Tiga bulan di tokyo sejak kedatangannya
dari Singapura, dia telah mengenal cukup banyak tentang kota ini.
Dia tahu, di dalam terowongan itu kini
berkumpul anak-anak dan orang-orang gembel. Berkumpul para perempuan lacur. Ya
disanalah tempat yang aman bagi gembel dan pelacur murahan. Jumlah mereka
ratusan orang.
Dimusim- musim tertentu jumlahnya bisa
mencapai ribuan.
Tentara Amerika atau lelaki Jepang yang
berhasrat tak usah payah-payah mecari hotel. Cukup masuk ke terowongan itu dan
berbuat disana. Gembel-gembel serta anak-anak terlantar yang ayahnya mati dalam
peperangan juga aman disini.
Apalagi di musim gugur seperti sekarang.
Terowongan ini pasti penuh sesak. Orang mencari perlindungan dari udara dingin
yang menyakitkan ke dalam terowongan tersebut.
Di dalam terowongan itu, udara panas. Dia
sudah masuk ke terowongan itu tiga kali. Dia ikut teman sekapalnya bernama
Kenji. Temannya ini ketika sampai di Tokyo mendapatkan kedua orang tuanya tak
ada lagi. Menurut tetangga ayahnya meninggal karena TBC, ibunya meninggal
ditabrak Jeep tentara Amerika.
Dan adik-adiknya yang berjumlah dua orang
lenyap tak tentu rimbanya. Orang menyuruh Kenji untuk mencari adik-adiknya ke
terowongan bawah tanah itu. Dan kesanalah mereka pergi. Namun adik-adik Kenji
tak pernah bersua.
Mereka menjalani semua terowongan itu
dari pagi hingga sore. Mendatangi kampung-kampung miskin dtepi kota Tokyo.
Namun adik-adik Kenji tetap tak pernah bersua.
Dari Kenjilah si Bungsu banyak mengenal
kota ini. Dan dari Kenji pulalah, sahabat sekapanya itu dia belajar bahasa
Jepang.
Si Bungsu dengan langkah pasti menuju ke
terowongan itu. Kemana dia menuju, keterowongan di daerah Ocha Nomizu atau
terowongan di daerah Yotsuya kah?
Ocha Nomizu terlalu dekat ke daerah Asakusa.
Kalau ada razia tentu Ocha Nomizu akan digeledah pertama kali. Lebih baik ke
terowongan di daerah Yotsuya saja, pikirnya.
Dia melangkah dafal udara dingin sambil
menjinjing bungkusan kecilnya. Bungkusan itulah penyambung nyawanya. Di sana
ada perhiasan dan uang bekal yang dia bawa dari Bukittinggi. Yaitu perhiasan
yang mereka peroleh bersama Mei-mei dari ruang bawah tanah rumah pelacuran
tempat Mei-mei disekap di Payakumbuh.
Dia menyelusuri rel kereta api menuju ke
daerah Yotsuya. Angin dingin bulan November terasa menampar dan mengiris
kulitnya. Dingin dan pedih. Di Ocha Nomizu dia ditegur seorang perempuan. Tegur
sapa itu diiringi tawa cekikikan halus. Dia segera mengetahui bahwa
perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan malam yang mungkin mencari
uang untuk menghidupi keluarganya dalam saat sulit seperti ini.
Dia berjalan terus. Tak lama kemudian dia
sampai di daerah Yotsuya. Dia berjalan menuruni sebuah tebing kecil. Dan di
bawahnya ada pintu terowowngan. Sambil berlari kecil, dia masuki terowongan
itu.
Membelok ke kiri. Terus ke kanan, dan dia
mendapati tubuh manusia bergelimpangan disepanjang pinggir terowongan. Tidur
dengan menyelimuti segenap pakaian yang ada. Terowongan itu terang. Sebab
pemerintah kota memberinya lampu listrik. Kini meski terowongan itu tak berguna
lagi, namun pemerintah kota tetap memberikan penerangan lampu. Sebab pihak
pemerintah kota nampaknya memaklumi, bahwa banyak warga kotanya yang melarat
melindungkan diri dalam terowongan itu.
