan hal yang terlalu enak bagimu. Tapi engkau akan tetap mati kehabisan
darah”
Bilal mencabut pisau yang tadi dia
tikamkan ke dada leutenant. Melemparkan hingga tertancap disisi tubuh KNIL
itu.
“Engkau boleh pilih, mati secara perlahan
disini atau bunuh diri dengan pisau itu…”
Dan Bilal memberi isyarat pada si Bungsu
untuk meninggalkan tempat tersebut!
Bungsu melangkah mengikuti Bilal ke arah
mayat-mayat Belanda tadi diangkuti. Namun beberapa langkah mereka berjalan,
KNIL tadi terdengar mengeluh. Mereka menoleh, dan melihat betapa pisau yang
diberikan Bilal tadi telah menancap didadanya. KNIL itu ternyata lebih suka
bunuh diri daripada tetap dibiarkan terguling tak berdaya disana. Dia lebih
suka mempercepat kematiannya daripada harus menunggu maut merangkak secara
perlahan menyakiti nyawa dan jasadnya.
“Dia memilih jalan singkat….” Bilal
berkata.
Bungsu hanya dia menatap. Bilal menyuruh
dua orang penduduk untuk mengangkat mayat KNIL itu.
“Bersihkan bekas-bekas darah di tanah!
Dan Asir…kau biasa membawa motor tempel. Bawa motor tempel Belanda itu ke Danau
Baru. Tenggelamkan disana…”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (46)
Komentar
Posting Komentar