Tapi kali ini, Jepang itu ketemu lawan
yang tak pernah dia mimpikan untuk bertemu. Begitu dia mengayunkan samurainnya,
saat itu pula sebaris cahaya putih menyilang dada, perut dan lehernya.
Amat cepat, amat luar biasa. Amat tak
pernah terbayangkan. Dan Jepang itu rubuh dengan perut, dada dan leher robek
menyemburkan darah. Mati!
Dan hanya sepersepuluh detik setik
setelah itu, si Bungsu telah menyarungkan kembali samurainya. Ini adalah kali
kedua dia mempergunakan samurainya sejak datang di Tokyo tiga bulan yang lalu.
Malam tadi yang pertama ketika dia membunuh tiga tentara Amerika di penginapan
Asakusa.
Angin bertiup p[erlahan. Dia menatap
gadis itu. Dan gadis yang bernama Hannako itu juga menatapnya.
“Arigato. Arigato. Domo arigato
gozaimasu…” (Terimakasih… Terimakasih banyak) gadis itu berkata diantara air
matanya yang mengalir turun.
“Nakanaide kudasai…” (Jangan menangis…)
katanya perlahan membujuk gadis itu.
Tapi gadis itu makin menangis. Dia
memegang tangannya. Kemudian membawanya masuk kembali ke terowongan darimana
mereka tadi datang.
“Tenang, jangan menangis. Engkau telah
selamat dari mereka…”
“Terimakasih. Anda telah menyelamatkan
nyawa saya. Mereka sangat kejam. Mereka bukan manusia…..mereka…”
“Tenanglah…”
Dan gadis itu menangis dipundaknya dalam
terowongan itu. Lama gadis itu menangis. Sampai akhirnya dia tenang. Dan si
Bungsu teringat, bahwa mereka belum makan apa-apa sejak pagi.
Dia membawa gadis itu keluar terowongan.
Ke arah yang berlawanan dari yang ditempuh keempat Jakuza tadi.
“Mereka akan mencari orang yang membunuh
temannya….” Gadis itu berkata perlahan ketika mereka duduk dalam sebuah warung
kecil di pinggir jalan.
“Mereka takkan menyangka saya yang
membunuhnya. Mereka pasti menduga ada perkelahian sesama orang Jepang…” si
Bungsu berkata tenang.
Hannako menatapnya.
“Mari kita makan. Nani ni nasaimasu ka”
(mau pesan apa?) tanyanya. Gadis itu menatapnya.
“Anda fasih berbahasa Jepang…”
“Tidak, saya belajar sedikit dari seorang
teman. Nah, saya pesan Sukiaki, anda pesan apa>”
“Watashi wa Tempura desu” (Saya pesan
Tempura) jawab gadis itu dengan senyum dibbiirnya. Si Bungsu lalu memesan kedua
jenis makanan tersebut.
Sukiaki yang dia pesan adalah makanan
yang terdiri dari daging, sayur dan kacang yang direbus. Sementara Tempura yang
dipesan Hannako adalah makanan yang terdiri dari goreng udang, ayam, ikan yang
dicampur tepung terigu dan sayuran. Sukiaki terutama dimakan orang dimusim
dingin seperti sekarang.
Si Bungsu teringat pada gadis yang malam
tadi dihotelnya di Asakusa. Kemana gadis itu kini? Malam tadi dia tak sempat
menanyai dan menolong gadis itu lebih lanjut. Dia buru-buru menyelamatkan diri.
Gadis itu kini tentulah diinterogasi oleh
Polisi Militer tentara Amerika. Menanyakan siapa yang telah membunuh kedua
serdadu Amerika itu.
“Sumimasen, anata wa Indonesia-jin desu”
(Maaf, apakah anda orang Indonesia) tiba-tiba dia dikejutkan oleh pertanyaan
gadis itu.
“Hai….watashi wa Indonesia-jin desu” (Ya,
saya orang Indonesia) jawabnya.
“Sudah berapa lama di Jepang?”
“Baru tiga bulan”
“Disini tinggal sendiri?”
“Ya..”
