Orang-orang yang disuruh itu melaksanakan
tugas mereka.
Dan Bilal membawa si Bungsu ke arah mayat-mayat
Belanda itu diangkuti. Mayat-mayat itu teranyata diangkuti ke belakang kampung.
Ke hutan belantara yang masih oerawan. Kaun lelaki berkumpul disana. Menanti
Bilal dan si Bungsu.
Semua mereka menoleh pada Bilal dan si
Bungsu yang baru muncul. Menatap dengan diam. Guruh tiba-tiba menderam di
angkasa. Bilal berhenti, demikian pula si Bungsu. Para lelaki melirik ke
samurai yang terpegang ditangan kanan si Bungsu.
Dari cerita yang pernah mereka dengar,
anak muda ini mahir dan amat cepat dengan samurai Jepang itu. Tapi dipasar
Jumat tadi, beberapa orang sempat melihatnya. Itupun secara tak pasti. Sebab
hampir semua mereka terlibat dalam perkelahian yang hanya sebentar.
Hanya saja, dari mayat-mayat yang mereka
bawa ini, ada dua orang tentara Belanda yang belah perut dan dadanya. Dan itu
pasti termakan samurai. Jadi dengan kopral yang putus kaki dan tangan kananya
itu, ada tiga serdadu Belanda yang dibabat samurai tersebut.
Hanya itu sebagai bukti bagi penduduk
bahwa anak muda ini memang cepat dengan samurainya. Hanya sayangnya tak
seorangpun yang sempat melihat dengan pasti bagaimana caranya dia memainkan
senjata maut itu.
Kini mereka tegak membisu. Bilal yang
merupakan seorang pemuka dikampung itu akhirnya bersuara.
“Asir saya suruh membawa motor tempel
Belanda itu ke Danau Baru. Menenggelamkan di sana. Saya rasa kalaupun ada
pencaharian oleh pihak Belanda kemari mereka takkan menemukan jejak sedikitpun”
Dia berheti. Para lelaki itu tak ada yang
bersuara. Bilal menyambung:
“Kini kita kuburkan mayat-mayat Belanda
ini. Kuburkan bersama pakaian mereka. Senjata simpan di rumah Suman. Kita
kuburkan mereka lebih ke hutan sana. Lewati paya-paya tersebut agar jejak kita
tak mudah ditemukan. Kubur yang dalam, agar mayat mereka tak digali harimau…!”
Masih tanpa suara, kaum lelaki itu mulai
mengangkati mayat keenam serdadu Belanda tersebut. Guruh kembali menderam rusuh
dikaki langit. Mengirimkan suasana seram ke hati mereka.
Satu demi satu mulai menyeruak rimba
menuju paya-paya.
“Biar saya didepan membuka jalan….” Si
Bungsu berkata sambil mendahului rombongan pemangku mayat tersebut. Di depan
dia menghunus samurainya.
Ketika dia akan menebas semak untuk
membuka jalan, dia terhenti mendengar seruan Bilal.
“Jangan ditebas!”
“Tapi ini menyulitkan perjalan yang
memangku mayat..”
“Ya, tapi tebasan itu juga akan
memudahkan Belanda masuk untuk mencari jejak mayat teman-temannya”
Si Bungsu menjadi mengerti duduk soalnya.
Dia mengagumi ketajaman firasat Bilal. Oleh karena itu dia memasukkan kembali
samurainya. Kemudian dengan mempergunakan samurai bersarung itu dia menguakkan
semak-semak untuk membuat jalan bagi temannya yang di belakang.
Mereka berjalan dengan diam.
Yang terdengar hanyalah geseran tubuh
dengan dedaunan. Mereka memalui rimaba yang lebat. Tak lama kemudian, mereka
tiba ketepi rawa dan bancah yang tadi disebutkan Bilal.
Si Bungsu menekankan samurainya ke dalam
air. Menduga dalam bancah ini. Ujung samurainya menekan tanah dasar air. Cukup
keras. Kemudian dia mulai melangkah masuk air. Yang lain menuruti.
“Kita ke seberang sana…?” tanyanya sambil
menoleh pada Bilal yang berada ditengah barisan itu. Bilal mengangguk. Bungsu
menepi memberi jalan kepada orang yang dibelakangnya. Lelaki itu lewat dengan
mayat leutenant Belanda dibahunya. Berturut-turut lewat lelaki yang lain.
Namun tiba-tiba si Bungsu merasa dirinya
jadi tegang.
Matanya menyipit. Inderanya yang sudah
terlatih di rimba Gunung Sago tiba-tiba mengisyaratkan bahwa ada bahaya
mengancam. Samurainya dengan cepat berpindah ke tangan kiri. Sementara tangan
kanannya menggantung melemas.
Beberapa lelaki lagi lewat dihadapannya.
Dia menatap dengan tegang. Bahaya yang tercium oleh firasatnya itu makin
mendekat. Lelaki yang paling depan telah naik kembali ke tanah di seberang
bancah sana. Jaraknya dengan si Bungsu ada sekitar dua depa.
