Tangan anak muda itu menggelepar dan buih
aiar menggelembung ke atas! Gelembung air merah! Merah darah! Tangan si Bungsu
sekali lagi kelihatan menggelepar. Harimau itu meraung panjang.
Mengejutkan dan membuat isi rimba didarat
kampung Buluh Cina itu berteperasan lari. Menyurukkan diri ketempat yang paling
jauh. Raungan raja hutan itu benar-benar dahsyat. Bilal sendiri seperti
dicopoti tulang belulangnya.
“Ya Allah, Bungsu….” ucapan perlahan
terdengar keluar dari bibirnya yang pucat. Demikian hebatnya terjangan harimau
itu tadi. Sehingga mementalkan tubuh si Bungsu dan dirinya ke bancah ini.
Lontaran yang jauhnya enam depa dari tempat si Bungsu duduk bersila memejamkan
mata tadi!
Semua lelaki dari kampung kecil itu tegak
dengan wajah pucat dan mulut ternganga. Harimau besar itu menoleh keliling. Dan
tiba-tiba tubuhnya miring. Dan rubuh ke dalam air bancah yang telah menjadi
merah disekitarnya!
Tangan si Bungsu yang dirinya berada
dalam air di bawah perut harimau itu sekali lagi seperti akan memegang sesuatu
di udara. Meregang-regang. Kemudian tenggelam ke dalam air. Terlihat
gelembung-gelembung air. Dan tiba-tiba kepalanya muncul! Dia menarik nafas
terbatuk-batuk.
“Bungsuuu!!” Bilal berteriak dan memburu,
si Bungsu terbatuk-batuk lagi. Kemudian memuntahkan air bancah yang terminum
olehnya. Dia dibantu tegak oleh Bilal. Sementara lelaki-lelaki yang lain masih
tertegak diam. Takjub dan terpana. Untuk menegakkan si Bungsu, Bilal terpaksa
mendorong harimau itu ke pinggir.
Harimau itu ternyata mati! Samurai si
Bungsu menancap persis dijantungnya! Tembus hingga ke punggung. Dan tiba-tiba belantara
itu seperti akan robek oleh pekik dan sorak gembira lelaki-lelaki dari Buluh
Cina tersebut.
Mereka melupakan celananya yang basah
karena kencing. Bahkan dua orang diantaranya melupakan kentut dan berak yang
memenuhi celana mereka takkala harimau itu meraung dengan menghimpit tubuh si
Bungsu!
Mereka berlarian mengelilingi anak muda
itu.
Si Bungsu membuka bajunya yang basah. Dan
tiba-tiba semua lelaki dari Buluh Cina itu tertegun. Mereka menatap punggung,
dada dan perut si Bungsu.
Tubuh anak muda itu seperti habis sembuh
dari suatu penjagalan. Bekas luka lebih dari selusin simpang siur pada tubuhnya
itu. Mereka saling pandang sesamanya. Kemudian menatap pada si Bungsu. Dan si
Bungsu segera mengetahui bahwa perut bekas luka yang malang melintang di
tubuhnya menarik perhatian lelaki-lelaki itu. Dia memeras bajunya yang basah
kuat-kuat untuk mengeringkan air bancah tadi.
“Kita kuburkan Belanda-Belanda ini?
Katanya sambil menoleh pada Bilal. Bilal yang tegak didekatnya tersenyumdan
mengangguk.
Mereka lalu kembali mengangkati
mayat-mayat Belanda yang tadi berjatuhan di dalam bancah. Kemudian kembali naik
ke daratan menerobos hutan diseberang bancah itu. Menggali lobang besar di
tanah. Kemudian memasukkan keenam mayat Belanda itu sekaligus ke satu lobang.
Lalu menimbunnya.
“Nah, kini kita kembali ke kampung. Kita
bawa bangkai harimau ini. Saya rasa ini adalah harimau yang menangkapi kambing
kita. Dan mungkin juga yang menangkap dan memakan Tuar, Karim dan Bodu
dahulu….” Bilal berkata.