Dan pembicaraan mereka terputus takala
makanan yang mereka pesan diletakkan di atas meja.
Mereka makan dengan lahap. Selesai makan,
si Bungsu membayar makanan tersebut. Dan mereka lalu keluar dari kedai kecil
itu.
“Anata no uchi wa doko ni arimasu ka”
(Rumah anda dimana?) tanyanya pada Hannako. Gadis itu menunduk lemah.
“Saya tak punya rumah. Tak punya orang
tua….” Jawabnya lirih.
“Jangan sedih. Mari kita pergi….” Si
Bungsu cepat memutuskan kesedihan gadis itu.
“Saya belum tahu nama anda, nama saya
Hanako” gadis itu berkata sambil bergegas mengikuti langkahnya.
“Hannako, hmm itu artinya Bunga dalam
bahasa Jepang bukan?”
“Hai. Tapi siapa nama anda?”
“Bungsu…”
“Bungsu…?”
“Hai..”
“Apakah itu nama bunga atau benda lain?”
“Tidak. Saya anak yang paling kecil dalam
keluarga saya. Dan anak yang paling kecil dikampung saya disebut Bungsu”
Mereka berjalan menyelusuri jalan raya
tanpa tujuan. Menjelang tengah hari, mereka berhenti di taman Korakuen.
Korakuen adalah sebuah taman ditengah kota. Pohon-pohon dan bunga-bunga sudah
gundul.
Mereka duduk di kursi kayu. Sedikit
cahaya matahari di musim gugur ini membuat suasana cukup hangat.
Puluhan lelaki dan perempuan kelihatan
duduk atau berjalan di taman itu. Ada yang duduk membaca. Ada yang merajut
sambil makan roti goreng.
Sambil duduk, Hannako menceritakan betapa dia melarikan
diri dari Kawabata. Yaitu salah seorang anggota Jakuza di daerah Shinjuku.
Suatu daerah dipinggir barat Tokyo.
Dia teringat ke dalam perlakuan yang tak
senonoh takkala dia berusaha mencari makanan bagi adiknya. Kawabata yang baik
itu membawanya ke rumahnya. Tapi di rumah itu yang dia terima bukan makanan.
Melainkan obat bius yang membuat dia tertidur.
Dan begitu dia sadar dari bius, dia
mendapati dirinya sudah tak suci lagi. Peristiwa itu berulang terus. Sementara
usahanya untuk mengetahui dimana adiknya berada tak pernah berhasil.
Dia tak diperkenankan untuk keluar. Dan
disanalah dia, di rumah Kawabata, di daerah Shinjuku terkurung selama dua
bulan. Dia dijadikan pemuas nafsu lelaki jahanam itu. Dan malam tadi dia
berhasil melarikan diri takkala di rumah itu diadakan pesta semalam suntuk.
Dikala isi rumah sedang mabuk kepayang, ada yang bergumul dengan
perempuan-perempuan dalam kamar, Hannako mempergunakan kesempatan itu untuk
kabur.
Tak dinyana dia bertemu lagi dengan
teman-teman Kawabata di dalam terowongan di daerah Yotsuya pagi tadi.
“Untung saya tidur dekat Bungsu-san (Kak
Bungsu) malam tadi…” kata gadis itu perlahan. Dan matanya memandang pada
“tongkat” ditangan si Bungsu. Dari tongkat itu, matanya menatap pada wajah anak
muda tersebut.
“Bungsu-san sangat mahir mempergunakan
samurai. Dimana Bungsu-san belajar? Apakah di Indonesia juga ada orang belajar
samurai seperti di Jepang ini?”
Si Bungsu hanya tersenyum. Dia sudah akan
bercerita ketika dari jauh dia lihat seseorang bersama dua kanak-kanak lelaki.
“Tunggu sebentar di sini…” katanya sambil
berdiri dari duduk. “Kenjiii….Kenji-san…! Himbaunya. Lelaki yang dia panggil
itu menoleh.
“Bungsu-san…” balasnya. Dan mereka saling
berlarian melintas padang rumput. Kemudian saling peluk.