Si Bungsu kenal benar dengan isyarat yang
dia tangkap ini. Amat kenal. Hanya kini dia memastikan dimana sumber bahaya
itu. Sedetik dia memejamkan mata, inderanya yang terlatih, yang melebihi
ketajaman indera binatang buas manapun, segera mengetahui bahaya itu.
Tiba-tiba dia memekik seperti pekikan
raja hutan. Pekikannya yang dahsyat itu diikuti oleh terangkatnya tubuhnya dari
tempatnya tegak. Dirinya yang tadi tegak dalam rendaman air sebatas paha,
tiba-tiba melambung dalam suatu lompa tupai yang terkenal itu.
Tubuhnya mengapung segera dari permukaan
air bancah. Melambung ke arah depan dimana lelaki yang memangku mayat leutenant
itu tegak.
Tidak hanya lelaki dengan mayat leutenant
itu saja yang tertegak diam. Semua anggota rombongan pengubur mayat itu,
termasuk Bilal yang berjumlah empat belas orang pada tertegak kaget, dan
seperti dipakukan ke tanah begitu mendengar pekik si Bungsu tadi.
Dan kini dengan pandangan tak berkedip,
mereka melihat tubuh si Bungsu turun di depan sekali. Persis disisi Soli yang
memangku mayat Leutenant itu.
Tangan kanan si Bungsu dengan kuat
mendorong tubuh Soli. Karena dibahunya ada beban, Soli tak bisa menguasai
keseimbangan, tubuhnya segera saja terdorong ke samping. Tak hanya sekedar
terdorong, tapi terjatuh duduk.
Belum habis kaget Soli dan semua
teman-temannya melihat tindakan si Bungsu, tiba-tiba saja dari hadapan tempat
Soli tegak tadi, melesat suatu bayangan dengan suara menggeram hebat.
Bayangan itu justru menerpa tempat Soli
tegak tadi bersama mayat leutenant tersebut dibahunya. Kini di tempat itu yang
tegak bukan lagi Soli, tapi si Bungsu. Si Bungsu tak berani menerima terkaman
itu. Yang menerkamannya tak lain daripada seekor harimau besar!
Dia melambung dengan lompat tupai ke
kanan! Dan harimau itu menerpa tempat kosong! Semua lelaki yang segera melihat
harimau itu pada tegak melongo. Hanya Bilal yang mengucap istigfar. Yang lain
tanpa dapat dicegah pada menggigil. Mereka rata-rata memang pesilat. Tapi tak
semua pesilat berani menghadapi harimau. Apa lagi di siang bolong dan di dalam
rimba raya!
Mayat-mayat yang tadi mereka panggul.
Pada berjatuhan tanpa mereka sadari. Dan mereka pada tegak menggigil!
“tetaplah diam ditempat kalian!” si
Bungsu berteriak memperingati ketika dia lihat ada seorang dua yang ingin ambil
langkah seribu.
Semua pada tertegak. Si Bungsu
memperingatkan hal itu untuk menghindarkan korban. Sebab dia telah hidup dalam
belantara Gunung sago. Telah berkelahi dengan harimau-harimau di gunung Sago
tersebut untuk mempertahankan hidupnya.
Dan dia jadi sangat kenal pada sifat
harimau-harimau. Mereka akan memburu orang yang membelakanginya. Yang lari
terbirit-birit! Hariumau justru jadi segan dan agak gentar pada orang yang
tegak diam dan menatapnya!
Dan kini harimau yang besarnya bukan main
itu mengeram. Beberapa lelaki ada yang terkencing. Si Bungsu dengan langkah
ringan memutar tegak.
Dan kini dia persis dihadapan harimau
itu.
Harimau itu mengais-ngaiskan kakinya ke
tanah. Meninggalkan jejak kukuk yang dalam pada tanah keras tersebut. Dan
tiba-tiba tubuhnya merendah. Matanya nyalang menatap si Bungsu tak berkedip.
Si Bungsu tegak dengan tenang. Dan kedua
kakinya terpentang lebar.
Dia balas menatap harimau itu dengan
pandangan tak berkedip. Mereka sama-sama mengukur. Dan tiba-tiba tanpa
memberitahu, tanpa bersuara sedesahpun, tubuh harimau itu melesat dengan
kecepatan yang tak terikutkan oleh mata. Menghambur kearah si Bungsu.
Demikian cepatnya sergapan itu, sehingga
hampir-hampir tak terikutkan oleh mata lelaki-lelaki yang ada disana. Yang dapat melihat dengan jelas gerakan itu
hanyalah Bilal yang telah masak ilmu silatnya.
Dia melihat betapa harimau itu tidak
menerkam, tapi dalam lompatannya dia menampar ke arah si Bungsu. Dan hanya
Bilal pulalah yang dapat sedikit melihat betapa dengan kecepatan yang sulit
dimengertyi, tangan kanan si Bungsu tiba-tiba telah memegang samurainya. Dan
samurainya itu membabat ke arah harimau yang menerkamnya itu.