Dan para lelaki itu lalu mengikat
kaki-kaki harimau tersebut. Dan sebuah kayu besar betis ditebang. Lalu
dimasukkan diantara keempat kaki raja hutan itu. Dan dengan kayu itu, bangkai
harimau besar tersebut dipikul oleh enam orang lelaki menuju ke kampung.
Di kampung mereka berpapasan dengan
penduduk yang tadi disuruh Bilal menguburkan jenazah orang-orang yang meninggal
dalam pertempuran di Pasar Jumat itu.
Dan penduduk segera saja jadi gempar
takkala melihat mereka membawa bangkai raja hutan itu.
Raja hutan itu segera diletakkan di
pekarangan mesjid di tengah kampung.
Berita bahwa ada harimau mati dan
bangkainya dihalaman mesjid, segera saja menjalar ke seluruh rumah penduduk.
Penduduk yang tadinya setelah penguburan pada naik ke rumah masing-masing,
takut keluar disebabkan peristiwa dengan tentara Belanda itu, kini segera
berdatangan.
Dalam waktu tak sampai lima belas menit,
semua penduduk kampung yang sekitar seribu orang itu telah berkumpul dihalaman
mesjid. Mereka ternganga melihat bangkai harimau yang hampir sebesar kerbau
itu.
Kemudian lelaki-lelaki yang tadi pergi
bersama si Bungsu dan Bilal, menyaksikan perkelahian itu pada bercerita pada
orang di sebelahnya. Mereka menceritakan jalan perkelahian yang belum pernah
terjadi itu.
Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa
merekalah yang pertama melihat harimau itu.
“Saya lihat kepalanya diantara semak”
kata lelaki yang ketika perkelahian itu terjadi, terpancar kencingnya dalam
celananya.
Empat lima orang penduduk merapatkan
tegaknya.
“Lalu bagaimana? Waang lari?”
“Jangan menghina ya! Buruk-buruk begini
saya pesilat. Begitu kepalanya saya lihat, saya berkata: Maaf Inyiak, kami akan
liwat” Lelaki itu berhenti dan menatap pada penduduk yang mendengakan
ceritanya. Penduduk itu pada ternganga. Sementara Bilal dan si Bungsu dan
beberapa pemuka kampung lainnya kelihatan bicara serius di teras mesjid.
“Kemudian “ lelaki itu myambung lagi
”Saya lihat harimau itu ragu. Saya
menyruh teman-teman semuanya berhenti. Saya letakkan mayat Belanda ditanah.
Saya maju dua langkah…” lelaki itu membuat gerakan seperti meletakkan sesuatu
di tanah, kemudian maju dua langkah. Penduduk mengkiuti dengan tak berkedip.
“Kemudian saya baca ayat Kursi. Dan saya
berkata: menghindarlah Inyiak, cucumu akan lewat..”
“Waang maju mendekati harimau ini Pudin?” seorang lelaki tua yang tahu benar
Pudin ini penakut bertanya memutuskan cerita lelaki itu. Lelaki itu mendelik,
membusungkan dada.
“Ya. Tentu saja saya mendekati dan mita
lewat. Bukankah begitu tata tertib dalam rimba? Saya tahu bagaimana caranya
bersikap dalam rimba…”
“Lalu apa kata harimau itu?”
“Katanya, eh, mana pula dia bisa berkata.
Tapi dia mendengus. Saya membuka langkah empat. Kalau dia menyerang saya sudah
siap. Eh tahu-tahu harimau itu menyerang si Bungsu. Mungkin dia melihat tak ada
“pintu” masuk dari pertahanan yang saya buat seperti ini…” dia menirukan
langkah empat yang pernah dia pelajari sambil lalu dahulu.