“Bungsu-san, Bungsu-san saya telah
temukan adik lelaki saya. Ini dia…” Kenji dengan terharu memperkenalkan
kanak-kanak itu pada Bungsu. Kanak-kanak itu membungkuk memberi hormat padanya.
Si Bungsu jadi terharu.
“Syukurlah kalian telah berkumpul. Bagaimana
dengan adikmu yang besar?”
Kenji menarik nafas berat. Wajahnya amat
berduka.
“Saya tak tahu bagaimana nasibnya
Bungsu-san. Barangkali dia telah jadi korban keganasan lelaki. Negeri ini telah
berobah jadi neraka. Dahulu penduduk Jepang adalah orang-orang yang sopan
santun. Tapi selama kita disini kau lihat sendiri, semua berobah jadi serigala…
adik perempuanku itu…”
Suaranya terputus ketika dari belakang si
Bungsu dia lihat seorang gadis tegak dari bangku yang tadi juga diduduki si
Bungsu.
Gadis itu berjalan dengan terkejut ke
arah mereka.
“Hanako….Hanako…” suara Kenji mengambang.
Si Bungsu menoleh. Dan dia melihat Hannako yang dia tolong itu berjalan
mendekati mereka.
“Ani…”(Abang…) himbau gadis itu.
“Imoto…” (abang….) himbau Kenji.
Dan tiba-tiba mereka saling peluk. Mereka
berpelukan bertiga beradik. Saling peluk dalam tangis yang penuh haru.
Tanpa dapat ditahan, si Bungsu merasa
matanya basah. Merasa pipinya basah. Merasa hatinya basa.
“Bungsu-san….inilah adik saya yang tua,
Hanako…” Kenji berkata diantara air matanya yang mengalir turun.
“Bungsu-san…inilah abang saya, dan ini
adik-adik yang saya ceritakan tadi….” Hannako juga berkata. Dan baik Kenji
maupun Hannako saling heran. Kenji merasa heran, sebab kenapa adiknya ini bisa
kenal dengan Bungsu. Sebaliknya Hannako juga heran, kenapa abangnya kenal pula
dengan si Bungsu?
Si Bungsu benar-benar tak bisa bersuara.
Dia seperti berkumpul lagi dengan kakak dan keluarganya. Dia dapat merasakan
kebahagian Kenji dan Hannako.
Karenaya dia hanya mengangguk berkali-kali.
Menghapus airmatanya yang mengalir dipipi.
“Aku telah mengenal abangmu, Hanako. Kami
telah berkenalan sejak di kapal. Dan aku telah mengenal adikmu, Kenji. Kami
berkenalan malam tadi. Di terowongan di daerah Yotsuya…”
Mereka lalu mencari tempat duduk ditaman
itu. Dan Hannako lalu menceritakan pada Kenji bagaimana nasibnya di rumah
Kawabata. Dan bagaimana dia dibela si Bungsu pagi tadi.
Kenji tiba-tiba berlutut didepan si
Bungsu. Dia bersujud ditanah seperti halnya kaum Yudoka memberi hormat. Di antara
air mata dan isaknya yang tertahan, terdengar suaranya bergetar mengucapkan
terimakasih.
“Domo arigato gozaimu Bungsu-san. Domo
arigato gozaimasu…”
Si Bungsu jadi kaget melihat sikap Kenji
ini. Dia cepat-cepat memegang bahu Kenji. Kemudian membawanya berdiri.
“Saya gembira kalian berkumpul Kenji.
Saya gembira. Bersyukurlah pada Tuhan…” dia berkata penuh haru.
-000-
Kenji adalah seorang pemuda Jepang di
kapal Ichi Maru yang ditompangi si Bungsu dari Singapura ke Tokyo. Kapal itu
adalah kapal Jepang. Tapi orang Jepang yang bekerja disana hanya empat orang.
Tiga orang terdiri dari Nahkoda, Mualim
I, kepala Bahagian Mesin. Sedangkan Kenji adalah Stirman II dibawah Mualim II.
