“Siapa kalian….maaf, saya maksudkan, saya
rasa saya tak mengenal rumah ini. Juga orangnya. Kenapa saya bisa berada di
sini. Sejak bila dan…”
Gadis itu lagi-lagi tersenyum mendengar
pertanyaan yang tak hentinya itu. Dia tak segera menjawab pertanyaan si Bungsu.
Melainkan berjalan ke arah kepala pembaringan. Mengambil sebuah gelas. Kemudian
duduk dekat si Bungsu.
“Minumlah. Ini obat dari akar kayu. Nanti
saya jawab pertanyaan abang itu satu persatu…”
Dia ingin bangkit. Tapi uluran tangan
gadis itu untuk membantunya duduk tak bisa dia elakkan. Gadis itu membantunya
meminum obat yang terasa pahit. Kemudia membantunya berbaring lagi dengan
perlahan.
Dalam keadaan demikian, wajah gadis itu
berada dekat sekali dengan wajahnya. Gadis itu bersemu merah mukanya. Mukanya
sendiri juga terasa panas. Kemudia gadis itu mengambil sebuah kursi di tepi
dinding. Duduk dekat pembaringan.
“Ini rumah pak Kari…” gadis itu mulai
bicara. Si Bungsu tertegun.
“Rumah pak Kari?’
“Ya”
“Pak Kari Basa?”
“Ya, pak Kari Basa”
“Yang tertangkap dan disiksa dalam
terowongan Jepang itu?’
“Ya. Yang disiksa bersama abang juga
bukan?”
“Mana beliau…?”
“Di kamar sebelah…”
“Masih hidup?”
“Insya Allah sampai saat ini masih…”
“Alhamdulillah…”
“Saya adalah anaknya..”
Si Bungsu hampir terduduk. Tapi gadis itu
menggeleng dengan senyum lembut dibibirnya.
“Kenapa harus kaget…tetaplah berbaring…”
“sejak kapan saya berada di rumah ini?”
“Sejak sebulan yang lalu” Si Bungsu kali
ini benar-benar tertunduk. Matanya berkunang-kunang.
Namun dia tatap gadis di depannya itu.
Gadis itu menunduk. Malu, Mukanya merah.
“Sebulan?”
“Ya. Sudah sebulan Uda di rumah ini…”
“Dan selama itu saya tak pernah sadar?”
Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap si Bungsu. Lalu menggeleng. Si Bungsu
menjilat bibirnya yang terasa kering.
“Pernah. Tapi barangkali Uda tak pernah
bisa berfikir dengan baik. Sebab ketika mula pertama dibawa kemari, tubuh abang
seperti baru keluar dari rumah jagal. Tersayat-sayat berlumur darah… saya tak
tahu bahwa ayah juga sama keadaan dengan
abang. Hanya ayah dibawa ketempat lain untuk dirawat. Ayah baru dibawa kemari
sejak lima belas hari yang lalu….”
Si Bungsu kembali berbaring. Sudah
sebulan di rumah ini. Pakaiannya bersih. Siap yang memakaikan pakaiannya?
Selama itu dia pasti buang air. Nah, kalau dia tak sadar, siapa yang
membereskan semua ini?
“Ada adik lelakiu saya menukarkan pakaian
abang sekali tiga hari. Saya hanya menyuapkan bubur untuk abang…” suara gadis
itu seperti menjawab kata hatinya. Dia melihat padanya. Dan gadis itu lagi-lagi
menunduk.
“Terimakasih atas kebaikan kalian….”
Katanya perlahan.
“Uda akan makan?”
Si Bungsu tak segara menjawab. Dia
merasakan perutnya kenyang. Aneh, tadi mula-mula sadar laparnya serasa tak
tertahankan. Tapi kini perutnya terasa kenyang. Apakah itu karena obat yang
barusan dia minum.
“Tidak, saya kenyang….” Jawabnya.
“Tapi sejak kemaren Uda belum makan…”
“Terimakasih. Sebentar lagilah….apakah
Jepang tak pernah memeriksa rumah ini untuk mencari saya? Oh ya, siapa yang
membawa saya kemari?”
“ Yang membawa Uda kemari adalah
pejuang-pejuang teman ayah, teman Datuk Penghulu. Dan teman abang juga bukan?”
Si Bungsu menggelang.
“Saya tak punya teman di kota ini Upik.
Oh maaf, saya harus memanggilmu dengan sebutan apa?”
Gadis itu menunduk. Si Bungsu menatapnya.
“Nama saya Salma….” Katanya perlahan.
“Salma?”
“Ya, Salma..”
“Terimakasih atas bantuanmu pada saya
selama di rumah ini…nah, apakah Jepang tak pernah menggeledah di rumah ini?”
“Tidak, adik ayah bekerja dibahagian
penerangan pemerintahan Jepang. Rumah ini rumah tua kami. Sebelumnya saya, ayah
dan yang lain-lain tak tinggal di sini…… Rumah kami di Mandiangin. Tapi sejak
malam itu, kami disuruh pindah kemari. Dan Jepang tak pernah mencurigai rumah
ini, karena abang ditempatkan dibilik ini. Dibilik saya…”
“Bilikmu?”
“Ya. Ini bilik saya. Dan Jepang itu
sering main kartu disini. Kamar tamu disebelah kamar ini. Dan mereka tentu saja
tak pernah menduga dalam bilik ini ada abang sebab selama mereka di ruang tamu,
saya selalu dikamar ini. Dan saya… saya juga tidur dikamar ini…”
Si Bungsu terbelalak. Gadis itu menunduk,
mukanya merah. Malu dia.
“Ya. Saya tidur disini. Di bawah dengan
sebuah kasur cadangan, ayah yang menyuruh. Untungnya setiap mereka kemari Uda
tak pernah mengigau. Dan ayah dibawa kemari dua hari setelah proklamasi
kemerdekaan….”
Si Bungsu terlonjak duduk…
“Proklamasi kemerdekaan…?!”
Bersambung ke.............Tikam Samurai (28)
Komentar
Posting Komentar