Tiba-tiba dia terhenti. Karena ketika dia
menoleh ternyata tak seorang pun diantara penduduk yang tegak mengelilinginya.
Semua penduduk kini telah berkumpul dikeliling Bilal di depan teras mesjid.
Pudin si pembual itu tak jadi ber-akting. Dia juga membuat langkah empat menuju
kerumunan orang ramai itu.
Di teras mesjid Bilal angkat bicara.
Saudara-saudara, pertama kami minta maaf
atas jatuhnya korban kanak-kanak, perempuan dan beberapa orang penduduk kampung
kita ini dalam perkelahian dengan Belanda tadi. Ada sembilan orang yang
meninggal, suatu jumlah yang banyak.
Tapi itulah resiko perjuangan. Kami
berterimakasih atas kerelaan saudara-saudara terhadap korban yang jatuh itu.
Semoga Tuhan memberikan iman yang teguh
bagi keluarga yang kematian familinya hari ini.
Belanda barangkali akan mencari
teman-teman mereka tadi kemari. Mungkin akan ada lagi korban yang jatuh.
Meskipun kedatangannya kemari sangat tipis, mengingat jaraknya kampung ini yang
terpencil dan jauh dari Pekanbaru, namun tak ada salahnya kita waspada.
Kita akan menempatkan setiap hari dua
orang pengintai. Yang satu dibahagian hulu sana. Yaitu untuk menjaga
kalau-kalau Belanda datang lewat sungai dari Teratak Buluh seperti pagi tadi.
Yang seorang lagi akan menjaga di kampung
Kutik. Yaitu untuk mengawasi kalau-kalau patroli Belanda datang lewat darat.
Hanya dua jalur itu yang akan ditempuh Belanda untuk datang ke Kampung ini.
Penjagaan akan bergilir tiap hari. Kalu
kelihatan mereka datang, yang bertugas harus memukul tontong sebagai isyarat,
penduduk harus segera meninggalkan kampung. Ada kesempatan satu jam untuk
menyelamatkan diri. Bersembunyilah ke hutan. Jangan takut dengan harimau. Sebab
mereka juga akan lari begitu melihat kita datang ramai-ramai.
Bersembunyilah yang jauh, agar tak
tertangkap. Tentang keselamatan kampung ini, rumah dan harta benda, jangan
khawatir. Kami para anggota fisabilillah akan menjaganya. Kalau Belanda masuk
kemari, mereka akan kami sambut dengan peperangan.
Kaum lelaki akan membantu kami. Untuk
sampai ke kampung ini mereka harus naik sampan atau motor boat. Kami akan
berusaha menenggelamkan mereka sebelum turun dari sampannya.
Untuk mengatur penyergapan itu nanti
semua lelaki yang mau menyumbangkan bhaktinya untuk kampung ini, silakan masuk
mesjid. Yang bersedia silahkan menunjuk”
Bilal tak usah menanti terlalu lama.
Sebab begitu dia selesai ngomong, semua lelaki pada mengacungkan tangannya ke
atas.
Si Bungsu melihat betapa tidak hanya
pemuda-pemuda yang mengacungkan tangannya ke atas. Tetapi juga kanak-kanak dan
lelaki-lelaki tua. Bahkan ada enam orang perempuan!
“Maaf kami bukan menolak yang tua-tua dan
kanak-kanak. Tidak pula menganggap enteng akan kemampuan perempuan, tapi buat
sementara kita belum lagi akan berperang”
Bilal berkata atasberusaha ikut berpartisipasinya
yang tua, kanak-kanak dan kaum perempuan. Dia mencari cara yang baik untuk
menolak mereka.
“Pada akhirnya bila pertempuran terjadi, tidak hanya kami, melainkan seluruh
kita, seluruh yang bernafas akan mempertahankan negeri ini dengan darah dan
nyawa.