Selain mereka berempat, awak kapal yang lain terdiri dari orang Inggris,
Amerika dan cina.
Kapal Jepang itu dicarter oleh Perusahaan
Inggris untuk mengangkut barang-barang dari Inggris ke Jepang melalui Singapura
setelah berakhirnya perang Dunia II.
Di kapal itulah mereka berkenalan.
Kenji tahu bahwa tentara Jepang menjajah
Indonesia.
“Tentara yang menjajah negerimu
Bungsu-san. Bukan bangsa Jepang. Bangsa kami bukan bangsa Agresor. Saya berani
bertaruh, semua penduduk Sipil Jepang tak setuju dengan ekspansi tentara Jepang
ke negeri-negeri Asia. Tapi penduduk sipil tak punya daya apa-apa bila bedil
dan mesiu telah berbunyi…”
Demikian Kenji pernah ngomong disuatu
saat di kapal pada si Bungsu. dia termasuk pemuda-pemuda Jepang yang secara
diam-diam menentang penjajahan yang dilakukan pihak militer.
Si Bungsu hanya menarik nafas panjang.
Kenji adalah perwira muda di kapal itu yang usianya tak jauh beda dengan si
Bungsu. Barangkali mereka sebaya.
Perkenalan mereka bermula ketika si
Bungsu mencari kamar di kapal itu. Karena kapal itu bukan kapal penumpang,
melainkan kapal barang maka para penumpang biasanya menempati dek atau kalau
akan menyewa kamar, mereka menyewa kamar para awak kapal.
Si Bungsu menempati sebuah kamar. Dan
kamar itu adalah kamar Kenji.
Dia menyewa kamar tersebut pada Kenji.
Sudah lazim bagi awak kapal menyewakan kamarnya kepada para penumpang untuk
sekedar penambah uang rokok.
Persahabatan mereka terjalin secara
perlahan tapi akrab. Dari si Bungsu Kenji banyak mengenal Indonesia. Selain
cerita tentang Indonesia, dia juga belajar bahasa Indonesia dari si Bungsu.
“Kapal kami sudah dua kali berlabuh di
Priok dan sekali di Surabaya. Saya sulit turun ke darat karena tak mengerti
bahasa Indonesia” kata Kenji.
Dia giat belajar selama pelayaran. Dan
sebagai “tukarannya” Kenji mengajarkan pula bahasa Jepang pada si Bungsu.
Ternyata kedua mereka maju dengan pesat dalam pelajaran masing-masing.
“Untuk apa kau datang ke Jepang?” suatu
saat ketika kapal mereka akan merapat di pelabuhan Tokyo, Kenji bertanya.
Si Bungsu menatap Kenji sesaat. Kemudian
melemparkan pandangannya ke pulau Honshu yang kelihatan sayup-sayup dibalik
kabut.
Pulau honshu adalah pulau terbesar
diantara kepulauan di negara Jepang. Di pulau Honshu terletak kota-kota besar
Jepang seperti Tokyo, Kyoto, Nagoya dan Osaka.
Pandangannya seperti menembus kabut.
Wajahnya datar seperti danau tak beriak sedikitpun. Ada api yang marak di
dadanya. Ada teluk dendam yang alangkah dalamnya dan alangkah berpiuhnya
direlung hatinya. Namun semuanya tak berbekas keluar.
Dan Kenji seperti dapat merasakan
semuanya. Seperti mengetahui ada sesuatu yang bergelora dan berbuih di hati
sahabatnya ini. Dia merasakannya, meski tak tahu dengan pasti.
“Tak usah kau katakan Bungsu-san. Saya
hanya mendoakan, agar apa yang kau cari, kau temui. Dan saya berdoa agar engkau
bisa kembali ke negerimu dengan selamat dan dengan perasaan yang tenteram….”
Kenji akhirnya berkata.
“Terimakasih. Kenji-san…” katanya
perlahan. Dan apa maksud kedatangannya ke Jepang ini, semenjak pertanyaan
pertama itu, tak lagi pernah diungkit oleh Kenji.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (51)
Komentar
Posting Komentar