Tokyo, Kyoto dan Nagasaki atau kota
manapun di Jepang saat ini, keadaannya sama saja. Dimana-mana tentara Amerika
kelihatan mondar-mandir. Dimana-mana orang kelihatan dicekam rasa takut dan
penuh ketergesaan.
Dan dimana-mana kelaparan dan kekacauan
ekonomi merajalela. Itulah Jepang ditahun 50-an. Jepang yang ditaklukan sekutu
dengan 2 bom atom di Nagasaki dan Hirosima.
Dan kini bulan November. Musim gugur
sudah mendekati masa akhirnya. Desember salju akan turun. Dalam musim gugur
begini, semua orang kelihatan bergegas kemana-mana.
Daun-daun pada berguguran meski angin tak
bertiup. Pohon-pohon kini pada gundul. Dahan dan ranting kelihatan seperti akar
tercabut yang diletakkan terbalik menggapai langit.
Angin kencang yang bertiup seperti
mengiris daging terasa dalam cuaca begini. Orang lebih baik tetap tinggal di
rumah. Berlindung di bawah selimut. Jalan-jalan kelihatan sepi. Tokyo yang
besar dan berpenduduk ramai itu juga sepi dalam cuaca musim gugur begini.
Di bahagian utara, masih dalam lingkungan
kota Tokyo, ada sebuah taman yang terbengkalai. Namanya Asakusa. Rencananya
taman itu akan dibuat besar dan indah. Tapi kekalahan dalam perang membuat
rencana taman itu tak jadi dikerjakan.
Di sudut taman yang belum rampung itu
berdiri sebuah bangunan tua tapi bersih. Bangunan itu semula adalah rumah
penginapan bagi pekerja-pekerja yang akan membangun taman tersebut.
Karena tamannya tak jadi, maka rumah itu
kini dijadikan penginapan. Namanya diambil dari nama daerah dan taman dimana
dia berada. Yaitu penginapan Asakusa.
Diluar, penginapan itu kelihatan sepi.
Tamu-tamu tak seorangpun yang kelihatan
di ruang depan. Pemilik penginapan sudah mulai bersiap-siap untuk mematikan
lampu dan siap untuk tidur, ketika didepan penginapan itu terdengar suara mobil
berhenti.
Kemudian disusul suara tawa dan pekik
menghimbau. Setelah itu suara derap sepatu dan suara cekikikan perempuan.
Pemilik penginapan itu segera bersinar wajahnya. Suara seperti itu pastilah
pertanda uang masuk. Dia segera mendorong TO. Yaitu pintu yang bisa didorong
kekiri dan ke kanan yang terbuat dari kertas berbingkai kayu.
Dan tiga orang serdadu Amerika dengan
seragamnya yang mentereng segera saja masuk keruang tamu. Bersama mereka
terlihat tiga orang perempuan Jepang.
“Konbanwa…!” yang berpangkat Letnan
memberi ucapan “Selamat malam” dalam bahasa Jepang beraksen kasar.
“Konbawa…!” jawab pemilik penginapan
sambil berkali-kali membungkuk memberi hormat.
“Kami butuh tiga kamar….” Tentara Amerika
itu berkata. Dan kembali pemilik penginapan Asakusa itu mengangguk-angguk.
Dia mengantar dua tentara ke dua buah
kamar yang kebetulan kosong. Dan si Letnan dia antarkan ke kamar yang dekat
taman.
Pemilik kediaman itu mengetuk pintu.
“Gomenkudasai….” Katanya keras menyuruh
membuka pintu. Ketika pintu tak juga kunjung dibuka dari dalam, dia langsung
mendorong pintu TO tersebut hingga terbuka.
Di dalamnya, seorang lelaki muda
menggeliat dibawah selimut.
“Maaf, keluar dahulu sebentar. Kamar ini
akan dipakai…”
Lelaki muda itu tak memprotes. Sebab
sejak tiga bulan tinggal di penginapan ini, kejadian seperti ini sudah sering
terjadi.
Kamarnya dipakai sementara untuk berbuat
mesum oleh tentara amerika. Kemudian jika selesai, dia masuk lagi. Yaitu
setelah tentara Amerika itu keluar.
Menjijikkan memang. Tapi begitulah cara
hidup yang aman di Jepang saat itu. Persetan segala kejadian. Berani melawan?
Hmm, bisa ditangkap dengan tuduhan melawan tentara Amerika.
Buat saat ini, melawan tentara Amerika
berkelahi misalnya, jauh lebih berbahaya daripada membunuh dua atau tiga orang
Jepang.
Kalau membunuh dua atau tiga orang Jepang
masih ada jalur hukum yang ditempuh. Kepengadilan, pengusutan dll. Tapi melawan
tentara Amerika bisa ditembak ditempat. Tak peduli salah atau benar.
Sadar akan hal inilah makanya anak muda
itu lalu bangkit. Kemudian memakai pakaian seadanya. Lalu melangkah keluar
kamar. Di pintu langkahnya tiba-tiba berhenti. Menatap pada gadis yang tegak
dengan mata sembab bekas menangis disamping tentara Amerika.