Tapi itu belum sekarang. Sekarang hanya
dibutuhkan beberapa belas orang lelaki yang dewasa saja. Kaum perempuan kami
harapkan bersama anak-anak dan adik-adiknya di persembunyian.
Bapak yang tua-tua kami harapkan tak
tersinggung. Berikanlah kesempatan pada kami yang muda-muda untuk melindungi
bapak”
Cara Bilal ini amat kena. Tak seorangpun
yang membantah. Bilal segera saja menghimbau pada lelaki dewasa yang jumlahnya
sekitar seratus orang. Memberi beberapa petunjuk. Kemudian dia sadar, bahwa ada
sesuatu yang terlupa. Untuk itu dia lalu bicara lagi pada penduduk yang kini
perhatiannya beralih pada bangkai harimau itu.
“Oh ya, Kami baru saja kembali dari rimba
sana. Dan kami dicegat harimau besar ini. Kami telah menyaksikan suatu
perkelahian yang dahsyat antara harimau itu dengan saudara Bungsu”
Bilal tahu menceritakan secara lengkap
bagaimana perkelahian terjadi. Semua penduduk pada mendecah-decah. Kemudian
beberapa orang lelaki pada mengguliti harimau tersebut. Perutnya dengan
hati-hati dibelah dengan pisau tajam.
Pekerjaan itu memakan waktu cukup lama.
Hari telah senja. Mereka berhenti untuk sembahyang magrib. Selesai sembahyang
mereka melanjutkan pekerjaannya. Beberapa lelaki telah berangkat ke pos
pengintaian seperti yang dikatakan si Bilal. Tapi dalam mesjid itu seperti
pasar malam. Mereka datang ke sana dengan memakai suluh.
Dua buah lampu petromaks milik mesjid
dibawa keluar. Cahayanya menerangi halaman mesjid tersebut.
Tiba-tiba terdengar seruan. Orang
berbondong-bondong mendekati harimau tengah dibelah itu.
Para perempuan berteriak kaget. Demikian
pula lelaki. Dari dalam perut harimau itu, mereka mengeluarkan beberapa buah
gelang dan cincin emas. Ada cincin berbatu akik besar.
“Gelang Sumi! Ya, ini gelang Sumi!!”
terdengar teriakan-teriakan. Orang makinbanyak berkerumun.
“Nudin!Nudin! ini gelang istrimu!!” suara
teriakan yang kacau balau timpa betimpa. Seorang lelaki dengankumis jarang
menyeruak.
Dan dia tertegun tegak takkala melihat
gelang emas yang baru diambil dari perut harimau besar itu. Kemudian terdengar
dia memekik. Ditangannya terpegang pisau. Dan sebelum orang sempat mencegahnya
pisau itu sudah merajah bangkai harimau tersebut. Dan ketika orang-orang sadar
bahwa kulit harimau itu harus diselamatkan, maka kesadaran itu sudah terlambat.
Nudin sudah merajah harimau itu dengan
caci maki sambil menikamkan pisaunya berulang kali. Dan akhirnya dia tertegak
terperangah. Orang-orang yang melihatnya juga pada terperangah.
Bangkai harimau itu seperti dicencang.
“Kenapa dia? Si Bungsu berbisik perlahan
pada Bilal yang tegak disisinya.
“Lima bulan yang lalu, dia
kehilanganistri. Waktu itu dia pergi menjual ikan ke Pekanbaru. Sepeninggalnya
istrinya pergi menakik getah. Ketika dia kembali sore hari, istrinya tak
dirumah. Mereka baru saja tiga bulan menikah.
Ketika magrib datang, istrinya belum juga
muncul, dia mulai mencari ke tetangga. Tapi para tetangga mengatakan bahwa tak
melihat istrinya sejak pagi. Dia jadi curiga. Bukankah pagi tadi istrinya
berkata akan pergi menakik getah?
Bersama penduduk dia menyusul istrinya ke
kebun getah mereka di hilir kampung sana. Dengan membawa suluh daun kelapa,
mereka meneliti kebun tersebut.