Hanya itu yang terlihat. Bilal tak tahu
apakah antara kedua lawan itu ada yang kena atau tidak. Tapi dia dan semua
lelaki yang tertegak diam itu melihat betapa kini kedua mereka saling
berhadapan kembali!
Harimau itu tegak mencekam tanah empat
depa di belakang si Bungsu. Tegak tanpa cedera apapun. Sebaliknya si Bungsu
juga tegak dengan posisi seperti tadi. Dengan tubuh tegak lurus dan dengan kaki
yang terpentang lebar. Bedanya kini samurainya kembali telah tersisip dalam
sarangnya ditangan kiri. Sementara tangan kananya tergantung lemas!
Dia juga tegak tanpa luka segorespun!
Semua mereka menghela nafas. Ini adalah pertarungan yang belum pernah mereka
saksikan seumur hidup. Belum pernah dan mungkin tak pernah terjadi untuk kedua
kalinya!
Mereka memang banyak mendengar, bahwa
pesilat-pesilat tangguh biasanya memutus kaji dengan bertarung melawan harimau.
Dan mereka juga tahu, bahwa diantara pesilat-pesilat yang tangguh itu, Bilal
konon adalah salah seorang yang telah lulus dari perkelahian seperti ini.
Entah benar entah tidak, tapi sudah
menjadi rahasia umum, sudah menjadi buah bibir, bahwa Bilal telah lulus dari
ujian dengan “Niniek” belang. Mereka tak mengetahui dengan pasti karena tak
melihatnya. Dan sebaliknya Bilal pun tak pernah membantah atau mengiyakan
desas-desus itu. Yang jelas dia memang seorang pesilat tangguh yang telah
masak!
Dan kini. Manusia melawan harimau! Bila
ada kesempatan seperti itu? Maka meski dengan celana basah karena kencing,
mereka berusaha juga untuk tetap tegak. Berusaha agar mata mereka terbuka lebar
menyaksikan perkelahian itu. Menyaksikan dengan tubuh terguncang-guncang karena
menggigil ngeri!
Tiba-tiba mereka menyaksikan sesuatu yang
aneh. Di belakang sana, harimau itu kembali mencengkamkan kaki depannya ke
tanah. Matanya menatap marah pada si Bungsu yang membelakanginya. Membelakang!
Bayangkan, ada manusia yang berani membelakanginya! Bukankah itu suatu
penghinaan! Harimau itu benar-benar berang!
Dia tak mau dihina demikain. Apalagi
dihadapan tatapan sekian banyak manusia. Dan dia berniat kali ini untuk
mengoyak tubuh manusia sombing yang membelakanginya ini!
Akan halnya si Bungsu, kelihatan
memejamkan matanya. Kemudian perlahan merendahkan tubuh. Lalu duduk bersila di
tanah! Duduk dengan mata tetap terpejam! Inilah yang membuat heran dan terkejut
lelaki-lelaki dari Buluh Cina itu. Termasuk Bilal!
Tak seorangpun yang tahu, bahwa jika dia telah
berbuat demikian itu berarti disekitarnya nada maut yang siap merengut nyawa
setiap makhluk yang mendekati tubuhnya yang diam terpejam itu! Tak seorangpun
yang mengetahui itu.
Bahkan Bilal yang pesilat tangguh itu tak
pula bisa menangkap secara penuh. Dia hanya bisa menerka-nerka. Bahwa anak muda
itu sebenarnya barangkali sedang memusatkan inderanya. Sedang menghimpunsegala
makrifat. Tapi itu hanya dugaannya saja. Dia tetap saja cemas meliaht hal itu.
Dan tiba-tiba, tanpa suara sedesahpun
seperti tadi, bahkan kini seperti tak ada angin terkuat sedikitpun oleh
tubuhnya yang besar dan dahsyat itu, harimau tersebut melesat dengan kecepatan
hampir-hampir tiga kali kecepatan loncatannya yang pertama tadi. Meloncat
dengan mulut yang diarahkan untuk menerkam tepat-tepat ke tengkuk si Bungsu!
Bilal tak melihat gerakkan sedikitpun
dari pihak si Bungsu. Dan saat berikutnya, terlalu cepat buat diikuti mata
siapapun. Terlalu cepat! Hanya bayangan yang tak jelas!
Mereka hanya melihat betapa kelebatan
bayangan yang cepat itu akhirnya berhenti dalam bancah dari mana si Bungsu tadi
melambung ke luar.
Harimau itu tertegak dengan keempat
kakinya di bancah itu. Separuh tubuhnya bahagian bawah terendam dalam bancah.
Dan dibawahnya terhimpit si Bungsu. Yang kelihatan keluar mencuat dari bawah
perut harimau itu hanyalah tangannya!
Bersambung ke…..Tikam Samurai (47)
Komentar
Posting Komentar