Dalam keadaan parah begini, dengan tetap
menghidupkan lampu dalam terowongan, sekurang-kurangnya pemerintah kota telah
membantu meringankan beban warganya.
Si Bungsu berjalan mencari tempat yang
baik untuk merebahkan diri. Dia berjalan terus. Membelok kekiri, kenanan. Dia
melihat perempuan-perempuan tidur berpagutan dengan lelaki. Dia melihat
kanak-kanak juga berpagutan dengan ibunya. Melihat anak-anak miskin tidur
dengan kain compang-camping. Dan diantara mereka tidur pula dua tiga anjing
kurus.
Isi terowongan ini menggambarkan isi kota
Tokyo yang sebenarnya. Jauh berbeda dari keadaan di atas mereka. Dimana dalam
gedung-gedung bertingkat, hidup orang-orang kaya, para kolobolator dan
penghianat-penghianat denagn tenteram dan mewah.
Isi terowongan ini, adalah lembaran hitam
Kota Tokyo. Tapi inilah penduduk yang sebenarnya.
Dia berhenti disuatu tempat. Ada tempat
ketinggian. Dan tempat itu kosong.
Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Merasa
aman lalu dia naik ke atas. Meletakkan bungkusan kecilnya disudut dan dia
membaringkan diri. Namun belum begitu lama dia berbaring, dia merasakan
seseorang naik ke tempatnya.
Dia jadi waspada. Siapa ini? Pencuri?
Pencuri bukan merupakan hal yang mustahil. Kanak-kanak, orang dewasa, lelaki
atau perempuan, bisa saja jadi pencuri. Dan mereka tak pula dapat disalahkan.
Keadaan memaksa mereka jadi begitu.
Siapa pencuri yang menginginkan pekerjaan
jadi pencuri? Tak seorangpun. Mana pula ada orang yang ingin diburu rasa takut
berkepanjangan. Mana ada orang yang mau menyambung nyawa hanya untuk sesuap
nasi.
Tapi keadaan memaksa demikian. Daripadabertarung
dengan rasa lapar, lebih baik bertarung dengan manusia. Orang yang naik itu
membaringkan tubuhnya pula. Kemudian terdengar isakannya perlahan. Menangis.
Dan dari isaknya si Bungsu tahu bahwa orang itu adalah seorang perempuan.
Namun tak lama isaknya lenyap. Dan suara
nafasnya terdengar perlahan. Tertidur. Perempuan itu tertidur. Kelelahan
membuat dia tertidur. Dan tidur adalah kenikmatan yang paling indah dalam
segala penderitaan.
Dalam tidur buat sejenak orang dapat
melupakan penderitaan dan sengsaranya. Dalam tidur buat sejenak orang melupakan
rasa laparnya.
Bukankah lupa meski agak sejenak
terhadanh penderitaan, kemalaratan dan kesengsaraan sudah merupakan suatu
“kemewahan”? dan si Bungsu juga tertidur. Mereka tertidur saling membelakang.
-000-
Suara pertengkaran membangunkannya dari
tidur. Perlahan dia bangkit. Dan tak jauh dari tempatnya berbaring dia lihat
empat lelaki Jepang tengah membentak-bentak.
Memeriksa tas kain seorang lelaki.
Kemudian mengambil jam tangan dari dalam tas itu. Demikian terus, keempat
lelaki Jepang itu memeriksa orang-orang yang duduk atau berbaring dalam
terowongan itu.
“Jakuza…” katanya perlahan.
Jakuza adalah nama suatu sindikat
penjahat Jepang. Yang beroperasi mulai dari tingat paling bawah. Seperti halnya
mengkoordinir tukang copet, meminta belasting seperti yang dilakukan sekarang,
sampai pada mengkoordinir kejahatan tingkat atas.
Mengatur pelacuran. Mengatur perampokan,
pembunuhan. Penderitaan rakyat Jepang saat itu selain oleh perang, ditambah
lagi oleh kelompok yang menangguk di air keruh ini.