Dan dekat sepohon karet yang dikelilingi
semak rimbun, mereka menemukan jejak-jejak. Ada terompa, ada kantong tempat
getah segrap. Ada darah dan tanah yang meninggalkan jejak harimau.
Mereka mengikuti jejak tersebut. Sebab
bekas tubuh perempuan itu diseret nampak jelas di tanah. Tiga puluh depa dari
tempat semula, mereka menemukan pisau penakik getah perempuan itu.
Nampaknya ketika ditangkap harimau, dia
belum mati. Bahkan nampaknya berusaha melawan ketika tengkuknya dicengkram
taring harimau itu dan menyeretnya pergi. Namun ditempat pisau pemotong karet
itu jatuh, disanalah mungkin ajalnya tiba.
Dan malam itu mereka tidak menemukan
apa-apa. Besok dan besoknya lagi mereka mencari terus. Sepekan lamanya
pencarian itu berlangsung. Namun mayat istrinya tak pernah dijumpai. Dan
ternyata hari ini dia temui gelangnya dalam perut harimau itu…”
Si Bungsu sudah terbiasa hidup dalam
kekerasan. Sudah tak lagi mempan akan kesedihan-kesedihan. Sebab hidupnya
sendiri adalah rangkaian dari pada kesedihan yang sambung menyambung.
Namun mendengar kisah tragis yang menimpa
diri lelaki dari Buluh Cina ini, hatinya jadi terharu. Dan ketika dia melihat
betapa lelaki itu duduk terhenyak di tanah, memandang dengan wajah pucat dan
air mata berlinang. Si Bungsu jadi tak tahan.
Dia beranjak dari sana. Berjalan masuk ke
mesjid. Di dalam rumah Allah itu dia sembahyang sunat. Kemudian duduk membaca
zikir.
Itu adalah hari terakhir si Bungsu di
Buluh Cina. Sebab malamnya datang kurir Kapten nurdin dari Pekanbaru
memberitahukan bahwa besok ada kapal menuju Singapura. Dan di Singapura kelak
ada orang Indonesia yang mengurus keberangkatan si Bungsu ke Jepang.
Malam itu juga si Bungsu kembali ke
Pekanbaru. Meninggalkan Buluh Cina. Dia diantar oleh Bilal dan Badu sampai ke
Marpuyan. Disana sudah ditunggu oleh anak buah Kapten Nurdin.
Esoknya sesuai dengan pesan Kapten Nurdin
dia berangkat ke Singapura. Kapal yang ditompanginya adalah sebuah kapal kecil
yang selalu hilir mudik di sungai Siak membawa para pedagang dan penyelundup.
Di Singapura beberapa pejuang bawah tanah
Indonesia yang berada disana sebagai pencahari senjata telah menunggu dan
memberangkatkan si Bungsu ke Jepang. Dia ditompangkan di sebuah kapal Jepang
yang dicarter Inggeris. Kapal itu bernama Ichi Maru.
Dalam perjalanan menuju Jepang, debar
jantungnya terasa mengencang. Dia kini tengah menuju sebuah negeri darimana
pernah dikirim pasukan fasis yang amat kejam menjajah negerinya. Dia menuju
sebuah negeri, darimana pernah dikirim tentara yang telah merobek-robek negeri
dan kaum perempuan Indonesia. Membunuh banyak sekali kaum lelaki, kanak-kanak
dan orang dewasa, lewat pembantaian dan…kerja paksa sebagai Romusha!
Dia kini menuju sebuah negeri dimana
berdiam musuh besarnya. Orang yang pernah membunuh ayah, ibu dan kakanya. Dia
kini menuju negeri Saburo Matsuyama!!
Ke Jepang dia datang, disana maut
menghadang!
Bersambung ke…..Tikam Samurai (48)
Komentar
Posting Komentar