Gadis itu amat cantik. Berambut hitam
berhidung mancung dan bermata gemerlap.
Tapi bukan kecantikannya itu yang membuat langkahnya terhenti.
Gadis itu pernah dia lihat dua hari yang
lalu. Tapi ingatannya hanya sampai disana. Gadis itu telah ditarik oleh Letnan
ke dalam. Dan pintu TO itu ditutupkan oleh pemilik penginapan.
Di dalam kamar, lelaki muda itu mendengar
gadis tadi. Suara bergumul seperti orang berlarian didalam kamar tersebut.
Dia mengumpulkan ingatannya lagi.
Bukankah gadis itu yang dia temui dua
hari yang lalu di jalan Ginza? Saat itu dia akan pergi ke Shibuya mencari
temannya sekapal dulu.
Dia bingung harus naik apa. Ada kereta
api, tapi dia tak tahu pasti apakah kereta itu akan ke Shibuya. Tengah dia
kebingungan begitu, dia melihat seorang gadis lewat mengapit buku. Bergegas dia
mendekati gadis itu dan membungkuk hormat.
“Sumimasen, kono densha wa Shibuya e
ikimasu ka” (Numpang tanya, apakah kereta listrik ini pergi ke Shibuya).
Tanyanya dalam bahasa Jepang yang terasa kaku.
Gadis itu menoleh. Dan selintas saja dia
melihat betapa cantiknya gadis Jepang tersebut. Berumur paling banyak baru
delapan belas. Berambut hitam panjang. Berhidung mancung dan bermata gemerlap
dengan tubuh yang indah.
Tapi gadis itu segara saja melotot lalu
meneruskan perjalanannya tanpa menjawab sepatahpun. Dia jadi malu.
Dan kini, bukankah gadis itu yang ada
dalam kamar bersama tentara Amerika itu?
Hmm, gadis cantik yang sombong. Ternyata
jadi gula-gula tentara Amerika. Dia menarik nafas panjang. Duduk bersandar di
kursi di lorong di depan kamarnya itu sambil berkelumun kain sarung.
Dari kamar-kamar yang lain dia dengar
suara tawa cekikikan perempuan. Tapi dari kamarnya yang dia tinggalkan tadi,
dia mendengar suara orang berggumul. Suara rintihan perempuan. Suara caci maki
tentara Amerika itu. Suara kain robek.
“Oh jangan. Jangan….jangan!” suara gadis
itu terdengar menghiba-hiba.
Dan tiba-tiba pula, lelaki yang duduk
berkelumun kain sarung diluar itu, yang tak lain dari si Gungsu jadi tertegak!
Gadis itu jelas tak menyukai perlakukan
tentara Amerika tersebut. Dia mendengar betapa sejak tadi sebenarnya gadis itu
lebih banyak meronta, menghindar dari perbuataan buas serdadu itu.
Ketika dia dengar gadis itu kembali
bermohon menghiba-hiba, si Bungsu segera teringat pada kakaknya yang diperkosa
Saburo Matsuyama. Dan tanpa dapat dia tahan, tiba-tiba pintu TO itu dia renggutkan
dengan kasar.
Letnan Amerika itu terhenti. Si Bungsu
melihat gadis itu terduduk lemah dengan pakaian yang compang camping di sudut
ruangan. Sementara Letnan itu dengan tubuh yang hampir telanjang berusaha
menyeretnya kembali ke atas kasur.
Tentara Amerika itu mendelik padanya.
“Get Out!!” Letnan itu berteriak berang.
Namun si Bungsu dengan mata yang menatap dingin, tetap tegak mengangkang
di pintu. Menatap dengan wajah penuh benci pada tentara Amerika tersebut.
“Keluar, syetan!!” tentara Amerika itu
kembali menghardik.
“Lebih baik anda yang keluar. Gadis ini
tidak mau diperlakukan demikian. Cari saja perempuan yang lain….” Suara si
Bungsu terdengar datar.
Dengan suatu geraman seperti macan
kelaparan, letnan bertubuh besar itu menerkam si Bungsu. Rasa berkuasa sebagai
tentara yang menang perang membuat tentara ini menganggap semua orang bisa dia
makan.
Namun terkamannya terhenti separoh jalan.
Si Bungsu menanti terkaman itu dengan suatu tendangan telak. Kakinya mendarat
di kerampang letnan yang hanya bercelana kotok kecil itu.
Terdengar dia mengeluh. Matanya mendelik.
Kemudian dengan sempoyongan sambil memaki panjang pendek, dia berjalan
keunggukan pakaiannya. Dan tiba-tiba dia membalik dengan pistol ditangan.
Namun nasib tentara ini bernasib malang.
Anak muda yang dia hadapi itu ternyata seorang yang sangat peka terhadap
perkosaan. Di hatinya telah tergores luka dan dendam yang luar biasa akibat
perkosaan yang dilakukan pada kakaknya bertahun-tahun yang lalu di Situjuh
Ladang Laweh.
Dan saat ini, naluri dendamnya itulah
yang bicara. Begitu dia melihat letnan itu
mengacungkan pistol ke arahnya, tanpa membuang waktu tubuhnya berguling
di lantai. Lompat tupai!