Alat negara sendiri kewalahan menghadapi
kelompok Jakuza ini. Sebab mereka mempunyai kaki tangan yang amat banyak. Dan
mempunyai kekuatan besar. Mereka umumnya beroperasi dengan senjata samurai. Dan
dikalangan pejabat sendiri, mereka mempunyai beking.
Si Bungsu mengetahui hal itu dari
temannya Kenji. Dan itulah kenapa sebabnya ketika para Jakuza itu sampai pada
dirinya, dia menyerahkan uang dikantongnya. Ada beberapa ratus Yen. Itu
diserahkannya semua.
Keempat anggota Jakuza itu menatap
padanya agak lama.
“Anata wa Tai-jin desu” (Anda orang
Muangthai) salah seorang bertanya.
“Watashi wa Indonesia-jin desu…” Saya
orang Indonesia) jawabnya perlahan.
“Ooo… Anata wa Indonesia-jin desu….”(ooo,
orang Indonesia he?)
“Hai..” (ya) jawabnya perlahan.
Dan keempat Jepang itu tak peduli. Di
negeri mereka ini kini cukup banyak suku bangsa berdatangan. Ada orang
Muangthai, Malaya, Philipina, Indonesia dan orang-orang Korea. Bagi mereka tak
ada soal. Selama orang itu tak mendatangkan kesulitan bagi organisasi mereka,
silahkan tinggal di Jepang.
Tapi sekali orang itu salah jalan,
artinya berbuat tak baik menurut ukuran kelompok Jakuza, maka mereka tidak
hanya sekedar diburu, tapi juga dibunuh.
“Anohito wa dare desu ka” (siapa ini)
tanya anggota Jakuza itu sambil menunjuk tubuh yang berbaring disisi si Bungsu.
Dan untuk pertama kalinya si Bungsu
menyadari bahwa tubuh ini datang ketika dia telah berbaring. Dan sejak saat
itu, dia tak mengetahui dan tak peduli padanya. Mereka tidur saling
membelakang.
Kinipun tubuh itu tidur membelakang
padanya dengan kepala tertutup kain.
“Saya tidak tahu…”
Kembali keempat lelaki itu menatapnya.
“Anata wa Nippon-go o hanasukoto ga
dekimasu ka” (apakah anda bisa bicara dalam bahasa Jepang?) tanya lelaki yang
nampaknya menjadi pemimpin diantara yang berempat itu.
“Hai,
bisa sedikit” jawabnya.
“Nah bangunkan dia, dia harus bayar
pajak” lelaki itu berkata sambil menunjuk pada tubuh yang tidur itu.
“Maaf, saya tak mengenalnya. Dia datang
ketika saya sedang tidur..”
“Bangunkan dia!” suara Jepang itu
memerintah. Si Bungsu tak mau cari perkara. Dia sudah berniat menbangunkan
orang itu ketika tubuh tersebut bergerak dan bangkit duduk.
Dan mereka semua, termasuk si Bungsu jadi
tertegun. Orang itu ternyata seorang gadis. Dia pastilah gadis yang cantik
sekali. Sebab meski dalam keadaan pakaian yang tak menentu dan rambut kusut
masai, keadaannya masi tetap memikat.
“Hannako…” Jepang yang bertindak jadi
pimpinan itu berkata keheranan.
Gadis itu menatap dengan dingin.
“Apakah kalian masih belum puas?”
tiba-tiba gadis itu berkata.
“Hannako, kenapa kau pergi dari rumah
Kawabata?”
Gadis itu memandang muak pada keempat
lelaki tersebut.
“Ayo kau ikut kami. Kalau kau tak senang
di rumah Kawabata, kau boleh tinggal dirumahku…” lelaki yang bertindak sebagai
pimpinan diantara yang berempat itu berkata lagi.
Gadis itu terkejut.
Namun dia tak diberi kesempatan.
Tangannya ditarik dengan kuat. Dan saat berikutnya dia sudah dipangku oleh yang
beryubuh besar itu keluar terowongan.
“Hmm, kau main gila dengan Hannako he…?”
Jepang yang bertubuh pendek berkata. Dan sebelum si Bungsu menyadari apa yang
dimaksud si pendek itu, mukanya kena tampar tiga kali.
Dan ketiga Jepang itu menyusul
pimpinannya yang memangku Hannako. Si Bungsu mendengar gadis itu berteriak dan
menangis sambil memukuli punggung Jepang besar itu.
Namun perlawanan gadis itu tak ada
artinya dibanding dengan Jepang yang memangkunya. Dalam waktu dekat, mereka
telah sampai diluar terowongan. Mereka tidka mengambil jalan ke rel kereta api.
Tapi mengambil jalan ke belakang.
Penghuni terowongan yang ratusan orang jumlahnya
itu hanya menatap dengan diam. Mereka tak mau ikut campur. Sebab masalah mereka
saja tak bisa mereka atasi. Apalagi harus berhadapan dengan komplotan Jakuza.
Oi mak, minta ampunlah!
Keempat lelaki Jepang itu mulai
melangkahi padang semak menuju jalan raya. Namun mereka segera terhenti ketika
terdengar seseorang memanggil dari arah belakang.
Mereka menoleh. Dan jadi terheran-heran
ketika melihat bahwa yang memanggil itu adalah si “Indonesia” tadi.
“Lepaskan gadis itu….” Suara si
“Indonesia” yang tak lain daripada si Bungsu itu terdengar dingin.
Keempat lelaki itu saling pandang.
Kemudian tertawa meringis. Yang memangku tubuh Hannako itu memberi isyarat. Sementara
dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan. Ketiga anggota Jakuza itu lalu
mengelilingi si Bungsu.
“Hmm, kamu mau Hannako ya? Orang jajahan
mau makan orang Jepang ha!?” yang pendek yang tadi menampar si Bungsu berkata.
Dan ketiga mereka lalu menyiapkan suatu hajaran buat si “Indonesia” ini.
Sementara itu yang tinggi besar tadi
sudah berjalan agak sepuluh langkah dari tempat dimana si Bungsu tadi menahan
mereka.
Dia sudah akan melangkahi parit kecil
ketika kembali terdengar suara menahannya dari belakang. Dia berhenti dan
menoleh. Dan kali ini dia jadi kaget. Yang menahannya ternyata si “Indonesia”
itu lagi.
Dia tak melihat seorangpun diantara
ketiga temannya tadi. Kemana mereka? Dia coba melihat kebelakang. Dan jauh
disana, dengan terkejut dia lihat ada tiga sosok tubuh terhantar di tanah tak
bergerak!
Terdengar serapah dari mulutnya.
Dia lalu menjatuhkan tubuh Hannako. Gadis
itu jatuh tertelungkup.
“Jahanam, berani waang melawan orang
Jepang!” lelaki besar itu berkata sambil maju. Dan sebuah tendangan khas Karate
dilayangkannya ketubuh si Bungsu.
Namun anak muda ini telah awas. Sarung
samurainya bergerak sambil menghindar dari tendangan itu. Tendangan si besar
menerpa tempat kosong. Dan tiba-tiba kepalanya kena hantam sarung samurai.
Suaranya berdetak dalam cuaca dingin dipagi hari itu.
Bukan main marahnya Jepang itu. Dia
berputar dan kembali menyerang dengan pukulan-pukulan Karate. Sebenarnya dia
bukan lawan si Bungsu dalam hal begini. Anak muda ini tak sedikitpun mengetahui
ilmu beladiri itu. Tapi dia memang tak berusaha melawan serangan maut itu.
Dia hanya menghindar sebelum serangan itu
tiba. Dan berkali-kali sarung samurainya dihantamkan ke kepala Jepang itu.
Suatu saat Jepang itu kelihatan kehabisan
rasa sabarnya. Tahu-tahu ditangannya kini terpegang samurai pendek.
“Kubunuh kau!” desisnya sambil menyerang
dengan kecepatan kilat dengan samurainya yang tersohor itu. Jakuza adalah
kelompok bandit yang mahir dengan samurai.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (50)
Komentar
Posting Komentar