Gerakan yang tersohor ini dia pergunakan
sesaat sebelum pistol itu menyalak.
Letusan itu mengejutkan semua isi
penginapan. Dan letusan itu menerkam pintu TO pada bingkainya. Pintu tercampak.
Letnan itu berputar mengarahkan pistolnya
pada lelaki yang kini berada di kananya. Namun yang dia hadapi adalah seorang
anak muda yang telah lolos dari ribuan maut yang pernah mengancam. Anak muda
yang dia hadapi sebenarnya adalah sisa-sisa kebuasan perang dan kebuasan rimba
raya yang jauh lebih dahsyat.
Kini anak
muda itu tegak disisinya dengan sebuah tongkat ditangan kiri!. Dan
begitu dia berniat menarik pelatuk pistolnya, saat itu pula tangan anak muda
itu bergerak. Segaris cahaya putih yang sulit untuk diikuti kecepatannya,
berkelabat.
Dan saat berikutnya adalah rasa perih
yang sangat pada tangan si Letnan. Dan letnan itu terpekik takkala mengetahui
bahwa tangannya yang berpistol itu telah putus sampai ke bahu!
Dia meraung. Tapi hanya sebentar sekali.
Sebab begitu raungannya keluar, begitu tubuhnya belah jadi dua! Darah
menyembur-nyembur. Dan sesaat, anak muda itu tegak dengan wajah dingin, tak
berekspresi sedikitpun!
Di luar terdengar derap sepatu berlarian.
Seseorang muncul di pintu dengan bedil ditangan. Dia adalah sersan yang tadi
datang bersama letnan yang mati itu.
Matanya terlbeliak melihat darah dan
tubuh yang pontong dilantai. Lalu tangannya yang berbedil stengun tersebut.
Tapi hanya sampai disana gerakannya.
Sebab setelah itu gerakan anak muda dari Gunung Sago itu terlalu cepat untuk
bisa diamati.
Tubuh sersan itu melosoh ke lantai dengan
dada dan perut belah. Mati dia!
Dan setelah itu yang terdengar adalah
hiruk pikuk. Si Bungsu sadar bahwa maut mengancamnya. Dia menyambar bungkusan
kecil miliknya di sudut ruangan.
Kemudian melompat ke belakang. Dan lenyap
pada gelapnya malam.
Di penginapan suasana jadi sangat heboh.
Sebab peluit dan sirena mobil tentara terdengar meraung-raung.
Penginapan itu dikepung dalam waktu
singkat. Tak seorangpun boleh keluar. Bahkan semutpun akan diketahui bila
keluar dari penginapan itu. Demikian rapat dan telitinya tentara Amerika
mengepung penginapan itu dalam rangka mencari pembunuh kedua serdadunya.
Namun saat itu, si Bungsu telah berada
jauh sekali dari sana. Dia hapal jalan-jalan memintas dari penginapan ke
berbagai arah. Sebab dia sudah tiga bulan menginap di sana. Dia tak berani naik
taksi. Sebab ornag akan mengetahui kemana dia pergi.
Dia segera ingat, di daerah Ocha Nomizu
dan Yotsuya ada terowongan bawah tanah. Terowongan ini pada awalnya adalah
untuk riol air. Tapi dibuat sedemikian besarnya sehingga sebuah truk bisa
masuk. Dan terowongan itu bersimpang siur di bawah tanah. Terbuat dari beton.
Sementara di atasnya ada jalan raya, jalan kereta api atau bangunan.
Dan di zaman perang Asia Pasifik, dimana
Jepang menerjunkan diri, malah bergabung dengan fasis Hitler di Eropah,
terowongan bawah tanah itu ditingkatkan menjadi lobang perlindungan.
Yaitu menjaga kemungkinan sewaktu-waktu
Tokyo diserbu tentara Sekutu. Terowongan itu bisa memuat ratusan ribu penduduk.
Tapi ternyata terowongan itu tak pernah dimanfaatkan. Artinya tak pernah
dimanfaatkan untuk perlindungan peperangan.
Sebab tentara Sekutu tak pernah menyerbu
Tokyo. Mereka hanya menjatuhkan 2 buah Bom Atom, di Hirosima dan Nagasaki. Dan
itu sudah cukup melumpuhkan seluruh Jepang. Sebab kedua kota ini adalah kota
utama menghimpun kekuatan militer Jepang.
Di kedua kota inilah terutama Hirosima
seluruh persenjataan balatentara Jepang dibuat. Kota ini adalah kota industri
senjata. Dan begitu Bom meluluhkannya, maka lumpuhlah kekuatan Balatentara
Jepang.
Kini tentara Amerika memang datang ke
Tokyo. Tapi penduduk Tokyo tak perlu lagi bersembunyi ke dalam terowongan.
Sebab tentara Amerika datang sebagai penguasa baru. Dan rakyat Jepang juga tak
seorangpun yang mengangkat bedil melawan Amerika. Mereka menanti sebagai orang
dikalahkan.
Si bungsu berniat ke terowongan itu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (49)
Komentar
Posting Komentar